Tata Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Deklarasi Perang Melawan Kekumuhan di Urat Nadi Kota
Sungai Musi, dengan panjang mencapai 750 kilometer, bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi kehidupan dan simbol sejarah Palembang sejak era Kerajaan Sriwijaya.1 Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sungai bersejarah ini menghadapi krisis degradasi yang parah. Pola perkembangan kota yang kini berorientasi ke daratan, alih-alih memanfaatkan sungainya, secara struktural telah mengubah wajah tepian Musi. Kawasan yang dulunya merupakan "muka" kota, kini beralih menjadi "bagian belakang" kota, dipenuhi permukiman yang padat, tidak beraturan, dan tergolong kumuh.1
Kekumuhan di sepanjang Musi bukan lagi masalah sekunder atau hanya soal estetika, melainkan ancaman fungsional terhadap kelangsungan hidup ekosistem sungai. Permukiman padat penduduk yang tidak terkendali ini mengancam kelestarian ekosistem sungai, mencemari persediaan sumber air bersih, dan meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana seperti banjir dan longsor.1 Kondisi ini menuntut adanya kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan fisik.1
Penelitian mengenai perumusan konsep penataan ruang berkelanjutan yang dilakukan di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menawarkan intervensi radikal. Konsep penataan ruang mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan di sini bertujuan untuk merebut kembali dan mengklaim ulang ruang publik dan ekologi sebagai prioritas utama. Studi ini menyajikan cetak biru (blueprint) yang, jika diterapkan, berpotensi mengembalikan martabat Sungai Musi, mengubah kawasan yang terdegradasi menjadi pusat ekonomi kreatif dan pariwisata yang berfungsi ganda.1
Kasus Kritis Tepian Sungai Musi: Skala Ancaman dan Data yang Menceritakan Ketertekanan Ekosistem
Analisis spasial di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu mengungkap data kuantitatif yang menggarisbawahi urgensi dilakukannya penataan ruang total. Kawasan ini menghadapi tekanan penduduk yang luar biasa, memicu permukiman yang tak terencana di zona sempadan sungai.1
Skala Kekumuhan yang Mengejutkan
Kelurahan 5 Ulu, salah satu fokus penelitian, memiliki luas total 3,42 $Km^{2}$ atau 41,30% dari total luas Kecamatan Seberang Ulu I, menjadikannya kelurahan terluas di kecamatan tersebut. Kepadatan permukiman di wilayah ini diperburuk oleh tingginya populasi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Kelurahan 5 Ulu mencatat jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu 27.636 jiwa.1 Kelurahan 7 Ulu juga tidak jauh berbeda, menjadi kelurahan terbesar ketiga dengan luas 0,80 $Km^{2}$ dan populasi 17.585 jiwa.1
Skala krisis spasial terlihat jelas dalam laporan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa Kelurahan 5 Ulu menyumbang 63,05 Hektar (Ha) kawasan yang masuk kategori prioritas penataan permukiman kumuh.1
Untuk menggambarkan konsentrasi masalah ini, luas 63,05 Ha tersebut setara dengan area hampir 88 kali lapangan sepak bola standar. Skala kekumuhan yang terpusat ini menunjukkan bahwa penataan di 5 Ulu memerlukan intervensi politik dan sosial yang besar, termasuk penataan ulang dan relokasi, yang melampaui kapasitas perbaikan infrastruktur biasa. Ini adalah konsentrasi krisis yang mengancam fungsi dasar Sungai Musi.1
Permasalahan Fungsional dan Infrastruktur
Permasalahan di kawasan tepian Sungai Musi tidak hanya terbatas pada permukiman padat. Penelitian mengidentifikasi beberapa masalah fungsional ganda:
Di Balik Data Kekumuhan: Potensi Sosial dan Ekonomi yang Terpendam
Analisis kondisi eksisting di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu tidak hanya menyoroti masalah fisik, tetapi juga menemukan kerapuhan pada aspek non-fisik (ekonomi dan sosial-budaya) yang harus diatasi untuk menjamin keberlanjutan konsep penataan ruang.
Profil Sosial dan Ekonomi yang Rapuh
Mata pencaharian masyarakat di kawasan ini mayoritas adalah buruh, pedagang kecil, dan pelaku industri kecil/rumah tangga, yang umumnya mengikuti jalur keluarga atau turun-temurun.1 Mata pencaharian ini memengaruhi tingkat pendapatan:
Meskipun pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan pokok, kondisi ekonomi yang rentan ini membatasi pemenuhan kebutuhan tersier. Disparitas sosial-ekonomi ini menciptakan biaya sosial yang tinggi, ditandai dengan maraknya terjadi kriminalitas seperti pencurian dan perampasan di kawasan tersebut.1 Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kekumuhan memerlukan solusi preventif yang mengatasi akar masalah sosial (kriminalitas, SDM rendah) melalui pemberdayaan ekonomi dan pendidikan, sehingga penataan fisik tidak hanya menjadi proyek sia-sia.
Potensi Lokal dan Warisan Budaya
Meskipun menghadapi tantangan yang besar, kawasan ini memiliki potensi kuat yang harus diintegrasikan ke dalam rencana penataan:
Namun, potensi ini terhambat oleh masalah fisik, seperti kepadatan bangunan yang rapat yang meningkatkan risiko kebakaran, akses jalan di permukiman yang terlalu sempit (hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua), dan minimnya ruang terbuka hijau fungsional sebagai alat peredam kebisingan kota.1
Konsep 'Mixed-Used Waterfront': Formula Tiga Pilar untuk Regenerasi Musi
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep penataan ruang berkelanjutan yang paling tepat untuk 5 Ulu dan 7 Ulu adalah konsep penataan kawasan fungsi gabungan atau mix-used waterfront / riverside.1 Konsep ini berorientasi pada pembangunan waterfront/riverside dengan menggabungkan berbagai fungsi kawasan, yaitu cagar budaya (preservasi), kawasan perlindungan setempat, kampung industri kreatif, dan pariwisata tepi air.1
Konsep ini dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan:
1. Pilar Pertama: Pengembangan Kampung Industri Kreatif (Ekonomi)
Pilar ini berfokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan formalisasi sentra ekonomi lokal untuk meningkatkan perekonomian kawasan.
2. Pilar Kedua: Pemenuhan Kebutuhan Sarana Ruang Publik (Sosial-Budaya)
Tujuan utama pilar ini adalah menyediakan wadah interaksi sosial, mengatasi minimnya fasilitas, dan melestarikan warisan budaya Palembang.
3. Pilar Ketiga: Kawasan Perlindungan dan Budidaya yang Terkendali (Ekologi & Fisik)
Pilar ini adalah fondasi ekologis dan fisik yang memastikan fungsi sungai terjaga, yang menjadi prasyarat untuk kesuksesan pilar ekonomi dan sosial.
Angka di Balik Perubahan: Transformasi Spasial Melalui Konsolidasi Lahan
Realisasi konsep mix-used waterfront ini menuntut pelaksanaan tindakan Konsolidasi Lahan secara menyeluruh. Proses ini mencakup penggeseran, penataan, penukaran, bahkan penghapusan bangunan yang tidak memenuhi peraturan, demi menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih fungsional dan terencana.1
Data spasial rencana tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang fundamental, di mana kepentingan publik dan lingkungan menjadi mayoritas:
Perencanaan ini secara tegas menuntut lompatan efisiensi lahan, di mana 54% dari total area harus didedikasikan untuk peruntukan non-permukiman (ruang terbuka, jalur hijau, konservasi, dan infrastruktur). Angka 54% ini merupakan persentase mayoritas yang akan dialokasikan untuk kepentingan publik dan lingkungan. Dalam konteks penataan permukiman kumuh, lompatan ini sangat dramatis; ini seolah menaikkan efisiensi infrastruktur lingkungan dari nilai rendah ke nilai mayoritas dalam satu kali proses penataan ulang kawasan.1
Alokasi Zona Kritis
Dalam alokasi lahan non-terbangun, Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) menjadi peruntukan lahan tertinggi dengan luas 42.218,92 $m^{2}$.1 Kawasan ini ditetapkan sebagai area yang harus bebas dari permukiman dan diubah menjadi penyangga ekologis dan ruang publik.1 Luas Kawasan Perlindungan Setempat yang diusulkan ini setara dengan lebih dari empat hektar area terbuka, atau sekitar sepuluh kali luas taman kota yang kecil yang akan berfungsi sebagai paru-paru udara kawasan dan penyangga ekologis terluas.1
Sementara itu, lahan untuk permukiman dibatasi menjadi 30.445,21 $m^{2}$ dan diarahkan jauh dari sempadan sungai (di luar batas 30–50 meter). Kawasan Industri Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), yang menampung kegiatan industri pempek dan ikan asin, mendapat porsi signifikan seluas 34.247,20 $m^{2}$ untuk memastikan kelangsungan ekonomi lokal.1
Penataan Berdasarkan Fungsi Blok
Untuk mempermudah implementasi, penataan kawasan dibagi menjadi tiga blok fungsional yang mempertahankan dan meningkatkan identitas lokalnya:
Pembagian blok fungsional ini merupakan strategi placemaking yang memastikan bahwa penataan ruang tidak homogen, melainkan meningkatkan aset budaya dan ekonomi yang ada, mengintegrasikan narasi sejarah kota ke dalam desain fisik kawasan waterfront.1
Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi Jangka Panjang
Meskipun konsep penataan ruang berkelanjutan ini sangat komprehensif, ada beberapa kritik realistis dan tantangan implementasi yang harus dipertimbangkan.
Kritik Mengenai Keterbatasan Fokus
Penelitian ini sangat fokus pada Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun, mengingat permasalahan kekumuhan dan degradasi lingkungan meluas di sepanjang Sungai Musi dan di beberapa kelurahan lain di Seberang Ulu I 1, konsep ini memerlukan skalabilitas dan validasi yang lebih luas agar dapat diangkat sebagai kebijakan regional yang menyeluruh. Keterbatasan fokus geografis studi ini bisa jadi mengecilkan dampak dan kompleksitas masalah kekumuhan secara umum di Palembang.
Tantangan Sosio-Politik Terbesar: Konsolidasi Lahan
Tantangan terbesar dari implementasi pilar ketiga (Kawasan Perlindungan Setempat) adalah pelaksanaan Konsolidasi Lahan—khususnya pembebasan area KPS seluas 42.218 $m^{2}$ yang saat ini diduduki oleh permukiman padat.1 Penataan ruang yang radikal, dengan mengalokasikan 54% lahan untuk fungsi non-terbangun, memerlukan modal sosial dan politik yang sangat kuat.1
Upaya untuk menggeser atau menghapus permukiman lama, meskipun diarahkan ke hunian yang lebih layak (rumah panggung berpondasi), berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Komunitas yang hidup dengan tingkat interaksi sosial tinggi dan bermata pencaharian yang bersifat turun-temurun sangat rentan terhadap dislokasi sosial akibat pemindahan mendadak.1 Keberhasilan proyek waterfront Palembang bergantung pada seberapa efektif pemerintah daerah dapat mengelola political cost dari pembebasan lahan, memastikan kompensasi yang transparan dan proses relokasi yang adil.1 Jika tidak, zona perlindungan sempadan 30–50 meter akan tetap menjadi area abu-abu yang kembali ditempati secara ilegal, mengancam keberlanjutan fungsi sungai.
Perlunya Integrasi Non-Fisik yang Masif
Tantangan berikutnya terletak pada integrasi intervensi sosial. Kegagalan mengatasi masalah non-fisik, seperti SDM yang rendah dan tingginya kriminalitas, dapat menyebabkan kegagalan fungsi ruang publik yang baru. Infrastruktur keras (dermaga, promenade, taman) tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh intervensi sosial, pendidikan, dan keamanan yang masif.1 Infrastruktur fisik yang baru harus didukung oleh peningkatan nilai-nilai religi, etika, moral, dan budaya pada masyarakat setempat untuk memastikan kawasan tetap aman dan nyaman.1
Kesimpulan: Dampak Nyata Menuju Palembang Baru
Konsep penataan mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah cetak biru yang komprehensif. Konsep ini melampaui upaya kosmetik; ia adalah strategi terintegrasi yang menyelaraskan konservasi ekologi sungai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat lokal, khususnya di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu.
Penelitian ini menyediakan landasan ilmiah yang kuat, yang menunjukkan bahwa dengan keberanian politik untuk melaksanakan Konsolidasi Lahan dan dengan pendekatan sosial yang adil, Palembang dapat mencapai dampak nyata dan terukur dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun:
Masa depan Palembang, sebagai Waterfront City, kini dipertaruhkan pada kemampuan para pemangku kepentingan untuk memindahkan fokus dari pembangunan daratan menuju pengembalian martabat, fungsi, dan keindahan abadi Sungai Musi.