Transportasi Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025
Setiap pagi antara pukul 06.00 hingga 09.00, dan setiap sore pukul 15.00 hingga 18.00, arteri utama Kota Surabaya berubah menjadi lautan logam yang nyaris tak bergerak. Ini bukan sekadar persepsi; ini adalah realitas terukur bagi kota dengan populasi yang pada tahun 2015 saja telah menembus 2,8 juta jiwa, angka yang bahkan belum menghitung puluhan ribu komuter harian dari kota-kota penyangga seperti Sidoarjo dan Gresik.1
Bagi jutaan warga kota, kemacetan adalah pajak harian yang dibayar dengan waktu, bahan bakar, dan kewarasan. Namun, sebuah penelitian mendalam dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengungkap sebuah kebenaran yang jauh lebih mengkhawatirkan: kemacetan ini bukanlah masalah musiman, melainkan sebuah "bom waktu" struktural yang didasari oleh krisis matematis.1
Penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2018 ini membedah akar masalah yang sering diabaikan oleh pembuat kebijakan. Data menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang fatal. Di satu sisi, pertumbuhan jumlah kendaraan—baik mobil pribadi maupun sepeda motor—tumbuh eksplosif di angka rata-rata di atas 3% per tahun.1 Di sisi lain, kemampuan kota untuk menampungnya nyaris stagnan. Pembangunan infrastruktur, baik dalam bentuk penambahan jalan baru maupun pelebaran jalan lama, tumbuh sangat kecil, kurang dari 1% per tahun.1
Kesenjangan 3 banding 1 antara pertumbuhan kendaraan dan jalan ini berarti kelumpuhan total hanyalah soal waktu. Setiap tahun, ribuan kendaraan baru tumpah ke jaringan jalan yang sama, bersaing untuk ruang yang tidak bertambah. Analisis ini menggeser narasi dari sekadar "menyalahkan pengendara yang tidak disiplin" menjadi urgensi untuk "memperbaiki sistem yang secara matematis sudah rusak".
Menggunakan 'Mesin Waktu' Digital untuk Membedah Kekacauan
Menghadapi masalah sekompleks ini, Dinas Perhubungan Kota Surabaya tidak bisa sekadar mengandalkan survei lalu lintas tradisional atau intuisi. Diperlukan alat yang lebih canggih untuk memprediksi masa depan. Inilah yang dilakukan oleh peneliti Pamudi (2018) dari ITS. Alih-alih melakukan uji coba mahal di dunia nyata, penelitian ini membangun sebuah "laboratorium digital".1
Metodologi yang digunakan adalah Sistem Dinamik (System Dynamics). Ini bukan sekadar spreadsheet atau kalkulator biasa. Sistem Dinamik adalah metodologi pemodelan canggih yang memetakan ratusan hubungan sebab-akibat dan feedback loop (umpan balik) yang rumit yang membentuk sistem transportasi kota.1
Bayangkan ini sebagai "mesin waktu" digital. Peneliti membangun sebuah model "Surabaya virtual" yang sangat detail, yang meniru perilaku lalu lintas, pertumbuhan penduduk, hingga tingkat polusi. Dengan model ini, mereka dapat mengajukan pertanyaan "bagaimana jika?". Apa yang terjadi jika kita menambah 50 bus baru di koridor utama? Apa yang terjadi jika durasi lampu merah di persimpangan X diubah? Model ini dapat memprediksi dampaknya selama bertahun-tahun ke depan tanpa harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah atau menciptakan kekacauan baru di dunia nyata.1
Fokus penelitian ini tajam: menganalisis tiga dampak utama dari kekacauan transportasi, yaitu tingkat Kemacetan (diukur dengan rasio volume kendaraan terhadap kapasitas jalan), tingkat Polusi (emisi CO dan debu), serta tingkat Keselamatan (angka kecelakaan).1
Medan Perang Sebenarnya: Wonokromo di Ambang Kolaps, Kertajaya Menyusul
Sebelum menguji solusi apa pun, peneliti harus terlebih dahulu memotret kondisi "dasar" atau baseline dari kekacauan yang ada. Dua arteri vital kota dipilih sebagai medan perang utama untuk dianalisis: Jalan Kertajaya dan Jalan Wonokromo.1 Temuannya sangat mengejutkan dan menunjukkan perbedaan level krisis yang signifikan.
Data baseline menunjukkan Jalan Kertajaya berada dalam kondisi "sangat padat". Secara teknis, Rasio Volume terhadap Kapasitas (V/C Ratio) jalan ini mencapai 0.865.1 Ini adalah kondisi di mana jalan sudah terasa sesak, arus lalu lintas padat merayap, namun kendaraan masih bergerak.
Kondisi di Jalan Wonokromo jauh lebih parah. Penelitian ini menggambarkannya sebagai "ambang kolaps". V/C Ratio-nya tercatat di angka 0.999.1 Angka 0.999 secara teknis berarti kegagalan sistem total. Ini adalah kondisi di mana jalan sudah jenuh sempurna, antrean kendaraan nyaris tak terputus, dan arus lalu lintas berhenti total. Pada jam sibuk, Wonokromo secara efektif telah berubah menjadi parkiran raksasa.
Namun, wawasan tersembunyi ditemukan ketika membandingkan data kemacetan dengan data polusi. Secara matematis, Wonokromo (0.999 V/C) hanya sekitar 15% lebih padat daripada Kertajaya (0.865 V/C). Logika sederhana akan berasumsi tingkat polusinya juga akan 15% lebih tinggi.
Kenyataannya tidak demikian. Data baseline menunjukkan Jalan Wonokromo menghasilkan 1.969.645 ton polusi CO, sementara Kertajaya "hanya" 1.009.836 ton.1
Polusi di Wonokromo hampir dua kali lipat (100% lebih tinggi) dari Kertajaya. Ini adalah wawasan kunci bagi pembuat kebijakan: ketika kemacetan melewati ambang batas kritis (misalnya, di atas V/C ratio 0.9), polusi tidak lagi naik secara linear, tapi meledak secara eksponensial. Kendaraan yang terjebak dalam mode stop-and-go (berhenti-jalan) total menghasilkan emisi yang jauh lebih kotor dan beracun daripada kendaraan yang sekadar padat merayap. Ini menciptakan urgensi baru untuk menjaga V/C ratio agar tidak menyentuh titik jenuh, demi kesehatan publik.
Paradoks Keselamatan: Mengapa Jalan Lancar Justru Lebih Berbahaya?
Salah satu temuan paling mengejutkan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang berlawanan dengan intuisi publik: jalan yang sangat lancar ternyata tidak selalu lebih aman. Penelitian ini mengungkap adanya kurva berbentuk 'U' (U-shaped curve) dalam hubungan antara tingkat kemacetan (Derajat Kejenuhan atau V/C Ratio) dengan angka kecelakaan.1
Temuan ini membagi kondisi lalu lintas menjadi tiga skenario keselamatan:
Temuan ini membawa implikasi kebijakan yang radikal. Target Dinas Perhubungan seharusnya bukan menciptakan jalan yang "selancar mungkin" (V/C < 0.7), karena itu akan meningkatkan fatalitas. Target optimal untuk kota padat seperti Surabaya adalah kondisi "padat terkendali" (V/C 0.8-0.9).
Ini juga menjelaskan mengapa kondisi di Wonokromo (V/C 0.999) sangat berbahaya, dan mengapa skenario intervensi yang akan kita bahas—yang berhasil menurunkan V/C ratio kembali ke "sweet spot" 0.8-an—secara simultan sangat efektif menurunkan angka kecelakaan.
Skenario Pertama: Bisakah Lampu Cerdas (ITS) Mengurai Kemacetan
Setelah memetakan masalah, "Surabaya virtual" digunakan untuk menguji solusi. Skenario pertama adalah intervensi "lunak" berbasis teknologi: implementasi penuh Intelligent Transportation System (ITS), atau Sistem Transportasi Cerdas.1
Secara spesifik, model ini mensimulasikan penerapan Adaptive Traffic Control System (ATCS).1 Mekanismenya cerdas: sensor di persimpangan akan mendeteksi antrean kendaraan yang semakin panjang di traffic light. Alih-alih menggunakan durasi lampu hijau yang kaku, sistem secara otomatis dan adaptif memperpanjang durasi lampu hijau untuk jalur yang padat tersebut, hingga antrean terurai.1 Ini adalah upaya mengubah kemacetan stop-and-go yang kotor menjadi arus padat-merayap yang lebih efisien.
Hasilnya sangat signifikan. Simulasi model Sistem Dinamik ini memprediksi bahwa penerapan skenario ATCS secara optimal akan menghasilkan:
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, penurunan polusi 15% ini tidak main-main. Dalam angka nyata, skenario ini mampu memangkas total emisi polusi dari 2.979.481 ton menjadi 2.533.403 ton.1 Ini setara dengan "menghilangkan" lebih dari 446.000 ton gas beracun dari udara yang dihirup warga Surabaya setiap tahunnya—sebuah pencapaian masif yang diraih hanya dengan mengatur ulang timing lampu lalu lintas.
Skenario Kedua: 'Memaksa' Warga Pindah ke Bus Rapid Transport (BRT)
Jika skenario pertama adalah intervensi teknologi, skenario kedua adalah intervensi "keras" berbasis kebijakan dan infrastruktur. Skenario ini menguji salah satu solusi paling populer di dunia untuk kota besar: pengalihan paksa pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik terintegrasi.1
Model ini mensimulasikan penambahan armada Bus Rapid Transport (BRT) baru secara masif di koridor-koridor utama yang paling padat. Data yang digunakan dalam simulasi ini sangat spesifik 1:
Secara total, 60 unit bus baru berkapasitas tinggi disimulasikan beroperasi. Setiap unit bus diasumsikan mampu mengangkut 650 penumpang per hari.1 Ini adalah upaya radikal untuk menghilangkan kendaraan dari jalan, bukan sekadar mengaturnya.
Hasilnya? Ketika diukur dari sisi kemacetan dan keselamatan, hasilnya secara mengejutkan identik dengan skenario pertama. Model memprediksi bahwa intervensi BRT ini akan menurunkan kemacetan dan kecelakaan sebesar 15%.1
Temuan Kunci yang Tersembunyi: Perang Melawan Polusi (15% vs 20%)
Di sinilah letak temuan paling brilian dan bernuansa dari seluruh penelitian ini, sebuah "kontradiksi" data yang justru memberikan pencerahan terbesar bagi pembuat kebijakan.
Sekilas, kedua skenario tampak setara. Skenario 1 (Lampu Cerdas ATCS) dan Skenario 2 (Bus BRT) sama-sama mengurangi kemacetan sebesar 15%. Jika hanya melihat data kemacetan, Pemkot bisa saja memilih opsi ATCS yang jelas lebih murah daripada membeli 60 bus baru dan membangun infrastruktur jalurnya.
Namun, ketika peneliti melihat data polusi, ceritanya berubah total.
Mengapa ada perbedaan 5% yang signifikan ini? Jawabannya terletak pada mekanisme fundamental kedua solusi.
Skenario ATCS (Lampu Cerdas) hanya mengatur ulang arus lalu lintas. Ia membuat kemacetan stop-and-go (yang polusinya meledak) menjadi padat-merayap (yang lebih efisien). Jumlah total mesin kendaraan yang menyala di jalan raya tetap sama, hanya perilakunya yang diubah menjadi lebih efisien.
Di sisi lain, skenario BRT secara fundamental menghilangkan ribuan mesin dari jalan. Dengan kapasitas 650 penumpang per bus, 60 unit BRT baru berpotensi menghilangkan puluhan ribu perjalanan mobil pribadi dan sepeda motor dari jalanan Surabaya setiap harinya. Lebih sedikit mesin berarti lebih sedikit emisi.
Ini adalah pilihan strategis yang harus diambil oleh Pemerintah Kota. Jika tujuannya hanya mengurangi waktu tempuh dan kemacetan, intervensi teknologi (ATCS) yang lebih murah sudah memberikan hasil 15%. TETAPI, jika tujuannya adalah memperbaiki kualitas udara dan kesehatan publik, intervensi kebijakan (BRT) yang lebih mahal adalah solusi yang secara terukur 5% lebih superior.
Kritik Realistis: Mengapa 15% (atau 20%) Belum Cukup?
Penurunan 15% hingga 20% adalah sebuah kemenangan besar. Namun, penelitian ini juga realistis. Ini bukanlah akhir dari perang melawan kemacetan, melainkan hanya memenangkan satu pertempuran vital.
Ingat "bom waktu" di awal analisis ini? Pertumbuhan kendaraan baru yang tak terkendali sebesar 3% per tahun itu masih terus terjadi.1 Solusi 15% yang brilian ini, jika tidak didukung langkah lanjutan, hanya akan "terkikis" habis dalam waktu sekitar lima tahun oleh gelombang kendaraan-kendaraan baru yang terus membanjiri jalan.
Peneliti (Pamudi, 2018) sendiri menyadari keterbatasan ini. Dalam Bab 5.2 (Saran), penelitian ini secara eksplisit merekomendasikan agenda riset berikutnya: "pengembangan skenario untuk memperkecil pengurangan alat transportasi yang mencapai 30%".1
Ini adalah pengakuan penting. Peneliti tahu bahwa target 15-20% ini belum cukup untuk menyelamatkan kota dalam jangka panjang. Target yang lebih agresif, yaitu 30%, harus menjadi tujuan berikutnya.
Selain itu, kritik realistis lainnya adalah perbedaan antara model dan realitas. Menambahkan 60 bus dalam simulasi komputer hanya membutuhkan beberapa ketukan keyboard. Menerapkannya di dunia nyata melibatkan perjuangan politik, pembebasan lahan untuk jalur khusus, biaya investasi triliunan rupiah, dan potensi penolakan sosial dari pengguna kendaraan pribadi.
Pilihan Kebijakan: Dampak Nyata Jika Skenario Ini Diterapkan Besok
Penelitian ITS ini telah menyediakan sebuah peta jalan yang jernih dan berbasis data bagi Dinas Perhubungan Kota Surabaya. Ia membuktikan bahwa solusi ada, dan dampaknya terukur. Pilihan kini ada di tangan para pembuat kebijakan.
Berdasarkan temuan ini, ada dua opsi jelas yang bisa diambil:
Penelitian ini telah mengubah perdebatan dari "apa yang harus dilakukan?" menjadi "mana yang akan kita pilih?". Data telah tersedia; yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik untuk mengeksekusinya.
Sumber Artikel: