Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 November 2025, 13.53

Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Minggu lalu saya membaca sebuah paper penelitian.

Oke, saya tahu. Itu terdengar seperti awalan yang paling membosankan di dunia. Tapi percayalah, paper yang satu ini—judulnya "Competency of Rural Roads Achieving Targets 3.6 and 11.2 of the Sustainable Development Goals in Bangladesh"—terus menghantui saya. Ini bukan sekadar tumpukan data akademis yang kering; ini adalah sebuah cerita detektif yang mengungkap sebuah kelalaian yang begitu besar dan sistematis, sehingga saya harus membacanya dua kali.   

Bayangkan sejenak perjalanan pulang Anda. Anda mungkin memikirkan jalan tol atau jalan arteri utama yang sibuk. Tapi perjalanan sebenarnya—bagian yang paling penting—adalah kilometer terakhir. Jalan kecil yang membawa Anda ke depan pintu rumah Anda, jalan yang menghubungkan Anda ke pasar lokal, jalan yang dilewati anak-anak Anda ke sekolah.

Sekarang bayangkan jika saya katakan bahwa di satu negara besar, jalan-jalan "kilometer terakhir" ini—jalan pedesaan—mencakup 94% dari seluruh jaringan jalan. Sembilan puluh empat persen!   

Dan inilah intinya, yang diungkap oleh paper ini dengan sangat gamblang: negara itu, dan mungkin juga kita semua, secara kolektif buta terhadap apa yang terjadi di 94% jaringan jalan tersebut.

Kita memiliki target global yang mulia, tetapi kita bahkan tidak mengukur masalahnya dengan benar. Dan apa yang tidak Anda ukur, tidak akan pernah Anda perbaiki.

Janji Kita di Kertas vs. Nyawa yang Tak Terhitung

Kita semua ada dalam hal ini bersama-... secara global, maksud saya. Pada tahun 2015, PBB menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Paper ini berfokus pada dua target spesifik yang telah dijanjikan oleh Bangladesh untuk dicapai :   

  1. Target 3.6: Mengurangi separuh jumlah kematian dan cedera global akibat kecelakaan lalu lintas jalan pada tahun 2030.

  2. Target 11.2: Menyediakan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua.

Kedengarannya bagus, bukan? Ambisius. Penuh harapan. Tapi di sinilah letak masalah pertama yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Para peneliti, Susankar Chandra Acharjee dan Hasib Mohammed Ahsan, menunjukkan sebuah kesenjangan data yang mengerikan. Data resmi Polisi Bangladesh melaporkan sekitar 4.000 kematian akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka sebenarnya "bisa jadi lebih dari 25.000".   

Bayangkan jika Anda bertanya kepada CEO Anda tentang pendapatan kuartal ini, dan dia berkata, "Oh, antara $4 juta atau $25 juta." Anda tidak akan menyebutnya sebagai kesalahan pembulatan; Anda akan menyebutnya sebagai kelalaian besar-besaran. Ini bukan sekadar perbedaan statistik; ini adalah jurang ketidaktahuan. Puluhan ribu nyawa hilang dalam 'kesalahan estimasi' itu setiap tahun.

Dan kesenjangan ini menjadi lebih buruk.

Paper ini menjelaskan mengapa kesenjangan itu ada: Sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan saat ini "didasarkan terutama pada jalan raya" yang dikelola oleh Departemen Jalan dan Jalan Raya (RHD). Sistem ini "meninggalkan sejumlah besar jalan pedesaan" yang dikelola oleh Departemen Teknik Pemerintah Daerah (LGED).   

Ingat angka 94% tadi? Ya, 94% jalan pedesaan itu dikelola oleh LGED. Ini berarti, sistem data kecelakaan resmi secara sistematis mengabaikan 94% dari total jaringan jalan.

Dan inilah pukulan telaknya. Paragraf yang membuat saya benar-benar terdiam.

Para peneliti dengan santai menyebutkan bahwa pada tahun 2022, sebuah proyek keselamatan jalan utama senilai $358 juta (dengan bantuan Bank Dunia) telah disetujui. Tujuannya? "Membangun kapasitas manajemen keselamatan jalan dan mencapai pengurangan yang ditargetkan dalam fatalitas lalu lintas... untuk jalan raya tanpa memasukkan jalan pedesaan milik LGED".   

Siklusnya sempurna:

  1. Kita tidak mengumpulkan data di jalan pedesaan (94% jaringan).

  2. Karena tidak ada data, secara resmi masalahnya tidak ada.

  3. Kita mengalokasikan dana $358 juta untuk memperbaiki 6% jaringan lainnya (jalan raya) di mana kita memiliki data.

Ini adalah kegagalan sistemik yang terdokumentasi dengan sempurna. Kebijakan dan uang ratusan juta dolar mengikuti data yang cacat, mengabaikan inti masalah yang sebenarnya.

Saat Data Tak Ada, Jadilah Detektif Lapangan

Jadi, jika Anda adalah seorang peneliti yang ingin tahu seberapa aman 94% jalan pedesaan itu, apa yang Anda lakukan ketika tidak ada data kecelakaan sama sekali?

Anda tidak bisa menggunakan "model statistik yang tersedia". Database-nya kosong.   

Inilah bagian yang saya sukai. Para peneliti ini tidak menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang sangat 'analog' dan brilian: mereka menjadi detektif lapangan.

Mereka menggunakan metodologi non-statistik yang disebut "Road Safety Inspection (RSI)". Sederhananya, alih-alih melihat statistik kecelakaan (yang tidak ada), mereka secara fisik pergi ke jalan dan mencari risiko kecelakaan. Mereka memeriksa " TKP" sebelum kecelakaan terjadi.   

Mereka secara acak memilih 8 jalan pedesaan dengan lalu lintas tinggi, satu dari setiap delapan divisi di negara itu, untuk "mewakili karakteristik topografi dan demografi seluruh negeri".   

Mereka membawa daftar periksa, kamera, dan mungkin pita pengukur. Mereka mencatat hal-hal mendasar :   

  • Dimensi geometris yang ada (seberapa lebar jalannya?)

  • Kekurangan elemen geometris (apakah ada marka jalan?)

  • Kondisi jalan (apakah rusak?)

  • Bahaya di pinggir jalan (ada apa di tepi jalan?)

  • Kurangnya fitur keselamatan (adakah trotoar?)

Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sistem: mereka pergi dan melihat dengan mata kepala sendiri.

'Galeri Kengerian' yang Saya Lihat di Foto-Foto

Angka adalah satu hal. Tapi gambar-gambar dalam paper inilah—Gambar 4 hingga 22—yang benar-benar menghantui saya. Ini adalah data visual dari 8 inspeksi jalan tersebut. Ini seperti melakukan "tur virtual" neraka infrastruktur.   

Izinkan saya memandu Anda melalui beberapa temuan paling gila:

  • Tiang Listrik di Tengah Jalan (Gbr 20): Saya tidak bercanda. Saya harus memperbesar foto ini untuk memastikannya. Ya, itu tiang utilitas (listrik atau telepon). Berdiri dengan kokoh di atas badan jalan beraspal. Bukan di bahu jalan. Di badan jalan..   

  • Kolam Renang Maut (Gbr 18): Foto lain menunjukkan sebuah kolam besar, airnya tenang, persis di tepi jalan. Tidak ada pagar pembatas. Tidak ada penghalang. Tidak ada crash barrier. Satu kesalahan kecil di malam hari, satu ban selip di musim hujan, dan mobil Anda tenggelam.   

  • Jembatan Tanpa Pilihan (Gbr 21): Sebuah jembatan sempit melintasi sungai. Terlihat kokoh, tetapi lebarnya pas-pasan untuk satu truk. Dan... tidak ada fasilitas pejalan kaki sama sekali. Nol. Jadi, jika Anda seorang pejalan kaki, pilihan Anda adalah: berdesakan dengan lalu lintas di jembatan, bertaruh nyawa, atau tidak menyeberang sama sekali.   

  • Bahu Jalan Adalah Pasar (Gbr 15): Bahu jalan yang seharusnya menjadi zona aman bagi pejalan kaki? Oh, itu sudah beralih fungsi. Di banyak tempat, bahu jalan yang sempit itu ditempati oleh pedagang kaki lima yang mendirikan lapak. Ini memaksa pejalan kaki, anak-anak sekolah, dan hewan ternak untuk berjalan di badan jalan yang sudah sempit.   

  • Selokan Terbuka dan Lereng Curam (Gbr 16 & 19): Foto-foto lain menunjukkan saluran drainase terbuka yang dalam dan lereng yang curam, tepat di tepi aspal. Tidak ada 'zona aman' (clear zone). Tidak ada ruang untuk kesalahan sekecil apa pun.   

  • Kekacauan 'Heterogen' (Gbr 22): Dan foto puncaknya: "karakteristik lalu lintas". Ini adalah gambaran kekacauan total. Truk besar, bus, becak motor (autorickshaw), sepeda, dan pejalan kaki, semuanya "berperang" memperebutkan ruang di jalur sempit yang sama. Ini adalah resep pasti untuk bencana.   

Setelah melihat foto-foto ini, kesenjangan data antara 4.000 dan 25.000 kematian itu tiba-tiba terasa sangat masuk akal.

Ini Bukan Sekadar Jalan Rusak, Ini Desain yang Gagal

Melihat foto-foto itu, reaksi pertama saya adalah, "Wow, jalan-jalan ini sangat tidak terawat." Tapi ketika saya melihat lebih dalam pada Tabel III dan V, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih buruk.

Ini bukan masalah 'kurang perawatan'. Ini masalah desain. Jalan-jalan ini dibangun dengan cara yang salah sejak awal. Mereka dirancang untuk gagal.

Para peneliti membandingkan dimensi aktual di lapangan dengan standar desain resmi yang disetujui oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri.   

Mari kita bicara bahasa manusiawi di sini. Bayangkan Anda seorang insinyur sipil yang ditugaskan membangun "Jalan Upazila (UZR)":

  • Standar Lebar Jalan (Carriageway): Buku aturan Anda (standar) mengatakan jalan itu harus memiliki lebar 6.10 meter. Ini cukup untuk dua kendaraan berpapasan dengan hati-hati.

  • Kenyataan di Lapangan: Jalan #7 (Char Kowa-Karnakati) yang mereka inspeksi lebarnya hanya 3.70 meter. Jalan #5 dan #6 lebarnya bervariasi antara 3.70 dan 5.50 meter. Itu hampir 40% lebih sempit dari standar minimum!   

  • Standar Bahu Jalan (Shoulder): Buku aturan Anda mengatakan bahu jalan—zona aman yang krusial untuk pejalan kaki, sepeda, dan kendaraan berhenti darurat—harus memiliki lebar 2.45 meter.

  • Kenyataan di Lapangan: Sebagian besar jalan yang diinspeksi hanya memiliki bahu jalan antara 0.6 hingga 0.9 meter. Jalan #8 bahkan lebih buruk, 0.3 meter. Itu bukan bahu jalan; itu selokan. Itu 75% lebih sempit dari standar.   

Ini adalah "kekurangan kompetensi akibat kekurangan elemen geometris". Dan daftar ini terus berlanjut: tidak ada marka jalan, tidak ada rambu lalu lintas, tidak ada fasilitas pejalan kaki, jembatan dan gorong-gorong yang sempit.   

Inilah kritik halus saya terhadap paper ini: Paper ini brilian dalam mendokumentasikan apa yang salah. Data inspeksinya tak terbantahkan. Namun, para penulisnya (mungkin karena kesopanan akademis) agak terlalu halus dalam membahas mengapa ini terjadi.

Pertanyaan saya yang terus muncul adalah: Mengapa jalan-jalan yang 'sudah ditingkatkan' (improved) dan beraspal ini dibangun jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri? Ini bukan jalan tanah era kolonial; ini adalah jalan yang relatif baru dan 'ditingkatkan'.

Apakah ini masalah anggaran yang dipotong? Apakah ini masalah korupsi, di mana kontraktor menghemat biaya aspal dengan mempersempit jalan? Ataukah ini murni kesenjangan kapasitas—bahwa standar desain yang hebat di tingkat nasional gagal total untuk diimplementasikan di tingkat lokal?

Apa pun alasannya, ini adalah kegagalan tata kelola yang sistematis. Ini adalah kegagalan dalam Manajemen Proyek Infrastruktur. Ini bukan 'bencana alam'; ini adalah serangkaian keputusan buruk yang dibuat oleh manusia, yang mengakibatkan konsekuensi mematikan.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini menyimpulkan bahwa "kondisi keselamatan lalu lintas jalan yang buruk adalah penghalang signifikan untuk mencapai target 3.6 dan 11.2 SDG pada tahun 2030".   

Saya akan lebih blak-blakan: Kondisi ini bukan 'penghalang'. Ini adalah 'jaminan kegagalan'. Mustahil Anda bisa mencapai target global jika Anda secara aktif mengabaikan 94% dari masalah.

Bagi saya, ini bukan hanya cerita tentang jalan di Bangladesh. Ini adalah pelajaran universal tentang data, fokus, dan akuntabilitas.

Para peneliti harus turun tangan melakukan RSI secara manual karena sistem pengumpulan data otomatis gagal. Ini mengingatkan saya bahwa keahlian inti seperti Audit dan Inspeksi Keselamatan Jalan sangat penting. Anda tidak bisa hanya mengandalkan dashboard. Terkadang Anda harus "pergi dan melihat."

Pelanggaran mencolok terhadap standar keselamatan dasar—seperti membangun jalan 40% lebih sempit dari yang seharusnya—adalah kegagalan fundamental dalam(https://diklatkerja.com/). Ini adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap profesional infrastruktur.

Dan pada akhirnya, target SDG yang terdengar muluk-muluk itu tidak akan tercapai melalui rapat komite di ibu kota. Target itu dicapai (atau gagal) di lapangan, di jalan pedesaan yang berlumpur. Itu semua kembali ke(https://diklatkerja.com/) yang mengakar pada kenyataan, bukan pada database yang cacat.

Inilah pelajaran utama yang saya ambil dari paper ini:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: 94% jaringan jalan—urat nadi ekonomi dan sosial—secara sistematis tidak aman, lebarnya puluhan persen di bawah standar desain minimumnya sendiri, dan penuh dengan bahaya mematikan (kolam, tiang listrik).

  • 🧠 Inovasinya: Kita tidak akan pernah tahu skala masalah ini jika hanya melihat database kecelakaan. Kebenaran ada di lapangan, ditemukan dengan metode 'detektif' (RSI) karena sistem data resmi buta terhadap 94% masalah.

  • 💡 Pelajaran: Berhentilah terobsesi dengan data yang cacat. Kebijakan (dan dana $358 juta) mengikuti apa yang kita ukur. Jika kita mengukur hal yang salah, kita akan memperbaiki masalah yang salah. Fokus pada 6% jaringan tidak akan pernah menyelesaikan 94% masalah.

Paper ini bukan hanya tentang jalan. Ini tentang melihat. Ini tentang bahaya memiliki titik buta yang sangat besar dalam cara kita memandang dunia—dan konsekuensi mematikan dari titik buta tersebut.

Ini adalah salah satu paper paling gamblang dan penting yang saya baca tahun ini. Jika Anda seorang insinyur, perencana kota, manajer proyek, atau siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita membangun dunia yang lebih aman dan adil, Anda wajib membacanya.

Ini adalah studi kasus yang sempurna tentang di mana letak kegagalan kita—dan di mana kita harus memulai perbaikan.

(https://doi.org/10.54105/ijte.A1907.03010523)