Krisis Tenaga Ahli di Afrika Selatan: Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kekurangan Tukang Bangunan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

19 September 2025, 06.37

unsplash.com

xBukan Soal Jumlah, Melainkan Soal Kualitas dan Kualifikasi

Afrika Selatan, sebuah negara dengan kekayaan sumber daya dan ambisi besar, menghadapi paradoks yang membingungkan dalam sektor konstruksi. Di satu sisi, pemerintah telah mengucurkan investasi besar untuk proyek-proyek infrastruktur, dengan total mencapai R372 miliar sebagai bagian dari program Accelerated and Shared Growth Initiative.1 Pembangunan ini semakin diintensifkan dengan proyek-proyek skala besar yang menyertai ajang global seperti

Piala Dunia 2010 1, menciptakan lonjakan permintaan terhadap tenaga kerja. Namun, di sisi lain, industri konstruksi terus-menerus mengeluhkan kelangkaan tenaga kerja terampil yang parah. Fenomena ini terasa lebih aneh mengingat tingginya tingkat pengangguran pemuda di seluruh negeri, sebuah fakta yang seolah bertolak belakang dengan kebutuhan industri yang sangat besar.1

Melihat ketidaksesuaian yang mencolok ini, sebuah penelitian mendalam dilakukan untuk membongkar akar masalahnya. Hasilnya tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengubah total pemahaman kita tentang krisis tenaga kerja di sektor ini. Laporan ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah kelangkaan tenaga kerja secara harfiah—karena sebenarnya ada banyak orang yang mencari pekerjaan 1—melainkan kelangkaan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi, yaitu "tukang ahli yang berkualitas dan bersertifikat".1 Penelitian ini secara spesifik menyoroti bahwa kekurangan paling akut terjadi pada profesi-profesi yang sifatnya lebih teknis, seperti tukang listrik, tukang pipa, tukang las, dan tukang kayu, yang sangat bergantung pada pelatihan formal dan sertifikasi.1

Apa yang sebenarnya terjadi di balik data ini? Mengapa sertifikasi menjadi "gerbang" yang begitu krusial? Dan yang paling penting, mengapa temuan ini memiliki dampak yang jauh lebih besar dari sekadar masalah tenaga kerja di satu sektor? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri kisah di balik angka-angka yang disajikan dalam penelitian, menggali hubungan sebab-akibat yang tersembunyi, dan memahami mengapa solusi yang ada saat ini tidak cukup untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks ini.

 

Mengapa Tukang Listrik Lebih Langka daripada Tukang Bata?

Data dari penelitian ini memaparkan gambaran yang sangat jelas tentang jenis tenaga kerja terampil yang paling sulit ditemukan di industri konstruksi. Dalam survei yang dilakukan terhadap para kontraktor, para responden mengungkapkan bahwa mereka mengalami kesulitan terbesar dalam mencari tukang kayu, yang menduduki peringkat pertama dalam daftar kelangkaan.1 Kelangkaan yang parah juga dialami untuk tukang pasang (fitters), tukang listrik, dan tukang pipa, yang menempati posisi teratas berikutnya.1 Angka-angka ini menjadi cerita yang hidup ketika dibandingkan dengan betapa mudahnya mencari tenaga kerja untuk pekerjaan yang kurang teknis, seperti tukang batu, tukang plester, atau tukang cat, yang berada di peringkat terbawah dalam daftar kelangkaan.1

Hubungan yang mencolok muncul ketika kita meninjau temuan kelangkaan ini dengan persyaratan sertifikasi. Hampir 9 dari 10 perusahaan, atau tepatnya 88% dari responden, menyatakan bahwa mereka mensyaratkan sertifikasi bagi tukang listrik sebelum mempekerjakan mereka.1 Persyaratan serupa juga berlaku untuk profesi teknis lainnya, dengan 67% perusahaan mensyaratkan sertifikasi untuk tukang pipa dan 65% untuk tukang las.1 Kontrasnya, hanya sekitar seperlima perusahaan, atau 19%, yang mensyaratkan sertifikasi untuk tukang batu, dan angka ini semakin menurun untuk tukang cat, di mana hanya 8% perusahaan yang memintanya.1

Analisis statistik yang lebih mendalam semakin mengukuhkan hubungan ini. Dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman's rho 1, penelitian ini menemukan bahwa nilai rho yang diamati adalah 0.75.1 Angka ini membuktikan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kebutuhan akan sertifikasi dan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang dirasakan.1 Hubungan ini begitu kuat, seolah-olah kebutuhan akan sertifikasi dan kelangkaan tenaga ahli berjalan beriringan seperti bayangan yang tak terpisahkan.

Dari sini, terlihat jelas bahwa masalahnya bukanlah ketersediaan individu yang bersedia bekerja, melainkan ketersediaan individu yang dapat membuktikan keahliannya melalui sertifikasi formal. Permintaan akan pekerja teknis seperti tukang listrik dan tukang pipa meningkat seiring dengan proyek-proyek infrastruktur modern, yang secara inheren membutuhkan keahlian yang terverifikasi demi alasan keselamatan dan presisi. Verifikasi ini, dalam bentuk sertifikasi formal, menjadi sebuah "gerbang" yang sempit. Semakin tinggi persyaratan sertifikasi, semakin sedikit orang yang dapat memenuhi syarat, yang secara langsung menciptakan kelangkaan, meskipun mungkin ada banyak individu yang telah memiliki pengalaman praktis. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada ketersediaan tenaga kerja, tetapi pada kemampuan untuk memverifikasi dan mengakui keahlian tersebut.

 

Cerita di Balik Data: Kualitas yang Tak Terbantahkan

Penelitian ini tidak hanya berhenti pada masalah kelangkaan dan sertifikasi, tetapi juga mengkaji dampak nyata dari ketiadaan sertifikasi terhadap kualitas hasil kerja. Hasil survei menunjukkan bahwa ada "perbedaan yang sangat tinggi" dalam kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh tukang listrik, tukang pipa, dan tukang las yang bersertifikasi dibandingkan dengan yang tidak.1 Data ini seolah menjadi justifikasi bagi para kontraktor untuk sangat mengutamakan sertifikasi. Mereka berinvestasi pada pekerja bersertifikasi karena mereka yakin akan mendapatkan hasil yang konsisten dan berkualitas tinggi, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya pengerjaan ulang dan memastikan keselamatan di lokasi kerja.1

Untuk memahami lebih dalam, hasil wawancara dengan para kontraktor menambahkan lapisan wawasan yang penting. Seorang responden dari perusahaan besar mengungkapkan bahwa perusahaan seperti miliknya idealnya memiliki "kolam" pekerja terampil yang dipekerjakan secara permanen. Namun, ia juga mengakui bahwa perusahaan sering menggunakan broker tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja jangka pendek dan untuk proyek-proyek spesifik.1 Walaupun demikian, perusahaan tetap membutuhkan pekerja inti yang bersertifikasi untuk memastikan kualitas dan konsistensi pekerjaan mereka, karena hal ini secara langsung memengaruhi profitabilitas perusahaan.1 Ini menunjukkan bahwa sertifikasi tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai sebuah "mekanisme kualitas dan kepercayaan" yang vital di industri yang menuntut presisi dan memegang risiko tinggi.

Dengan demikian, studi ini menyiratkan bahwa sertifikasi berfungsi sebagai jaminan kualitas dan mengurangi risiko bagi perusahaan. Tanpa sertifikasi, perusahaan menghadapi ketidakpastian tinggi terkait kualitas pekerjaan, yang dapat menyebabkan kerugian finansial. Ini menjelaskan mengapa para kontraktor bersedia menghadapi kesulitan dalam mencari pekerja bersertifikasi, karena bagi mereka, risiko yang lebih besar adalah mempekerjakan pekerja yang tidak terverifikasi keahliannya. Kurangnya sertifikasi menyebabkan ketidakmampuan untuk memverifikasi keahlian secara objektif, yang pada gilirannya mendorong perusahaan untuk hanya mengandalkan pekerja inti bersertifikasi. Hal ini memperburuk kelangkaan yang sudah ada, menciptakan sebuah siklus yang sulit diputus.

 

Menggali Akar Masalah: Mengapa Jalan Menuju Sertifikasi Begitu Sulit?

Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Di balik masalah sertifikasi, terdapat faktor-faktor yang lebih dalam dan saling terkait yang menjadi penyebab utama kelangkaan tenaga kerja terampil. Berdasarkan survei terhadap para kontraktor, faktor-faktor yang paling dominan dalam menciptakan kelangkaan tenaga kerja adalah kurangnya pendidikan dasar yang berkualitas, kondisi ekonomi, dan persyaratan sertifikasi wajib.1

Mari kita bedah keterkaitan di antara faktor-faktor ini. Kurangnya pendidikan dasar yang baik dapat menghambat individu untuk masuk ke lembaga pendidikan dan pelatihan formal seperti perguruan tinggi kejuruan 1, yang merupakan jalan utama untuk mendapatkan sertifikasi. Kondisi ini ironis, karena sistem pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Lebih jauh lagi, salah satu responden wawancara mengungkapkan bahwa "hanya sedikit orang yang bersertifikat" karena kurangnya "pusat pelatihan yang diakui dan memiliki standar tinggi".1 Ini adalah kritik realistis terhadap infrastruktur pelatihan yang ada, yang gagal menyediakan jalan yang jelas dan efektif bagi para calon pekerja untuk mendapatkan keahlian yang dibutuhkan.

Masalah ini adalah sebuah lingkaran setan. Sistem pendidikan dasar yang lemah menghasilkan lulusan yang tidak siap untuk pelatihan teknis formal. Tanpa pelatihan ini, mereka tidak bisa mendapatkan sertifikasi yang diakui. Tanpa sertifikasi, mereka dianggap tidak terampil oleh industri, meskipun mungkin telah bertahun-tahun bekerja secara informal di lapangan. Ini menciptakan jurang yang lebar antara "ketersediaan" tenaga kerja dan "kualifikasi" yang dibutuhkan industri. Di saat yang sama, kondisi ekonomi yang tidak stabil menciptakan "siklus" di mana industri mengalami pasang surut. Saat resesi, perusahaan terpaksa melakukan perampingan atau bahkan bangkrut, menyebabkan pekerja terampil beralih ke sektor lain.1 Ketika ekonomi pulih, para pekerja ini enggan kembali ke industri konstruksi, memperburuk kelangkaan yang sudah ada.1 Kombinasi dari faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan tenaga kerja terampil yang stabil dan berkelanjutan.

 

Jalan Keluar Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Kokoh

Menghadapi masalah yang sistemik ini, penelitian menawarkan sebuah jalan keluar yang pragmatis dan inovatif. Daripada hanya berfokus pada pelatihan pekerja baru (yang membutuhkan waktu bertahun-tahun), studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah Afrika Selatan untuk membuat sebuah "kerangka kerja" yang proaktif.1 Kerangka ini bertujuan untuk mengevaluasi, mensertifikasi, dan menilai keahlian yang telah diperoleh pekerja secara informal melalui pengalaman bertahun-tahun di lokasi kerja.1

Mengapa solusi ini begitu penting? Kerangka ini akan menjembatani kesenjangan antara pengalaman praktis dan pengakuan formal. Ini membuka jalan bagi ribuan pekerja yang saat ini dianggap "tidak terampil" oleh industri, untuk diakui secara resmi dan mengisi kekosongan tenaga ahli. Ini adalah sebuah perubahan paradigma dari "melatih pekerja baru" menjadi "mengakui dan memverifikasi keahlian yang sudah ada di lapangan." Pendekatan ini adalah solusi yang jauh lebih cepat dan efisien untuk mengatasi kelangkaan dalam jangka pendek hingga menengah.

Jika diterapkan, pasokan tenaga ahli bersertifikasi akan meningkat secara signifikan. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja yang terverifikasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur yang dibangun. Di sisi lain, para pekerja akan mendapatkan pengakuan formal yang dapat meningkatkan pendapatan dan prospek karier mereka. Ini adalah sebuah solusi yang akan menciptakan situasi saling menguntungkan bagi pekerja maupun industri, serta memberikan stabilitas jangka panjang bagi sektor konstruksi. Selain itu, penelitian juga merekomendasikan strategi lain, seperti memberikan subsidi untuk sekolah kejuruan dan memperkuat pendidikan menengah untuk meningkatkan kemungkinan individu yang mumpuni memasuki bidang teknis.1

 

Penutup: Dampak Nyata dan Masa Depan yang Menjanjikan

Pada akhirnya, penelitian ini bukan hanya tentang kekurangan tukang bangunan. Ini adalah cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi oleh banyak negara berkembang: bagaimana menjembatani kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dan kebutuhan industri yang semakin teknis. Jika rekomendasi utama dari studi ini, yaitu kerangka kerja untuk mengakui keahlian informal, diterapkan secara nasional, temuan ini bisa mengubah wajah industri konstruksi Afrika Selatan. Pengakuan atas keahlian yang sudah ada dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur publik dalam waktu lima tahun.

Studi ini adalah sebuah panggilan untuk bertindak, tidak hanya bagi industri konstruksi, tetapi juga bagi pemerintah dan sistem pendidikan. Ini menekankan pentingnya sistem pendidikan dasar yang kuat, peran sertifikasi sebagai jaminan kualitas, dan perlunya pemerintah untuk beradaptasi dengan realitas pasar tenaga kerja yang terus berubah. Mengatasi masalah ini berarti membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan peluang yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

 

Sumber Artikel:

Windapo, A. O. (2016). Skilled labour supply in the South African construction industry: The nexus between certification, quality of work output and shortages. SA Journal of Human Resource Management14(1), 1-8.