Air, Diplomasi, dan Pentingnya Analisis Kekuatan
Diplomasi air lintas negara telah lama menjadi isu strategis di dunia yang semakin bergejolak akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Namun, satu aspek yang sering terabaikan dalam literatur maupun praktik diplomasi air adalah peran kekuatan (power)—baik yang bersifat struktural, material, maupun ideasional—dalam membentuk hasil negosiasi dan pola interaksi antarnegara. Paper “Power in Water Diplomacy” oleh Sumit Vij, Jeroen Warner, dan Anamika Barua (Water International, 2020) mengajak pembaca untuk menelaah ulang bagaimana kekuatan, dalam berbagai bentuknya, menjadi faktor penentu dalam diplomasi air lintas batas, sekaligus membuka ruang bagi pendekatan yang lebih realistis dan adaptif dalam pengelolaan sumber daya air bersama1.
Artikel ini akan mengulas secara kritis isi paper tersebut, memperkaya dengan studi kasus nyata, angka-angka relevan, serta membandingkan dengan tren dan literatur global terkini. Dengan gaya bahasa populer dan struktur SEO-friendly, resensi ini diharapkan mampu menjangkau pembaca luas dan memberikan nilai tambah bagi diskursus diplomasi air di era kontemporer.
Mengapa Kekuatan Penting dalam Diplomasi Air?
Air bukan sekadar sumber daya ekonomi atau lingkungan, melainkan juga sumber kekuatan politik, simbol budaya, dan bahkan alat negosiasi strategis. Paper ini menyoroti bahwa hampir semua interaksi lintas batas terkait air—baik konflik maupun kerja sama—selalu dipengaruhi oleh dinamika kekuatan antaraktor, baik negara maupun non-negara12.
Tiga Wajah Air dalam Diplomasi:
- Barang Ekonomi: Air sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan atau dikelola untuk kepentingan ekonomi.
- Barang Politik: Air sebagai instrumen kekuasaan dan negosiasi antarnegara.
- Barang Budaya: Air sebagai simbol identitas, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat.
Perbedaan persepsi ini membuat diplomasi air menjadi sangat kompleks dan penuh nuansa kekuatan, baik yang tampak (hard power) maupun yang tersembunyi (soft power)1.
Studi Kasus: Asimetri Kekuatan di Sungai Brahmaputra dan Mekong
1. Sungai Brahmaputra: Status Quo dan Non-decision Making
Salah satu studi kasus utama dalam paper ini adalah interaksi antara India, Bangladesh, dan China di basin Sungai Brahmaputra. India sebagai negara hulu memiliki posisi geografis yang kuat, mampu mengontrol aliran air melalui pembangunan bendungan dan infrastruktur lainnya. Namun, alih-alih menggunakan kekuatan ini secara agresif, India justru memilih mempertahankan status quo, karena menyadari adanya “kerentanan hegemonik”—yakni potensi backlash politik dan diplomatik jika bertindak sepihak12.
Bangladesh, di sisi lain, memilih strategi “wait and see” sambil memperkuat kapasitas teknis dan diplomasi, menunggu momentum yang tepat untuk negosiasi lebih lanjut. Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai “non-decision making”—di mana tidak adanya keputusan besar justru merupakan hasil dari kalkulasi kekuatan dan kepentingan masing-masing pihak.
Angka Kunci:
- Sungai Brahmaputra mengalir sepanjang 2.900 km, melintasi Tibet (China), India, dan Bangladesh, dengan lebih dari 130 juta orang bergantung pada airnya.
- India telah merencanakan lebih dari 150 proyek bendungan di wilayah Arunachal Pradesh, namun banyak yang tertunda akibat tekanan domestik dan internasional.
2. Sungai Mekong: Paradigma Baru Diplomasi China
Studi lain menyoroti perubahan pendekatan China di Sungai Mekong. Sebagai negara hulu, China secara tradisional memiliki kekuatan besar, namun dalam beberapa tahun terakhir mulai menginisiasi kerjasama multilateral melalui Mekong-Lancang Cooperation (MLC), didorong oleh kepentingan geopolitik (Belt and Road Initiative) dan tekanan dari negara-negara hilir seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam1.
Angka Kunci:
- Lebih dari 60 juta orang di kawasan Mekong bergantung pada sungai ini untuk pertanian, perikanan, dan air minum.
- China telah membangun 11 bendungan besar di hulu Mekong, memicu kekhawatiran negara-negara hilir terkait fluktuasi debit air dan ekosistem.
Dimensi Kekuatan dalam Diplomasi Air: Lebih dari Sekadar Geografi
Paper ini menekankan bahwa kekuatan dalam diplomasi air tidak hanya soal posisi geografis (hulu vs hilir), tetapi juga mencakup:
- Kekuatan Material: Infrastruktur, teknologi, dan kapasitas ekonomi untuk mengelola atau mengubah aliran air.
- Kekuatan Ideasional: Kemampuan membentuk narasi, framing isu, dan mempengaruhi opini publik atau komunitas internasional.
- Kekuatan Institusional: Peran lembaga-lembaga regional/multilateral, serta aturan main yang disepakati bersama.
- Kekuatan Non-Negara: Peran LSM, komunitas lokal, dan sektor swasta dalam membangun kepercayaan atau menekan pemerintah.
Studi tentang Sungai Rhine di Eropa, misalnya, menunjukkan bahwa negara hilir seperti Belanda dapat memanfaatkan kekuatan institusional dan ekonomi untuk menegosiasikan hak navigasi dan lingkungan, meski secara geografis kurang menguntungkan1.
Studi Kasus Lain: Peran Aktor Non-Negara dan Track II Diplomacy
Paper ini juga mengangkat peran penting aktor non-negara dalam diplomasi air, terutama ketika diplomasi formal (Track I) menemui jalan buntu. Contoh nyata adalah inisiatif Ecopeace di Jordan River Basin, yang berhasil membangun kapasitas desalinasi dan pertukaran energi antara Israel, Yordania, dan Palestina melalui diplomasi informal (Track II)1.
Di Columbia River Basin (AS-Kanada), keterlibatan LSM, universitas, dan komunitas lokal dalam proses negosiasi terbukti meningkatkan transparansi dan kualitas keputusan, meski secara hukum tidak wajib dilibatkan13.
Dinamika “Non-decision Making” dan Status Quo: Ketika Tidak Ada Keputusan Adalah Keputusan
Salah satu kontribusi utama paper ini adalah pengenalan konsep “non-decision making” dalam diplomasi air lintas batas. Dalam banyak kasus, negara-negara memilih untuk tidak mengambil keputusan besar demi menjaga stabilitas atau melindungi kepentingan domestik. Hal ini terlihat jelas di basin Brahmaputra dan kawasan Amerika Tengah, di mana status quo dijaga melalui kombinasi kekuatan material dan ideasional, serta pengaruh aktor eksternal seperti Uni Eropa1.
Kritik dan Analisis: Kekuatan, Kepercayaan, dan Tantangan Masa Depan
A. Kelebihan Paper
- Pendekatan Realistis: Berbeda dengan literatur yang terlalu menekankan “kerjasama ideal”, paper ini mengajak pembaca untuk memahami realitas kekuatan dan kepentingan dalam diplomasi air.
- Studi Kasus Beragam: Dari Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, hingga Amerika, memberikan gambaran komprehensif tentang variasi pola kekuatan.
- Konsep Inovatif: “Non-decision making” dan analisis multi-level games memperkaya pemahaman tentang dinamika negosiasi air lintas batas.
B. Tantangan dan Kritik
- Keterbatasan Peran Hukum Internasional: Hanya satu sengketa air (Hungaria-Slowakia) yang pernah dibawa ke Mahkamah Internasional, menunjukkan lemahnya daya paksa hukum global dalam isu air1.
- Kurangnya Fokus pada Trust-building: Meski kekuatan penting, literatur terbaru menekankan bahwa kepercayaan (trust) adalah prasyarat kerjasama jangka panjang4. Paper ini kurang mengeksplorasi mekanisme trust-building secara mendalam.
- Dampak Perubahan Iklim: Tantangan baru seperti perubahan pola curah hujan dan kekeringan ekstrem belum banyak dibahas, padahal sangat relevan untuk masa depan diplomasi air.
Tren Global: Dari Power Politics ke Water Diplomacy Kolaboratif
Literatur dan praktik terbaru menunjukkan pergeseran dari paradigma power politics menuju diplomasi air yang lebih kolaboratif dan inklusif, dengan menekankan:
- Multi-track Diplomacy: Menggabungkan jalur formal (negara) dan informal (LSM, komunitas, sektor swasta) untuk membuka ruang dialog meski negosiasi resmi macet5.
- Joint Fact-finding dan Data Sharing: Kesepakatan berbasis data bersama meningkatkan kepercayaan dan mengurangi kecurigaan, seperti pada Indus Waters Treaty antara India-Pakistan yang diakui sebagai model sukses diplomasi air6.
- Pendekatan Adaptif: Mendorong inovasi teknologi (desalinasi, efisiensi irigasi) dan tata kelola adaptif untuk menghadapi ketidakpastian iklim dan pertumbuhan penduduk3.
Rekomendasi untuk Diplomasi Air Masa Depan
- Analisis Kekuatan sebagai Titik Awal: Setiap negosiasi air harus diawali dengan pemetaan kekuatan aktor, baik negara maupun non-negara.
- Perkuat Trust-building: Investasi pada mekanisme peningkatan kepercayaan (joint monitoring, data sharing, konsultasi publik) sangat penting untuk keberlanjutan kerjasama4.
- Keterlibatan Multi-level dan Multi-aktor: Libatkan pemerintah daerah, LSM, dan komunitas lokal dalam setiap tahap negosiasi.
- Adaptasi terhadap Perubahan Iklim: Diplomasi air harus responsif terhadap risiko baru, seperti kekeringan, banjir, dan degradasi kualitas air.
- Inovasi Tata Kelola: Kembangkan kerangka hukum dan institusi yang lebih fleksibel, mampu beradaptasi dengan dinamika kekuatan dan kebutuhan bersama.
Menata Ulang Diplomasi Air di Era Ketidakpastian
“Power in Water Diplomacy” menawarkan lensa baru untuk memahami diplomasi air lintas negara: bukan sekadar soal kerjasama atau konflik, tetapi tentang bagaimana kekuatan—dalam berbagai bentuknya—membentuk, menghambat, atau justru membuka peluang bagi solusi inovatif dan damai. Dengan belajar dari berbagai studi kasus dan mengadopsi pendekatan yang lebih realistis, diplomasi air dapat menjadi katalis perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, asalkan kekuatan diakui, dikelola, dan diarahkan untuk kepentingan bersama.
Sumber Artikel
Power in water diplomacy, Sumit Vij, Jeroen Warner & Anamika Barua, Water International, 45:4, 249-253, DOI: 10.1080/02508060.2020.1778833.