Kesenjangan Desain dan Realitas Circular Economy: Pelajaran dari Sektor Swasta di Bangladesh

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

23 Desember 2025, 14.21

1. Pendahuluan: Circular Economy dan Janji Transformasi Sektor Swasta

Dalam banyak negara berkembang, circular economy sering dipromosikan sebagai solusi ganda: memperbaiki krisis lingkungan sekaligus membuka peluang ekonomi baru. Bangladesh merupakan contoh yang menarik karena berada pada fase pertumbuhan ekonomi yang agresif, didorong oleh industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi sektor swasta. Dalam konteks ini, circular economy diposisikan sebagai cara untuk “menghijaukan” pertumbuhan tanpa harus mengorbankan momentum pembangunan.

Penulis membuka analisis dengan menekankan bahwa Bangladesh sesungguhnya berada pada momen strategis. Sebagai negara dengan populasi besar dan produksi limbah perkotaan yang sangat tinggi, tekanan terhadap sistem lingkungan meningkat seiring dengan laju pembangunan infrastruktur dan aktivitas industri. Limbah padat, khususnya dari kota-kota besar, bukan lagi persoalan pinggiran, melainkan isu struktural yang memengaruhi kesehatan publik, kualitas hidup, dan daya dukung ekosistem.

Dalam kerangka ini, circular economy dipandang bukan sekadar pendekatan teknis pengelolaan limbah, tetapi sebagai model perubahan perilaku produksi dan konsumsi, terutama di sektor swasta. Penulis menekankan dua prasyarat utama agar circular economy dapat berfungsi: desain kebijakan publik yang tepat waktu dan keterlibatan aktif sektor swasta dalam mengembangkan model bisnis berbasis sirkularitas. Tanpa kombinasi keduanya, circular economy berisiko berhenti sebagai wacana normatif.

Namun, sejak awal pendahuluan, penulis juga memberi sinyal kritis. Meskipun konsep circular economy semakin populer, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan antara desain kebijakan dan praktik bisnis. Banyak kebijakan secara implisit mengasumsikan bahwa sektor swasta akan merespons insentif circular economy secara otomatis. Padahal, dalam konteks negara berkembang, keputusan bisnis sangat dipengaruhi oleh akses pembiayaan, persepsi risiko, dan struktur pasar yang sering kali tidak mendukung inovasi sirkular.

Pendahuluan ini membangun tesis utama artikel: masalah utama circular economy di Bangladesh bukan ketiadaan konsep atau niat, melainkan kesenjangan antara kerangka desain kebijakan dan realitas operasional sektor swasta. Untuk memahami kesenjangan tersebut, analisis perlu bergeser dari level abstrak ke pengalaman konkret para pelaku usaha.

 

2. Circular versus Linear Economy: Perbedaan Konseptual dan Tantangan Implementasi

Untuk menjelaskan mengapa kesenjangan tersebut muncul, penulis terlebih dahulu membedakan secara tegas antara ekonomi linear dan ekonomi sirkular. Ekonomi linear mengikuti logika “ambil–buat–buang”, di mana bahan baku diekstraksi, diolah menjadi produk, digunakan, lalu dibuang sebagai limbah. Model ini relatif sederhana, mudah diskalakan, dan selama puluhan tahun menjadi fondasi pertumbuhan industri.

Sebaliknya, circular economy menuntut perubahan sistemik. Prinsip dasarnya adalah mengurangi penggunaan bahan baku primer, memperpanjang umur produk, dan mengembalikan limbah ke dalam siklus produksi melalui penggunaan ulang dan daur ulang. Dalam praktik, ini berarti desain produk harus berubah sejak awal, proses produksi harus meminimalkan limbah, dan sistem energi idealnya beralih ke sumber terbarukan. Konsumen pun tidak lagi diposisikan sebagai pengguna pasif, tetapi sebagai bagian dari siklus material.

Penulis menekankan bahwa secara konseptual, circular economy menawarkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi sekaligus. Namun, di sinilah letak masalah implementasi. Bagi banyak pelaku usaha di Bangladesh, ekonomi linear masih dianggap lebih murah, lebih pasti, dan lebih mudah dijalankan. Circular economy, sebaliknya, dipersepsikan sebagai model yang kompleks, berisiko, dan membutuhkan investasi awal yang besar.

Perbedaan ini menciptakan jurang antara idealisme kebijakan dan realitas bisnis. Kebijakan circular economy sering kali dirancang dengan asumsi ketersediaan teknologi, pasar sekunder untuk produk daur ulang, dan konsumen yang bersedia menerima produk sirkular. Di lapangan, asumsi-asumsi tersebut tidak selalu terpenuhi. Akibatnya, sektor swasta cenderung bertahan pada praktik linear meskipun secara normatif mendukung keberlanjutan.

Section ini menunjukkan bahwa tantangan circular economy di Bangladesh bukan terletak pada kurangnya pemahaman konseptual, tetapi pada ketidakselarasan antara tuntutan sistem sirkular dan kondisi struktural sektor swasta. Selama ekonomi linear tetap menawarkan jalur yang lebih aman dan menguntungkan, circular economy akan sulit berkembang di luar segmen usaha yang sangat terbatas.

 

3. Peran Sektor Swasta: Antara Peluang Ekonomi dan Risiko Struktural

Sektor swasta sering diposisikan sebagai penggerak utama circular economy, terutama di negara berkembang yang pertumbuhan industrinya didorong oleh investasi dan aktivitas bisnis. Dalam kerangka ideal, sektor ini diharapkan mampu mengintegrasikan prinsip sirkular ke dalam desain produk, proses produksi, serta pengelolaan limbah, sekaligus menciptakan nilai ekonomi baru. Namun, realitas di Bangladesh menunjukkan bahwa peran tersebut jauh lebih problematis daripada yang sering diasumsikan dalam kebijakan.

Sebagian besar pelaku usaha masih beroperasi dalam logika ekonomi linear karena model ini menawarkan kepastian biaya dan pasar. Bahan baku primer relatif mudah diakses, rantai pasok telah mapan, dan risiko bisnis dapat diprediksi. Sebaliknya, circular economy menuntut investasi awal yang tidak kecil, perubahan proses produksi, serta ketergantungan pada pasar sekunder yang belum stabil. Dalam konteks persaingan ketat dan margin keuntungan yang tipis, banyak perusahaan memandang transisi sirkular sebagai langkah yang berisiko secara finansial.

Selain faktor biaya, terdapat persoalan ketiadaan ekosistem pendukung. Circular economy tidak dapat dijalankan oleh satu perusahaan secara terpisah; ia membutuhkan jaringan pemasok, pengumpul limbah, pendaur ulang, dan konsumen yang siap menerima produk sirkular. Di Bangladesh, ekosistem ini masih terfragmentasi dan sebagian besar bersifat informal. Akibatnya, perusahaan yang ingin menerapkan model sirkular sering kali harus membangun sistem pendukungnya sendiri, yang meningkatkan kompleksitas dan biaya operasional.

Faktor lain yang menghambat keterlibatan sektor swasta adalah ketidakjelasan insentif kebijakan. Banyak kebijakan circular economy menekankan kewajiban dan tanggung jawab, tetapi belum diimbangi dengan insentif ekonomi yang cukup kuat. Tanpa kepastian dukungan fiskal, akses pembiayaan hijau, atau perlindungan pasar bagi produk sirkular, perusahaan cenderung mengambil posisi menunggu. Circular economy kemudian diperlakukan sebagai proyek percontohan atau kegiatan tanggung jawab sosial, bukan sebagai strategi inti bisnis.

Bab ini memperlihatkan bahwa masalah utama bukanlah resistensi ideologis sektor swasta terhadap keberlanjutan, melainkan ketidaksesuaian antara tuntutan circular economy dan struktur risiko bisnis. Selama ekonomi linear tetap menawarkan jalur yang lebih aman dan menguntungkan, transisi sirkular akan terbatas pada segmen usaha tertentu yang memiliki modal, teknologi, atau motivasi non-ekonomi yang kuat.

Section ini menegaskan bahwa keberhasilan circular economy di Bangladesh sangat bergantung pada kemampuan kebijakan publik untuk menggeser struktur insentif. Tanpa perubahan yang membuat praktik sirkular lebih kompetitif dibandingkan praktik linear, sektor swasta akan tetap menjadi aktor pasif—mendukung secara normatif, tetapi enggan bertransformasi secara sistemik.

 

4. Kesenjangan Kebijakan dan Realitas Lapangan: Mengapa Circular Economy Sulit Mengakar

Meskipun kerangka kebijakan circular economy di Bangladesh terus berkembang, terdapat kesenjangan yang jelas antara ambisi kebijakan dan kondisi lapangan. Salah satu sumber utama kesenjangan ini adalah asumsi implisit bahwa perubahan regulasi akan secara otomatis diterjemahkan menjadi perubahan praktik bisnis. Dalam kenyataannya, kebijakan sering kali berhenti pada level normatif dan belum menyentuh hambatan operasional yang dihadapi pelaku usaha.

Di tingkat implementasi, circular economy berhadapan dengan keterbatasan infrastruktur dasar. Sistem pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan limbah masih belum terstandarisasi dan sangat bergantung pada sektor informal. Akibatnya, kualitas material daur ulang tidak konsisten dan sulit memenuhi kebutuhan industri. Tanpa pasokan material sekunder yang stabil dan berkualitas, perusahaan tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengintegrasikan input sirkular ke dalam proses produksinya.

Selain itu, terdapat masalah koordinasi kelembagaan. Circular economy menuntut keterlibatan lintas sektor—lingkungan, industri, perdagangan, keuangan, dan pemerintah daerah. Namun, kebijakan sering dirancang dan dijalankan secara sektoral, dengan tujuan dan indikator kinerja yang tidak selalu selaras. Fragmentasi ini membuat circular economy kehilangan arah strategis dan cenderung direduksi menjadi isu pengelolaan limbah semata, bukan transformasi sistem produksi dan konsumsi.

Aspek lain yang krusial adalah kapasitas pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah. Banyak UKM beroperasi dengan teknologi sederhana dan akses pembiayaan yang terbatas. Dalam kondisi ini, tuntutan untuk beralih ke model sirkular—yang sering memerlukan investasi teknologi dan sertifikasi—dipersepsikan sebagai beban tambahan. Tanpa dukungan teknis dan finansial yang memadai, kebijakan circular economy justru berpotensi memperlebar kesenjangan antara pelaku usaha besar dan kecil.

Section ini menegaskan bahwa kegagalan circular economy untuk mengakar bukan disebabkan oleh resistensi semata, melainkan oleh ketidakselarasan antara desain kebijakan dan realitas struktural ekonomi. Tanpa penyesuaian kebijakan yang lebih kontekstual, circular economy akan tetap berada di pinggiran praktik bisnis arus utama.

 

5. Implikasi Strategis: Dari Pendekatan Normatif ke Transformasi Insentif

Berdasarkan kesenjangan tersebut, arah strategis circular economy di Bangladesh perlu bergeser dari pendekatan normatif menuju transformasi struktur insentif. Circular economy tidak dapat bergantung pada ajakan moral atau kewajiban administratif semata; ia harus menjadi pilihan rasional secara ekonomi bagi sektor swasta.

Implikasi pertama adalah pentingnya insentif finansial yang terarah. Subsidi investasi awal, skema pembiayaan hijau, dan pengurangan risiko bagi proyek sirkular dapat menurunkan hambatan masuk bagi pelaku usaha. Tanpa mekanisme ini, circular economy akan terus kalah bersaing dengan model linear yang lebih mapan dan murah.

Implikasi kedua adalah penguatan ekosistem pasar. Produk dan material sirkular membutuhkan pasar yang jelas agar dapat diserap secara berkelanjutan. Ini mencakup standar kualitas material daur ulang, kebijakan pengadaan publik yang mendukung produk sirkular, serta mekanisme informasi pasar yang transparan. Dengan demikian, circular economy tidak hanya didorong dari sisi regulasi, tetapi juga dari sisi permintaan.

Implikasi ketiga berkaitan dengan pendekatan bertahap dan selektif. Tidak semua sektor atau perusahaan dapat bertransisi secara simultan. Fokus awal pada sektor dengan volume limbah tinggi dan potensi nilai tambah yang jelas memungkinkan pembelajaran kebijakan dan demonstrasi keberhasilan. Pendekatan ini lebih realistis dibandingkan penerapan luas yang berisiko menghasilkan kepatuhan semu.

Section ini menekankan bahwa circular economy di Bangladesh hanya dapat bergerak dari wacana ke praktik jika kebijakan mampu mengubah kalkulasi ekonomi pelaku usaha. Ketika praktik sirkular menjadi lebih menguntungkan, lebih aman, dan lebih terintegrasi dengan pasar, sektor swasta akan beralih bukan karena kewajiban, tetapi karena rasionalitas bisnis.

 

6. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Tantangan Struktural, Bukan Sekadar Inovasi Bisnis

Analisis terhadap pengalaman Bangladesh menunjukkan bahwa circular economy tidak gagal karena kurangnya kesadaran lingkungan atau ketiadaan inisiatif sektor swasta. Kegagalannya lebih bersifat struktural: ekonomi linear masih menawarkan jalur yang lebih aman, murah, dan dapat diprediksi bagi pelaku usaha, sementara circular economy menuntut perubahan sistem yang belum didukung oleh ekosistem kebijakan dan pasar yang memadai.

Circular economy dalam konteks ini terlalu sering diperlakukan sebagai inovasi tambahan, bukan sebagai perubahan logika ekonomi. Selama ia ditempatkan sebagai proyek lingkungan atau tanggung jawab sosial, praktik sirkular akan tetap berada di pinggiran strategi bisnis. Artikel ini menunjukkan bahwa transisi sirkular hanya mungkin terjadi ketika struktur insentif, infrastruktur, dan tata kelola secara kolektif menggeser keseimbangan dari ekonomi linear menuju ekonomi yang lebih tertutup siklusnya.

Pengalaman Bangladesh memperjelas satu hal penting: circular economy bukan solusi teknis yang dapat “dipasang” pada sistem ekonomi yang ada. Ia menuntut intervensi kebijakan yang menyentuh inti pengambilan keputusan bisnis—biaya, risiko, dan kepastian pasar. Tanpa perubahan pada level ini, circular economy akan terus menjadi wacana yang terdengar progresif tetapi minim dampak sistemik.

 

Daftar Pustaka

Nguyen, T. H., Lai, N. T., Pham, H. Q., & Nguyen, M. T. (2022). Circular economy and private sector engagement in Bangladesh. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.

Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.

McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.

Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.