Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis dengan populasi terbesar keempat di dunia, dihadapkan pada sebuah paradoks lingkungan yang kian mendesak. Meskipun dianggap kaya sumber air, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan menghadapi tantangan kelangkaan air bersih yang meningkat, diperburuk oleh kontaminasi internal yang masif. Laporan teknis yang meninjau karakteristik dan sistem pengolahan air kelabu (greywater) di Indonesia ini mengungkap bahwa biang keladi pencemaran sungai dan sumber air baku bukanlah limbah industri yang terekspos, melainkan limbah domestik sehari-hari yang sering diabaikan.
Berdasarkan analisis mendalam, diperkirakan air limbah domestik berkontribusi hingga 70% dari beban organik di sungai-sungai perkotaan Indonesia.1 Mayoritas dari beban ini, sekitar 50% hingga 80% dari total air limbah rumah tangga, berasal dari greywater—air yang dihasilkan dari aktivitas mandi, mencuci, dan dapur.1 Air yang terlihat relatif ‘bersih’ ini, karena dibuang tanpa pengolahan, mengalir langsung ke drainase kota dan kemudian ke sistem perairan alami, meningkatkan biaya produksi air bersih dan menimbulkan kerugian ekonomi triliunan rupiah setiap tahun. Solusi terhadap krisis ini terletak pada sistem desentralisasi yang berbiaya rendah dan adaptif, yang dapat segera diterapkan di tingkat komunitas dan rumah tangga.
ANCAMAN YANG TERPISAH: SKALA KRISIS SANITASI DAN KEUNTUNGAN YANG TERABAIKAN
Realitas Sanitasi di Tengah Urbanisasi Cepat
Di tengah pertumbuhan populasi Indonesia yang mencapai sekitar 240 juta jiwa, upaya pembangunan infrastruktur sanitasi menghadapi tantangan struktural yang signifikan.1 Salah satu fakta paling mencolok adalah minimnya layanan sanitasi terpusat. Hanya sebelas kota besar di Indonesia yang memiliki instalasi pengolahan air limbah terpusat (Centralized Wastewater Treatment Plant), dan cakupan populasi yang terlayani oleh sistem ini hanya mencapai 2,33% dari total penduduk perkotaan.1 Selebihnya, masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan, bergantung pada sistem sanitasi on site (di lokasi), seperti tangki septik.
Meskipun data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan bahwa 77,15% penduduk memiliki akses ke sanitasi dasar, para peneliti menekankan bahwa angka ini tidak mencerminkan kualitas pengolahan limbah.1 Banyak tangki septik individual dan komunal tidak memenuhi standar atau tidak dirawat dengan baik, menyebabkan kontaminan dari blackwater (limbah toilet) maupun greywater masuk ke lingkungan.1
Di area perkotaan padat, yang mengalami peningkatan permintaan air dan potensi kontaminasi yang lebih tinggi akibat urbanisasi, sebagian besar greywater dibuang langsung melalui saluran terbuka menuju badan air atau sungai tanpa perlakuan sama sekali.1 Studi di Bandung, misalnya, menunjukkan bahwa 58% responden membuang greywater ke drainase kota, dan 30% membuangnya langsung ke sungai.1 Kondisi ini diperparah oleh kualitas greywater di Indonesia yang sering dikategorikan sebagai middle hingga high strength, menuntut perhatian serius sebelum didaur ulang atau dibuang ke lingkungan.1
Keuntungan Struktural Indonesia untuk Daur Ulang
Meskipun menghadapi tantangan infrastruktur yang berat, Indonesia memiliki keunggulan struktural yang dapat dimanfaatkan untuk solusi desentralisasi. Tidak seperti negara-negara yang memiliki sistem perpipaan terintegrasi, praktik umum di Indonesia telah memisahkan greywater dan blackwater di tingkat rumah tangga.1 Biasanya, blackwater dikumpulkan menuju tangki septik, sementara greywater dicampur dengan air hujan dan dibuang ke sistem drainase.1
Pemisahan yang terjadi secara alami ini adalah aset strategis yang luar biasa. Jika greywater yang volumenya mencapai hampir 80% dari total air limbah dapat dikumpulkan secara terpisah, ia dapat diolah menggunakan teknologi yang jauh lebih sederhana dan berbiaya lebih rendah dibandingkan pengolahan air limbah total.1 Ini membuka peluang emas untuk penggunaan kembali air (daur ulang) untuk tujuan non-minum, seperti irigasi pertanian perkotaan, yang sangat penting mengingat sektor pertanian menyerap 91% dari total permintaan air tawar di Indonesia.1
BIAYA TERSEMBUNYI PENCEMARAN: LONJAKAN HARGA AIR DAN KERUGIAN TRILIUNAN
Potret Kelam Infrastruktur Mangkrak
Salah satu isu paling ironis dalam manajemen air limbah di Indonesia adalah paradoks kapasitas menganggur. Meskipun terdapat 11 instalasi pengolahan air limbah terpusat (WWTP) dengan total kapasitas $425.817 \text{ m}^3\text{/hari}$, hanya 26,5% dari kapasitas tersebut yang benar-benar digunakan.1
Penyebab utama rendahnya pemanfaatan ini bukanlah masalah teknis pabrik, melainkan biaya investasi infrastruktur penghubung yang terlalu mahal.1 Estimasi biaya investasi untuk fasilitas terpusat mencapai sekitar $200 \text{ USD}$ per kapita. Dari jumlah ini, bagian terbesar, yaitu $145 \text{ USD}$ per kapita (sekitar 72,5%), dialokasikan untuk pembangunan sistem saluran pembuangan utama (primary sewer system).1 Tingginya biaya pembangunan saluran utama ini membuat pemerintah kota kesulitan membangun sambungan rumah tangga yang cukup, yang pada akhirnya menyebabkan WWTP modern yang telah dibangun menjadi mangkrak dan tidak berfungsi optimal.1
Apa yang Mengejutkan Peneliti: Beban BOD di Sungai Perkotaan
Dampak dari kegagalan sistem terpusat dan pembuangan greywater tanpa pengolahan ini terangkum dalam data yang mengejutkan. Observasi JICA yang dilakukan pada tahun 1996 hingga 1999 terhadap 32 sungai di 26 kota menunjukkan bahwa 29 di antaranya terkontaminasi oleh Fecal Coli, BOD, COD, surfaktan, dan berbagai kontaminan lain di atas batas ambang.1 Temuan yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa hampir 60 persen dari kontaminan tersebut berasal dari air limbah domestik.1
Lebih lanjut, temuan yang mengejutkan para peneliti adalah korelasi langsung antara pencemaran sungai dan beban finansial bagi masyarakat. Sungai-sungai perkotaan yang terkontaminasi ini sering digunakan sebagai sumber air baku bagi perusahaan air minum lokal (PDAM). Kementerian Pekerjaan Umum Indonesia memiliki formula yang menunjukkan hubungan langsung antara konsentrasi BOD air baku dan biaya produksi air minum.1
Analisis mengungkapkan bahwa biaya produksi air bersih meningkat sekitar Rp 10,- (setara dengan 0,1 sen USD) per $m^3$ air untuk setiap kenaikan $1 \text{ mg/l}$ konsentrasi BOD.1 Berdasarkan tingkat BOD sungai yang diamati JICA saat itu (antara $8 \text{ mg/liter}$ hingga $32,5 \text{ mg/liter}$), dampak ekonomi langsung terhadap biaya produksi air minum berkisar antara Rp 8,- hingga Rp 325,- per $m^3$. Angka ini setara dengan 2% hingga 82% dari tarif rata-rata air bersih pada periode tersebut.1 Kenaikan biaya ini terus meningkat seiring hari, memperburuk kondisi 58% dari 343 PDAM lokal yang saat ini dikategorikan kurang sehat atau tidak sehat secara finansial dan efisiensi produksi.1
Secara makro, Studi Bank Pembangunan Asia (ADB) mempertegas kerugian masif ini, menyatakan bahwa kerugian ekonomi tahunan yang terkait dengan sanitasi yang tidak memadai mencapai $4,7 \text{ Miliar USD}$ per tahun, jumlah yang setara dengan sekitar 2% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.1 Kerugian kolektif ini merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan berinvestasi secara memadai. Investasi infrastruktur sanitasi saat ini hanya sekitar $3 \text{ USD cents}$ per kapita/tahun, jauh di bawah angka ideal $5,2 \text{ USD}$ per kapita/tahun yang diperlukan untuk mencegah kerugian tersebut.1
SOLUSI LOKAL DAN INOVASI TEKNOLOGI DESENTRALISASI
Mengingat tingginya biaya dan minimnya cakupan sistem terpusat, solusi desentralisasi berbiaya rendah menjadi kunci. Dua teknologi utama telah diuji coba secara luas di Indonesia: Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland atau CW) dan Anaerobic Baffled Reactor (ABR).
Constructed Wetland: Kemampuan Filtrasi yang Luar Biasa
Lahan basah buatan memanfaatkan proses alami, seringkali menggunakan tanaman air lokal seperti Typha angustifolia (Cattail) dan Phragmites australis (Reed) yang mudah ditemukan dan dirawat di iklim tropis.1 CW terbukti sangat menjanjikan dalam penelitian karena reduksi konsentrasi BOD dapat mencapai kisaran yang sangat tinggi, yaitu antara 60% hingga 94%.1
Untuk memberikan gambaran yang hidup mengenai efisiensi ini, reduksi konsentrasi BOD hingga 94% pada greywater yang kotor setara dengan peningkatan signifikan pada kualitas air, seperti menaikkan daya baterai ponsel Anda dari kondisi hampir mati 6% ke kondisi hampir penuh dalam satu kali pengolahan.
Efisiensi CW tidak hanya terbatas pada penghilangan materi organik. Studi kasus di Surabaya, menggunakan Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetland (HSFCW) dengan media gravel dan arang, menunjukkan keberhasilan yang mencengangkan dalam menghilangkan patogen. Sistem ini berhasil mencapai 100% penghilangan Total Coliform.1 Hasil ini menunjukkan potensi besar CW sebagai unit pemoles (polishing unit) yang efektif untuk mencapai standar air daur ulang yang ketat. Kinerja CW dapat ditingkatkan lebih lanjut melalui modifikasi media, seperti penambahan arang aktif, yang bahkan berhasil mencapai eliminasi fosfat hingga hampir 100% pada pengolahan limbah deterjen.1
Meskipun keunggulan teknisnya jelas, CW memiliki keterbatasan serius dalam konteks Indonesia: kebutuhan lahan yang besar. Dibutuhkan sekitar $1 \text{ m}^2$ hingga $2 \text{ m}^2$ lahan per orang, yang merupakan hambatan utama di kawasan perkotaan padat.1
Anaerobic Baffled Reactor: Solusi Kompak untuk Kawasan Padat
Sebagai alternatif yang mengatasi kendala lahan CW, Anaerobic Baffled Reactor (ABR) menjadi pilihan populer, terutama dalam program komunitas seperti SANIMAS.1 ABR membutuhkan ruang yang jauh lebih kecil; sebuah unit hanya memerlukan sekitar $80 \text{ m}^2$ hingga $150 \text{ m}^2$ untuk melayani sekitar 400 jiwa (100 rumah tangga).1 Keuntungan signifikan lainnya adalah fleksibilitas konstruksi ABR di bawah tanah, yang meminimalkan kontak langsung dengan air limbah, menjadikannya pilihan yang lebih disukai di area padat penduduk dengan banyak anak, dibandingkan risiko kontak pada sistem Constructed Wetland permukaan terbuka.1
Kinerja ABR terbukti optimal ketika menghadapi air limbah berkekuatan tinggi. Dalam penelitian menggunakan greywater dari hotel, ABR berhasil mencapai efisiensi reduksi Chemical Oxygen Demand (COD) hingga 87,04%.1 Efisiensi ini meningkat dengan konsentrasi COD yang lebih tinggi dan waktu detensi yang lebih lama, serta dibantu oleh penambahan filter yang menyediakan area kontak bagi mikroorganisme.1
Namun, ABR menghadapi tantangan spesifik saat mengolah greywater yang sudah dipisahkan. Konsentrasi nutrisi makro (seperti Nitrogen dan Fosfor) yang rendah dalam greywater yang dipisahkan menghambat potensi ABR untuk menghasilkan energi (metana/biogas), yang seharusnya menjadi nilai tambah utama dari proses anaerobik.1 Selain itu, sistem anaerobik juga menunjukkan kinerja yang kurang efektif dalam menghilangkan surfaktan (senyawa deterjen) dibandingkan proses aerobik.1 Oleh karena itu, pre-treatment anaerobik direkomendasikan terutama jika konsentrasi greywater tinggi, diikuti oleh perlakuan sekunder.1
TANTANGAN DAN KRITIK REALISTIS: BUDAYA, PENDANAAN, DAN STANDAR YANG KETAT
Stigma 'Air Kotor' dan Hambatan Budaya
Meskipun solusi teknologi desentralisasi tersedia dan teruji, implementasi dan replikasi sistem ini menghadapi tantangan sosial dan finansial yang mendasar. Salah satu hambatan terbesar adalah masalah penerimaan publik. Secara umum, masyarakat masih melihat air daur ulang sebagai "air kotor" (dirty water), yang menghambat inisiatif penggunaan kembali di tingkat rumah tangga atau komunitas, meskipun tujuannya non-minum.1 Strategi kampanye yang kuat dan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mengubah stigma dan perilaku ini.1
Selain itu, program sanitasi berbasis komunitas saat ini, seperti SANIMAS, masih sangat bergantung pada inisiatif dan pendanaan dari pemerintah pusat dan daerah.1 Ketergantungan ini menciptakan model yang tidak berkelanjutan, membatasi partisipasi aktif komunitas, dan menyebabkan program sporadis alih-alih replikasi mandiri.
Jerat Tarif Rendah dan Standar yang Tak Realistis
Kritik realistis lain berpusat pada model ekonomi sektor air limbah. Sektor ini dianggap tidak menguntungkan (non-profitable), sehingga tarif layanan air limbah sangat rendah, bahkan gratis di beberapa kota.1 Konsekuensinya, biaya operasional dan pemeliharaan (O&M) instalasi pengolahan, termasuk sistem berbiaya rendah, menjadi mustahil untuk dipenuhi tanpa subsidi tahunan dari anggaran kota.1 Hal ini menciptakan siklus ketergantungan dan inefisiensi.
Di sisi regulasi, Indonesia juga menerapkan standar kualitas air yang dikritik karena terlalu ketat dan tidak realistis. Standar yang berlaku hampir menyerupai kualitas air minum untuk beberapa parameter. Standar yang sangat tinggi ini menyulitkan teknologi pengolahan berbiaya rendah untuk memenuhinya dan secara signifikan menghambat adopsi greywater daur ulang untuk tujuan non-minum yang vital, seperti irigasi.1 Padahal, daur ulang air limbah untuk irigasi, yang merupakan pengguna air terbesar, adalah kunci ketahanan air nasional.
Risiko Kesehatan dalam Daur Ulang Terbatas
Meskipun ada manfaat lingkungan dan ekonomi, penggunaan kembali greywater yang diolah harus diiringi kesadaran risiko kesehatan. Greywater, meskipun diolah, masih mengandung potensi patogen dari kontaminasi feses, penanganan makanan, atau patogen oportunistik.1 Kontaminan kimia, seperti surfaktan, boron, dan garam, juga dapat mempengaruhi karakteristik tanah dan merusak vegetasi jika digunakan untuk irigasi tanpa pengawasan yang memadai.1
Oleh karena itu, daur ulang greywater harus difokuskan pada aplikasi irigasi dengan akses terbatas (misalnya, kebun yang tidak menghasilkan tanaman yang dimakan mentah), dan selalu diperlukan pra-perlakuan di tangki pengendap untuk mencegah penyumbatan, terutama pada sistem CW.1
DAMPAK MASA DEPAN DAN REKOMENDASI AKSI NYATA
Pengelolaan greywater merupakan isu kebijakan lingkungan yang menuntut reformasi holistik. Tantangan di Indonesia bukanlah pada kurangnya teknologi, melainkan pada integrasi kebijakan, pendanaan, dan perubahan perilaku masyarakat. Diperlukan sebuah cetak biru nasional yang mengintegrasikan secara sinergis keunggulan ruang ABR dan efisiensi pengolahan CW, didukung oleh skema pembiayaan O&M yang realistis.
Faktor pemisahan greywater yang sudah menjadi kebiasaan di perkotaan Indonesia adalah peluang luar biasa yang harus segera ditindaklanjuti. Jika pemanfaatan keunggulan struktural ini dapat didorong melalui solusi desentralisasi yang mandiri, potensi dampaknya terhadap ekonomi dan kesehatan masyarakat sangat besar.
Pernyataan Dampak Nyata (Proyeksi Lima Tahun)
Jika Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menutup celah investasi sanitasi dan mencapai investasi ideal $5,2 \text{ USD}$ per kapita/tahun, alih-alih $3 \text{ USD cents}$ saat ini, kerugian ekonomi yang saat ini mencapai $4,7 \text{ Miliar USD}$ per tahun dapat dikendalikan. Melalui pengurangan beban organik sungai sebesar 70% yang dimungkinkan oleh pengolahan greywater, biaya operasional PDAM akan berkurang secara drastis, biaya kesehatan dapat diturunkan antara 6% hingga 19%, dan waktu produktif masyarakat dapat meningkat hingga 79% dalam waktu lima tahun.1
Penerapan sistem desentralisasi yang efektif tidak hanya akan membersihkan sungai yang saat ini menjadi "tempat sampah" air limbah domestik, tetapi juga akan mengubah $50 \text{ hingga } 80\%$ dari air limbah menjadi sumber daya yang dapat digunakan kembali, menciptakan ketahanan air dan kestabilan finansial bagi perusahaan air minum lokal.
Sumber Artikel:
Firdayati, M., Indiyani, A., Prihandrijanti, M., & Otterpohl, R. (2015). GREYWATER IN INDONESIA: CHARACTERISTIC AND TREATMENT SYSTEMS. Jurnal Teknik Lingkungan, 21(2), 98-114. 1