Mengapa Sungai Citarum Jadi Sorotan Nasional?
Sungai Citarum, dengan panjang 269 km, bukan hanya tulang punggung kehidupan bagi 28 juta penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, tetapi juga menyuplai air untuk irigasi pertanian seluas 420.000 hektar dan menyokong 20% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melalui kawasan industri di sekitarnya. Ironisnya, sungai yang dulunya jadi kebanggaan nasional ini kini dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Penelitian oleh Ratih Pratiwi dan Linda Noviana dari Universitas Sahid Jakarta (2016) memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi kualitas air Sungai Citarum dalam rentang waktu 2011 hingga 2014. Berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologis serta perbandingan dengan peraturan pemerintah, hasilnya menunjukkan status pencemaran berat.
Metodologi dan Lokasi Penelitian: Titik Kritis di Sepanjang Citarum
Penelitian ini dilakukan di tujuh titik strategis:
- Wangisagara (hulu, terdampak limbah peternakan),
- Jembatan Koyod (industri tekstil),
- Setelah IPAL Cisirung (limbah domestik dan industri gabungan),
- Nanjung (kawasan industri berat),
- Outlet Jatiluhur (sumber air baku),
- Bendung Walahar (untuk irigasi),
- Tunggak Jati (hilir, pertemuan anak sungai).
Pengambilan sampel dilakukan rutin selama empat tahun dan dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) sesuai Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 serta dibandingkan terhadap baku mutu air kelas II dalam PP No. 82 Tahun 2001.
Parameter Kualitas Air: Data Lapangan yang Mengejutkan
Enam parameter utama digunakan:
- TSS (Total Suspended Solids)
- pH
- DO (Dissolved Oxygen)
- BOD (Biochemical Oxygen Demand)
- COD (Chemical Oxygen Demand)
- Total Coliform (mikrobiologi)
1. pH: Masih Dalam Ambang Normal
Nilai pH di seluruh titik berada dalam rentang 6–9, sesuai baku mutu air kelas II. Ini menunjukkan keasaman atau kebasaan air masih stabil.
2. TSS: Melewati Ambang Batas
Konsentrasi TSS mencapai angka tertinggi 108 mg/L pada 2014 di Nanjung. Padahal, ambang batas PP No. 82/2001 hanya 50 mg/L. TSS tinggi menandakan beban partikel padat tersuspensi berlebih, yang berasal dari lumpur, limbah industri, dan tinja.
3. DO: Oksigen Terlarut Menurun
Nilai DO rata-rata di bawah standar minimal 6 mg/L, bahkan menyentuh titik kritis 1,58 mg/L di Jembatan Koyod (2014), menunjukkan minimnya oksigen untuk kehidupan akuatik.
4. BOD & COD: Indikator Kuat Polusi Organik
- BOD (beban limbah organik yang dapat terurai): melebihi ambang batas 3 mg/L, rata-rata 10,1 mg/L.
- COD (bahan kimia terlarut, baik organik maupun anorganik): pada 2014 tercatat rata-rata 20,86 mg/L dari batas 25 mg/L.
Peningkatan signifikan BOD dan COD menandakan beban limbah organik dan industri tinggi—baik dari limbah domestik, industri tekstil, maupun pertanian.
5. Total Coliform: Alarm Kesehatan Masyarakat
Data 2014 menunjukkan angka tertinggi 24.000 MPN/100 mL di titik Jembatan Koyod, jauh melebihi batas 1.000 MPN/100 mL. Ini menandakan pencemaran tinja manusia dan hewan yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, hepatitis, dan tifus.
Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Pencemar (IP)
Tahun 2014 menjadi tahun terburuk, dengan nilai IP mencapai:
- 13,949 – tergolong cemar berat.
- Nilai IP tertinggi tercatat di titik Setelah IPAL Cisirung, yang menjadi titik akumulasi dari limbah domestik Bandung Selatan dan IPAL.
Klasifikasi berdasarkan IP (Kepmen LH No.115/2003):
- 0–1,0: Baik
- 1,1–5,0: Cemar ringan
- 5,1–10,0: Cemar sedang
- 10,0: Cemar berat
Seluruh titik pada tahun 2014 masuk kategori cemar berat. Kondisi ini berbanding lurus dengan laporan lapangan bahwa hanya 20% dari 500-an industri di daerah hulu yang memiliki fasilitas pengolahan limbah.
Studi Kasus: Titik 3 – Setelah IPAL Cisirung
Titik ini menunjukkan fakta mencengangkan:
- DO hanya 1,7 mg/L
- BOD mencapai 12,5 mg/L
- Total Coliform tembus 18.000 MPN/100 mL
Padahal, titik ini merupakan penerima utama limbah yang telah “diolah” oleh IPAL gabungan. Ini menunjukkan dua kemungkinan: kapasitas IPAL tidak mencukupi atau proses pengolahan limbah tidak berjalan optimal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi pengelolaan infrastruktur lingkungan.
Analisis & Kritik: Kegagalan Multiaktor?
Faktor Penyebab Krisis Kualitas Air:
- Industri Tekstil & Kimia: penyumbang limbah berat logam dan senyawa organik sintetis.
- Permukiman Padat: membuang tinja dan limbah domestik langsung ke sungai.
- Kebijakan Lemah: hanya 108 DAS dari 17.088 DAS di Indonesia yang punya rencana pengelolaan terpadu (RPDAST).
- Penegakan Hukum Lemah: tidak ada sanksi efektif bagi pelanggar pengelolaan limbah.
Kurangnya Kolaborasi Antarsektor
Penanganan Citarum selama ini bersifat sektoral dan tidak terpadu lintas kabupaten/provinsi. Slogan "One River One Plan One Management" belum benar-benar dijalankan.
Tren Global: Rehabilitasi Sungai di Dunia
Kasus Sungai Citarum mirip dengan Sungai Thames (Inggris) atau Sungai Han (Korea Selatan) yang dahulu tercemar berat. Namun, berkat kebijakan tegas, pengolahan limbah modern, dan partisipasi masyarakat, keduanya kini bersih dan dapat dinikmati kembali.
Belajar dari sana, strategi nasional seperti Citarum Harum harus fokus pada:
- Meningkatkan kapasitas IPAL industri
- Menerapkan sistem zonasi pencemar
- Revitalisasi vegetasi DAS hulu
Rekomendasi Penelitian: Arah Perbaikan
Untuk Pemerintah:
- Perkuat penegakan hukum lingkungan
- Insentif untuk industri ramah lingkungan
- Audit IPAL dan laporkan secara transparan
Untuk Masyarakat:
- Gerakan bersih sungai berbasis komunitas
- Edukasi sanitasi dan pengelolaan limbah rumah tangga
Untuk Dunia Akademik:
- Kembangkan model peringatan dini pencemaran berbasis AI
- Libatkan mahasiswa dan dosen dalam program pemantauan partisipatif
Penutup: Waktu Mendesak untuk Bertindak
Laporan ini mempertegas urgensi penyelamatan Sungai Citarum bukan hanya sebagai isu lokal, tetapi nasional—bahkan global. Jika dibiarkan, degradasi lingkungan akan menjadi bencana sosial dan ekonomi. Namun dengan sinergi pemerintah, industri, dan masyarakat, masih ada harapan untuk menjadikan Citarum kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penyakit.
Sumber asli:
Ratih Pratiwi & Linda Noviana. 2016. Evaluasi Kualitas Air Sungai Citarum. Laporan Penelitian Dosen Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Teknik, Bidang Teknik Lingkungan.