Kerja Shift, Ritme Sirkadian, dan Keselamatan Kerja: Tantangan Ergonomi pada Pekerjaan Malam dan Pekerjaan Monoton

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko

15 Desember 2025, 13.10

Sumber: pexels.com

Pendahuluan

Banyak sektor industri modern menuntut operasional selama 24 jam tanpa henti. Industri manufaktur, konstruksi, rumah sakit, pelabuhan, pertambangan, hingga transportasi merupakan contoh sektor yang tidak dapat sepenuhnya mengikuti jam kerja normal siang hari. Konsekuensinya, sistem kerja shift, khususnya kerja malam, menjadi keniscayaan.

Namun, tubuh manusia secara biologis tidak dirancang untuk bekerja pada malam hari. Ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan ritme biologis inilah yang menjadi sumber berbagai masalah ergonomi, mulai dari penurunan performa, peningkatan kesalahan kerja, kelelahan, hingga kecelakaan serius.

Materi yang menjadi dasar artikel ini membahas secara mendalam bagaimana kerja shift dan pekerjaan monoton memengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis manusia, serta bagaimana pendekatan ergonomi dapat digunakan untuk meminimalkan risikonya.

Kerja Shift dalam Berbagai Sektor Industri

Kerja shift tidak hanya ditemukan di industri manufaktur. Dalam praktiknya, sistem ini juga diterapkan pada:

  • Industri konstruksi, terutama pekerjaan jalan raya yang dilakukan pada malam hari

  • Fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan layanan darurat

  • Pelabuhan dan bandara, yang beroperasi 24 jam

  • Transportasi, termasuk pengemudi truk, masinis, dan operator alat berat

  • Pertambangan, dengan jarak tempuh dan durasi kerja yang panjang

Kesamaan dari seluruh sektor ini adalah tuntutan kewaspadaan tinggi dalam kondisi biologis yang sebenarnya tidak optimal.

Ritme Sirkadian: Jam Biologis Manusia

Pengertian Ritme Sirkadian

Ritme sirkadian merupakan pola biologis alami manusia yang berulang setiap 24 jam dan mengatur berbagai fungsi tubuh, seperti:

  • siklus tidur–bangun,

  • suhu tubuh,

  • tekanan darah,

  • sekresi hormon,

  • tingkat kewaspadaan.

Secara alami, fungsi fisiologis manusia mulai menurun pada sore hari, mencapai titik terendah pada sekitar pukul 03.00–05.00 dini hari, lalu meningkat kembali pada pagi hari.

Implikasi terhadap Kerja Malam

Ketika seseorang bekerja pada malam hari, ia dipaksa beraktivitas pada saat:

  • suhu tubuh berada pada titik terendah,

  • tekanan darah menurun,

  • hormon melatonin meningkat,

  • rasa kantuk mencapai puncaknya.

Kondisi ini menjelaskan mengapa performa kerja malam secara umum lebih rendah dibandingkan kerja siang.

Dampak Kerja Shift terhadap Fisiologi dan Psikologi

Dampak Fisiologis

Kerja shift malam terbukti berdampak pada:

  • penurunan kualitas tidur pengganti,

  • berkurangnya kemampuan fisik,

  • gangguan pencernaan,

  • kelelahan kronis.

Tidur pada siang hari tidak mampu menggantikan kualitas tidur malam secara optimal karena gangguan cahaya, kebisingan, dan ritme hormonal.

Dampak Psikologis dan Kognitif

Dari sisi mental, kerja malam menyebabkan:

  • penurunan kewaspadaan,

  • melambatnya waktu reaksi,

  • kesulitan konsentrasi,

  • peningkatan risiko kesalahan kerja.

Kondisi ini sangat berbahaya pada pekerjaan yang menuntut ketelitian tinggi, seperti operator alat berat dan pengemudi.

Studi Lapangan: Kerja Shift dan Kesalahan Operasional

Kasus Operator Gerbang Tol

Penelitian lapangan pada operator gerbang tol menunjukkan bahwa tingkat kesalahan tertinggi terjadi pada shift malam, terutama pada rentang waktu dini hari. Kesalahan ini berkorelasi dengan:

  • penurunan suhu tubuh,

  • meningkatnya rasa kantuk,

  • menurunnya kewaspadaan.

Kasus Operator Pelabuhan Merak

Studi lain pada operator pelabuhan yang bekerja malam hari dengan sistem istirahat bergilir menunjukkan hasil menarik. Operator yang mendapat waktu istirahat pada tengah atau akhir malam (sekitar pukul 01.00–05.00) menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan mereka yang beristirahat di awal shift.

Temuan ini menegaskan pentingnya penempatan waktu istirahat yang selaras dengan ritme sirkadian.

Pekerjaan Monoton dan Beban Mental

Pekerjaan monoton, seperti masinis atau operator sistem otomatis, menimbulkan tantangan ergonomi tersendiri. Meskipun tuntutan fisik relatif rendah, beban mental justru sangat tinggi karena pekerja harus tetap waspada dalam kondisi rangsangan yang minim.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian variasi tugas kognitif ringan dapat:

  • menurunkan rasa kantuk,

  • mengurangi beban mental,

  • meningkatkan kewaspadaan.

Mengukur Kantuk dan Kelelahan Kerja

Metode Objektif

Beberapa metode objektif yang digunakan antara lain:

  • Blink rate (frekuensi kedipan mata),

  • Blink duration (durasi mata tertutup),

  • EEG untuk mengukur gelombang otak,

  • Heart rate sebagai indikator beban fisik.

Peningkatan durasi kedipan mata di atas 0,3 detik menjadi indikator kuat meningkatnya kantuk.

Metode Subjektif

Metode subjektif dilakukan melalui:

  • kuesioner tingkat kantuk (misalnya KSS),

  • kuesioner kelelahan kerja,

  • penilaian gejala fisik dan mental.

Pendekatan ini penting untuk menangkap persepsi pekerja yang tidak selalu terdeteksi secara fisiologis.

Faktor Usia dan Risiko Kantuk

Hasil penelitian pada pengemudi truk industri menunjukkan bahwa:

  • pengemudi berusia di atas 41 tahun mengalami peningkatan kantuk lebih cepat,

  • risiko meningkat signifikan setelah 3–4 jam berkendara,

  • istirahat singkat di rest area secara nyata menurunkan indikator kantuk.

Temuan ini memperkuat pentingnya manajemen durasi kerja berbasis waktu, bukan hanya jarak tempuh.

Strategi Ergonomi untuk Mengurangi Kantuk dan Kelelahan

Beberapa intervensi ergonomi yang terbukti efektif meliputi:

  • Pengaturan waktu istirahat di tengah atau akhir shift malam

  • Pencahayaan terang untuk menekan produksi melatonin

  • Perubahan posisi tubuh (duduk–berdiri–bergerak)

  • Aktivitas sosial ringan (bercakap, interaksi tim)

  • Asupan cairan dan makanan ringan

  • Istirahat singkat (power nap)

Pendekatan ini relatif sederhana, namun berdampak signifikan terhadap keselamatan kerja.

Kerja Shift dan Keselamatan Transportasi

Dalam konteks transportasi, kelelahan dan kantuk berkorelasi kuat dengan:

  • kecelakaan tunggal,

  • micro-sleep,

  • safety critical event.

Karena itu, pendekatan ergonomi tidak hanya penting bagi industri, tetapi juga bagi regulator dan manajemen transportasi dalam upaya menekan angka kecelakaan.

Kritik dan Ruang Pengembangan

Kekuatan Materi

  • berbasis penelitian lapangan nyata,

  • relevan lintas sektor,

  • menggabungkan aspek fisiologi dan ergonomi.

Keterbatasan

  • sebagian studi bersifat kontekstual lokal,

  • belum terintegrasi dengan teknologi monitoring digital secara luas.

Ke depan, integrasi sensor wearable dan sistem peringatan dini menjadi peluang pengembangan penting.

Kesimpulan

Kerja shift dan pekerjaan monoton merupakan tantangan ergonomi serius dalam industri modern. Ketidaksesuaian antara tuntutan kerja dan ritme sirkadian manusia meningkatkan risiko kelelahan, kesalahan, dan kecelakaan. Melalui pendekatan ergonomi yang tepat—terutama pengaturan waktu istirahat, pencahayaan, dan variasi aktivitas—risiko tersebut dapat dikendalikan secara signifikan.

📚 Sumber Utama

Materi utama artikel ini disarikan dari pemaparan mengenai kerja shift, ritme sirkadian, dan kelelahan kerja melalui webinar yang dapat diakses di:
🔗 https://www.youtube.com/watch?v=i9ewsi00rn8

Sumber Pendukung

  • Folkard, S., & Tucker, P. (2003). Shift work, safety and productivity.

  • Åkerstedt, T. (2007). Altered sleep/wake patterns and mental performance.

  • ILO. Night Work and Shift Work Guidelines.

  • WHO. Work Schedules and Health.