Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang paling padat karya, berkontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB), sekaligus menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang. Namun, tantangan yang dihadapi sektor ini sangat kompleks: mulai dari rendahnya produktivitas, tingginya angka kecelakaan kerja, hingga kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan kompetensi tenaga kerja konstruksi menjadi prioritas utama.
Penelitian Jadallah et al. (2021) mengusulkan sebuah framework penilaian pelatihan dengan memanfaatkan model evaluasi Kirkpatrick yang dimodifikasi. Model ini mengukur efektivitas pelatihan dalam empat dimensi:
-
Reaction – sejauh mana peserta merasa puas dengan pelatihan.
-
Learning – peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah pelatihan.
-
Behavior – perubahan perilaku kerja peserta setelah kembali ke lapangan.
-
Results – dampak pelatihan pada produktivitas organisasi, keselamatan, dan kualitas kerja.
Implikasi bagi Indonesia sangat besar. Saat ini, berbagai program pelatihan konstruksi memang telah tersedia, baik yang diselenggarakan oleh LPJK, Kementerian PUPR, maupun swasta. Namun, mekanisme evaluasi pelatihan sering kali hanya menekankan jumlah peserta atau jam pelatihan, bukan efektivitas nyata di lapangan. Hal ini sejalan dengan catatan dalam artikel DiklatKerja tentang Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
-
Produktivitas meningkat: Dengan evaluasi berbasis outcome, pelatihan dapat benar-benar meningkatkan kecepatan, kualitas, dan efisiensi kerja.
-
Keselamatan kerja lebih baik: Tenaga kerja yang terlatih terbukti lebih mampu mematuhi prosedur K3, sehingga menurunkan angka kecelakaan.
-
Profesionalisasi tenaga kerja: Kerangka penilaian membantu mengakui keterampilan pekerja secara formal, mendorong peningkatan karier, dan memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar internasional.
Hambatan
-
Keterbatasan anggaran: Evaluasi menyeluruh membutuhkan biaya tambahan untuk survei, audit, dan analisis data.
-
Kurangnya data: Banyak lembaga pelatihan tidak memiliki sistem informasi yang memadai untuk melacak perkembangan peserta pascapelatihan.
-
Resistensi organisasi: Sebagian perusahaan konstruksi masih melihat pelatihan sebagai kewajiban formal, bukan investasi jangka panjang.
Peluang
-
Digitalisasi pelatihan: Teknologi e-learning dan Learning Management System (LMS) dapat menurunkan biaya, sekaligus memudahkan pengumpulan data evaluasi.
-
Kolaborasi internasional: Adopsi standar global dalam penilaian pelatihan dapat meningkatkan kredibilitas tenaga kerja Indonesia.
-
Kebijakan pemerintah: UU Jasa Konstruksi dan program sertifikasi kompetensi nasional membuka ruang besar untuk integrasi framework ini.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Penetapan Standar Nasional Evaluasi Pelatihan Konstruksi
Pemerintah perlu mengadopsi framework penilaian berbasis Kirkpatrick yang dimodifikasi sebagai standar nasional. Dengan demikian, semua lembaga pelatihan dapat diukur dengan indikator yang sama, sehingga hasilnya lebih objektif dan dapat dibandingkan.
2. Integrasi Evaluasi Pelatihan dengan Sertifikasi Kompetensi
Hasil evaluasi pelatihan sebaiknya dijadikan prasyarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Hal ini memastikan bahwa sertifikasi tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan kompetensi kerja.
3. Penguatan Sistem Informasi Pelatihan Nasional
Perlu dibangun database nasional yang merekam data peserta pelatihan, hasil evaluasi, serta dampaknya terhadap kinerja di lapangan. Sistem ini bisa terintegrasi dengan platform seperti SIJK atau SIKI yang dikelola oleh Kementerian PUPR.
4. Insentif bagi Perusahaan yang Melakukan Evaluasi Menyeluruh
Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal atau kemudahan akses proyek bagi perusahaan konstruksi yang terbukti melaksanakan evaluasi pelatihan secara sistematis.
5. Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi dan Asosiasi Profesi
Perguruan tinggi dapat berperan dalam riset dan pengembangan metodologi evaluasi, sementara asosiasi profesi membantu memastikan standar diterapkan secara konsisten di industri.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan evaluasi pelatihan tidak diterapkan secara konsisten, beberapa risiko besar akan muncul:
-
Pelatihan hanya menjadi formalitas, tanpa memberikan dampak nyata pada produktivitas maupun keselamatan kerja.
-
Sertifikasi kehilangan kredibilitas, karena tidak didukung oleh proses evaluasi yang objektif.
-
Kesenjangan kompetensi tetap lebar, terutama antara pekerja yang bekerja di perusahaan besar dengan akses pelatihan berkualitas dan pekerja informal yang tidak terjangkau program evaluasi.
Selain itu, tanpa sistem evaluasi yang kuat, Indonesia berisiko tertinggal dari negara lain yang sudah menerapkan pendekatan berbasis outcome dalam pelatihan tenaga kerja konstruksi.
Penutup
Penelitian Jadallah et al. (2021) memberikan kontribusi penting dengan mengusulkan framework penilaian pelatihan konstruksi yang lebih komprehensif. Bagi Indonesia, adopsi framework ini akan membawa manfaat besar dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja, menurunkan angka kecelakaan, dan memperkuat daya saing global.
Kebijakan publik yang berpihak pada evaluasi pelatihan bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun sektor konstruksi yang produktif, aman, dan berkelanjutan. Sejalan dengan visi Indonesia 2045, tenaga kerja konstruksi yang kompeten dan terukur akan menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional.
Sumber
Jadallah, N., et al. (2021). Construction Industry Training Assessment Framework. Frontiers in Built Environment. DOI: 10.3389/fbuil.2021.678366.