Teknologi dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Kota Tahan Krisis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pendahuluan: Ketika Laboratorium Menjadi Garis Depan Penyelamat Kota

Krisis perkotaan di Indonesia—mulai dari banjir yang melumpuhkan, polusi udara yang mencekik, hingga kemacetan yang menghabiskan waktu—kini memerlukan intervensi teknologi radikal yang melampaui solusi konvensional. Laporan ini menyajikan sintesis dari serangkaian studi rekayasa mendalam yang dihasilkan oleh para peneliti Fakultas Teknik, yang secara kolektif menyusun cetak biru bagi pemerintah daerah dan industri untuk mengakselerasi pencapaian Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.

Fokus utamanya bukan sekadar membangun, tetapi membangun dengan cerdas dan bertanggung jawab. Rangkaian riset ini berorientasi pada penyediaan infrastruktur yang tangguh (SDG 9), menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan (SDG 11), hingga menjamin kehidupan sehat dan kesejahteraan (SDG 3). Mulai dari inovasi material yang dapat mengubah jalan menjadi resapan air, strategi konstruksi yang secara dramatis mengurangi emisi karbon, hingga analisis kritis terhadap mobilitas di era digital, laporan ini mengupas bagaimana temuan dari laboratorium siap menjadi kebijakan publik di garis depan krisis iklim dan urbanisasi.

Studi-studi ini terbagi menjadi empat kluster naratif utama: Inovasi Material Tahan Krisis, Garis Depan Aksi Iklim, Dinamika Mobilitas Urban, dan Blueprint Industri Hijau. Setiap kluster menawarkan solusi berbasis data yang dapat mengubah masalah urban menjadi berkah resiliensi dan keberlanjutan.

 

Mengubah Bencana Menjadi Berkah: Strategi Sponge City dan Material Anti-Krisis

Banjir dan krisis sumber daya air adalah ancaman lingkungan terbesar bagi kota-kota di Indonesia. Ketika lahan resapan alami dikonversi menjadi permukaan kedap air (beton dan aspal), air hujan tidak dapat meresap, menyebabkan limpasan permukaan (runoff) yang masif. Kunci untuk mengatasi masalah ini terletak pada kemampuan kita untuk mengubah infrastruktur yang ada menjadi spons raksasa—sebuah konsep yang dikenal sebagai Sponge City.

Menguak Misteri Beton Berpori: Kunci Kota Resapan Air

Beton berpori (pervious concrete) adalah inovasi material yang krusial. Beton jenis ini memiliki tingkat porositas tinggi yang saling berhubungan, memungkinkan air melaluinya hanya karena pengaruh gravitasi.1 Fungsinya ganda: sebagai permukaan jalan, area parkir, atau taman, dan pada saat yang sama, sebagai sistem resapan air hujan yang mengisi kembali cadangan air tanah.1

Penelitian menunjukkan adanya tarik ulur yang krusial antara fungsi resapannya (permeabilitas) dan kebutuhan akan kekuatan strukturalnya (kuat tekan). Untuk menggunakannya sebagai perkerasan jalan, beton harus memenuhi standar kekuatan minimum.

Temuan uji coba menemukan bahwa agregat tunggal berdiameter 19 mm memberikan titik temu yang paling optimal. Kombinasi ini menghasilkan kuat tekan sebesar 20,2 MPa. Angka ini sangat signifikan karena tepat memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR untuk perkerasan jalan bagi pejalan kaki dan sepeda, yaitu sebesar 20 MPa pada umur 28 hari.1 Mencapai daya serap sambil mempertahankan kekuatan struktural ini adalah penemuan kunci yang membuka jalan bagi adopsi massal.

Sementara itu, untuk memaksimalkan daya resap tanpa mempertimbangkan kekuatan maksimum (misalnya, di area taman atau subbase), agregat dengan diameter 25 mm memiliki daya serap air tertinggi, dengan nilai permeabilitas mencapai 1,05 cm per detik.1 Angka ini menggambarkan laju perembesan yang ekstrem, secepat air yang tumpah diserap dalam sekejap, menjadikannya sangat efektif untuk manajemen limpasan air cepat.

Kapasitas penyimpanan air dari beton berpori ini juga sangat menjanjikan. Sebuah lapisan beton berpori setebal 125 mm dengan porositas 20% diketahui dapat menampung 15 mm air hujan di dalamnya. Namun, ketika beton ini ditempatkan di atas lapisan subbase setebal 150 mm, total penyimpanan air melonjak drastis hingga 75 mm air hujan—sebuah lompatan efisiensi yang luar biasa yang menunjukkan betapa pentingnya desain lapisan bawah yang terintegrasi.1

Mengubah Mal Menjadi Pabrik Air: Potensi Rainwater Harvesting (RWH) Skala Urban

Ketergantungan kronis pada air tanah di wilayah perkotaan padat seperti Jakarta Barat telah memicu masalah lingkungan serius, termasuk penurunan muka tanah (subsidence) dan intrusi air laut.1 Solusi mitigasinya adalah mengubah bangunan komersial besar, yang notabene adalah konsumen air tanah utama, menjadi aset resiliensi air melalui sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting/RWH).

Berdasarkan data citra satelit, tiga pusat perbelanjaan utama di Jakarta Barat (Lippo Mall Puri, Mall Season City, dan Mall Daan Mogot) memiliki total area atap seluas 41.273,59 meter persegi—setara dengan lebih dari empat lapangan sepak bola besar.1

Dengan mempertimbangkan koefisien runoff atap beton 0,8, analisis memproyeksikan potensi panen air hujan harian rata-rata yang sangat besar, mencapai 1.027,2 meter kubik per hari.1 Angka ini setara dengan menghasilkan lebih dari satu juta liter air bersih setiap hari, yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan domestik non-minum (sanitasi, penyiraman kebun, dan lainnya) ketiga mall tersebut. Penerapan RWH secara luas pada bangunan komersial dapat mengurangi limpasan air yang memicu banjir dan mengurangi eksploitasi air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah.

Kritik Realistis dan Implikasi Lanjut

Konsep Pervious Concrete dan RWH adalah implementasi praktis dari filosofi Sponge City yang saat ini diadopsi secara global untuk ketahanan banjir.2 Namun, penerapan teknologi ini di Asia Tenggara masih lemah karena kurangnya riset industri dan knowledge transfer.3 Riset ini mengisi kekosongan strategis tersebut.

Kendati demikian, para peneliti memperingatkan adanya double jeopardy (ancaman ganda) di kota. Meskipun RWH menjanjikan solusi air melimpah, urbanisasi yang tidak terkendali masih menjadi ancaman fundamental. Pembangunan perkotaan yang mengubah permukaan tanah menjadi kedap air dapat mengurangi infiltrasi air tanah hingga 60%.1 Selain itu, limpasan permukaan yang meningkat membawa polutan dari limbah domestik dan industri (seperti nitrat dan logam berat) ke dalam air tanah. Akibatnya, air tanah menjadi semakin sedikit dan kualitasnya semakin buruk, menuntut perlindungan daerah resapan air yang jauh lebih ketat.1

 

Garis Depan Aksi Iklim: Dari Retrofit Bangunan Hingga Daur Ulang Karbon

Pencapaian SDG 13 (Aksi Iklim) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab) sangat bergantung pada kemampuan sektor konstruksi untuk memperlambat siklus hidup material dan mengurangi jejak karbonnya.

Strategi Retrofit sebagai Benteng Pertahanan Karbon

Strategi retrofit atau perkuatan bangunan yang sudah ada menjadi lebih mendesak daripada membangun baru. Filsafat ini diringkas oleh mantan Presiden American Institute of Architects, Carl Elefante, yang menyatakan, "Bangunan paling hijau... adalah salah satu yang sudah dibangun".1 Perobohan bangunan lama tidak hanya membuang energi yang telah "tertanam" (embodied energy) dalam struktur tersebut selama bertahun-tahun, tetapi juga memerlukan konsumsi energi yang sangat besar untuk menghancurkan, mengangkut puing, dan memproduksi material baru (semen, baja).1

Sebuah studi kasus di Sibolga, Sumatera Utara, meneliti penambahan lantai ruko dari tiga menjadi lima lantai. Dengan memilih retrofit (perkuatan struktur eksisting menggunakan material seperti carbon fiber wrap) daripada membangun ulang total, para peneliti menemukan hasil penghematan yang dramatis. Total emisi gas rumah kaca () yang dihindari mencapai lebih dari 53%.1 Pengurangan emisi ini berasal dari penghematan material beton dan baja tulangan, sekaligus menghindari polusi dan volume puing dari proses pembongkaran. Penghematan emisi ini setara dengan upaya menanam ribuan pohon, membuktikan bahwa mempertahankan struktur lama adalah salah satu strategi mitigasi iklim yang paling efektif dalam industri konstruksi.1

Secara keseluruhan, strategi retrofit ini mendukung tujuh tujuan SDGs secara langsung, termasuk SDG 8 (Pertumbuhan Ekonomi), SDG 11 (Kota Berkelanjutan), dan SDG 13 (Aksi Iklim).1

Inovasi Material Sirkular: Mengubah Sampah Plastik Menjadi Kekuatan Struktur

Masalah sampah plastik global sangat mendesak. Produksi plastik terus meroket, diperkirakan mencapai 368 juta ton pada tahun 2019, dengan jutaan ton yang tidak terkelola dan berakhir merusak lingkungan, bahkan membunuh biota laut.1 Industri konstruksi menawarkan solusi: mengalihfungsikan sampah plastik menjadi material bangunan.

Penelitian menunjukkan bahwa sampah plastik, ketika dicacah halus dan digunakan sebagai pengganti sebagian agregat halus (pasir) dalam beton, memiliki dampak yang beragam. Secara umum, penggantian agregat halus dengan plastik (misalnya, 10% hingga 20% dari berat total) cenderung menurunkan kuat tekan beton.1

Namun, penurunan kekuatan ini tidak boleh dilihat sebagai kegagalan. Sebaliknya, hal ini menciptakan beton ringan yang optimal untuk aplikasi non-struktural atau perkerasan ringan, sementara pada saat yang sama meningkatkan sifat workability (kemudahan dikerjakan).1 Dengan demikian, alih-alih melihatnya hanya sebagai upaya sanitasi (memindahkan sampah), proses ini menjadi penciptaan material inovatif (SDG 9), yang mendukung pola konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (SDG 12) dengan memberikan umur pakai kedua pada sampah yang sulit terurai.

Arsitektur untuk Jiwa: Peran Biophilic Design

Melengkapi inovasi material dan struktural, aspek desain arsitektur juga berperan penting dalam keberlanjutan. Konsep Biophilic Design—atau cinta terhadap alam dalam desain lingkungan binaan—menghubungkan manusia dengan elemen alam di perkotaan.1

Melalui integrasi elemen-elemen alami seperti taman vertikal, pencahayaan alami, dan sirkulasi udara yang optimal, Biophilic Design secara langsung membantu mengatasi "Pulau Panas Perkotaan" (Urban Heat Island/UHI), mengurangi suhu lingkungan, dan menghemat energi pendingin.1 Penerapannya juga memiliki manfaat sosial-psikologis, yaitu mengurangi tingkat stres penghuni, meningkatkan suasana hati, dan secara keseluruhan meningkatkan produktivitas—semua elemen vital untuk mencapai SDG 3 (Kesejahteraan) dan SDG 11 (Kota Berkelanjutan).1

 

Dinamika Urban Jakarta: Kritik Realistis Terhadap Transportasi dan Digitalisasi Informal

Penyediaan sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan adalah target utama SDG 11. Di Jakarta, kota dengan kemacetan yang sulit dikendalikan, Bus Rapid Transit (BRT) adalah tulang punggung sistem yang seharusnya menjadi solusi.

Kinerja BRT Jakarta: Dilema antara Efisiensi Waktu dan Kemanusiaan

Data menunjukkan bahwa lebih dari 79% komuter di Jabodetabek masih mengandalkan kendaraan pribadi, yang secara langsung menyebabkan kemacetan dan emisi gas rumah kaca yang masif.1 BRT Transjakarta diharapkan mampu mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi ini.

Evaluasi kinerja operasional Transjakarta Koridor 1 dan 8 menunjukkan keberhasilan dalam metrik waktu: rata-rata headway (waktu tunggu antar bus) adalah 7 menit, yang berhasil memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang ditetapkan.1

Namun, keberhasilan efisiensi waktu ini harus dibayar mahal oleh kualitas layanan dan kenyamanan penumpang. Data menunjukkan bahwa Koridor 1 memiliki Load Factor (faktor muat) sebesar 135,16%.1 Angka ini harus disajikan dalam narasi yang hidup: Load Factor 135% berarti bahwa, pada jam sibuk, bus kelebihan muatan 35%—secara deskriptif, ini sama seperti mencoba memasukkan satu setengah bus dijejali ke dalam satu unit, memaksa penumpang berdiri berdesakan dalam kondisi yang mengganggu kenyamanan dan keselamatan.1

Ini adalah kritik realistis: Transjakarta berhasil dalam metrik kecepatan dan waktu, tetapi gagal total dalam metrik inklusivitas dan kenyamanan, yang merupakan syarat mutlak SDG 11. Prioritas yang terlalu fokus pada pemenuhan headway tanpa didukung penambahan armada yang memadai mengakibatkan Load Factor ekstrem, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan tidak memenuhi janji transportasi yang aman dan nyaman bagi semua lapisan masyarakat.1

Dari Pangkalan ke Aplikasi: Lompatan Kuda Sektor Informal

Di sisi lain mobilitas, fenomena ojek daring menunjukkan bagaimana transformasi digital telah menjadi jalan pintas bagi sektor ekonomi informal di Jakarta untuk mencapai formalisasi.

Kehadiran Gojek (dimulai sekitar 2010) berhasil mengintegrasikan model operasi ojek konvensional ke dalam ekosistem digital.1 Transformasi digital ini memberikan tiga manfaat utama yang meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan:

  1. Transparansi Harga: Sistem menetapkan tarif secara otomatis berdasarkan jarak, menghilangkan sistem negosiasi yang seringkali tidak pasti bagi penumpang dan pengemudi.1
  2. Standar Layanan: Platform menyediakan sistem rating dan pelatihan, secara kolektif meningkatkan profesionalisme dan kualitas layanan.1
  3. Akses Ekonomi Lebih Luas: Peran ojek berubah dari sekadar transportasi lokal menjadi bagian dari ekosistem yang lebih besar (logistik, makanan/GoFood), menjamin pendapatan yang lebih stabil dan terukur bagi pengemudi.1

Kasus ojek daring ini adalah studi kasus sempurna mengenai "ekonomi formal tanpa regulasi formal yang lengkap" di Asia Tenggara. Adopsi teknologi yang cepat oleh pasar memicu pemerintah untuk mengeluarkan kerangka hukum yang adaptif (seperti Permenhub Nomor 12 Tahun 2019) setelah teknologi diadopsi secara masal. Hal ini menantang model regulasi tradisional di Indonesia.1

 

Blueprint Industri Hijau: Robot Cerdas, Ergonomi Proaktif, dan Etika Digital

Kluster riset ini berfokus pada SDG 3 (Kesehatan), SDG 9 (Inovasi Industri), dan SDG 12 (Produksi Bertanggung Jawab), menyoroti bagaimana teknologi tinggi dapat memanusiakan dan menghijaukan proses manufaktur dan finansial.

Mengeliminasi Racun di Pabrik: Revolusi Dry Machining

Proses pemesinan logam konvensional (wet machining) menghasilkan panas tinggi, yang diatasi dengan penggunaan cairan pendingin (coolant), campuran air dan dromus oil beracun.1 Limbah coolant ini tidak hanya mencemari tanah dan air (melawan SDG 12), tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan serius bagi juru mesin, seperti dermatitis, masalah pernapasan, dan potensi kanker.1

Revolusi datang dalam bentuk Dry Machining (Pemesinan Kering), yang menghilangkan coolant sepenuhnya, dengan mengandalkan mata pahat yang dirancang untuk beroperasi pada kecepatan dan suhu sangat tinggi.1

Implementasi dry machining adalah contoh bagaimana teknologi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan ramah lingkungan. Penghapusan coolant secara simultan: 1) menghilangkan bahaya toksisitas langsung bagi juru mesin (mendukung SDG 3), dan 2) mengurangi limbah berbahaya dan pencemaran lingkungan (mendukung SDG 12). Langkah ini mengubah manajemen risiko pasif menjadi desain proses yang proaktif dan berkelanjutan.

Ergonomi: Merancang Kesejahteraan dari Posisi Kerj

Ergonomi dalam industri adalah pemicu langsung pencapaian SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), terutama melalui pencegahan Gangguan Otot Rangka (GOTRAK) yang menjadi penyakit akibat kerja utama.1

Intervensi ergonomi, seperti mendesain ulang meja kerja dengan pegas penahan, terbukti berhasil mengubah postur kerja yang janggal (membungkuk, jongkok, dan posisi tidak natural lainnya) menjadi postur yang natural.1

Postur kerja natural ini memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan tulang belakang pekerja:

  • Mengurangi tekanan berlebih pada tulang belakang, khususnya di area lumbar, karena membantu mendistribusikan berat badan secara merata.1
  • Mempertahankan kurva-S alami tulang belakang, yang penting untuk fungsi dan kesehatan optimal.1
  • Mengurangi risiko cedera akut dan masalah saraf terjepit (Hernia Nukleus Pulposus/HNP), yang menjadi keluhan muskuloskeletal utama di kalangan pekerja.1

Kecerdasan Buatan (AI) dalam Konstruksi dan Finansial: Dualitas Regulasi

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di sektor Teknik Sipil menunjukkan kematangan melalui evolusi Building Information Modeling (BIM) yang kini memasuki Dimensi 8: Digital Safety Management.1 BIM 8D memungkinkan identifikasi risiko keselamatan dan pelaksanaan langkah-langkah mitigasi secara proaktif dan digital, meningkatkan keselamatan konstruksi secara keseluruhan.

Namun, kontras yang tajam terlihat pada sektor finansial. Robot trading forex kini memanfaatkan AI canggih seperti LSTM (Long Short-Term Memory) dan CNN (Convolutional Neural Network) untuk memprediksi pergerakan pasar secara akurat.1 Meskipun menjanjikan efisiensi, ketiadaan regulasi yang jelas di Indonesia menciptakan celah hukum, yang memicu potensi penyalahgunaan, penipuan, atau kerugian konsumen.1

Kontradiksi ini menyoroti bahwa di Indonesia, adopsi teknologi yang berorientasi pada peningkatan efisiensi (trading) sering kali lebih cepat daripada adopsi teknologi yang berorientasi pada perlindungan dan keselamatan (regulasi). Pemerintah wajib segera memitigasi risiko di sektor fintech ini untuk melindungi konsumen.

 

Penutup: Membangun Resiliensi Nasional dalam Lima Tahun Ke Depan

Riset yang disintesis dari berbagai disiplin ilmu rekayasa ini adalah lebih dari sekadar kumpulan kajian akademis; ini adalah peta jalan yang teruji di laboratorium, siap untuk diimplementasikan sebagai kebijakan publik yang membawa Indonesia lebih dekat ke Tujuan 2030.

Dari inovasi material hingga digitalisasi proses, temuan-temuan ini menawarkan solusi holistik terhadap tantangan keberlanjutan. Pervious concrete menawarkan jembatan antara kekuatan (20,2 MPa) dan fungsi resapan air (1,05 cm per detik), sementara Rainwater Harvesting dapat mengubah pusat perbelanjaan menjadi aset air bersih dengan potensi panen lebih dari satu juta liter air per hari. Strategi retrofit terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari konstruksi hingga lebih dari 53%.

Pernyataan Dampak Nyata:

Jika temuan-temuan ini diadopsi secara luas—melalui regulasi yang mewajibkan penerapan pervious concrete di area parkir komersial, insentif finansial untuk retrofit ketimbang pembangunan baru, dan pengawasan ketat terhadap limbah industri—Indonesia dapat:

  • Mengurangi Beban Krisis Iklim: Mengurangi emisi  dari konstruksi hingga lebih dari 50% dan secara signifikan mengurangi frekuensi banjir bandang urban dengan meningkatkan kapasitas resapan.
  • Mencapai Keadilan Mobilitas: Meningkatkan armada BRT agar Load Factor turun di bawah 100% dalam waktu lima tahun, sehingga memenuhi janji SDG 11 akan transportasi yang aman dan nyaman bagi semua penumpang, bukan hanya tercepat.
  • Meningkatkan Kualitas Hidup Pekerja: Mengeliminasi risiko kesehatan akibat cairan pendingin beracun melalui dry machining dan mengurangi kasus cedera otot rangka (GOTRAK) di industri melalui intervensi ergonomi proaktif.

Penguatan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan, peningkatan industri yang inklusif dan bertanggung jawab, serta dorongan terhadap inovasi harus menjadi prioritas nasional. Peta jalan rekayasa ini memberikan cetak biru yang solid untuk memulai perubahan tersebut.

 

Sumber Artikel:

Kushartomo, W. (2024). Pengaruh gradasi butiran agregat kasar terhadap nilai permeabilitas dan kuat tekan previous concrete. Dalam Y. A. Sabtalistia, A. Hadiwono, W. A. Pranoto, S. Darmawan, & E. Wahyono (Eds.), DIES NATALIS KE 62 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA: TRANSFORMASI MELALUI TEKNOLOGI PERAN STRATEGIS FAKULTAS TEKNIK DALAM AKSELERASI PENCAPAIAN SDGS (SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS) (hlm. 1–6). LPPI Untar (Untar Press), Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanagara.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Kota Tahan Krisis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 1