Pendahuluan: Legislasi sebagai Poros Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Dalam disertasi ini, Jeong-ah Kim menyajikan sebuah studi komparatif yang mendalam antara dua pendekatan legislasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3): pendekatan preskriptif yang diterapkan di Korea dan pendekatan berbasis kinerja (performance-based) yang berkembang di Australia. Penelitian ini menyoroti bagaimana kerangka regulasi membentuk dan mempengaruhi sistem manajemen K3 di industri yang berisiko tinggi terhadap paparan logam berat seperti merkuri dan timbal.
Kim tidak hanya mengandalkan pendekatan normatif atau statistik semata, tetapi mengembangkan argumen reflektif-konseptual mengenai bagaimana regulasi dapat menjadi penentu arah budaya keselamatan organisasi. Pendekatan ini menempatkan tesis Kim dalam ranah kontribusi ilmiah yang lebih luas terhadap teori dan praktik manajemen risiko kerja secara global.
H2: Kerangka Teori dan Narasi Argumentatif: Legislasi sebagai Intervensi Struktural
H3: Legislasi Preskriptif vs. Berbasis Kinerja
Kim membangun kerangka analisis utama berdasarkan dikotomi antara dua jenis legislasi:
-
Preskriptif (Korea): Menekankan peran negara dalam menetapkan standar dan metode pelaksanaan K3 secara terperinci.
-
Berbasis Kinerja (Australia): Memberikan kebebasan kepada organisasi untuk menentukan cara terbaik mencapai standar keselamatan tertentu, selama hasilnya dapat dibuktikan.
Kerangka ini digunakan untuk membedah bagaimana masing-masing pendekatan mendorong bentuk dan efektivitas sistem manajemen K3 di sektor industri yang menghadapi risiko logam berat.
H3: Teori Manajemen Risiko dan Keterlibatan Organisasi
Tesis ini juga mengadopsi prinsip-prinsip manajemen risiko dan partisipasi pekerja sebagai landasan teoritis untuk memahami dinamika sistem K3. Kim memosisikan bahwa sistem manajemen yang baik tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai organisasi dan budaya kerja. Di sinilah pendekatan berbasis kinerja menunjukkan keunggulan potensial, karena lebih mendorong keterlibatan organisasi dalam mendesain solusi spesifik.
H2: Refleksi atas Temuan Empiris: Data, Angka, dan Maknanya
Studi Kim menggabungkan empat komponen besar berbasis studi kasus:
-
Eksposur merkuri di industri lampu fluoresen (Korea)
-
Eksposur merkuri di layanan kesehatan gigi (Queensland, Australia)
-
Manajemen eksposur timbal di industri berisiko (Queensland)
-
Evaluasi sistem manajemen K3 di kedua negara
H3: 1. Pengelolaan Paparan Merkuri di Korea
Analisis terhadap data biologis dari 8 tempat kerja menunjukkan penurunan pekerja dengan kadar merkuri di atas ambang batas dari 14% (1994) menjadi 7% (1999). Hal ini merefleksikan efektivitas sistem surveilans biologis berbasis regulasi preskriptif yang ketat.
Namun, meskipun terjadi penurunan, hasil ini menunjukkan sistem tersebut bersifat reaktif—mengandalkan tes biologis untuk mendeteksi paparan setelah terjadi, bukan mencegahnya. Hal ini mencerminkan karakteristik regulasi preskriptif yang lebih fokus pada kepatuhan daripada pencegahan proaktif.
H3: 2. Studi di Layanan Kesehatan Gigi Australia
Berbeda dari Korea, pengukuran udara dan biomonitoring di fasilitas kesehatan Queensland menemukan nihil pekerja dengan kadar merkuri mendekati ambang batas. Namun hanya 43% pekerja merasa sistem manajemen K3 secara efektif mencegah paparan.
Di sini tampak ironi: meskipun hasil monitoring menunjukkan keamanan tinggi, persepsi subjektif pekerja tetap kritis. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan sistem berbasis kinerja tidak hanya bergantung pada hasil fisik, tetapi juga pada komunikasi, transparansi, dan keterlibatan pekerja.
H3: 3. Surveilans Paparan Timbal di Queensland
Salah satu hasil paling kritis dalam tesis ini adalah temuan bahwa 37% dari dokter yang ditunjuk untuk pengawasan timbal sudah tidak lagi aktif, dan pemerintah tidak memiliki sistem data yang andal tentang eksposur timbal.
Ini mencerminkan kekurangan dalam pendekatan berbasis kinerja jika tidak didukung oleh infrastruktur data dan otoritas pengawasan yang kuat. Pengalihan tanggung jawab dari negara ke perusahaan memerlukan sistem pelaporan yang canggih—jika tidak, transparansi dan kontrol publik bisa runtuh.
H3: 4. Sistem Manajemen K3: Antara Kepatuhan dan Manajemen Risiko
Analisis sistem manajemen K3 menunjukkan bahwa:
-
Korea: Sistem berorientasi pada kepatuhan regulasi (compliance-driven), banyak prosedur formal tetapi kurang fleksibel dalam inovasi.
-
Australia: Lebih terintegrasi dalam pendekatan manajemen risiko, tetapi ketergantungan pada kapasitas organisasi (terutama perusahaan besar).
Faktor ukuran organisasi ternyata menjadi variabel pengganggu (confounding variable) yang signifikan. Perusahaan besar di kedua negara cenderung memiliki sistem K3 lebih matang, terlepas dari regulasi yang berlaku.
H2: Kritik atas Metodologi dan Logika Penalaran
H3: Penggunaan Analisis Sekunder
Kim banyak mengandalkan data sekunder untuk studi di Korea (data biomonitoring historis). Ini efisien secara logistik, namun membuka celah bias:
-
Tidak ada kontrol langsung terhadap metode pengambilan data.
-
Validitas internal sulit dijamin karena data dikumpulkan untuk tujuan administratif, bukan penelitian.
H3: Ketidakseimbangan Desain Studi
Studi di Australia melibatkan survei, wawancara, dan monitoring langsung, sedangkan data di Korea lebih bersifat kuantitatif dan administratif. Ini membuat komparasi antarnegara menjadi asimetris.
H3: Pembobotan Terhadap Persepsi Pekerja
Penilaian efektivitas K3 di layanan gigi, misalnya, sangat bergantung pada persepsi pekerja. Meskipun valid secara sosiologis, bobot data subjektif perlu diseimbangkan dengan ukuran objektif dan triangulasi data yang lebih ketat.
H3: Terbatasnya Generalisasi
Penelitian difokuskan pada industri logam berat dan tidak bisa langsung digeneralisasikan ke sektor industri lain. Namun Kim cukup sadar akan keterbatasan ini dan menyampaikan refleksi kritis terhadap ruang lingkup penelitiannya sendiri di bab akhir.
H2: Kontribusi Ilmiah dan Refleksi Konseptual
H3: Legislasi sebagai Determinan Sistemik
Kontribusi utama dari tesis ini terletak pada penggambaran hubungan kausal antara model legislasi dan desain sistem manajemen K3. Ini bukan hanya analisis peraturan, tetapi pemetaan struktural atas bagaimana kerangka hukum membentuk arsitektur sistem manajemen risiko.
H3: Menyoroti Peran Ukuran Organisasi
Kim secara konseptual membongkar satu variabel yang sering diabaikan dalam studi regulasi: ukuran organisasi. Perusahaan kecil cenderung tidak memiliki kapasitas untuk menerjemahkan fleksibilitas legislasi berbasis kinerja menjadi sistem efektif. Di sisi lain, pendekatan preskriptif cenderung memberi ‘kerangka kerja siap pakai’ bagi mereka.
H3: Nuansa dalam Efektivitas Legislasi
Tesis ini menolak dikotomi hitam-putih antara pendekatan preskriptif dan berbasis kinerja. Keduanya bisa efektif—dengan prasyarat yang berbeda. Pendekatan berbasis kinerja memerlukan budaya organisasi yang matang, kapasitas internal, dan partisipasi pekerja. Pendekatan preskriptif, meskipun kaku, lebih dapat diandalkan dalam konteks di mana kapasitas organisasi masih lemah.
H2: Implikasi Ilmiah dan Potensi Lanjutan
Penelitian Kim membuka ruang baru untuk studi komparatif lintas negara tentang dampak regulasi terhadap sistem manajemen risiko. Ia menunjukkan bahwa efektivitas tidak semata pada isi regulasi, tetapi pada:
-
Kesesuaian dengan konteks budaya dan kapasitas organisasi.
-
Kemampuan negara untuk menciptakan sistem pelaporan dan pengawasan yang adaptif.
-
Partisipasi pekerja sebagai indikator keberhasilan implementasi sistem K3.
Studi ini bisa menjadi dasar pengembangan kebijakan publik K3 di negara berkembang yang sedang mempertimbangkan pergeseran dari pendekatan preskriptif menuju sistem berbasis kinerja.
Link resmi paper: Karena ini adalah tesis PhD dari Queensland University of Technology (2004), versi resminya dapat diakses melalui repositori universitas: https://eprints.qut.edu.au/ — silakan cari berdasarkan judul “The Role of Legislation in Driving Good Occupational Health and Safety Management Systems” oleh Jeong-ah Kim.