Kerja Keras tapi Bayaran Telat? Sains Punya Jawabannya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

20 Oktober 2025, 14.53

Kerja Keras tapi Bayaran Telat? Sains Punya Jawabannya

Pernah Merasa Kerja Keras tapi Bayaran Selalu Telat? Anda Tidak Sendiri.

Beberapa waktu lalu, saya mengerjakan sebuah proyek sampingan. Bukan proyek raksasa, hanya sebuah pekerjaan desain grafis untuk klien. Saya mengerahkan semua kemampuan, begadang beberapa malam, dan mengirimkan hasilnya tepat waktu. Klien senang, revisi selesai, dan saya mengirimkan faktur dengan perasaan lega. Lalu… hening. Seminggu berlalu. Dua minggu. Email saya dijawab dengan, "Sedang diproses bagian keuangan." Sebulan kemudian, uang itu akhirnya masuk, tapi rasa frustrasi dan cemas karena arus kas yang terganggu masih membekas.

Perasaan itu—campuran antara jengkel, tidak berdaya, dan sedikit panik—pasti akrab bagi banyak dari kita. Entah Anda seorang freelancer, pemilik usaha kecil, atau manajer di perusahaan besar, keterlambatan pembayaran adalah momok yang universal.

Sekarang, bayangkan perasaan itu, tapi kalikan taruhannya dengan ratusan miliar rupiah. Itulah dunia proyek rekayasa sipil—pembangunan jalan tol, jembatan, atau bandara. Di sinilah saya secara tidak sengaja menemukan sebuah "peta harta karun" dalam bentuk jurnal ilmiah berjudul Factors Contributing to Delay of Interim Payment in Civil Engineering Projects. Awalnya saya pikir ini bacaan teknis yang kering, tapi ternyata isinya adalah sebuah studi mendalam tentang mengapa proyek-proyek besar sering kali tersendat secara finansial.   

Paper ini, bagi saya, bukan hanya tentang konstruksi di Malaysia. Ini adalah cermin bagi setiap proyek di industri mana pun. Ia mengungkap bahwa alasan yang biasa kita salahkan—seperti ukuran proyek yang terlalu besar atau jenis pekerjaan yang rumit—sering kali keliru. Penyebab sesungguhnya jauh lebih halus, lebih manusiawi, dan tersembunyi di dalam proses yang kita anggap remeh. Studi ini menunjukkan bahwa keterlambatan pembayaran adalah "masalah kronis" yang bisa "menghancurkan seluruh rantai pasokan" proyek. Mari kita bedah bersama tiga musuh tersembunyi yang diam-diam menyabotase proyek kita.   

Darah Proyek yang Tersumbat: Mengapa Uang Adalah Oksigen

Para peneliti dalam paper ini menggunakan sebuah analogi yang sangat kuat: pembayaran interim (atau pembayaran bertahap) adalah "'darah' bagi kontraktor". Saya rasa ini adalah metafora yang sempurna. Bayangkan sebuah proyek sebagai organisme hidup yang kompleks. Pembayaran bukanlah sekadar keuntungan di akhir; ia adalah sel darah merah yang membawa oksigen ke setiap bagian tubuh.   

Uang itu digunakan untuk membayar upah pekerja (otot yang menggerakkan proyek), membeli material (tulang kerangka proyek), dan menyewa alat berat (alat vital untuk berfungsi). Ketika aliran darah ini lancar, proyek berjalan sehat dan bertenaga.   

Tapi apa yang terjadi ketika aliran darah ini tersumbat? Paper ini melukiskan gambaran spiral kematian yang mengerikan:

  1. Proyek Mulai Melemah: Ketika pembayaran macet, kontraktor terpaksa "memperlambat aktivitas konstruksi". Ini seperti organisme yang mulai lesu karena kekurangan oksigen.   

  2. Fungsi Vital Dimatikan: Untuk bertahan hidup, mereka mulai "memangkas jumlah pekerja dan sumber daya lainnya". Organisme ini mulai mematikan fungsi-fungsi yang dianggap tidak esensial.   

  3. Kematian Proyek: Jika terus berlanjut tanpa solusi, ujungnya adalah "pengabaian proyek". Ini adalah serangan jantung. Proyek itu mati.   

Yang membuat situasi ini semakin parah adalah adanya ketidakseimbangan kekuatan yang sistemik. Studi ini menyoroti sebuah klausul dalam kontrak standar pemerintah Malaysia (PWD 203A) yang, terus terang, mengejutkan. Dalam kontrak tersebut, jika klien (pemerintah) terlambat membayar, kontraktor "tidak berhak untuk menangguhkan pekerjaan".   

Bayangkan ini dalam konteks lain: Anda adalah pemasok kopi untuk sebuah kafe. Kafe itu berhenti membayar tagihan Anda, tapi menurut kontrak, Anda harus tetap mengirimkan biji kopi setiap hari menggunakan uang Anda sendiri. Pilihan Anda hanya dua: selesaikan kontrak selama setahun penuh lalu menuntut mereka di pengadilan, atau menyatakan perang hukum dan menghentikan kerja sama—sebuah langkah drastis yang berisiko tinggi.   

Kondisi inilah yang membuat kontraktor sangat rentan. Mereka terjebak, harus terus mendanai proyek dari kantong sendiri sambil berharap pembayaran akan datang. Ini bukan sekadar masalah transaksi yang terlambat; ini adalah cacat desain dalam sistem yang menciptakan lahan subur bagi masalah-masalah yang akan kita bahas selanjutnya.

Tiga Musuh dalam Selimut yang Menggerogoti Proyek Anda

Jadi, apa sebenarnya yang menyebabkan "penyumbatan arteri" finansial ini? Para peneliti tidak sekadar menebak-nebak. Mereka melakukan survei mendalam terhadap 288 responden, terdiri dari insinyur dan kontraktor berpengalaman—orang-orang yang setiap hari bergelut di lapangan. Mereka mengidentifikasi 22 kemungkinan faktor dan menggunakan analisis statistik untuk menemukan mana yang benar-benar memiliki hubungan kuat dengan keterlambatan pembayaran.

Hantu "Revisi Kecil": Ketika Perubahan Lingkup Menjadi Bencana Finansial

Faktor dengan korelasi terkuat adalah "perubahan lingkup dan desain proyek".1 Ini adalah musuh yang kita semua kenal, tapi sering kita remehkan dampaknya.

Bayangkan Anda seorang koki yang dikontrak untuk menyediakan katering pernikahan 100 orang. Menu sudah disepakati. Tiba-tiba, seminggu sebelum hari H, klien menelepon, "Bisa tidak menu utamanya diganti dari ayam ke sapi?" Terdengar sederhana, bukan? Tapi satu perubahan ini memicu efek domino: Anda harus menghitung ulang biaya, negosiasi ulang dengan pemasok daging, mengubah alur kerja dapur, dan memperbarui daftar alergi tamu.

Sekarang, bayangkan klien menelepon setiap hari dengan "revisi kecil" seperti itu. Anda akan menghabiskan seluruh waktu Anda untuk rapat, negosiasi, dan membuat rencana baru, bukan memasak. Yang paling fatal, Anda tidak bisa menagih biaya tambahan untuk semua pekerjaan ekstra ini sampai rencana baru yang rumit itu disetujui oleh semua pihak.

Inilah yang terjadi di proyek-proyek besar. Setiap perubahan, sekecil apa pun, akan memicu "pekerjaan tambah-kurang" (variation works).1 Proses ini membutuhkan "banyak negosiasi" antara kontraktor dan klien untuk mencapai kesepakatan harga dan jadwal baru. Dan selama negosiasi itu berlangsung, pembayaran untuk pekerjaan tersebut "biasanya tidak akan dicairkan sampai kesepakatan tercapai".1 Proyek secara efektif dibekukan secara finansial, meskipun pekerjaan fisik mungkin terus berjalan.

Lebih buruk lagi, ketidakpastian ini merusak kepercayaan. Paper tersebut mencatat bahwa perubahan lingkup yang konstan dapat menciptakan konflik di mana klien dituduh "memainkan trik dalam pembayaran," sementara kontraktor dituduh "mengklaim tagihan berlebihan".1 Ini bukan karena kedua belah pihak jahat, melainkan karena kegagalan mendefinisikan lingkup di awal telah mengubah meja kerja sama menjadi medan pertempuran.

Misteri di Bawah Tanah: Jebakan Tak Terduga yang Menguras Anggaran

Penyebab signifikan kedua adalah "ketidakpastian kondisi tanah/lapangan" (ground uncertainty).1 Ini adalah perwujudan dari "unknown unknowns"—risiko yang tidak kita ketahui keberadaannya.

Analogi yang pas adalah seorang ahli bedah yang melakukan operasi usus buntu rutin. Prosedurnya standar, rencananya jelas. Namun, saat melakukan sayatan, ia menemukan kondisi lain yang jauh lebih kompleks dan tidak terduga di dalam tubuh pasien. Rencana operasi awal menjadi tidak relevan. Strategi baru yang rumit dan mahal harus dirancang di tempat, saat itu juga. Semua proses penagihan ke asuransi atau keluarga pasien akan ditunda sampai rencana perawatan baru ini disetujui.

Inilah yang terjadi ketika mesin bor terowongan tiba-tiba menabrak formasi batuan yang sangat keras, atau ketika penggalian fondasi menemukan lapisan tanah yang tidak stabil. Kejutan semacam ini bisa memicu "perubahan pada desain asli atau bahkan... perubahan pada lingkup proyek asli".1 Akibatnya sama seperti musuh pertama: munculnya variation works yang rumit, negosiasi panjang, dan penundaan pembayaran hingga semua masalah teratasi.1

Pelajaran di sini bukanlah untuk menyalahkan geologi. Mustahil kita bisa memprediksi setiap jengkal tanah. Pelajarannya adalah tentang kegagalan kita dalam merencanakan ketidakpastian itu sendiri. Proyek yang tangguh membutuhkan "sistem imun"—sebuah proses yang telah disepakati sebelumnya untuk menangani guncangan dan kejutan, tanpa harus membuat seluruh sistem berhenti berfungsi.

Labirin Birokrasi: Perjalanan Panjang Sebuah Faktur untuk Dibayar

Faktor ketiga yang sangat signifikan adalah "birokrasi di instansi pemerintah".1 Ini adalah masalah yang mungkin paling membuat kita semua mengangguk setuju, karena kita pernah mengalaminya dalam berbagai bentuk.

Studi ini merujuk pada sebuah contoh ekstrem di Ghana, di mana kontraktor mengeluh bahwa proses pembayaran di proyek publik "sangat keterlaluan," melibatkan "lebih dari 30 langkah dari pengajuan faktur hingga pencairan cek pembayaran".1

Coba bayangkan perjalanan epik sebuah faktur. Ia dicetak, ditandatangani, lalu memulai perjalanannya dari satu meja ke meja lain. Setiap meja membutuhkan stempel, setiap stempel membutuhkan persetujuan, dan setiap persetujuan adalah titik potensi kegagalan. Cukup satu orang sedang cuti, satu dokumen terselip, atau satu manajer sedang sibuk, seluruh proses bisa mandek selama berminggu-minggu.

Paper ini juga menyoroti bahwa ini bukan hanya masalah prosedur yang berlapis-lapis, tetapi juga "sikap para petugas di instansi pemerintah yang menunda proses," yang membuat masalah menjadi lebih buruk.1 Ada elemen kelalaian manusia di dalam mesin birokrasi yang lamban. Bagi kontraktor lokal yang sangat bergantung pada pembayaran tepat waktu untuk mendanai operasional, situasi ini sangat mengkhawatirkan.1

Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Bukan Ukuran Proyeknya, Tapi Pola Pikirnya

Kita sudah tahu tiga penjahat utamanya. Tapi bagian yang paling membuka mata saya dari studi ini adalah apa yang tidak terbukti menjadi masalah. Ini seperti dalam cerita detektif, di mana petunjuk yang paling penting adalah anjing yang tidak menggonggong.

Para peneliti menguji berbagai faktor yang secara intuitif kita anggap sebagai penyebab utama masalah. Hasilnya membongkar beberapa mitos yang sudah lama kita yakini:

  • 💥 Mitos #1: Proyek Raksasa Pasti Telat Bayar. Kenyataannya? Faktor "ukuran proyek" (project size) memiliki korelasi yang sangat lemah, hampir nol ($r=0.012$).1 Artinya, masalahnya bukan pada skala, melainkan pada sistem. Proyek kecil yang dikelola dengan buruk sama rentannya dengan proyek triliunan rupiah.

  • 🤯 Mitos #2: Jenis Proyek Tertentu Lebih Bermasalah. Hasilnya? Faktor "jenis proyek" (project type) ($r=-0.039$) dan "metode pengadaan" (procurement method) ($r=-0.071$) juga tidak signifikan.1 Apakah Anda membangun jalan tol atau jembatan, menggunakan metode tradisional atau Design and Build, Anda akan menghadapi jebakan birokrasi dan perubahan lingkup yang sama.

  • 🌪️ Mitos #3: Cuaca Buruk Jadi Kambing Hitam. Hasilnya? Faktor "kondisi cuaca" (weather condition) ($r=0.037$) tidak memiliki hubungan signifikan dengan keterlambatan pembayaran.1 Hujan lebat mungkin menunda pekerjaan di lapangan, tapi itu bukan alasan yang sah bagi bagian administrasi untuk menahan pembayaran atas pekerjaan yang sudah selesai.

Pelajaran dari semua ini sangat mendalam. Kita terlalu sering fokus pada apa yang kita kerjakan (ukuran proyek, kompleksitas teknis, tantangan fisik) dan kurang memperhatikan bagaimana kita mengerjakannya (bagaimana kita mendefinisikan lingkup, bagaimana kita menangani ketidakpastian, dan bagaimana kita memproses persetujuan). Masalahnya ternyata tidak terletak di lapangan konstruksi atau di langit, melainkan di ruang rapat dan di alur kerja administratif kita.

Opini Pribadi: Di Balik Data Hebat, Ada Peluang yang Terlewatkan

Saya harus akui, ini adalah riset yang fantastis. Ia berhasil memotong semua kebisingan dan memberikan kita tiga area fokus yang jelas dan didukung oleh data statistik. Namun, seperti semua penelitian yang baik, ia juga memicu pertanyaan lebih lanjut.

Ada beberapa hal yang perlu kita ingat saat membaca temuan ini. Pertama, meski temuannya hebat, penting untuk diingat bahwa studi ini menunjukkan korelasi, bukan sebab-akibat langsung. Perubahan lingkup sangat berhubungan dengan telat bayar, tapi studi ini tidak bisa membuktikan—misalnya—bahwa 10% perubahan lingkup secara pasti menyebabkan 30 hari keterlambatan pembayaran. Ini adalah peta yang menunjukkan di mana harta karun (atau ranjau) terkubur, tapi bukan GPS yang memberikan rute pasti.

Kedua, temuan ini sangat tajam untuk konteks spesifiknya: proyek pemerintah Malaysia yang menggunakan kontrak PWD 203A.1 Kita harus berhati-hati dalam menggeneralisasikannya. Birokrasi di sektor swasta mungkin memiliki dinamika yang berbeda, dan kerangka kontrak di negara lain bisa mengubah keseimbangan kekuatan secara drastis.

Terakhir, metodologi survei yang digunakan mengandalkan persepsi dari 288 profesional.1 Ini sangat berharga, karena menangkap pengalaman nyata dari para praktisi. Namun, itu tetaplah persepsi. Mungkin ada faktor ekonomi makro atau politik yang lebih dalam yang tidak bisa ditangkap oleh sebuah kuesioner.

Kritik-kritik ini sama sekali tidak melemahkan studi tersebut. Sebaliknya, mereka memperkuat pemahaman kita tentangnya. Mereka mengingatkan kita untuk berpikir seperti ilmuwan: mengambil temuan yang kuat dan selalu bertanya, "Apa pertanyaan selanjutnya?"

Tiga Pelajaran yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini (Bahkan Jika Anda Bukan Kontraktor)

Anda tidak perlu membangun jalan layang untuk bisa memetik pelajaran dari studi ini. Prinsip-prinsip di baliknya bisa Anda terapkan pada proyek tim Anda besok pagi.

  1. Definisikan "Selesai" Sebelum Memulai.

    Ini adalah penangkal untuk "perubahan lingkup." Sebelum memulai proyek apa pun, habiskan waktu secara obsesif untuk mendefinisikan apa saja yang termasuk dalam lingkup, apa hasil akhirnya, dan—yang paling penting—bagaimana proses untuk menangani permintaan perubahan. Buat "anggaran perubahan" (baik dalam bentuk waktu atau uang). Jadikan biaya dari setiap perubahan terlihat jelas bagi semua orang sejak awal.

  2. Rencanakan Skenario Bencana.

    Ini adalah vaksin untuk "ketidakpastian." Untuk setiap proyek penting, jalankan sebuah sesi "pre-mortem." Kumpulkan tim Anda dan ajukan pertanyaan ini: "Bayangkan satu tahun dari sekarang, proyek ini gagal total. Ceritakan apa yang salah." Latihan ini akan memaksa Anda untuk mengidentifikasi risiko-risiko tersembunyi ("kondisi tanah" versi Anda) sebelum terjadi. Ini bukan tentang pesimisme; ini tentang membangun ketangguhan.

  3. Lakukan "Audit Birokrasi" Internal Anda.

    Ini adalah obat untuk "birokrasi." Petakan satu proses penting di tim atau perusahaan Anda—misalnya, proses persetujuan klaim biaya, proses peluncuran konten media sosial, atau proses perekrutan karyawan baru. Hitung ada berapa langkah? Berapa banyak persetujuan yang dibutuhkan? Identifikasi satu titik macet terbesar dan nyatakan perang melawannya. Sederhanakan. Beri kepercayaan pada orang. Hilangkan langkah-langkah yang tidak perlu.

Menguasai prinsip-prinsip ini—definisi lingkup yang solid, manajemen risiko, dan efisiensi proses—adalah inti dari manajemen proyek modern. Jika Anda ingin memperdalam keterampilan ini, ada sumber daya hebat seperti kursus(https://diklatkerja.com/) yang bisa membantu Anda mengubah teori ini menjadi praktik.

Pada akhirnya, masalah-masalah besar yang melumpuhkan proyek sering kali berawal dari hal-hal kecil yang kita abaikan. Keterlambatan pembayaran bukanlah takdir, melainkan gejala dari proses yang rusak. Dengan memahami tiga pemicu utamanya, kita bisa mulai memperbaikinya, satu per satu.

Kalau kamu tertarik untuk melihat data mentahnya dan menggali lebih dalam, saya sangat merekomendasikan membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.14716/ijtech.v14i4.3370)