Lebih dari Sekadar 'Hijau': 3 Rahasia Konstruksi Berkelanjutan yang Akan Mengubah Cara Anda Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

21 Oktober 2025, 15.22

Lebih dari Sekadar 'Hijau': 3 Rahasia Konstruksi Berkelanjutan yang Akan Mengubah Cara Anda Bekerja

I. Pencarian Saya akan Cetak Biru yang Lebih Baik

Saya pernah berdiri di depan sebuah proyek konstruksi besar di pusat kota, menyesap kopi pagi sambil mengamati kesibukan para pekerja. Namun, ada satu hal yang mengusik saya. Di sudut area proyek, sebuah kontainer raksasa terus-menerus diisi dengan tumpukan material yang tampak masih sangat layak: potongan kayu balok, sisa gulungan kabel, bahkan beberapa lembar papan gipsum yang hanya terpotong sedikit. Hati saya mencelos. "Pasti ada cara yang lebih baik," pikir saya. Tapi, seperti apa persisnya "cara yang lebih baik" itu?

Pertanyaan itu menghantui saya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya saya menemukan sebuah paper penelitian yang terasa seperti peta harta karun. Judulnya, "Sustainability in Construction Projects: A Systematic Literature Review," mungkin terdengar kering, tapi isinya adalah sebuah pencerahan. Para peneliti di baliknya tidak hanya memberikan opini; mereka memetakan seluruh lanskap pemikiran tentang konstruksi berkelanjutan.

Bayangkan para peneliti ini sebagai kartografer langit. Mereka mengumpulkan setiap studi penting tentang konstruksi berkelanjutan yang terbit sejak 2015, memperlakukannya seperti bintang di galaksi. Dengan perangkat lunak canggih, mereka menarik garis antara bintang-bintang yang membahas konsep serupa. Perlahan tapi pasti, tiga konstelasi atau gugusan ide raksasa mulai terbentuk—tiga pilar utama yang mendefinisikan seluruh alam semesta tantangan ini.1

Peta ini mengungkap sebuah konflik inti yang sering kita abaikan. Di satu sisi, industri konstruksi adalah mesin ekonomi global yang luar biasa, menyumbang 13% dari PDB dunia.1 Di sisi lain, ia adalah salah satu kontributor terbesar masalah lingkungan, bertanggung jawab atas 36% penggunaan energi global dan 39% emisi karbon dioksida ($CO_{2}$).1 Ini bukan sekadar soal menjadi "hijau"; ini tentang mendamaikan dua kekuatan dahsyat yang tampaknya saling bertentangan.

Dalam tulisan ini, saya akan mengajak Anda menjelajahi tiga "konstelasi" yang ditemukan para peneliti. Tiga pilar ini mengungkap rahasia-rahasia fundamental yang akan mengubah cara kita berpikir tentang membangun masa depan.

II. Wahyu Pertama: Jika Anda Tidak Bisa Menghitung Skornya, Anda Hanya Sedang Latihan

Gugusan ide pertama yang ditemukan para peneliti adalah tentang sesuatu yang terdengar mendasar, tapi ternyata sangat krusial: Evaluasi dan Pengukuran. Sebagian besar penelitian di bidang ini ternyata tidak fokus pada teknologi canggih, melainkan pada upaya untuk mendefinisikan dan mengukur apa arti "keberlanjutan" dalam sebuah proyek.1 Istilah-istilah seperti "indikator kinerja utama" (key performance indicators), "penilaian" (assessment), dan "kinerja keberlanjutan" (sustainability performance) menjadi pusat dari konstelasi ini.1

Ini membawa kita pada wahyu pertama: Apa yang tidak bisa diukur, tidak bisa dikelola.

Fitbit untuk Gedung

Bayangkan Anda ingin "menjadi lebih sehat". Tujuan itu terlalu kabur. Anda tidak akan masuk ke gym dan sekadar "berusaha bugar". Anda akan melacak kemajuan dengan angka-angka konkret: jumlah langkah, kalori yang terbakar, berat yang diangkat, jam tidur.

Para peneliti menemukan bahwa orang-orang terpintar di industri konstruksi sedang mencoba melakukan hal yang sama untuk proyek mereka. Mereka beralih dari janji-janji samar seperti "bangunan ramah lingkungan" ke metrik yang jelas. Mereka sedang menciptakan Fitbit untuk gedung.

Paper ini mengingatkan kita pada konsep klasik Triple Bottom Line—tiga pilar yang harus seimbang: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Saya suka menjelaskannya seperti ini:

  • Ekonomi: Apakah proyek ini masuk akal secara finansial sepanjang siklus hidupnya, bukan hanya pada hari pertama peresmian?

  • Lingkungan: Apakah proyek ini mengurangi dampak buruk terhadap planet dalam hal energi, air, dan limbah?

  • Sosial: Apakah proyek ini meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang menggunakannya dan masyarakat di sekitarnya?

Pilar "sosial" sering kali menjadi yang paling abstrak, tetapi paper ini memberikan contoh nyata yang menusuk. Di Arab Saudi, investasi miliaran dolar dalam industri konstruksi ternyata tidak selalu menciptakan banyak lapangan kerja lokal atau mengembangkan keterampilan profesional.1 Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan dan basis keterampilan nasional tidak berkembang. Ini adalah kegagalan sosial yang nyata, sebuah pengingat bahwa bangunan megah tidak ada artinya jika komunitas di sekitarnya tidak ikut terangkat.

Paradoks Pengukuran

Di sinilah letak sebuah pemahaman yang lebih dalam. Tantangan sebenarnya bukanlah menemukan satu metrik yang sempurna, melainkan menumbuhkan budaya bertanya dan berkomunikasi.

Para peneliti menyoroti berbagai sistem evaluasi yang sedang dikembangkan, mulai dari model akademis yang sangat kompleks hingga indeks yang lebih sederhana seperti CSIP (Composite Sustainability Index of a Project).1 Namun, mereka juga dengan bijak memperingatkan bahwa mereduksi keberlanjutan menjadi satu angka tunggal "berisiko kehilangan beberapa nilai esensial".1 Ini adalah sebuah ketegangan fundamental.

Bukti kuncinya datang dari studi kasus Scarborough Beach Pool di Australia.1 Kesuksesan proyek ini bukan hanya pada peringkat akhir "bintang 6" yang mereka raih. Kesuksesan sesungguhnya terletak pada proses—sebuah "tinjauan desain sementara" yang mengidentifikasi potensi untuk berbuat lebih baik. Dan yang terpenting, kemampuan tim proyek untuk mengomunikasikan kemenangan teknis tersebut (seperti pemanasan panas bumi dan penggunaan air hujan) dengan cara yang dapat dipahami dan dirayakan oleh publik.

Ini menunjukkan bahwa tujuan pengukuran bukan sekadar untuk menghasilkan rapor. Tujuannya adalah menyediakan informasi untuk membuat keputusan yang lebih baik selama proyek berlangsung, dan untuk menceritakan kisah yang menarik tentang nilai proyek tersebut setelah selesai. Fokusnya harus bergeser dari skor itu sendiri ke percakapan yang dimungkinkan oleh skor tersebut.

  • 🚀 Gagasan Utamanya: Keberlanjutan bukanlah perasaan; ini adalah serangkaian hasil yang terukur. Sebelum memulai proyek, definisikan seperti apa "kemenangan" itu di seluruh lini ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  • 🧠 Nüansanya: Jangan terobsesi dengan satu skor tunggal. Gunakan metrik untuk memicu percakapan, menantang asumsi, dan menceritakan dampak sejati dari proyek Anda.

III. Tali Titian Manajer Proyek: Menyeimbangkan Anggaran Hari Ini dengan Planet Esok Hari

Jika gugusan pertama adalah tentang "apa" yang harus diukur, gugusan kedua menyelami "bagaimana" hal itu diwujudkan di lapangan. Konstelasi ini berpusat pada Manajemen Proyek untuk Keberlanjutan, dan ia mengungkap sebuah dilema yang dihadapi setiap praktisi.

Paper ini menyoroti adanya "ketegangan yang melekat" antara batasan proyek jangka pendek (waktu, biaya, ruang lingkup) dan tujuan keberlanjutan jangka panjang.1 Bayangkan Anda seorang manajer proyek. Anda dihadapkan pada dua pilihan: menggunakan material daur ulang yang lebih mahal dan butuh waktu pengiriman lebih lama, atau material standar yang murah, cepat, tapi tidak ramah lingkungan. Sementara itu, klien dan atasan Anda menuntut proyek selesai tepat waktu dan sesuai anggaran. Ini bukan pilihan teoretis; ini adalah pertarungan sehari-hari di lapangan.

Di sinilah saya menemukan temuan yang paling mengejutkan, sebuah bom waktu senyap dalam laporan ini. Para peneliti menunjukkan bahwa dua kerangka kerja manajemen proyek paling berpengaruh di dunia, PMBOK dan PRINCE2, ternyata "relatif diam mengenai pengelolaan keberlanjutan".1

Keheningan Kerangka Kerja

Ini adalah sebuah pengungkapan yang luar biasa. Artinya, "kitab suci" yang digunakan untuk melatih dan mensertifikasi jutaan manajer proyek di seluruh dunia tidak memberikan panduan yang memadai tentang salah satu tantangan terbesar di zaman kita. Paper ini juga menemukan bahwa jurnal-jurnal manajemen proyek terkemuka jauh lebih sedikit menerbitkan artikel tentang topik ini dibandingkan jurnal keberlanjutan, yang menandakan bahwa bidang ini tertinggal.1

Akibatnya, terciptalah sebuah kekosongan profesional. Seorang manajer proyek dinilai dan digaji berdasarkan kemampuannya mengelola "segitiga besi": waktu, biaya, dan ruang lingkup. Keberlanjutan sering kali dianggap sebagai tambahan, sesuatu yang "baik untuk dimiliki" tetapi bukan keharusan.

Maka, ketika konflik muncul—seperti pilihan material yang saya sebutkan tadi—sistem secara inheren dirancang untuk memprioritaskan segitiga besi. Mendorong pilihan yang berkelanjutan menjadi tindakan pemberontakan kecil terhadap kerangka kerja profesional yang sudah mapan. Ini menjelaskan mengapa paper ini kemudian menemukan bahwa "perilaku kewarganegaraan proyek" (project citizenship behavior)—inisiatif individu—menjadi sangat krusial.1 Sistemnya gagal, sehingga individu harus turun tangan untuk menyelamatkannya. Ini bukanlah model perubahan yang bisa diandalkan dalam jangka panjang.

Temuan ini adalah sebuah kritik halus namun tajam. Ini menunjukkan bahwa alat yang kita berikan kepada para pembangun masa depan ternyata terjebak di masa lalu. Ini seperti meminta seseorang untuk merakit mobil listrik otonom menggunakan buku manual perbaikan dari tahun 1980-an. Masalahnya bukan hanya pada proyek individu, tetapi pada seluruh sistem operasi profesi ini.

Ketika panduan resmi diam, para profesional harus mencari pengetahuan untuk diri mereka sendiri. Di sinilah pelatihan khusus menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan antara kerangka kerja yang usang dan tantangan modern. Kursus seperti yang ada di (https://diklatkerja.com) menjadi vital untuk membekali para manajer proyek dengan pola pikir dan alat yang tidak ada dalam panduan resmi.

IV. Arus Tak Terlihat: Apa yang Sebenarnya Mendorong Proyek Menjadi Lebih Baik

Gugusan ide ketiga dan terakhir adalah tentang Pendorong Konstruksi Berkelanjutan. Jika kita sudah tahu apa yang harus diukur dan memahami dilema yang dihadapi para praktisi, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang sebenarnya memotivasi perubahan?

Para peneliti mengidentifikasi berbagai faktor pendorong. Saya suka membayangkannya seperti arus di lautan.

Beberapa pendorong adalah arus permukaan—jelas, kuat, dan terlihat oleh semua orang. Ini adalah peraturan pemerintah, tuntutan klien untuk sertifikasi "bangunan hijau", atau standar seperti ISO 14000.1 Anda harus menavigasi arus ini.

Namun, analisis dalam paper ini mengungkap adanya arus yang lebih dalam, lebih kuat, dan sering kali tak terlihat: arus perilaku manusia di dalam tim proyek itu sendiri.

Pergeseran Kekuatan: Dari Atas ke Bawah Menjadi dari Bawah ke Atas

Secara konvensional, kita berpikir bahwa perubahan didorong dari atas: regulasi yang lebih ketat, permintaan pasar, atau mandat dari dewan direksi. Semua itu penting. Namun, paper ini memberikan porsi analisis yang signifikan pada dampak dari "perilaku proaktif individu" dan "hubungan interpersonal" di dalam tim.1

Para peneliti membuat klaim yang sangat penting: perilaku individu ini menjadi sangat penting terutama ketika indikator teknis saja tidak cukup untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Artinya, kecerdikan, kolaborasi, dan inisiatif manusia adalah solusi terakhir yang menentukan keberhasilan.

Ini mengubah peran kepemimpinan secara fundamental. Tugas seorang manajer bukan lagi sekadar memastikan daftar periksa keberlanjutan tercentang (kepatuhan). Tugasnya adalah menciptakan kondisi di mana "perilaku menolong, kepatuhan berbasis proyek, mengambil alih tanggung jawab, dan inisiatif pribadi" dapat berkembang.1 Ini adalah pergeseran dari manajemen menjadi pemberdayaan. Ini tentang budaya, bukan hanya kontrol.

V. Membangun Fondasi Baru, Dimulai Hari Senin

Perjalanan kita melintasi peta penelitian ini telah mengungkap tiga wahyu fundamental yang mengubah cara kita memandang konstruksi berkelanjutan. Ini bukan lagi hanya tentang panel surya atau atap hijau. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam.

  1. Mulai dengan Papan Skor: Jangan hanya bertujuan untuk menjadi "berkelanjutan". Tentukan apa yang akan Anda ukur. Kejelasan adalah langkah pertama menuju perubahan.

  2. Akui Adanya Tali Titian: Sadari bahwa alat profesional kita mungkin tertinggal. Secara aktif, carilah pengetahuan dan kerangka kerja untuk menavigasi ketegangan antara tuntutan jangka pendek dan nilai jangka panjang.

  3. Nyalakan Ruang Mesin: Pahami bahwa perubahan sejati datang dari bawah ke atas. Aset Anda yang paling berharga adalah budaya tim yang mendorong pemecahan masalah secara proaktif.

Ini mungkin terdengar besar dan kompleks, tetapi perubahan selalu dimulai dengan langkah kecil. Berikut adalah tiga pertanyaan yang bisa Anda bawa ke tempat kerja Anda, terinspirasi langsung dari temuan paper ini:

  1. Terinspirasi oleh Gugus 1: "Jika kita harus membuat 'skor keberlanjutan' untuk proyek kita saat ini, tiga metrik apa yang akan kita pilih dan mengapa?"

  2. Terinspirasi oleh Gugus 2: "Di mana letak ketegangan terbesar antara 'cara lama yang biasa kita lakukan' dan pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pekerjaan kita?"

  3. Terinspirasi oleh Gugus 3: "Satu hal apa yang bisa saya lakukan minggu ini untuk mempermudah anggota tim menyarankan cara baru yang lebih baik dalam melakukan sesuatu?"

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari detail luar biasa dalam penelitian ini. Ini adalah peta yang akan memberi lebih banyak hadiah bagi mereka yang mau menjelajahinya lebih dalam. Jika Anda siap melihat lanskap penuh dan menyelami datanya sendiri, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.3390/su13041932)