Kebijakan Pengelolaan Sampah Plastik Berbasis Ekonomi Sirkular di Indonesia: Tantangan Regulasi dan Pelajaran Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

17 Desember 2025, 18.32

1. Pendahuluan: Sampah Plastik sebagai Masalah Kebijakan, Bukan Sekadar Perilaku

Sampah plastik kerap dipersepsikan sebagai persoalan perilaku konsumsi dan lemahnya kesadaran masyarakat. Narasi ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi berisiko menutupi masalah yang lebih mendasar. Dalam skala nasional, sampah plastik adalah masalah kebijakan publik: bagaimana negara merancang regulasi, membagi tanggung jawab produsen dan konsumen, serta membangun insentif ekonomi yang mendorong perubahan sistemik.

Indonesia berada pada posisi yang paradoksal. Di satu sisi, berbagai komitmen pengurangan sampah plastik telah dicanangkan, baik melalui kebijakan nasional maupun kesepakatan internasional. Di sisi lain, laju produksi dan konsumsi plastik sekali pakai tetap tinggi, sementara sistem pengelolaan di hilir belum mampu menyerap lonjakan tersebut. Kesenjangan antara ambisi kebijakan dan kapasitas implementasi inilah yang menjadi sumber utama persoalan.

Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai solusi kunci. Dengan menekankan pengurangan di sumber, desain ulang produk, dan daur ulang, ekonomi sirkular menjanjikan pemutusan ketergantungan pada sistem linear “ambil–pakai–buang”. Namun dalam praktik, ekonomi sirkular tidak dapat berdiri di atas jargon. Ia membutuhkan kerangka regulasi yang koheren, penegakan hukum yang konsisten, serta mekanisme pasar yang mendukung.

Artikel ini membahas temuan dari paper “Circular Economy-Based Plastic Waste Management Policy in Indonesia: A Comparative Study with China and the European Union”, yang menempatkan kebijakan Indonesia dalam perspektif global. Dengan membandingkan pendekatan regulasi dan tata kelola, artikel ini berupaya mengurai mengapa ekonomi sirkular pada sampah plastik berjalan lebih efektif di beberapa yurisdiksi dibandingkan Indonesia, serta pelajaran apa yang dapat ditarik secara realistis.

Fokus pembahasan tidak berhenti pada perbandingan normatif. Yang lebih penting adalah bagaimana pelajaran global tersebut diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia yang memiliki struktur pasar, kapasitas institusi, dan tantangan sosial yang berbeda. Dengan pendekatan ini, ekonomi sirkular dibaca bukan sebagai tujuan ideal, melainkan sebagai proyek kebijakan yang membutuhkan penyesuaian struktural.

 

2. Kerangka Masalah Sampah Plastik di Indonesia: Fragmentasi Regulasi dan Kesenjangan Implementasi

Salah satu ciri utama kebijakan sampah plastik di Indonesia adalah fragmentasi regulasi. Berbagai aturan lahir di tingkat nasional, sektoral, dan daerah, namun sering kali tidak terintegrasi dalam satu kerangka yang konsisten. Akibatnya, tanggung jawab antar-aktor—pemerintah, produsen, dan konsumen—menjadi kabur, dan penegakan kebijakan berjalan tidak seragam.

Di tingkat hulu, pengendalian produksi plastik masih relatif lemah. Instrumen pembatasan, insentif desain ramah lingkungan, dan kewajiban produsen belum sepenuhnya membentuk tekanan ekonomi yang signifikan. Banyak kebijakan bersifat deklaratif, tetapi minim mekanisme pengawasan dan sanksi yang efektif. Dalam kondisi ini, beban pengelolaan cenderung bergeser ke hilir, memperbesar tekanan pada pemerintah daerah dan sistem pengelolaan sampah.

Di sisi hilir, keterbatasan infrastruktur dan pasar daur ulang memperparah masalah. Plastik bernilai rendah sulit diserap, sementara fluktuasi harga material daur ulang membuat aktivitas sirkular tidak stabil secara ekonomi. Tanpa dukungan kebijakan yang menjamin kepastian pasar, ekonomi sirkular pada plastik berisiko terjebak pada skala kecil dan informal.

Kesenjangan lain terletak pada koordinasi lintas sektor. Kebijakan lingkungan, industri, perdagangan, dan perlindungan konsumen sering berjalan sendiri-sendiri. Padahal, ekonomi sirkular menuntut pendekatan lintas sektor yang terintegrasi. Tanpa koordinasi tersebut, regulasi yang ada justru dapat saling meniadakan dampaknya.

Kerangka masalah ini menunjukkan bahwa tantangan utama pengelolaan sampah plastik di Indonesia bukan semata kekurangan kebijakan, melainkan ketiadaan arsitektur kebijakan yang kohesif. Di titik ini, perbandingan dengan China dan Uni Eropa menjadi relevan, bukan untuk ditiru mentah-mentah, tetapi untuk memahami bagaimana konsistensi regulasi dan penegakan hukum membentuk efektivitas ekonomi sirkular.

 

3. Pelajaran dari China dan Uni Eropa: Konsistensi Regulasi dan Disiplin Penegakan

Perbandingan dengan China dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi sirkular pada sampah plastik tidak ditentukan oleh banyaknya kebijakan, melainkan oleh konsistensi instrumen dan disiplin penegakan. Kedua yurisdiksi ini menempatkan plastik sebagai isu strategis lintas sektor, sehingga regulasi lingkungan, industri, dan perdagangan bergerak dalam satu arah yang relatif selaras.

China menempuh pendekatan yang tegas dan terpusat. Pembatasan plastik sekali pakai, pengendalian impor limbah plastik, dan kewajiban produsen diterapkan melalui kombinasi regulasi ketat dan penegakan administratif yang kuat. Pendekatan ini menciptakan sinyal kebijakan yang jelas bagi pelaku usaha: perubahan tidak bersifat opsional. Meski menghadapi tantangan transisi, konsistensi arah kebijakan mendorong investasi pada desain produk dan sistem daur ulang domestik.

Uni Eropa menempuh jalur berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama. Kerangka kebijakan dibangun secara bertahap melalui standar bersama, target yang terukur, dan mekanisme pasar yang mendukung. Instrumen seperti tanggung jawab produsen yang diperluas, pembatasan plastik tertentu, dan persyaratan kandungan daur ulang menciptakan tekanan ekonomi yang sistematis. Yang menonjol adalah kepastian regulasi jangka panjang, sehingga pelaku industri dapat menyesuaikan strategi bisnisnya.

Dari kedua contoh ini, pelajaran utamanya bukan pada detail kebijakan spesifik, melainkan pada arsitektur kebijakan. Ekonomi sirkular berjalan efektif ketika negara mampu menyatukan visi, instrumen, dan penegakan dalam satu kerangka yang konsisten. Tanpa itu, kebijakan mudah tereduksi menjadi himbauan yang tidak mengubah perilaku pasar.

 

4. Implikasi bagi Indonesia: Antara Ambisi dan Realisme Kebijakan

Bagi Indonesia, pelajaran global tersebut perlu dibaca secara realistis. Struktur pasar yang beragam, kapasitas institusi yang tidak merata, dan peran sektor informal membuat pendekatan “menyalin” kebijakan luar negeri berisiko gagal. Tantangannya bukan memilih model China atau Uni Eropa, tetapi menentukan kombinasi instrumen yang sesuai dengan konteks nasional.

Implikasi pertama adalah kebutuhan akan kerangka regulasi yang lebih terintegrasi. Pengendalian plastik tidak dapat dibebankan hanya pada pemerintah daerah atau konsumen. Instrumen hulu—seperti kewajiban produsen, standar desain, dan insentif ekonomi—perlu diperkuat agar tekanan perubahan tidak hanya terjadi di hilir. Tanpa rebalancing ini, ekonomi sirkular akan terus terbatas pada skala kecil.

Implikasi kedua menyangkut penegakan. Kebijakan yang baik di atas kertas kehilangan daya dorong ketika penegakan lemah atau tidak konsisten. Indonesia menghadapi tantangan klasik di sini: keterbatasan pengawasan dan fragmentasi kewenangan. Mengatasi hal ini membutuhkan prioritisasi kebijakan, bukan penambahan aturan baru yang memperumit sistem.

Implikasi ketiga adalah pengelolaan transisi. Ekonomi sirkular pada plastik akan mempengaruhi pelaku usaha, pekerja informal, dan konsumen. Tanpa strategi transisi yang adil, resistensi sosial dan ekonomi akan meningkat. Pelajaran dari luar menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang justru bergantung pada kemampuan negara mengelola fase transisi ini secara bertahap dan inklusif.

 

5. Tantangan Struktural dan Risiko Implementasi Ekonomi Sirkular Plastik di Indonesia

Meskipun arah kebijakan menuju ekonomi sirkular semakin jelas, implementasinya di Indonesia menghadapi tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan. Tantangan pertama adalah ketimpangan kapasitas antar wilayah. Pemerintah daerah memiliki kemampuan yang sangat beragam dalam hal regulasi turunan, pengawasan, dan penyediaan infrastruktur. Dalam kondisi ini, kebijakan nasional yang seragam berisiko menghasilkan dampak yang timpang dan tidak konsisten.

Tantangan kedua berkaitan dengan struktur pasar plastik. Dominasi plastik sekali pakai berbiaya rendah menciptakan hambatan ekonomi bagi material alternatif dan produk daur ulang. Tanpa intervensi kebijakan yang mengubah struktur insentif—misalnya melalui kewajiban kandungan daur ulang atau instrumen fiskal—ekonomi sirkular akan selalu kalah bersaing dengan sistem linear yang lebih murah dalam jangka pendek.

Risiko lain terletak pada ketergantungan pada sektor informal tanpa kerangka perlindungan yang memadai. Sektor informal memainkan peran penting dalam pengumpulan dan pemilahan plastik, tetapi sering berada di luar sistem kebijakan formal. Jika ekonomi sirkular diperluas tanpa desain transisi yang adil, ada risiko marginalisasi kelompok ini atau munculnya konflik kepentingan dengan aktor industri besar.

Selain itu, terdapat risiko over-regulation tanpa penegakan. Penambahan aturan baru sering dipersepsikan sebagai solusi cepat, padahal tanpa prioritas dan konsistensi, regulasi justru menambah kompleksitas dan biaya kepatuhan. Dalam konteks ini, keberhasilan ekonomi sirkular lebih ditentukan oleh penyederhanaan dan fokus kebijakan daripada akumulasi regulasi.

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular plastik bukan sekadar proyek teknis, melainkan agenda reformasi kebijakan yang menuntut perubahan cara negara mengelola regulasi, pasar, dan aktor sosial secara simultan.

 

6. Kesimpulan Analitis: Dari Retorika Ekonomi Sirkular ke Perubahan Sistemik

Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah plastik di Indonesia tidak akan berhasil jika berhenti pada retorika kebijakan. Komitmen dan target yang ambisius perlu ditopang oleh arsitektur regulasi yang koheren, penegakan hukum yang konsisten, dan desain transisi yang realistis.

Perbandingan dengan China dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan bukan soal meniru kebijakan tertentu, melainkan membangun konsistensi arah dan kepastian kebijakan. Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti menggeser fokus dari hilir ke hulu, memperjelas tanggung jawab produsen, dan menciptakan insentif ekonomi yang mengubah perilaku pasar.

Artikel ini juga menekankan pentingnya membaca ekonomi sirkular sebagai proses bertahap. Perubahan sistemik tidak terjadi secara instan dan tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan kapasitas institusi dan dampak sosial. Pendekatan yang terlalu normatif justru berisiko memicu resistensi dan kegagalan implementasi.

Pada akhirnya, tantangan utama Indonesia bukan kekurangan ide atau kebijakan, melainkan kemampuan mengorkestrasi perubahan. Ekonomi sirkular plastik akan menjadi nyata ketika kebijakan tidak hanya mendorong daur ulang, tetapi juga mendesain ulang sistem produksi dan konsumsi secara menyeluruh. Di titik inilah ekonomi sirkular bertransformasi dari jargon global menjadi strategi kebijakan yang relevan dan efektif bagi konteks nasional.

 

Daftar Pustaka

Sari, D. P., Nugroho, S., & Ramadhan, M. F. (2024). Circular economy-based plastic waste management policy in Indonesia: A comparative study with China and the European Union. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 11(2), 157–176.