Pendahuluan: Di Balik Wajah Sejuk Malang, Tersimpan Krisis Air
Kota Malang selama ini dikenal sebagai kota berhawa sejuk dan kaya akan sumber mata air. Namun, di balik itu, kota ini tengah menghadapi krisis udara yang kian serius. Artikel oleh Brahmantyo Satrioyudo Wicaksono, yang diterbitkan pada tahun 2024 di ResearchGate, mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Malang mengalami masalah 3T — Too Much , Too Little , dan Too Dirty — yang mencerminkan krisis banjir, kekeringan, dan pencemaran udara sekaligus.
Studi ini tidak hanya menjabarkan masalah, tetapi juga menawarkan pendekatan solutif yang berbasis kolaborasi multiaktor. Artikel ini menjadi penting bagi para pengambil kebijakan, aktivis lingkungan, akademisi, dan warga kota.
Terlalu Banyak: Banjir dan Alih Fungsi Lahan yang Tak Terkendali
Meskipun Malang hanya menerima curah hujan menengah (51–150 mm per bulan), fenomena banjir semakin sering terjadi. Sejak tahun 2019 hingga 2022, terjadi lebih dari 700 kejadian banjir, dengan 211 kejadian hanya dalam satu tahun terakhir.
Penyebab utama banjir bukan semata-mata karena hujan ekstrem, tetapi:
- Alih fungsi lahan resapan menjadi organisasi dan bangunan komersial.
- RTH (Ruang Terbuka Hijau) Kota Malang hanya 4% , jauh di bawah syarat UU No. 26 Tahun 2007 yang menetapkan minimal 20%.
- Drainase yang buruk dan saluran air tersumbat oleh limbah domestik.
Tanpa tindakan korektif terhadap tata ruang, Malang terancam menjadi kota yang tidak layak huni saat musim hujan.
Terlalu Sedikit: Kekeringan Mengancam di Musim Kemarau
Ironisnya, saat musim kemarau tiba, Malang juga kekurangan air bersih. Studi yang dirujuk dalam artikel (Millah, 2019) menunjukkan bahwa kecamatan seperti Jabung, Singosari, dan Lawang masuk kategori sangat kritis dengan indeks kekeringan di atas 200%.
Faktor penyebab:
- Menyusutnya debit sungai dan mata air akibat penurunan infiltrasi air hujan.
- Ketergantungan terhadap air tanah dangkal yang terus dieksploitasi.
- Minimnya sistem tampungan udara dan konservasi hujan.
Perhitungan kebutuhan udara domestik menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat melebihi 75% dari ketersediaan udara, menandakan tingkat krisis yang memprihatinkan.
Terlalu Kotor: Sungai yang Menjadi Tempat Sampah Raksasa
Pencemaran air menjadi masalah akut lainnya. Studi DLH Kota Malang menunjukkan bahwa 26 dari 27 titik sungai yang dipantau sudah masuk kategori kritis. Penyebab utama:
- Pembuangan limbah rumah tangga langsung ke saluran air.
- Limbah usaha kecil dan rumah makan tanpa pengolahan.
- Tidak adanya sistem saluran pembuangan limbah terintegrasi.
Data dari Wahyono dkk. (2021) menunjukkan bahwa dari 32 sampel air sungai, 23 di antaranya melebihi batas BOD, COD, dan TSS berdasarkan PERMEN LH No. 68 Tahun 2018. Artinya, air sungai tidak layak dikonsumsi bahkan untuk menetes sekalipun.
Dampak Nyata bagi Warga: Sakit, Mahal, dan Tidak Setara
Akibat kombinasi 3T ini, masyarakat menghadapi:
- Risiko kesehatan seperti diare, kolera, penyakit kulit.
- Ketergantungan terhadap udara kemasan yang harganya tidak terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
- Ketimpangan akses udara antara wilayah padat penduduk dan kawasan elit atau pusat komersial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa air kini telah menjadi isu ketimpangan sosial , bukan sekadar lingkungan.
Solusi Terpadu: Dari Beton hingga Kesadaran
Penulis menawarkan tiga pendekatan utama sebagai solusi krisis air Malang:
1. Infrastruktur: Perbaikan dari Hulu hingga Hilir
- Revitalisasi saluran drainase lama dan sistem perpipaan air bersih.
- Tambah instalasi limbah rumah tangga dan industri kecil.
- Bangun sistem penampungan air hujan dan sumur resapan di kawasan rawan banjir.
Langkah ini harus melibatkan warga sejak tahap perencanaan agar proyek tidak menjadi monumen kosong.
2. Regulasi: Perda Konservasi Air Harus Ditegakkan
- Malang sudah memiliki Perda No.17 Tahun 2001 tentang Konservasi Udara. Namun melaksanakantentang konservasi udara. Namun implementasi dan penegakannya masih lemah.
- Diperlukan audit rutin terhadap bangunan yang melanggar tata ruang.
- Prioritaskan izin pembangunan untuk proyek yang menerapkan prinsip infrastruktur hijau.
Regulasi tanpa pengawasan adalah mimpi tanpa arah.
3. Edukasi: Ubah Perilaku, Mulai dari Rumah
- Edukasi warga tentang cara mengolah limbah rumah tangga.
- Sosialisasi pentingnya tidak membuang sampah ke sungai.
- Kampanye hemat air dan penghijauan lahan pekarangan.
Kesadaran kolektif hanya bisa tumbuh melalui edukasi yang konsisten dan melibatkan komunitas.
Kritik dan Tambahan Opini: IWRM Belum Jadi Arus Utama
Air Satu kekurangan yang mencolok dari kebijakan air Kota Malang adalah belum diterapkannya pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) . Padahal, pendekatan ini terbukti efektif di banyak kota dunia karena mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam satu kerangka.
IWRM mendorong:
- Kolaborasi lintas sektor (udara, energi, perumahan, industri).
- Keterlibatan aktif masyarakat dan lembaga non-pemerintah.
- Pemanfaatan teknologi informasi dan pemodelan untuk prediksi krisis udara.
Malang bisa mengambil contoh dari Kota Surabaya yang lebih progresif dalam mengembangkan sistem drainase berkelanjutan dan konservasi udara berbasis komunitas.
Kesimpulan: Malang Butuh Rencana Air Masa Depan
Artikel ini membuka mata bahwa krisis air di Malang bukan lagi isu masa depan, tetapi sedang terjadi saat ini. Dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Kota Malang masih memiliki peluang besar untuk menyelamatkan sumber dayanya.
Namun, solusinya tidak bisa hanya tambal sulam proyek. Diperlukan:
- Visi jangka panjang yang terukur dan inklusif.
- Kekuatan regulasi dan keberanian menertibkan pelanggaran.
- Pendidikan yang menanamkan budaya cinta air sejak usia dini.
Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi tentang keadilan sosial dan keberlanjutan kota . Malang harus segera memilih: berbenah hari ini atau krisis esok hari.
Sumber Referensi:
Wicaksono, BS (2024). Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Malang: Tantangan dan Solusi di Tengah Pertumbuhan PerkotaanTersedia. Universitas Pancasila