Dalam dunia manufaktur modern, mesin adalah tulang punggung operasional. Tanpa mesin yang bekerja optimal, rantai produksi bisa terganggu, target produksi meleset, dan perusahaan menanggung kerugian besar. Salah satu masalah terbesar adalah downtime tidak terencana atau waktu berhentinya mesin karena kerusakan mendadak. Dalam paper ini disebutkan bahwa biaya downtime bisa mencapai 50.000 dolar per jam. Angka ini bukan main, dan bisa bikin perusahaan besar sekalipun kelabakan kalau masalahnya sering terjadi.
Di sinilah Predictive Maintenance (PdM) atau pemeliharaan prediktif muncul sebagai solusi. Predictive maintenance adalah pendekatan pemeliharaan yang memanfaatkan data sensor, algoritma statistik, dan terutama machine learning (ML) untuk memprediksi kapan mesin akan mengalami kerusakan. Jadi, daripada nunggu mesin rusak lalu diperbaiki (reactive maintenance), atau rutin memperbaiki meski mesin masih sehat (preventive maintenance), predictive maintenance berusaha tepat waktu—memperbaiki hanya saat mesin benar-benar mendekati batas aman.
Paper ini berjudul “Machine Learning based Predictive Maintenance in Manufacturing Industry” karya Nadeem Iftikhar, Yi-Chen Lin, dan Finn Ebertsen Nordbjerg, yang dipublikasikan di konferensi IN4PL 2022. Penelitian ini tidak hanya menjelaskan teori, tapi juga langsung menguji berbagai algoritma machine learning pada dataset nyata, seperti data baterai lithium-ion dari NASA dan data bearing dari Case Western Reserve University. Dengan begitu, hasilnya bisa lebih dipercaya untuk aplikasi di dunia industri.
Metodologi CRISP-DM: Dari Tujuan Bisnis ke Implementasi
Salah satu kekuatan utama paper ini adalah penggunaan metodologi CRISP-DM (Cross Industry Standard Process for Data Mining). CRISP-DM adalah kerangka kerja yang sering dipakai dalam proyek data science, termasuk machine learning. Tahapan utamanya ada enam:
- Business Understanding (Pemahaman Bisnis)
Banyak proyek ML gagal karena langsung fokus pada data dan algoritma, tanpa memahami kebutuhan bisnis. Dalam PdM, tujuan bisa beragam: mengurangi downtime, memperpanjang umur mesin, atau mengurangi biaya perawatan. Paper ini menekankan pentingnya menentukan business goals dulu sebelum kumpulin data. - Data Understanding (Pemahaman Data)
Setelah tahu tujuannya, langkah berikutnya adalah memahami data yang tersedia. Data bisa datang dari sensor yang sudah terpasang, atau perusahaan perlu pasang sensor baru. Misalnya, sensor getaran pada bearing atau sensor suhu pada mesin motor listrik. Pertanyaan kunci: apakah data yang ada cukup untuk menjawab tujuan bisnis? - Data Preparation (Persiapan Data)
Data jarang langsung bisa dipakai. Biasanya ada noise (gangguan), data hilang, atau perlu direkayasa ulang menjadi feature (fitur penting). Paper ini mencontohkan penggunaan feature engineering untuk memilih fitur yang relevan, misalnya siklus pengisian baterai lithium-ion sebagai indikator utama penurunan kapasitas. - Modeling (Pemodelan)
Di tahap ini, algoritma ML dipilih sesuai kebutuhan. Ada beberapa model:- Similarity model → membandingkan pola data mesin dengan pola kegagalan yang sudah diketahui.
- Degradation model → memanfaatkan indikator kerusakan seperti ambang batas getaran atau kapasitas baterai.
- Survival model → menghitung probabilitas mesin bertahan hidup sampai waktu tertentu.
- Classification model → memprediksi apakah mesin akan gagal dalam periode tertentu.
- Evaluation (Evaluasi)
Model harus diuji akurasinya. Paper ini menggunakan metrik seperti Root Mean Square Error (RMSE), R²-score, Precision, Recall, dan F1-score. Dengan evaluasi ini, peneliti bisa tahu model mana yang benar-benar layak dipakai. - Deployment (Penerapan)
Setelah model terpilih, model dipasang di sistem produksi. Tapi pekerjaan tidak berhenti di sini. Model harus dipantau terus karena kondisi mesin dan lingkungan bisa berubah. Jadi PdM harus dinamis, bukan sekali jadi.
Bagi dunia industri, CRISP-DM sangat membantu karena menyatukan kepentingan teknis dan bisnis. Proyek tidak berhenti di tingkat “coba-coba algoritma,” tapi sampai ke tahap benar-benar dipakai untuk menekan biaya produksi.
Machine Learning dalam Predictive Maintenance
Predictive maintenance dengan ML bisa dibagi jadi tiga pendekatan:
1. Supervised Learning (Pembelajaran Terawasi)
Supervised learning butuh data berlabel—artinya, data punya catatan apakah mesin normal atau rusak. Ada dua jenis utama:
- Regression-based Models (Model Regresi)
Dipakai untuk menghitung Remaining Useful Life (RUL), yaitu perkiraan berapa lama lagi mesin bisa digunakan sebelum gagal. Contoh: prediksi umur baterai lithium-ion sampai kapasitasnya turun 70% dari kondisi awal. - Classification-based Models (Model Klasifikasi)
Dipakai untuk menjawab pertanyaan: “Apakah mesin akan gagal dalam X jam ke depan?” Bisa berupa klasifikasi biner (ya/tidak) atau multi-class (dalam 5 jam, 10 jam, atau 15 jam).
2. Unsupervised Learning (Pembelajaran Tak Terawasi)
Kadang perusahaan tidak punya data berlabel. Dalam kasus ini, unsupervised learning bisa dipakai untuk mendeteksi anomali atau perilaku mesin yang tidak biasa. Ada tiga tipe anomali yang dijelaskan:
- Point anomaly → satu data aneh, misalnya lonjakan suhu tiba-tiba.
- Collective anomaly → serangkaian data yang menyimpang, misalnya 5 jam berturut-turut getaran tinggi.
- Contextual anomaly → data normal dalam konteks tertentu, tapi tidak wajar dalam konteks lain, misalnya konsumsi listrik rendah di siang hari ketika pabrik harusnya beroperasi penuh.
Pendekatan ini gabungan. Biasanya dipakai untuk novelty detection: model dilatih dengan data normal, lalu diuji pada data normal dan abnormal. Ini sering jadi solusi kalau data rusak terbatas.
Eksperimen dan Hasil
Estimasi RUL pada Baterai Lithium-Ion
Dataset yang dipakai adalah NASA Li-ion Battery. Ada 164 siklus, lebih dari 11.000 data poin, dengan 10 fitur. Fokus penelitian ada pada proses discharge (pengosongan daya), karena lebih konsisten untuk analisis kapasitas.
Hasil penting:
- Support Vector Regression (SVR) dipilih sebagai model utama.
- Setelah dilakukan dimension reduction (pengurangan fitur), performa model tetap sama, tapi waktu komputasi turun drastis 99% (dari 3 menit jadi 0,4 detik).
- Model terbaik adalah SGDRegressor dengan data yang sudah direduksi, karena memberikan kombinasi akurasi tinggi (R² positif) dan error rendah.
👉 Relevansi industri: produsen kendaraan listrik bisa tahu kapan baterai perlu diganti sebelum kapasitas anjlok, sehingga menghindari keluhan konsumen dan menjaga keandalan produk.
Prediksi Time-To-Failure (TTF) pada Bearing
Dataset berasal dari Case Western Reserve University (CWRU). Total ada 250.000 data poin dengan label normal dan rusak (50% masing-masing). Bearing dipilih karena menurut literatur, 30–40% kerusakan mesin disebabkan oleh bearing.
Hasil model:
- Decision Tree → akurasi 87,5%, F1-score 0,88.
- Random Forest → akurasi 84,35%, F1-score 0,84.
- Logistic Regression → akurasi jeblok, cuma 46,4%.
👉 Relevansi industri: pabrik bisa menghindari kerusakan mendadak pada bearing yang biayanya bisa mencapai puluhan ribu dolar per jam.
Anomaly Detection pada Data Bearing
Untuk eksperimen ini, label kerusakan dihapus agar data murni untuk unsupervised learning. Model yang diuji:
- One-Class SVM → F1-score 0,73.
- Elliptic Envelope → F1-score 0,72.
- Isolation Forest → terbaik dengan akurasi 67,42% dan F1-score 0,75.
- Local Outlier Factor (LOF) → F1-score 0,66.
👉 Relevansi industri: cocok untuk pabrik yang baru mulai menerapkan PdM tapi belum punya data historis lengkap.
Analisis Kritis
Kekuatan Paper
- Kombinasi teori dan praktik → tidak hanya menjelaskan konsep ML, tapi juga menguji pada dataset nyata.
- Efisiensi komputasi → menunjukkan betapa pentingnya feature selection dan dimension reduction.
- Pendekatan komprehensif → mencakup supervised, unsupervised, dan semi-supervised learning.
Keterbatasan Paper
- Skalabilitas belum diuji → bagaimana performa jika diterapkan ke ribuan mesin real-time?
- Data publik → dataset seperti NASA dan CWRU bagus, tapi kondisi nyata di pabrik bisa jauh lebih kompleks.
- Deep learning belum dieksplorasi → padahal teknik seperti LSTM atau CNN sangat potensial untuk data sensor time-series.
Dampak Nyata untuk Industri
Hasil penelitian ini bisa langsung dipakai di berbagai sektor:
- Industri otomotif → prediksi umur bearing dan baterai.
- Energi → turbin angin dan generator bisa dipantau lebih akurat.
- Elektronik → umur baterai smartphone dan laptop bisa diestimasi.
- Manufaktur berat → pabrik baja, kimia, atau tekstil bisa hindari downtime mendadak.
Dengan implementasi PdM berbasis ML, perusahaan bisa:
- Mengurangi downtime hingga puluhan ribu dolar per jam.
- Menghemat biaya perawatan dengan pemeliharaan berbasis kebutuhan.
- Memperpanjang umur mesin dan meningkatkan efisiensi produksi.
Kesimpulan
Paper ini berhasil menunjukkan bahwa machine learning adalah kunci masa depan predictive maintenance di industri manufaktur. Dengan supervised learning, perusahaan bisa prediksi umur pakai mesin (RUL) dan waktu kegagalan (TTF). Dengan unsupervised learning, perusahaan tetap bisa deteksi anomali walaupun data kerusakan minim.
Kunci utamanya adalah menggabungkan tujuan bisnis, ketersediaan data, dan pemilihan algoritma yang tepat. Tanpa sinkronisasi tiga faktor ini, proyek PdM bisa gagal meski teknologinya canggih.
Untuk riset berikutnya, penulis menyarankan eksplorasi deep learning dan pengujian pada skala besar dengan sistem real-time.
📌 Sumber Paper:
Iftikhar, N., Lin, Y., & Nordbjerg, F. (2022). Machine Learning based Predictive Maintenance in Manufacturing Industry. In Proceedings of the 3rd International Conference on Innovative Intelligent Industrial Production and Logistics (IN4PL 2022), pp. 85–93. DOI: 10.5220/0011537300003329