Masalah Sebenarnya: Data yang 'Tidur' di Laci Arsip

Dipublikasikan oleh Hansel

04 November 2025, 20.11

unsplash.com

Mengapa sebuah kota bisa menderita kerugian belasan miliar rupiah dan kehilangan ratusan nyawa tanpa ada intervensi yang efektif? Jawabannya, menurut penelitian ini, terletak pada birokrasi data.

Peneliti menemukan bahwa data kecelakaan lalu lintas di Kepolisian Resort Kupang Kota—data yang merupakan tambang emas untuk analisis keselamatan—ternyata "masih dalam bentuk dokumen tertulis".1

Ini adalah sebuah temuan krusial. Ketika data tersimpan dalam map-map arsip fisik, ia menjadi data yang "tidur". Mustahil bagi pembuat kebijakan untuk melihat pola, mengidentifikasi tren, atau menentukan "lokasi rawan kecelakaan" (LRK) secara akurat. Kebijakan yang lahir dari kondisi ini pasti bersifat reaktif—menangani kecelakaan setelah terjadi—bukan preventif.

"Kebutaan data" ini adalah akar masalahnya. Sebelum penelitian ini, para perencana kota dan aparat kepolisian di Kupang, secara harfiah, tidak memiliki sebuah peta terpadu yang menunjukkan di mana titik-titik bahaya paling mematikan di kota mereka bersembunyi. Mereka mengelola infrastruktur transportasi kritis yang bernilai miliaran rupiah dengan metode administrasi abad ke-20.

 

Membangunkan Data: Meneropong Bahaya dengan Peta Digital (SIG)

Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi langsung menawarkan solusi teknologi: menyusun pangkalan data (database) kecelakaan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).1

Secara sederhana, tim peneliti mengambil data-data yang "tidur" dari arsip dokumen tertulis dan "membangunkannya" ke dalam sebuah peta digital yang hidup. Menggunakan perangkat lunak seperti Quantum GIS (QGIS) dan ArcView GIS, setiap insiden kecelakaan dipetakan ke koordinat geografisnya.1

Namun, sekadar memetakan titik tidaklah cukup. Peneliti perlu sebuah metode ilmiah untuk menentukan kapan sebuah ruas jalan bisa secara objektif disebut "rawan." Di sinilah metodologi statistik canggih diterapkan.1

Prosesnya terdiri dari dua langkah utama:

  1. Menghitung "Skor Bahaya" (APW)
    Peneliti tidak hanya menghitung jumlah kecelakaan. Setiap kecelakaan diberi "bobot" berdasarkan tingkat keparahannya. Dalam studi kasus ini, rumus yang digunakan adalah: setiap korban Meninggal Dunia (MD) diberi skor 6, setiap korban Luka Berat (LB) diberi skor 3, dan setiap korban Luka Ringan (LR) diberi skor 0,8.1 Total skor dari semua kecelakaan di satu ruas jalan disebut Accident Point Weightage (APW) atau "Skor Bahaya".1
  2. Menentukan "Batas Wajar" (UCL)
    Selanjutnya, peneliti menghitung Upper Control Limit (UCL) atau "Batas Kontrol Atas". Pikirkan ini sebagai "batas wajar" statistik untuk tingkat kecelakaan di kota itu, yang dihitung menggunakan tingkat probabilitas 95% (faktor Ψ = 1.645).1

Aturannya sederhana: Jika "Skor Bahaya" (APW) sebuah jalan secara signifikan melampaui "Batas Wajar" (UCL), maka jalan itu secara statistik terkonfirmasi sebagai Blacksite—lokasi rawan kecelakaan yang membutuhkan investigasi dan penanganan segera.1

 

Peta Mulai Bicara: Membedah Data 17 Ruas Jalan Utama

Peneliti segera menerapkan metode ini untuk membedah 17 ruas jalan arteri dan kolektor utama di Kota Kupang, menggunakan data historis kecelakaan selama tiga tahun (2011–2013).1

Ketika data mentah dari 17 jalan tersebut (yang disajikan dalam Tabel 5.2 laporan aslinya) dinarasikan, sebuah cerita yang mengerikan mulai terungkap.1

Selama periode tiga tahun itu, ke-17 ruas jalan ini secara kolektif mencatat total 406 kasus kecelakaan. Angka ini merenggut 106 korban jiwa, menyebabkan 92 orang luka berat, dan 488 orang luka ringan.

Namun, bahaya tidak tersebar merata. Beberapa ruas jalan relatif aman. Jalan Bundaran PU, misalnya, hanya mencatat 5 kasus, semuanya luka ringan, dan tidak ada satupun korban jiwa.

Di sisi lain, beberapa ruas jalan mulai menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Jalan Frans Seda mencatat 44 kasus yang menewaskan 7 orang. Jalan Adi Sucipto, meskipun kasusnya lebih sedikit (23), ternyata lebih fatal dengan 8 korban jiwa.

Tetapi, satu ruas jalan meledak melampaui semua jalan lainnya.

Dalam periode yang sama, Jalan Timor Raya menjadi lokasi dari 140 kasus kecelakaan. Ruas jalan ini sendirian bertanggung jawab atas 40 korban jiwa, 35 korban luka berat, dan 175 korban luka ringan.1 Secara mengejutkan, satu jalan ini menyumbang 34% dari total kasus kecelakaan dan 38% dari total kematian di 17 jalan utama yang diteliti.

Peta digital itu kini tidak lagi diam. Ia berteriak menunjuk satu lokasi.

 

Konfirmasi Statistik: Jalan Timor Raya Adalah 'Ground Zero'

Analisis statistik yang dilakukan peneliti mengkonfirmasi temuan data mentah tersebut dengan cara yang tak terbantahkan. Perbandingan antara "Skor Bahaya" (APW) dan "Batas Wajar" (UCL) menunjukkan bukti matematis (disajikan dalam Gambar 5.20 dan 5.29 pada laporan aslinya).1

Hasil perhitungan untuk Jalan Timor Raya sangat mencolok:

  • Skor Bahaya (APW): 485,00 1
  • Batas Wajar (UCL): 202,235 1

Ini bukan lagi sinyal bahaya; ini adalah alarm kebakaran yang meraung-raung. "Skor Bahaya" di Jalan Timor Raya lebih dari dua kali lipat batas toleransi statistik. Kerawanan di jalan ini bukanlah "nasib" atau kebetulan.

Data SIG telah resmi menobatkannya sebagai Blacksite paling kritis di Kota Kupang, sebuah ground zero yang menuntut jawaban atas pertanyaan: "Mengapa?"

 

Mengapa Jalan Ini Sangat Mematikan? Temuan Audit di 'Zona Merah'

Inilah langkah paling brilian dari penelitian ini. Peneliti tidak berhenti di analisis data besar di depan komputer. Mereka beralih dari menjawab "Di Mana" (analisis SIG) ke menjawab "Mengapa" (audit fisik).

Tim peneliti turun langsung ke lapangan untuk melakukan Audit Keselamatan Jalan (AKJ) yang mendalam di segmen blacksite terparah: Jalan Timor Raya Km 10.1

Kombinasi antara big data (analisis 17 jalan) dengan small data (inspeksi fisik di Km 10) ini menghasilkan temuan yang tak terbantahkan.

Audit di Jalan Timor Raya Km 10 mengungkap daftar panjang "dosa" infrastruktur yang menjelaskan mengapa begitu banyak nyawa melayang di sana. Dalam audit tersebut, lokasi ini hanya mendapatkan nilai kelayakan total 48,61%.1 Dengan kata lain, lebih dari separuh item keselamatan standar di lokasi itu "gagal", "rusak", atau "tidak ada".

Berikut adalah temuan-temuan lapangan paling kritis 1:

  • Bahu Jalan Gagal Fungsi Total: Bahu jalan, yang seharusnya menjadi area penyelamat darurat, justru disalahgunakan secara masif. Lokasi ini dipenuhi oleh angkutan umum yang parkir untuk menaik-turunkan penumpang, serta digunakan sebagai tempat tambal ban dan berjualan bensin eceran.1
  • Marka Jalan "Hantu": Marka jalan, panduan vital bagi pengemudi, ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Warna marka garis tengah (pemisah lajur) dan marka garis pinggir sudah sangat pudar dan "tidak jelas terdefinisi", membuatnya hampir tidak terlihat di malam hari.1
  • Absennya Rambu Peringatan: Di lokasi persimpangan yang krusial di Km 10, audit lapangan tidak menemukan adanya rambu peringatan akan adanya persimpangan. Rambu batas kecepatan, yang vital di area rawan, juga tidak tersedia.1
  • Kegelapan dan Lampu Peringatan Rusak: Kondisi penerangan jalan umum (PJU) di malam hari dinilai "belum memadai". Lebih buruk lagi, warning light (lampu kuning peringatan) yang ada di lokasi ditemukan dalam kondisi "tidak berfungsi".1
  • Desain Jalan yang Berbahaya: Sebagai jalan arteri dua arah dengan volume lalu lintas tinggi, ruas ini tidak memiliki median (pemisah jalur).1 Ini secara drastis meningkatkan risiko tabrakan head-to-head (adu banteng), yang merupakan jenis tabrakan paling fatal.

Kombinasi maut dari bahu jalan yang sempit, marka yang pudar, rambu yang absen, dan lampu penerangan yang rusak menciptakan sebuah perangkap sempurna bagi pengemudi. Laporan ini membuktikan bahwa 40 kematian di Jalan Timor Raya bukanlah "nasib", melainkan konsekuensi logis dari kegagalan desain infrastruktur yang parah.

 

Sebuah Kritik Realistis: Metodologi Kuat, Pilihan yang Janggal

Meskipun kekuatan utama penelitian ini terletak pada metodologi ganda (SIG + Audit) yang komprehensif, ada satu kejanggalan metodologis internal yang patut dicatat.

Dalam tinjauan pustaka di Bab III, penelitian ini mengutip Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan (Pd.T-09-2004-B) yang menetapkan standar nasional untuk bobot keparahan kecelakaan. Pedoman itu memberi bobot 12 untuk setiap korban Meninggal Dunia (MD).1

Namun, secara mengejutkan, ketika penelitian ini masuk ke tahap analisis data di Bab V, peneliti memilih untuk menggunakan angka bobot yang berbeda: 6 untuk korban Meninggal Dunia.1

Penelitian ini tidak memberikan justifikasi yang jelas mengapa bobot standar nasional (12) "dipotong" menjadi setengahnya (6). Pilihan ini, secara metodologis, berisiko mengecilkan bobot statistik dari kematian. Seandainya bobot standar (12) digunakan, "Skor Bahaya" (APW) untuk Jalan Timor Raya (dengan 40 kematiannya) akan meroket jauh lebih tinggi, membuat kesenjangan antara jalan itu dan jalan-jalan lainnya menjadi semakin ekstrem.

 

Solusi di Atas Kertas: Apa yang Harus Dilakukan?

Penelitian ini tidak berhenti pada identifikasi masalah. Bagian paling penting dari laporan ini adalah rekomendasi teknis yang spesifik dan terukur untuk "menjinakkan" blacksite di Jalan Timor Raya Km 10 (dirinci dalam Tabel 6.3 laporan aslinya).1

Rekomendasi utamanya adalah perbaikan infrastruktur yang mendasar, mencakup:

  • Perbaikan Marka Jalan: Melakukan pelapisan ulang total pada marka jalan yang pudar, termasuk marka garis tengah putus-putus, marka garis utuh di pinggir, dan zebra cross. Total volume pekerjaan pengecatan marka yang dihitung adalah 129 meter persegi.1
  • Penambahan Rambu Vital: Memasang 7 buah rambu baru yang selama ini absen, terdiri dari rambu peringatan simpang, rambu peringatan hati-hati, rambu petunjuk lokasi, dan rambu petunjuk penyeberangan.1
  • Perbaikan Penerangan: Menambah 4 unit lampu penerang jalan baru untuk mengatasi kondisi gelap dan melakukan perbaikan segera terhadap warning light yang rusak.1
  • Intervensi Desain: Peneliti juga merekomendasikan peninjauan mendesak untuk penambahan median (pemisah jalur) guna mencegah tabrakan head-to-head, serta perbaikan total fungsi bahu jalan.1

 

Biaya Keselamatan: Angka yang Mengubah Segalanya

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk semua perbaikan yang berpotensi menyelamatkan puluhan nyawa di blacksite paling mematikan di Kupang ini?

Peneliti menghitungnya hingga rupiah terakhir (disajikan dalam Tabel 6.4 laporan aslinya).1

Estimasi biaya untuk perbaikan fasilitas pendukung jalan di Jalan Timor Raya Km 10 adalah sebagai berikut:

  • Biaya untuk 7 buah rambu lalu lintas baru: Rp 7.439.340,00
  • Biaya untuk 129 m² marka jalan thermoplastic: Rp 12.563.882,76
  • Biaya untuk 4 unit lampu penerang jalan baru: Rp 66.200.664,00

Total biaya estimasi untuk membuat ground zero kecelakaan di Kupang menjadi jauh lebih aman adalah: Rp 86.203.886,76.

Angka ini—Rp 86 juta—adalah temuan paling penting dalam keseluruhan penelitian ini.

 

Pernyataan Dampak: Rp 86 Juta untuk Menyelamatkan Nyawa dan Rp 14 Miliar

Di sinilah letak inti dari temuan penelitian ini, sebuah kesimpulan yang seharusnya mengubah total paradigma kebijakan keselamatan jalan di Indonesia.

Mari kita sandingkan dua angka kunci dari laporan ini:

  1. Total Kerugian Finansial akibat kecelakaan di Kupang (2011–2013): Rp 14.365.572.490,-.1
  2. Total Biaya Perbaikan untuk blacksite terparah (Jl. Timor Raya Km 10): Rp 86.203.886,76.1

Biaya perbaikan untuk blacksite terparah yang menjadi kontributor utama kerugian dan kematian itu, ternyata hanya 0,6% dari total kerugian finansial yang diderita kota.

Kota Kupang, dan kemungkinan besar banyak kota lain di Indonesia dengan masalah serupa, tidak sedang kekurangan uang untuk mengatasi masalah keselamatan. Mereka kekurangan data yang akurat untuk menunjukkan ke mana uang itu harus dibelanjakan.

Jika diterapkan, database SIG dan metodologi audit dalam penelitian ini dapat menghemat miliaran rupiah dan, yang tak ternilai, menyelamatkan puluhan nyawa setiap tahun. Ini adalah pergeseran dari kebijakan reaktif berbasis "nasib" ke kebijakan preventif berbasis data.

Penelitian ini membuktikan bahwa keselamatan bukanlah "nasib" yang harus diterima. Keselamatan adalah pilihan kebijakan, sebuah masalah desain infrastruktur, yang datanya sudah tersedia dan biaya solusinya ternyata sangat terjangkau.

 

Sumber Artikel:

Bolla, M. E. (2017). Menyusun database ruas jalan rawan kecelakaan lalulintas berbasis sistem informasi geografis. Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana (LEMLIT UNDANA).