Kita Kehilangan Guru Terbaik Bukan Karena Gaji, Tapi Sistem yang Rusak: Curhat Para Guru Baru di Indonesia

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

21 Oktober 2025, 15.03

Kita Kehilangan Guru Terbaik Bukan Karena Gaji, Tapi Sistem yang Rusak: Curhat Para Guru Baru di Indonesia

Diari Guru Baru: Saat Cita-Cita Mengajar Terbentur Tembok Birokrasi

Coba ingat guru favoritmu waktu SD. Siapa namanya? Apa yang membuatnya begitu berkesan? Mungkin karena cara mengajarnya yang seru, kesabarannya yang tak terbatas, atau karena beliau adalah orang pertama yang membuatmu percaya pada dirimu sendiri.

Bagi banyak orang, menjadi guru adalah sebuah panggilan jiwa, sebuah cita-cita luhur. Namun, apa yang sebenarnya terjadi setelah seseorang dengan mimpi itu melangkah masuk ke gerbang sekolah untuk pertama kalinya? Apa yang membentuk mereka di tahun-tahun pertama yang paling krusial?

Sebuah studi luar biasa dari RISE Programme di Indonesia mencoba menjawab pertanyaan ini. Alih-alih hanya menyebar survei, para peneliti melakukan sesuatu yang jauh lebih mendalam: mereka mengumpulkan "diari kolektif" dari 16 guru baru selama dua tahun. Mereka mendengarkan cerita, harapan, dan keluh kesah para guru ini saat mereka menavigasi labirin sistem pendidikan kita.   

Membaca hasil studi ini terasa seperti mengintip isi hati para pendidik muda kita. Dan apa yang saya temukan di dalamnya? Sebuah kisah tentang idealisme yang berbenturan dengan realitas, semangat yang diuji oleh birokrasi, dan sebuah pertanyaan besar: apakah sistem kita sedang mendukung atau justru menyabotase para guru baru ini?

"Saya Ingin Jadi Guru,"—Mimpi yang Sama, Titik Awal yang Berbeda

Di awal perjalanan, studi ini menemukan bahwa tidak semua guru memulai dari titik yang sama. Ada setidaknya dua kelompok besar yang motivasinya sangat berbeda, dan perbedaan ini menjadi fondasi rapuh bagi identitas profesional mereka ke depan.

Pertama, ada "The Dreamers"—mereka yang masuk ke profesi ini dengan motivasi murni dan idealistis. Sepuluh dari 16 guru dalam studi ini masuk dalam kategori ini. Sebagian dari mereka, seperti Guru 7, sudah memimpikan ini sejak kecil. Ia bercerita, "Melihat guru mengajar di depan kelas... membuat saya ingin menjadi seperti mereka. Saya dan teman-teman sering bermain peran guru dan murid saat kecil". Bagi yang lain, seperti Guru 10, mengajar adalah bentuk ibadah, sebuah keyakinan bahwa "ilmu yang bermanfaat" adalah amal jariyah yang pahalanya tak akan putus. Bagi kelompok ini, menjadi guru adalah perpanjangan dari siapa diri mereka—sebuah panggilan suci yang akhirnya terwujud.   

Namun, di sisi lain, ada kelompok "The Pragmatists and The Accidental". Sepuluh guru mengaku didorong oleh nasihat keluarga ("tidak ingin mengecewakan orang tua"), sementara empat guru lainnya dengan jujur mengakui bahwa menjadi guru adalah "pilihan terakhir". Mereka adalah calon polisi yang gagal tes, atau calon pegawai kementerian yang tidak lolos seleksi. Guru 3 menggambarkannya dengan gamblang, "Ketika akhirnya diterima di program persiapan guru, saya terus berpikir betapa monotonnya menjadi guru SD, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya harus menyukai pekerjaan ini".   

Titik awal yang berbeda ini krusial. Profesi guru ternyata tidak hanya diisi oleh mereka yang merasa terpanggil, tetapi juga oleh mereka yang "terdampar". Ini menciptakan ketegangan internal sejak hari pertama. Guru yang masuk karena panggilan jiwa memiliki bantalan idealisme yang tebal untuk menghadapi kesulitan. Namun, apa yang terjadi ketika guru yang masuk karena "pilihan terakhir" ini dihadapkan pada kenyataan pahit di lapangan? Fondasi identitas mereka jauh lebih rentan goyah. Ini bukan salah mereka, melainkan gejala pertama dari sebuah sistem yang belum berhasil menjadikan profesi guru sebagai pilihan utama yang paling bergengsi.

Jurang Pemisah: Permainan Bertahan Hidup antara Guru Honorer dan PNS

Bayangkan kamu dan rekan kerjamu di meja sebelah melakukan pekerjaan yang sama persis. Beban kerja sama, tanggung jawab sama, jumlah murid yang diajar pun mirip. Bedanya, gajimu Rp 300.000 sebulan, sementara rekanmu menerima jutaan rupiah, plus tunjangan dan jaminan pensiun.

Selamat datang di realitas paling fundamental yang dihadapi guru baru di Indonesia: dualisme status antara guru honorer dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Studi ini menggarisbawahi bahwa ini bukan sekadar perbedaan gaji; ini adalah dua "kasta" yang terpisah. Sebagian besar guru baru memulai karier mereka sebagai guru honorer, direkrut secara informal oleh sekolah, seringkali tanpa kontrak yang jelas, dan dibayar dengan upah yang sangat rendah. Data dari paper ini mencengangkan: sekitar 13% guru honorer tak bersertifikat berpenghasilan hanya Rp 300.000 per bulan (sekitar $20), angka yang jauh di bawah upah minimum mana pun di Indonesia. Sementara itu, gaji terendah seorang guru PNS bisa mencapai jutaan rupiah sebelum ditambah tunjangan.   

Kesenjangan ini memiliki dampak yang menghancurkan, tidak hanya secara finansial, tetapi juga psikologis dan profesional. Seorang guru dalam studi ini berbagi bahwa tantangan terberatnya adalah "dianggap tidak penting oleh orang tua murid karena dia adalah seorang guru honorer". Status informal ini secara langsung merusak harga diri dan otoritas mereka di depan kelas.   

Lebih jauh lagi, sistem ini memaksa para guru baru untuk memiliki dua identitas yang saling bertentangan: identitas sebagai pendidik yang ingin mengajar dengan baik, dan identitas sebagai pejuang ekonomi yang harus bertahan hidup. Perjuangan untuk bertahan hidup hampir selalu mengalahkan idealisme untuk mendidik. Guru 9, misalnya, terpaksa membuka warung di rumah untuk menopang hidupnya. Ia harus membagi waktu antara mengajar dan menjalankan bisnisnya.   

Waktu dan energi adalah sumber daya yang terbatas. Setiap jam yang dihabiskan untuk mencari penghasilan tambahan adalah jam yang tidak dihabiskan untuk merencanakan pelajaran, mengevaluasi pekerjaan siswa, atau mengembangkan diri secara profesional. Kualitas pengajaran secara inheren terganggu bukan karena para guru ini tidak kompeten atau tidak mau, tetapi karena sistem secara struktural membuat mereka tidak mungkin untuk fokus 100% pada pengajaran. Krisis pembelajaran di Indonesia, di mana hasil belajar siswa dilaporkan stagnan bahkan memburuk, bisa jadi merupakan cerminan langsung dari krisis kesejahteraan yang dialami para pendidik di garis depan ini.   

Ujian Sebenarnya Bukan di Depan Murid, Tapi di Meja Birokrasi

Jika bertahan hidup sebagai honorer adalah babak pertama, babak selanjutnya adalah perjuangan menavigasi kebijakan yang menurut paper ini, secara aktif membentuk identitas guru baru ke arah yang salah—menjauh dari keunggulan pedagogis dan menuju kepatuhan birokratis. Kebijakan-kebijakan ini berfungsi seperti "kurikulum tersembunyi" yang mengajarkan apa yang "benar-benar penting" untuk sukses dalam sistem.

Lolos Tes PNS: Tiket Emas yang Mengalahkan Segalanya

Pelajaran pertama dari sistem ini adalah: menjadi abdi negara yang baik lebih penting daripada menjadi guru yang baik. Kenapa? Karena satu-satunya jalan keluar dari "kasta" honorer menuju keamanan dan martabat adalah dengan lolos tes seleksi Calon PNS (CPNS).

Masalahnya, tes ini bukanlah ujian tentang bagaimana cara mengajar yang efektif. Paper ini menyebutkan bahwa seleksi ini lebih menekankan pada "patriotisme dan nilai-nilai pegawai negeri," sementara "keterampilan dan pengetahuan mengajar adalah aspek yang tidak signifikan" dalam prosesnya. Akibatnya, energi para guru baru tersedot untuk mempersiapkan diri menghadapi tes pilihan ganda ini. Mereka membentuk kelompok belajar, bukan untuk membahas metode pengajaran inovatif, tetapi untuk membedah soal-soal tes CPNS. Fokus karier mereka pun bergeser, dari "bagaimana cara saya mengajar lebih baik?" menjadi "bagaimana cara saya lolos tes tahun ini?".   

Dilempar ke Laut Tanpa Pelampung: Nihilnya Program Induksi

Pelajaran kedua adalah: kamu sendirian. Setelah berhasil mendapatkan pekerjaan—baik sebagai honorer maupun PNS—para guru baru ini seolah dilempar ke laut tanpa pelampung. Studi ini menemukan bahwa dari 16 partisipan, hanya satu orang yang menerima program induksi dan pembinaan yang layak di sekolahnya. Sisanya harus berjuang sendiri, berinisiatif meminta bimbingan jika menghadapi kesulitan.   

Mereka harus sendirian menghadapi tantangan nyata: menangani siswa dengan kebutuhan belajar yang beragam, membangun kepercayaan dengan orang tua yang mungkin skeptis dengan usia muda mereka, berhadapan dengan budaya senioritas di sekolah, hingga mengatasi kebingungan dengan kurikulum yang seringkali tidak sinkron antara teori dan praktik ujian.   

Bayangkan, di saat paling rentan dalam karier, mereka dibiarkan berjuang sendiri. Ini menciptakan siklus 'trial and error' yang melelahkan dan seringkali membuat mereka kehilangan kepercayaan diri. Padahal, platform seperti (https://diklatkerja.com/) menunjukkan adanya kebutuhan dan pasar untuk pengembangan keterampilan mandiri yang sayangnya tidak disediakan secara sistemik oleh institusi.

Karier untuk Status, Bukan untuk Keahlian

Pelajaran ketiga, dan mungkin yang paling menyedihkan, adalah: karier ini tentang status, bukan keahlian. Sekali status PNS yang didambakan itu tercapai, sistem tidak lagi mendorong peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Paper ini mencatat bahwa promosi secara tradisional didasarkan pada masa kerja, bukan kinerja. Guru yang berkinerja baik dan yang berkinerja buruk bisa menerima paket remunerasi yang sama.   

Akibatnya, aspirasi karier pun terbentuk sesuai dengan insentif yang ada. Beberapa guru dalam studi ini secara eksplisit menyatakan bahwa mereka melihat profesi guru hanya sebagai "batu loncatan" untuk mendapatkan posisi birokrasi yang lebih tinggi dan bergengsi, seperti pengawas sekolah atau kepala dinas pendidikan. Sistem ini tidak menciptakan jalur karier yang jelas untuk menjadi seorang master teacher atau guru ahli, melainkan jalur keluar dari ruang kelas menuju meja birokrasi. Ini adalah resep jitu untuk menguras talenta-talenta terbaik dari interaksi langsung dengan siswa.   

Apa yang Bikin Saya Terkejut (dan Mungkin Kamu Juga)

Setelah membaca ratusan halaman diari dan analisis ini, ada beberapa hal yang benar-benar menonjol bagi saya. Bukan sekadar data, tapi kebenaran yang terasa menampar.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Kebijakan dan kondisi kerja ternyata jauh lebih berpengaruh dalam membentuk identitas guru baru daripada semangat pribadi mereka. Paper ini membuktikan bahwa menyalahkan guru atas kualitas pendidikan yang rendah adalah sebuah kekeliruan fatal; sistemlah yang menjadi arsitek utama dari perjuangan mereka.   

  • 🧠 Inovasinya: Studi ini tidak hanya bertanya "apa," tapi "bagaimana rasanya." Dengan metode diari longitudinal, kita bisa merasakan langsung frustrasi, harapan, dan kebingungan para guru dari waktu ke waktu. Kita melihat bagaimana kepercayaan diri mereka naik turun—dari merasa sebagai "guru ideal" setelah lulus, hingga merasa ragu setelah satu tahun di lapangan.   

  • 💡 Pelajaran: Mengejar status PNS menjadi tujuan profesional tertinggi, seringkali mengalahkan misi untuk menjadi pendidik yang lebih baik. Ini bukan karena para guru itu materialistis, tapi karena sistem membuat status PNS menjadi satu-satunya jalan menuju keamanan dan martabat profesional. Ini adalah gejala dari sistem yang sakit.   

Meskipun temuan dari studi ini luar biasa kuat dan sangat manusiawi, saya merasa ada satu aspek yang bisa digali lebih dalam. Cara analisisnya terkadang terasa mengelompokkan semua guru honorer dalam satu keranjang perjuangan yang sama. Paper ini bisa lebih tajam dalam mengeksplorasi bagaimana variabel personal—seperti latar belakang sosial-ekonomi guru atau apakah mereka berasal dari keluarga pendidik—berinteraksi secara spesifik dengan tekanan kebijakan. Apakah guru dari keluarga miskin merasakan tekanan finansial secara berbeda dari guru kelas menengah? Apakah anak seorang guru memiliki 'modal budaya' untuk menavigasi birokrasi sekolah dengan lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menambah lapisan nuansa yang lebih kaya pada narasi yang sudah kuat ini.

Kenapa Mereka Bertahan? Sebuah Refleksi tentang Harapan dan Keterpaksaan

Sebuah paradoks besar muncul dari semua cerita ini. Jika kondisinya begitu buruk—gaji tak layak, nol dukungan, tekanan birokrasi—logika sederhana akan berkata bahwa banyak guru baru akan menyerah dan mencari pekerjaan lain. Tapi data berkata sebaliknya. Tingkat atrisi (guru yang keluar dari profesi) di Indonesia relatif rendah. Kenapa?   

Paper ini menawarkan beberapa hipotesis. Pertama, dan yang paling pragmatis, adalah ketiadaan pilihan. Rendahnya atrisi mungkin bukan tanda kepuasan, melainkan tanda terbatasnya kesempatan kerja alternatif bagi lulusan sarjana pendidikan. Mereka bertahan karena tidak banyak pilihan lain.   

Kedua, adalah investasi yang sudah terlanjur besar. Bayangkan perjalanan yang sudah mereka tempuh: 4 tahun kuliah S1, 1 tahun Pendidikan Profesi Guru (PPG), dan mungkin sudah berkali-kali ikut tes CPNS. Meninggalkan profesi ini berarti menyia-nyiakan investasi waktu, uang, dan tenaga yang luar biasa.   

Namun, ada satu alasan lagi yang lebih manusiawi: kekuatan harapan. Di tengah semua kesulitan, mereka bertahan karena ada satu cahaya di ujung terowongan: harapan untuk suatu hari nanti diangkat menjadi PNS. Harapan ini berfungsi sebagai bahan bakar. Mereka rela menderita selama bertahun-tahun demi stabilitas dan pengakuan di masa depan. Identitas mereka saat ini didefinisikan oleh tujuan masa depan itu. Mereka bukan sekadar "guru honorer," melainkan "calon PNS."

Rendahnya tingkat atrisi ini, alih-alih menjadi tanda kesehatan, justru bisa menjadi sinyal yang lebih berbahaya. Ini menandakan sebuah "perangkap profesi" di mana para guru tidak cukup puas untuk berkembang, tetapi juga tidak punya cukup pilihan untuk pergi. Sistem yang tidak kehilangan guru-guru yang tidak bahagia tidak memiliki tekanan internal untuk mereformasi dirinya sendiri.

Suara dari Ruang Guru yang Perlu Kita Dengar

Perjalanan seorang guru baru di Indonesia, seperti yang digambarkan dalam studi ini, bukanlah tentang belajar mengajar. Ini adalah tentang belajar bertahan hidup dalam sebuah sistem yang penuh kontradiksi. Identitas profesional mereka ditempa bukan oleh idealisme di ruang kuliah, tetapi oleh realitas kebijakan yang seringkali tidak koheren di lapangan.

Guru hebat yang kita kenang dari masa kecil kita mungkin adalah produk dari ketahanan pribadi yang luar biasa. Tapi kita tidak bisa membangun masa depan pendidikan sebuah bangsa hanya dengan mengandalkan pahlawan-pahlawan individual. Kita butuh sistem yang mendukung, bukan yang menyabotase.

Kisah 16 guru ini bukan sekadar anekdot. Ini adalah data. Ini adalah suara dari garis depan pendidikan kita yang seringkali tak terdengar di ruang-ruang pembuat kebijakan. Kalau kamu tertarik untuk menyelami lebih dalam kisah-kisah mereka dan analisis kebijakannya, coba baca paper aslinya. Ini bukan sekadar data, ini adalah suara masa depan pendidikan kita.

(https://doi.org/10.35489/BSG-RISE-WP_2022/096)