Mengapa Ketinggian Sungai Mempengaruhi Kualitas Air?
Air sungai adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Baik untuk kebutuhan domestik, irigasi, hingga perikanan dan rekreasi, kualitas air sangat menentukan fungsionalitas sebuah sungai. Namun, satu aspek yang kerap terlewat dalam analisis kualitas air adalah letak geografis vertikal alias ketinggian sungai dari permukaan laut.
Studi yang dilakukan oleh Tamara Pingki dan Sudarti ini mencoba menjawab pertanyaan menarik: apakah perbedaan ketinggian antara dua sungai di Kabupaten Blitar memengaruhi kualitas airnya? Jawabannya ternyata bukan hanya “ya”, tetapi juga menyimpan insight penting bagi perencanaan pengelolaan sumber daya air di daerah pegunungan dan dataran rendah.
Studi Kasus: Sungai Bladak vs Sungai Kedungrawis
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi:
- Sungai Bladak di Kecamatan Nglegok (±349 meter di atas permukaan laut / mdpl)
- Sungai Kedungrawis di Kecamatan Kademangan (±252 mdpl)
Masing-masing sungai diukur pada tiga titik dengan jarak antar titik 200 meter. Pengambilan data dilakukan lima kali dalam sehari selama lima hari berturut-turut. Parameter yang diuji meliputi:
- Suhu
- Kecerahan
- pH
- TDS (Total Dissolved Solid)
Alat yang digunakan antara lain termometer air, kertas lakmus, TDS meter digital, dan cakram Secchi untuk pengukuran kecerahan.
Temuan Lapangan: Kualitas Air Lebih Baik di Ketinggian
1. Suhu Air: Semakin Tinggi, Semakin Dingin
Suhu merupakan indikator penting karena memengaruhi kelarutan oksigen dan aktivitas mikroorganisme dalam air. Dari data pengukuran, didapat:
- Sungai Bladak:
- Rata-rata pagi: 16,18°C
- Rata-rata siang: 20,22°C
- Rata-rata sore: 17,74°C
- Sungai Kedungrawis:
- Rata-rata pagi: 19,28°C
- Rata-rata siang: 24,5°C
- Rata-rata sore: 21,94°C
Dengan suhu tertinggi pada siang hari dan terendah pada pagi hari, jelas bahwa suhu Sungai Bladak lebih rendah pada semua waktu. Ini sesuai dengan karakteristik dataran tinggi yang menerima radiasi matahari lebih sedikit.
Implikasinya: air yang lebih dingin cenderung memiliki kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi dan mendukung kehidupan akuatik yang lebih sehat.
2. Kecerahan Air: Sungai di Dataran Tinggi Lebih Jernih
Kecerahan diukur dengan cakram Secchi:
- Sungai Bladak: Rata-rata kecerahan 33,9 cm
- Sungai Kedungrawis: Rata-rata kecerahan 18,7 cm
Nilai kecerahan di bawah 20 cm biasanya menandakan status eutrofik, artinya perairan mulai tercemar oleh zat organik seperti limbah rumah tangga atau pertanian.
Analisis: Sungai Bladak, dengan kecerahan di atas 30 cm, menunjukkan kualitas visual air yang masih baik. Sebaliknya, Sungai Kedungrawis sudah menunjukkan tanda-tanda kekeruhan yang dapat berdampak pada proses fotosintesis dan kehidupan biota air.
3. pH Air: Air Basa vs Air Asam
pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan air:
- Sungai Bladak: Lakmus berwarna hijau → pH > 7 (basa)
- Sungai Kedungrawis: Lakmus berwarna merah → pH < 7 (asam)
Air yang terlalu asam bisa berdampak buruk pada ikan dan organisme perairan lainnya. Sementara air yang sedikit basa cenderung lebih stabil dan aman untuk konsumsi maupun budidaya.
Catatan penting: Air Sungai Kedungrawis termasuk dalam kualitas yang buruk karena pH asam dalam lima hari pengamatan.
4. TDS (Total Dissolved Solid): Indikator Langsung dari Pencemaran
TDS mengukur jumlah zat padat terlarut seperti mineral, garam, dan logam:
- Sungai Bladak: Rata-rata TDS = 442 ppm → masuk kategori “baik”
- Sungai Kedungrawis: Rata-rata TDS = 1126 ppm → masuk kategori “buruk”
Menurut standar:
- <300 ppm = sangat baik
- 300–600 ppm = baik
- 600–900 ppm = bisa diminum
- 900–1200 ppm = buruk
- 1200 ppm = sangat buruk
Kesimpulan: Sungai Kedungrawis nyaris memasuki kategori “tidak layak konsumsi”, sementara Sungai Bladak masih dalam batas aman.
Korelasi Antara Ketinggian dan Kualitas Air
Data menunjukkan bahwa semakin tinggi letak sungai, semakin baik parameter kualitas airnya:
- Suhu lebih rendah → baik
- Kecerahan lebih tinggi → baik
- pH lebih basa → baik
- TDS lebih rendah → baik
Hal ini memperkuat hipotesis bahwa topografi, suhu udara, dan aktivitas manusia di sekitar sungai sangat memengaruhi kualitas air. Dataran rendah biasanya lebih padat penduduk, lebih banyak kegiatan pertanian dan industri, serta potensi limbah lebih besar.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Irwan dan Afdal (2016) yang menyatakan bahwa konduktivitas dan suhu air berkorelasi positif dengan TDS. Juga relevan dengan studi Pramleonita et al. (2018) yang menyebutkan bahwa kecerahan air memengaruhi efisiensi fotosintesis plankton dan fitoplankton.
Yang menarik dari studi ini adalah pendekatannya yang langsung membandingkan dua sungai di lokasi berbeda dengan faktor utama: ketinggian. Sebagian besar penelitian hanya fokus pada parameter kimia atau aktivitas manusia, tetapi jarang yang menyelidiki pengaruh vertikal geografis secara eksplisit.
Rekomendasi Praktis dan Implikasi Kebijakan
Untuk Pemerintah Daerah:
- Prioritaskan perlindungan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah dataran tinggi.
- Terapkan pengawasan ketat terhadap limbah rumah tangga dan pertanian di dataran rendah.
- Buat sistem peringatan dini pencemaran berbasis TDS yang murah dan bisa digunakan oleh masyarakat.
Untuk Masyarakat:
- Gunakan filter air TDS sederhana untuk deteksi awal kualitas air sungai.
- Hindari membuang deterjen atau limbah kimia langsung ke aliran air.
- Partisipasi dalam pemantauan kualitas air berbasis komunitas.
Untuk Peneliti Selanjutnya:
- Tambahkan parameter kimia lain seperti BOD, COD, atau logam berat.
- Lakukan pengamatan musiman untuk melihat pengaruh cuaca dan curah hujan.
- Integrasi dengan penginderaan jauh atau drone untuk analisis spasial.
Penutup: Sungai yang Lebih Tinggi, Kualitas yang Lebih Baik?
Penelitian ini mengajarkan kita bahwa faktor geografis, khususnya ketinggian, memainkan peran besar dalam menentukan kualitas air sungai. Dengan membandingkan Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis, kita melihat gambaran nyata bagaimana dataran tinggi lebih cenderung menghasilkan air yang jernih, basa, dan minim kandungan zat padat terlarut.
Namun ini bukan berarti kita bisa mengabaikan sungai di dataran rendah. Justru karena potensi pencemaran lebih tinggi, maka sungai di wilayah seperti Kademangan membutuhkan perhatian lebih serius—baik dari sisi pengelolaan limbah, edukasi masyarakat, hingga teknologi pengolahan air sederhana.
Dengan riset semacam ini, kita makin menyadari bahwa menjaga kualitas air sungai bukan hanya soal reaksi terhadap pencemaran, tapi juga soal pencegahan yang dimulai dari pemahaman lingkungan fisik sekitar.
Sumber Asli Artikel:
Tamara Pingki dan Sudarti. Analisis Kualitas Air Sungai Berdasarkan Ketinggian Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis di Kabupaten Blitar. Jurnal Budidaya Perairan, Vol. 9, No. 2, 2021. Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Jember.