Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Urgensi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi memperparah permasalahan seperti sampah, pencemaran, dan kerusakan ekosistem. Paper karya Muhammad Alrizky Ekiawan ini menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dalam bingkai norma hukum Indonesia, mengulas dasar-dasar hukum, asas, pendekatan, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan12.
Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pilar Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar Konstitusional
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berakar kuat pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan peran negara sebagai pengelola utama sumber daya alam, bukan sekadar regulator, tapi juga pelindung hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat12.
Undang-Undang Pokok
Permasalahan Lingkungan Hidup: Data, Fakta, dan Dampak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2020, di 384 kota di Indonesia, produksi sampah mencapai 80.235,87 ton per hari. Dari jumlah ini, hanya 4,2% diangkut ke TPA, 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani secara layak. Sampah yang tidak terkelola ini menjadi sumber utama pencemaran tanah, air, dan udara, serta menimbulkan ancaman kesehatan dan bencana lingkungan1.
Selain sampah, pencemaran air dan udara akibat limbah industri, pertambangan, dan urbanisasi juga menjadi masalah akut. Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Bandung, misalnya, menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan, di mana pemerintah daerah dan provinsi harus memediasi dan menindak perusahaan pelaku pencemaran sesuai UU No. 32 Tahun 20095.
Asas dan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 2 memuat 10 asas utama yang menjadi landasan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia:
Pendekatan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Paper ini mengidentifikasi 8 pendekatan utama yang dapat diadopsi secara simultan maupun selektif, tergantung karakteristik wilayah dan masalah lingkungan:
1. Pendekatan Teknologi
Mengganti teknologi yang merusak lingkungan dengan yang ramah lingkungan, seperti prinsip 4R (reuse, reduce, recycle, recovery). Contoh: teknologi composting untuk limbah organik, daur ulang limbah non-B3, dan mesin pabrik ramah lingkungan1.
2. Pendekatan Administrasi, Hukum, dan Peraturan
Melalui regulasi ketat seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL/UPL, baku mutu lingkungan, dan tata ruang. Penegakan hukum dilakukan baik secara administratif (izin, sanksi administratif) maupun melalui pengadilan (pidana, perdata)1346.
3. Pendekatan Ekonomi
Memberi nilai ekonomi pada sumber daya lingkungan sehingga biaya lingkungan diinternalisasikan dalam produksi. Contoh: pajak lingkungan, insentif bagi industri hijau, dan skema pembayaran jasa lingkungan1.
4. Pendekatan Pendidikan dan Pelatihan
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pendidikan formal, informal, dan pelatihan lingkungan. Contoh: diklat AMDAL, pelatihan pengolahan sampah, edukasi sekolah dan komunitas1.
5. Pendekatan Sosial Budaya
Mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Contoh: sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas1.
6. Pendekatan Sosio-Politik
Mengelola konflik kepentingan antar pihak melalui musyawarah dan negosiasi, menciptakan win-win solution dalam pengelolaan sumber daya lintas sektor, wilayah, atau etnis1.
7. Pendekatan Ekologis
Berbasis pada konservasi ekosistem, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh: perlindungan kawasan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional1.
8. Pendekatan Agama
Menumbuhkan moral dan etika lingkungan melalui ajaran agama, sehingga masyarakat lebih bijak dalam mengelola alam1.
9. Pendekatan Institusi
Melibatkan lembaga formal dan non-formal, seperti dinas kebersihan, LSM, dan kelompok masyarakat, dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta sumber daya lingkungan1.
Studi Kasus: Penegakan Hukum Lingkungan
Kasus Sungai Cikijing, Bandung
Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Kabupaten Bandung menjadi contoh nyata penerapan UU No. 32 Tahun 2009. Pemerintah daerah dan provinsi menindak perusahaan pelaku pencemaran dengan upaya administratif dan perdata, serta memediasi agar limbah cair tidak lagi dibuang ke sungai. Kasus ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator, penegak hukum, dan pelindung hak masyarakat atas lingkungan sehat5.
Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg
Studi lain menyoroti kepastian hukum dalam penegakan lingkungan melalui Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, di mana hakim menggunakan logika hukum indoktriner dan argumentum ad verecundiam untuk memenangkan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski perangkat hukum sudah ada, implementasi dan interpretasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan4.
Tantangan dan Kritik: Implementasi, Kepastian Hukum, dan Partisipasi
Implementasi Hukum
Meski kerangka hukum sudah kuat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak kasus pencemaran yang tidak ditindak tegas, sanksi yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring serta pengawasan. Penegakan hukum lingkungan seringkali baru berjalan setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan346.
Kepastian Hukum
Kepastian hukum bagi masyarakat masih lemah, terutama dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga. UU No. 32 Tahun 2009 memang membuka ruang bagi sanksi administratif, perdata, dan pidana, namun dalam praktiknya, proses hukum sering lambat dan tidak berpihak pada korban456.
Partisipasi dan Edukasi
Partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya edukasi, akses informasi, dan kesadaran lingkungan. Padahal, keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat12.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini sejalan dengan literatur lain yang menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dan multi-aktor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kelebihan utama paper ini adalah analisis komprehensif atas asas, pendekatan, dan dasar hukum, serta penekanan pada pentingnya kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Namun, paper ini bisa lebih kuat jika menambahkan data kuantitatif kerusakan lingkungan, studi kasus lebih banyak, dan analisis mendalam tentang efektivitas sanksi hukum di Indonesia.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Efektif dan Berkeadilan
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat, implementasi yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi harus didukung pendekatan teknologi, pendidikan, budaya, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan dapat benar-benar terwujud.
Sumber Artikel
Muhammad Alrizky Ekiawan. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia. JURNAL RECHTEN: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 5 No. 2 (2023), hlm. 34–42.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Alam dan Risiko Sistemik bagi Ekonomi Global
Dunia kini menghadapi krisis alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi yang saling terkait. Paper IMF ini menyoroti bagaimana ekonomi global sepenuhnya “embedded in nature”—tertanam dan tergantung pada stabilitas ekosistem—namun justru mendorong degradasi alam yang mengancam keberlanjutan ekonomi dan stabilitas keuangan. Dengan kerangka konseptual baru, analisis empiris, dan rekomendasi kebijakan konkret, paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, regulator keuangan, dan pelaku industri yang ingin memahami serta mengelola risiko terkait alam.
Kerangka Konseptual: Double Materiality dan Saluran Risiko Alam
Penulis mengembangkan kerangka “double materiality” yang menegaskan dua arah hubungan antara ekonomi dan alam:
Kerangka ini menyoroti bahwa risiko alam dapat bereskalasi dari level lokal menjadi ancaman sistemik global melalui saluran makroekonomi (pertumbuhan, inflasi, utang, perdagangan) dan saluran keuangan (kredit, pasar, likuiditas, asuransi, operasional).
Krisis Alam: Angka, Fakta, dan Batasan Planet
Studi Kasus & Analisis Empiris: Risiko Transisi dan Fisik di Sektor Keuangan
Eksposur Bank Global terhadap Risiko Alam
Risiko Fisik: Kesiapan Perusahaan Menghadapi Degradasi Alam
Saluran Dampak Makroekonomi: Dari Produktivitas hingga Stabilitas Fiskal
Studi Kebijakan: Inisiatif Global dan Praktik Negara
Tantangan Utama: Data, Model, dan Kesenjangan Kapasitas
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi dan Keuangan Ramah Alam
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini memperkuat temuan Dasgupta Review (2021) dan IPBES (2019) tentang keterbatasan substitusi modal alam, pentingnya tipping point, dan perlunya kerangka ekonomi baru yang mengakui keterbatasan planet. Namun, kontribusi utama paper ini adalah pemetaan saluran risiko alam ke sistem keuangan global secara empiris—misal, angka 38% eksposur pinjaman bank ke sektor subsidi merusak dan 44% ke area konservasi—yang sebelumnya jarang dibahas secara kuantitatif.
Dibanding studi sebelumnya, paper ini juga menyoroti kebutuhan mendesak akan disclosure, taksonomi, dan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi antara alam dan iklim. Penekanan pada “double materiality” dan “nature Minsky moment” menambah perspektif baru dalam diskusi risiko sistemik global.
Implikasi Industri dan Tren Masa Depan
Mengelola Risiko Alam untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
Paper IMF ini menegaskan bahwa ekonomi dan keuangan global tidak akan stabil tanpa perlindungan alam. Risiko alam kini telah menjadi sumber risiko sistemik, setara dengan risiko iklim, yang menuntut perubahan paradigma kebijakan ekonomi dan keuangan. Tanpa aksi cepat dan terkoordinasi—mulai dari penghapusan subsidi merusak, disclosure risiko, hingga penguatan taksonomi dan data—dunia berisiko menghadapi krisis ekonomi dan keuangan akibat keruntuhan ekosistem. Integrasi kebijakan alam dan iklim, inovasi keuangan, dan kolaborasi global adalah kunci menuju masa depan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel
Charlotte Gardes-Landolfini, William Oman, Jamie Fraser, Mariza Montes de Oca Leon, and Bella Yao. Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations. IMF Staff Climate Notes NOTE/2024/002, October 2024.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Hak Alam dan Pergeseran Paradigma Hukum Lingkungan
Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global—mulai dari penurunan keanekaragaman hayati hingga degradasi ekosistem—memaksa masyarakat dunia mencari pendekatan baru dalam perlindungan alam. Salah satu inovasi paling radikal adalah pengakuan Rights of Nature (RoN), yaitu pemberian hak hukum kepada entitas alam seperti sungai, hutan, atau ekosistem. Paper karya Viktoria Kahui, Claire W. Armstrong, dan Margrethe Aanesen ini menawarkan analisis komparatif mendalam atas 14 studi kasus RoN di berbagai belahan dunia, menyoroti pola kemunculan, desain, serta tantangan implementasi yang dihadapi gerakan ini1.
Dari Antroposentris ke Ekosentris
Tradisi hukum lingkungan selama ini cenderung antroposentris—alam dilindungi demi kesejahteraan manusia. Namun, RoN menawarkan paradigma ekosentris, di mana alam diakui memiliki nilai intrinsik dan kepentingan hukum tersendiri. Gagasan ini berakar pada pemikiran Indigenous Peoples (misalnya Māori di Selandia Baru) dan diperkuat oleh pemikiran filsuf hukum seperti Christopher Stone yang pada 1972 mengusulkan agar “benda alam” dapat menjadi subjek hukum1.
Sejak Ekuador menjadi negara pertama yang memasukkan RoN dalam konstitusinya pada 2008, inisiatif serupa bermunculan di Bolivia, Amerika Serikat, Meksiko, Selandia Baru, Kolombia, Australia, Kanada, India, Bangladesh, dan Spanyol. Data terbaru menunjukkan hingga 2021 terdapat 409 inisiatif RoN di 39 negara, dengan 80% di antaranya berada di Amerika1.
Analisis Komparatif Deskriptif
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif untuk menelaah 14 kasus RoN yang dipilih berdasarkan literatur dan signifikansi global. Analisis difokuskan pada dua aspek utama:
Kasus-kasus ini kemudian dikategorikan dalam dua kelompok besar: public guardianship (hak diadvokasi semua warga) dan appointed guardianship (hak diwakili entitas atau individu tertentu, disebut juga Environmental Legal Personhood/ELP, dengan subkategori indirect, direct, dan living ELPs)12.
Temuan Utama: Pola Kemunculan dan Desain RoN
Pola Kemunculan: Perlawanan atas Kegagalan Tata Kelola Konvensional
Sebagian besar kasus RoN muncul sebagai respons terhadap kegagalan tata kelola lingkungan konvensional dalam menghadapi tekanan ekonomi—baik urbanisasi, pertanian, maupun industri. Di hampir semua kasus, peran komunitas lokal dan masyarakat adat sangat menonjol, baik sebagai penggerak utama maupun penjaga nilai-nilai ekosentris. Contoh nyata:
Ragam Desain dan Tantangan Implementasi
Public Guardianship
Appointed Guardianship/ELP
Living ELPs
Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan
Keunggulan RoN
Tantangan dan Kritik
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa RoN seringkali lahir dari kegagalan tata kelola konvensional dan didorong oleh advokasi akar rumput serta komunitas adat. Namun, paper ini menambah dimensi baru dengan menyoroti pentingnya detail desain kelembagaan—khususnya soal liability dan mekanisme perwalian—sebagai kunci keberhasilan implementasi RoN12.
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
RoN sangat relevan dengan tren global menuju earth system law dan environmental rule of law, serta upaya pencapaian target SDGs terkait keanekaragaman hayati dan tata kelola air. Di sektor industri, RoN menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan eksternalitas lingkungan secara lebih serius, bahkan membuka kemungkinan gugatan hukum atas nama entitas alam. Di Indonesia, wacana RoN mulai berkembang, misalnya dalam advokasi perlindungan Sungai Citarum dan Danau Toba, meski belum diakui secara hukum formal.
Studi Kasus Inspiratif: Whanganui River, Selandia Baru
Salah satu model paling sukses adalah pengakuan Whanganui River sebagai entitas hukum di Selandia Baru. Setelah lebih dari 150 tahun konflik antara Māori dan pemerintah kolonial, pada 2017 sungai ini diakui sebagai “legal person” dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak dan kewajiban diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi rujukan global karena mampu mengakomodasi nilai adat, memperkuat perlindungan ekosistem, dan meminimalisir konflik liability1.
Implikasi Kebijakan: Rekomendasi untuk Masa Depan
Berdasarkan temuan paper, berikut beberapa rekomendasi untuk pengembangan RoN yang efektif:
Menuju Tata Kelola Alam yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa Rights of Nature bukan sekadar inovasi hukum, tetapi juga refleksi perubahan nilai dan paradigma dalam hubungan manusia-alam. Keberhasilan RoN sangat ditentukan oleh desain kelembagaan yang jelas, keterlibatan komunitas lokal, dan keberanian politik untuk menempatkan hak alam setara dengan hak manusia dan korporasi. Di tengah ancaman krisis lingkungan global, RoN menawarkan harapan baru untuk tata kelola alam yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.
Sumber Artikel
Kahui, V., Armstrong, C.W., & Aanesen, M. (2024). Comparative analysis of Rights of Nature (RoN) case studies worldwide: Features of emergence and design. Ecological Economics, 221, 108193. Available online 6 April 2024. 0921-8009/© 2024 The Authors. Published by Elsevier B.V.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Ketika Kota Butuh Alam untuk Bertahan
Perubahan iklim telah mengubah wajah kota. Hujan deras yang tiba-tiba, banjir kilat, dan sistem drainase yang kolaps kini menjadi kenyataan rutin di banyak wilayah urban. Kota-kota seperti Malmö, Gävle, dan Jönköping di Swedia telah mengalami kerugian miliaran krona akibat badai ekstrem dalam satu dekade terakhir. Untuk merespons tantangan ini, pendekatan tradisional berbasis infrastruktur abu-abu (seperti beton dan pipa) mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, muncullah konsep yang lebih adaptif: solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS).
Laporan terbaru dari Stockholm Environment Institute (SEI) berjudul “Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden” (2025), membedah bagaimana kota-kota di Swedia mengadopsi NbS untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggali data biaya, manfaat tambahan (co-benefits), serta tantangan institusional dari penerapan NbS di 38 kota Swedia.
Apa Itu Solusi Berbasis Alam (NbS)?
NbS adalah pendekatan yang menggunakan proses alami untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial. Dalam konteks air hujan, NbS mencakup:
Alih-alih hanya memindahkan air secepat mungkin ke saluran pembuangan, NbS bertujuan menyerap, menahan, menyaring, dan memanfaatkan air secara lokal sambil mempercantik kota dan meningkatkan kualitas hidup.
Mengapa Swedia Memilih NbS?
Swedia memiliki target ambisius. Pada 2025, semua kota yang rawan dampak limpasan air hujan harus menyusun peta risiko, merancang rencana aksi, dan mulai mengimplementasikan sistem pengelolaan air hujan yang berkelanjutan.
Dukungan kebijakan ini memicu eksplorasi NbS sebagai solusi. Penelitian SEI menunjukkan bahwa 29 dari 38 kota besar di Swedia telah memiliki dokumen strategi pengelolaan air hujan, meskipun istilah “NbS” jarang disebutkan secara eksplisit. Sebaliknya, istilah seperti "sistem terbuka", "berkelanjutan", atau "multifungsi" lebih sering digunakan.
Manfaat Ganda: NbS Bukan Sekadar Drainase
Salah satu keunggulan utama NbS adalah kemampuannya memberikan manfaat tambahan (co-benefits). Dalam laporan SEI, manfaat tersebut mencakup:
Sebagai contoh, rain garden dengan tanaman bunga dapat menyerap limpasan air sekaligus memperindah lingkungan dan menyediakan habitat bagi serangga penyerbuk.
Namun, studi SEI juga mengungkap bahwa hanya 25% dokumen kota yang menyebutkan manfaat pengurangan panas dan kurang dari 10% yang menyebutkan manfaat penyerapan karbon atau pengurangan energi. Artinya, masih banyak potensi NbS yang belum tergarap secara optimal dalam perencanaan kota.
Biaya: Apakah NbS Mahal?
Salah satu kekhawatiran umum terhadap NbS adalah biaya. SEI melakukan pencarian data biaya pembangunan dan pemeliharaan NbS di situs pemerintah kota dan database nasional seperti VISS. Hasilnya cukup beragam:
Yang menarik, kota Malmö menunjukkan bahwa solusi NbS di atas tanah (open communal storage) bisa 50% lebih murah dibandingkan solusi drainase bawah tanah tradisional. Kota Kopenhagen memperkirakan bahwa strategi NbS untuk menghadapi hujan badai bisa menghemat 9 miliar DKK dibandingkan pendekatan konvensional.
Studi Kasus: Kota yang Menerapkan NbS secara Progresif
1. Eskilstuna
Mengembangkan sistem referensi biaya NbS, termasuk kolam retensi dengan biaya estimasi 1000 SEK/m² dan biaya O&M 58 SEK/m²/tahun. Ini menjadi acuan dalam perencanaan ke depan.
2. Helsingborg dan Landskrona
Menyusun dokumen pembanding antara solusi NbS terbuka dengan sistem drainase bawah tanah. Hasilnya menunjukkan efisiensi biaya NbS jauh lebih tinggi, terutama pada pengembangan kawasan baru.
3. Malmö
Menggunakan data dari Kopenhagen sebagai pembanding, menunjukkan bahwa biaya kerusakan akibat banjir (600 juta SEK pada 2014) lebih mahal daripada investasi preventif menggunakan NbS.
Tantangan: Dari Hukum Sampai Koordinasi
Laporan SEI menyoroti bahwa tantangan terbesar bukan teknologi, tetapi institusi dan koordinasi. Di Swedia, sebagian besar lahan perkotaan dimiliki oleh pihak swasta. Pemerintah kota tidak memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan NbS di lahan privat.
Selain itu, pembagian tanggung jawab antar dinas, khususnya dalam tahap perencanaan, desain, konstruksi, dan pemeliharaan, masih belum seragam. Hanya sebagian kota seperti Malmö dan Ystad yang sudah memiliki matrix pembagian tugas lintas tahap dan departemen.
Kebijakan dan Dukungan Regulasi: Sudah Cukupkah?
NbS mendapat dukungan dari berbagai kebijakan nasional dan internasional:
Namun, laporan SEI mencatat bahwa kebijakan saat ini belum sepenuhnya menghitung nilai tambah dari NbS, khususnya dalam konteks pengajuan anggaran atau investasi. Co-benefits sering kali tidak masuk dalam penilaian cost-benefit resmi, sehingga menghambat implementasi.
Rekomendasi SEI: Menuju Kota yang Lebih Tangguh
Laporan ini merekomendasikan delapan langkah strategis:
Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Laporan ini sangat komprehensif, tetapi tetap memiliki keterbatasan:
Ke depan, integrasi NbS perlu diperkuat dengan studi kasus yang mengevaluasi dampak jangka panjang, termasuk pada pengurangan beban pengolahan air limbah, kesehatan masyarakat, dan nilai properti.
Menyulam Kota dan Alam dalam Satu Narasi
Pengelolaan air hujan bukan lagi sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan kota. NbS membuka peluang untuk menyatukan fungsi ekologis dan sosial dalam satu rancangan urban yang adaptif dan resilien.
Swedia menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang mendukung, data yang transparan, dan kolaborasi multi-aktor, kota masa depan bisa menjadi tempat yang lebih hijau, lebih aman, dan lebih menyenangkan untuk ditinggali. Kini saatnya kota-kota lain—termasuk di Indonesia—belajar dari praktik baik ini dan mulai menenun kembali relasi harmonis antara air, alam, dan manusia.
Sumber Artikel:
Gunnarsson, M., & Barquet, K. (2025). Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden: Costs, Co-benefits, Responsibilities and Policies. SEI Report. DOI: https://doi.org/10.51414/sei2025.002
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.
Studi Kasus dan Temuan Kunci
Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:
Angka dan Data Penting
Analisis Mekanisme Maladaptasi
Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:
Opini dan Kritik
Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.
Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?
Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.
Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi
Kapasitas Adaptif Organisasi
Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.
Hambatan Adaptasi
Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:
Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:
Strategi Adaptasi yang Diterapkan
Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:
Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:
Kritik dan Opini Tambahan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:
Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:
Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.