Era digital telah membawa organisasi ke dalam dunia yang sarat dengan data. Hampir setiap keputusan bisnis kini disertai dengan laporan, grafik, atau analisis statistik yang tampak objektif. Namun di balik optimisme itu, banyak organisasi justru terperangkap dalam ilusi bahwa data selalu benar. Padahal, data hanyalah alat; interpretasi manusialah yang menentukan apakah ia akan membawa organisasi menuju keputusan yang tepat atau menyesatkan.
Dalam konteks ini, pendekatan data-driven decision-making (DDDM) sering kali disalahartikan. Banyak pemimpin organisasi cenderung mengambil dua posisi ekstrem: menerima hasil analisis tanpa kritik, atau menolaknya karena dianggap tidak relevan. Keduanya sama-sama berbahaya. Artikel ini menyoroti bagaimana kesalahan konseptual dan bias manusia dapat menggagalkan niat baik penggunaan data, serta bagaimana organisasi dapat memperkuat kemampuan analitisnya melalui budaya berpikir kritis dan psikologis yang aman.
Kesalahan Umum dalam Pengambilan Keputusan Berbasis Data
1. Mengacaukan Korelasi dengan Kausalitas
Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap hubungan korelasi sebagai hubungan sebab-akibat. Kasus eBay menjadi contoh klasik. Selama bertahun-tahun, perusahaan ini menganggap iklan digital di mesin pencari berhasil meningkatkan penjualan. Namun setelah dilakukan eksperimen ilmiah oleh tim ekonom dari University of California, ditemukan bahwa peningkatan penjualan tidak disebabkan oleh iklan, melainkan karena iklan tersebut ditayangkan di pasar yang memang sudah memiliki permintaan tinggi.
Pelajaran utamanya jelas: data tanpa pemahaman konteks dapat menipu, bahkan bagi perusahaan teknologi besar sekalipun.
Untuk mencegah kesalahan ini, pemimpin organisasi perlu bertanya:
-
Apakah analisis ini berbasis eksperimen atau sekadar observasi?
-
Apakah ada faktor lain yang memengaruhi hasil (confounder)?
-
Seberapa jauh kita bisa memastikan hubungan sebab-akibatnya?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut dapat menyelamatkan organisasi dari keputusan yang mahal dan tidak berdasar.
2. Mengabaikan Ukuran Sampel dan Keandalan Hasil
Banyak keputusan dibuat tanpa mempertimbangkan ukuran sampel dan tingkat kepercayaan (confidence interval) dari data yang digunakan. Contohnya, hasil survei dengan 50 responden sering diperlakukan sama pentingnya dengan riset yang melibatkan ribuan orang. Padahal, semakin kecil sampel, semakin besar fluktuasi hasil yang mungkin terjadi. Kesalahan ini dapat menyesatkan, terutama dalam proyek yang menggunakan data pelanggan atau uji coba produk.
Pemimpin yang bijak tidak hanya menanyakan apa hasilnya, tetapi juga seberapa pasti hasil itu benar. Menilai kisaran ketidakpastian (uncertainty) menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan berbasis data yang matang.
3. Mengukur Hal yang Salah
Prinsip klasik dari Kaplan dan Norton—“what you measure is what you get”—masih sangat relevan. Sering kali organisasi mengukur indikator yang mudah dikalkulasi tetapi tidak benar-benar mencerminkan tujuan strategis. Sebagai contoh, perusahaan yang menilai efektivitas pelatihan hanya dari tingkat kehadiran peserta akan kehilangan gambaran tentang peningkatan kompetensi yang sebenarnya.
Dalam konteks analisis data, banyak perusahaan juga terjebak dalam metrik jangka pendek yang tampak positif, tetapi mengabaikan dampak jangka panjang. Amazon menjadi salah satu contoh pengecualian: mereka berinvestasi besar dalam eksperimen yang menilai efek jangka panjang dari kebijakan produk dan pelayanan, bukan sekadar hasil instan.
4. Salah Menilai Generalisasi Hasil
Banyak organisasi tergesa-gesa mengadopsi hasil studi dari konteks lain tanpa mempertimbangkan validitas eksternal—sejauh mana hasil riset dapat diterapkan pada kondisi berbeda. Misalnya, hasil studi tentang produktivitas di industri logistik Amerika belum tentu berlaku di sektor ritel Indonesia yang memiliki budaya kerja, infrastruktur, dan regulasi berbeda.
Kesalahan semacam ini sering diperparah oleh kecenderungan confirmation bias—kecenderungan untuk mempercayai data yang mendukung pandangan kita, dan menolak yang bertentangan. Pemimpin yang cerdas harus menyeimbangkan bukti empiris dengan pemahaman kontekstual, bukan sekadar menyalin “praktik terbaik” tanpa penyesuaian.
5. Terlalu Bergantung pada Satu Hasil Tunggal
Tidak ada data yang sempurna. Oleh karena itu, mengambil keputusan hanya berdasarkan satu studi atau laporan adalah bentuk kepercayaan buta yang berbahaya. Sebaliknya, organisasi perlu mengadopsi evidence triangulation—membandingkan berbagai sumber data, melakukan verifikasi silang, atau bahkan mengadakan eksperimen sendiri. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan ketepatan keputusan, tetapi juga memperkuat kapasitas organisasi dalam membangun pengetahuan berbasis bukti (evidence-based learning organization).
Membangun Budaya Analisis yang Aman dan Kritis
Data yang baik tidak akan berarti apa-apa tanpa lingkungan organisasi yang memungkinkan diskusi terbuka. Konsep psychological safety yang diperkenalkan Amy Edmondson menegaskan bahwa karyawan harus merasa aman untuk menyampaikan pandangan, kritik, atau keraguan terhadap data tanpa takut disalahkan.
Kegagalan besar di industri teknologi seperti kasus Facebook pada 2014—ketika eksperimen sosial perusahaan itu menuai kecaman publik dan menghentikan riset internal—menunjukkan bahaya organisasi yang kehilangan budaya diskusi kritis.
Ketika orang takut untuk mempertanyakan data, keputusan yang salah menjadi tak terhindarkan.
Oleh karena itu, pemimpin perlu menciptakan suasana di mana pertanyaan seperti “Apakah data ini benar-benar relevan?” atau “Apakah ada risiko bias di sini?” dianggap sebagai bentuk tanggung jawab profesional, bukan pembangkangan.
Penutup
Pengambilan keputusan berbasis data bukanlah tujuan akhir, melainkan proses pembelajaran berkelanjutan. Data harus diperlakukan dengan skeptisisme yang sehat—tidak ditelan mentah, tidak pula diabaikan. Pemimpin organisasi yang efektif adalah mereka yang mampu menyeimbangkan ketepatan analisis, konteks bisnis, dan keberanian untuk mempertanyakan bukti.
Dengan budaya analisis yang terbuka, sistematis, dan reflektif, organisasi dapat mengubah data menjadi sumber kebijaksanaan—bukan jebakan kesalahan.
Daftar Pustaka
Luca, M., & Edmondson, A. C. (2024). Where data-driven decision-making can go wrong. Harvard Business Review, 102(5), 203–218.
Kahneman, D., & Tversky, A. (1974). Judgment under uncertainty: Heuristics and biases. Science, 185(4157), 1124–1131.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1992). The balanced scorecard—Measures that drive performance. Harvard Business Review, 70(1), 71–79.
Edmondson, A. C. (2019). The fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for learning, innovation, and growth. Hoboken, NJ: Wiley.
Brynjolfsson, E., & McElheran, K. (2016). Data in action: Data-driven decision making in U.S. manufacturing. Harvard Business School Working Paper No. 16-089.