Teknologi dan Transformasi Digital Industri

Pemanfaatan Digital Twins dalam DevOps untuk Optimalisasi Kualitas, Efisiensi, dan Inovasi di Industri

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 14 Agustus 2025


DOI: 10.56472/25832646/JETA-V1I1P113

Digital twin atau kembaran digital adalah representasi virtual yang sangat detail dari suatu sistem fisik yang berfungsi untuk memodelkan, memantau, menguji, dan mengoptimalkan kinerja sistem tersebut. Awalnya, konsep digital twin digunakan di industri manufaktur untuk membuat tiruan mesin atau lini produksi agar dapat dilakukan simulasi tanpa mengganggu proses aktual. Namun, seiring perkembangan teknologi informasi, konsep ini kini merambah ke dunia software engineering dan DevOps, yaitu metode kolaboratif yang menggabungkan proses pengembangan perangkat lunak (development) dan pengelolaan operasional TI (operations) untuk menghasilkan rilis yang cepat, berkualitas, dan minim risiko. Di DevOps, digital twin digunakan untuk menciptakan tiruan lingkungan produksi yang sangat akurat sehingga setiap pembaruan, perubahan konfigurasi, atau skenario ekstrem dapat diuji terlebih dahulu di dunia virtual sebelum diterapkan di dunia nyata.

Penggunaan digital twin dalam DevOps membawa pergeseran paradigma dari pendekatan reaktif yang baru bertindak ketika masalah terjadi menjadi pendekatan proaktif yang mampu mendeteksi, mencegah, dan mengoptimalkan performa sebelum gangguan muncul. Dengan digital twin, tim DevOps dapat melakukan simulasi kondisi beban tinggi, serangan keamanan, kegagalan hardware, atau pembaruan perangkat lunak, dan semua itu dilakukan tanpa risiko merusak sistem produksi yang melayani pengguna. Dalam konteks industri, hal ini berarti mengurangi downtime, memperbaiki kualitas rilis, meningkatkan kolaborasi, serta mendorong inovasi.

Agar digital twin efektif di DevOps, ada beberapa elemen penting yang harus diintegrasikan. Pertama adalah pengumpulan data atau data collection, yaitu proses mengambil data dari sensor, log sistem, database, atau sumber lainnya. Data ini harus akurat agar kembaran digital benar-benar mencerminkan kondisi dan perilaku sistem nyata. Kedua adalah infrastruktur cloud atau cloud infrastructure, yang menyediakan sumber daya komputasi dan penyimpanan data skala besar untuk menjalankan model digital twin. Infrastruktur cloud memudahkan akses dan kolaborasi antar tim, terutama bagi perusahaan dengan operasi global. Ketiga adalah kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang digunakan untuk menganalisis data, mendeteksi pola, memprediksi kegagalan, dan memberikan rekomendasi optimasi. Integrasi AI membuat digital twin tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga prediktif dan preskriptif. Keempat adalah pengembangan platform digital atau digital platform development, yaitu pembuatan lingkungan berbasis web tempat digital twin berjalan lengkap dengan antarmuka pengguna yang intuitif untuk memantau, mengelola, dan mengontrol sistem. Kelima adalah keamanan atau security, yang mencakup perlindungan data, integritas sistem, dan akses, karena digital twin sering terhubung langsung dengan sistem produksi yang kritis. Terakhir adalah sensor dan aktuator atau sensors and actuators, yang berfungsi menghubungkan dunia fisik dan digital. Sensor mengumpulkan data dari sistem fisik secara real-time, sedangkan aktuator melaksanakan tindakan yang diperintahkan oleh hasil analisis digital twin ke sistem fisik.

Integrasi digital twin ke dalam siklus hidup DevOps dapat dilakukan di hampir semua tahap. Pada tahap perencanaan atau plan, digital twin digunakan untuk memodelkan strategi deployment dan memprediksi dampak berbagai skenario. Pada tahap pengkodean atau code, modul perangkat lunak diuji di lingkungan virtual untuk memeriksa kompatibilitas. Pada tahap build, integrasi komponen perangkat lunak dapat divalidasi terlebih dahulu di digital twin sebelum dilakukan kompilasi akhir. Pada tahap pengujian atau test, kondisi ekstrem seperti lonjakan trafik atau simulasi serangan siber bisa diuji untuk memastikan sistem mampu bertahan. Pada tahap rilis atau release, dampak pembaruan terhadap kinerja sistem bisa diprediksi lebih akurat. Pada tahap penerapan atau deploy, pengujian pre-deployment yang otomatis membantu meminimalkan risiko. Selanjutnya pada tahap operasi atau operate, digital twin memantau sistem produksi secara real-time untuk mendeteksi gejala awal masalah. Terakhir, pada tahap monitoring, digital twin digunakan untuk deteksi anomali dan pengumpulan insight untuk perbaikan berkelanjutan.

Berdasarkan data penelitian yang diuraikan dalam paper ini, penerapan digital twin dalam DevOps memberikan peningkatan yang signifikan pada beberapa aspek utama. Pengujian menjadi 85 persen lebih efektif karena bug kritis dapat ditemukan sebelum masuk ke produksi, yang pada gilirannya menghemat biaya perbaikan. Kemampuan monitoring meningkat 75 persen karena adanya visualisasi real-time yang mempermudah identifikasi dan penanganan masalah. Efisiensi pemeliharaan prediktif naik 65 persen karena digital twin dapat memprediksi potensi kegagalan dan memfasilitasi perawatan proaktif sebelum terjadi kerusakan. Peningkatan ini bukan hanya statistik di atas kertas, tetapi berdampak langsung pada profitabilitas, terutama di industri yang downtime-nya bernilai mahal, seperti perbankan, kesehatan, dan e-commerce berskala besar.

Jika dibandingkan dengan model tradisional DevOps, perbedaan manfaat digital twin terlihat jelas. Pada model tradisional, lingkungan pengujian biasanya statis dan sering berbeda dari produksi, sehingga hasil uji tidak selalu merepresentasikan kondisi sebenarnya. Monitoring bersifat reaktif, artinya masalah ditangani setelah terjadi, dan umpan balik baru dikumpulkan setelah deployment. Sebaliknya, model berbasis digital twin menyediakan lingkungan uji yang dinamis dan identik dengan produksi, monitoring yang proaktif dan prediktif, serta umpan balik yang berlangsung real-time. Perbedaan ini menjadikan digital twin sebagai evolusi alami bagi organisasi yang ingin mengoptimalkan DevOps.

Namun, implementasi digital twin bukan tanpa tantangan. Kompleksitas pembuatan model digital yang detail dan akurat memerlukan keahlian khusus dan waktu yang tidak singkat. Integrasi data dari berbagai sumber juga menjadi hambatan, terutama jika sistem yang ada tidak dirancang untuk interoperabilitas. Skalabilitas model menjadi tantangan berikutnya, karena tidak semua arsitektur dapat dengan mudah diperluas untuk mencakup sistem besar. Untuk mengatasi hal ini, paper menyarankan memulai dari proyek kecil atau pilot project, menggunakan platform integrasi yang mendukung sinkronisasi data real-time, serta membangun arsitektur modular yang memudahkan penambahan komponen baru.

Dua studi kasus yang diuraikan di paper ini memberikan gambaran nyata keberhasilan penerapan digital twin di DevOps. General Electric (GE) menggunakan digital twin untuk monitoring, predictive maintenance, dan simulasi upgrade perangkat lunak. Hasilnya adalah pengurangan downtime yang signifikan, peningkatan kualitas software, dan penghematan biaya operasional. Siemens memanfaatkan digital twin untuk pengujian dalam pipeline CI/CD, pengambilan keputusan berbasis data, dan simulasi pengalaman pelanggan. Dampaknya adalah percepatan time-to-market, peningkatan reliabilitas sistem, dan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa digital twin relevan baik di industri berat maupun sektor teknologi murni.

Untuk mengimplementasikan digital twin di DevOps secara efektif, paper ini menawarkan kerangka kerja praktis yang dimulai dengan mendefinisikan tujuan, mengumpulkan data akurat, membuat model menggunakan software simulasi seperti Ansys Twin Builder atau Simcenter, mengintegrasikan model ke pipeline DevOps melalui tools seperti GitLab atau Jenkins, melakukan pengujian dan validasi dengan membandingkan hasil simulasi terhadap data nyata, lalu memastikan monitoring dan pembaruan model berjalan terus-menerus agar selalu sinkron dengan kondisi sistem.

Meski secara umum paper ini komprehensif, ada beberapa hal yang bisa dikritisi. Pertama, pembahasan tentang biaya implementasi belum mendalam, padahal di dunia nyata, perhitungan return on investment atau ROI menjadi faktor penting bagi manajemen dalam mengambil keputusan adopsi teknologi baru. Kedua, aspek keamanan walau disebut sebagai elemen penting, tidak diuraikan detail terkait ancaman spesifik yang mungkin muncul pada digital twin yang terhubung langsung ke sistem produksi. Ketiga, akan lebih kaya jika ada tambahan studi kasus dari sektor publik atau layanan masyarakat untuk menunjukkan skalabilitas konsep ini di luar dunia industri dan teknologi komersial.

Ke depan, arah pengembangan digital twin di DevOps diprediksi akan semakin mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) untuk menghasilkan simulasi yang lebih cerdas dan prediksi yang lebih akurat. Teknologi Internet of Things (IoT) dan edge computing juga berpotensi memperkuat digital twin dengan menghadirkan kontrol real-time yang lebih responsif terhadap perubahan kondisi di lapangan. Standarisasi alur kerja digital twin di berbagai industri akan menjadi faktor kunci agar teknologi ini lebih mudah diadopsi secara luas.

Kesimpulannya, digital twin menawarkan transformasi besar bagi DevOps dengan mengubah proses pengembangan dan operasi menjadi lebih adaptif, proaktif, dan berbasis data. Dengan kemampuannya dalam simulasi realistis, monitoring proaktif, dan predictive maintenance, digital twin memungkinkan organisasi untuk mengurangi downtime, meningkatkan kualitas rilis, mempercepat inovasi, serta memperkuat kolaborasi lintas tim. Di era kompetisi ketat dan ekspektasi pelanggan yang tinggi, integrasi digital twin ke dalam DevOps bukan lagi sekadar opsi tambahan, melainkan strategi inti untuk bertahan dan unggul di pasar.

Selengkapnya
Pemanfaatan Digital Twins dalam DevOps untuk Optimalisasi Kualitas, Efisiensi, dan Inovasi di Industri
page 1 of 1