Krisis Alam dan Risiko Sistemik bagi Ekonomi Global
Dunia kini menghadapi krisis alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi yang saling terkait. Paper IMF ini menyoroti bagaimana ekonomi global sepenuhnya “embedded in nature”—tertanam dan tergantung pada stabilitas ekosistem—namun justru mendorong degradasi alam yang mengancam keberlanjutan ekonomi dan stabilitas keuangan. Dengan kerangka konseptual baru, analisis empiris, dan rekomendasi kebijakan konkret, paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, regulator keuangan, dan pelaku industri yang ingin memahami serta mengelola risiko terkait alam.
Kerangka Konseptual: Double Materiality dan Saluran Risiko Alam
Penulis mengembangkan kerangka “double materiality” yang menegaskan dua arah hubungan antara ekonomi dan alam:
- Ekonomi sangat bergantung pada jasa ekosistem (air, udara bersih, polinasi, regulasi iklim, dsb), namun aktivitas ekonomi juga mempercepat degradasi alam.
- Risiko terkait alam diklasifikasikan menjadi empat:
- Physical risks (kerusakan akibat hilangnya jasa ekosistem, bencana alam, polusi, dsb),
- Transition risks (risiko akibat perubahan kebijakan, regulasi, dan preferensi pasar menuju ekonomi ramah alam),
- Litigation risks (biaya hukum akibat gugatan lingkungan),
- Institutional risks (perubahan tata kelola dan kepercayaan publik).
Kerangka ini menyoroti bahwa risiko alam dapat bereskalasi dari level lokal menjadi ancaman sistemik global melalui saluran makroekonomi (pertumbuhan, inflasi, utang, perdagangan) dan saluran keuangan (kredit, pasar, likuiditas, asuransi, operasional).
Krisis Alam: Angka, Fakta, dan Batasan Planet
- Enam dari sembilan “planetary boundaries” telah terlewati, termasuk integritas biosfer, perubahan iklim, perubahan penggunaan lahan, aliran biokimia (nitrogen & fosfor), air tawar, dan entitas baru (bahan kimia sintetis)1.
- Biodiversitas menurun lebih cepat dari sebelumnya: Lebih dari 90% kehilangan keanekaragaman hayati dan tekanan air berasal dari perubahan penggunaan lahan dan eksploitasi industri/pertanian1.
- Ekonomi dunia sangat rentan: Lebih dari 50% GDP global sangat atau cukup bergantung pada alam (WEF 2020).
- Nilai risiko air: Risiko air diperkirakan berdampak pada 7–16% GDP global, sedangkan risiko terkait polinasi, udara, dan kualitas air sekitar 1–3% GDP1.
- Dampak ketidakberlanjutan: Studi Johnson dkk. (2021) memperkirakan kerugian tahunan akibat kerusakan tiga ekosistem utama setara dengan 2,3% GDP global pada 2030, dan bisa mencapai 10% di negara berpendapatan rendah dan menengah bawah.
Studi Kasus & Analisis Empiris: Risiko Transisi dan Fisik di Sektor Keuangan
Eksposur Bank Global terhadap Risiko Alam
- 38% pinjaman bank terbesar dunia diberikan ke sektor yang sangat bergantung pada subsidi merusak alam (misal: pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan)1.
- 44% pinjaman bank terekspos pada area konservasi yang akan terdampak kebijakan konservasi 30% daratan dan perairan global pada 2030 (Target 3 Global Biodiversity Framework/GBF)1.
- Subsidi merusak alam mencapai $1,7 triliun pada 2022, terdiri dari $640 miliar di energi, $520 miliar pertanian, $350 miliar air, $155 miliar kehutanan, dan $50 miliar perikanan. Penghapusan subsidi ini akan berdampak besar pada sektor-sektor terkait dan menimbulkan risiko gagal bayar di portofolio bank1.
- Risiko transisi: Sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan paling rentan terhadap kebijakan penghapusan subsidi dan ekspansi area konservasi. Bank-bank dengan kebijakan manajemen risiko alam yang kuat cenderung memiliki eksposur lebih rendah ke sektor-sektor ini, namun cakupan kebijakan masih terbatas dan belum mencakup seluruh instrumen pembiayaan1.
Risiko Fisik: Kesiapan Perusahaan Menghadapi Degradasi Alam
- Korelasi kesiapan dan eksposur industri terhadap risiko alam hanya 0,37: Artinya, industri yang paling terekspos justru paling tidak siap mengelola risiko alam1.
- Pada perusahaan terbesar di tiap industri, korelasi kesiapan dan eksposur meningkat (0,70), namun skor kesiapan rata-rata justru 47% lebih rendah dari rata-rata industri. Hal ini menandakan ketidaksiapan sistemik dan bias pelaporan sukarela1.
- Hanya 55% perusahaan yang melaporkan manajemen risiko air telah mengintegrasikan isu air dalam rencana bisnis jangka panjang. Mayoritas pelaporan masih belum transparan, tidak seragam, dan cenderung melebih-lebihkan kesiapan1.
Saluran Dampak Makroekonomi: Dari Produktivitas hingga Stabilitas Fiskal
- Dampak langsung: Hilangnya jasa ekosistem (misal mangrove, lahan basah) meningkatkan kerusakan akibat badai, menurunkan pertumbuhan ekonomi kawasan hingga 6,1–8,2% pasca bencana, dibanding kawasan yang masih terlindungi (2,6–5,5%)1.
- Produktivitas tenaga kerja: Polusi dan degradasi alam menurunkan produktivitas fisik dan kognitif, terutama di pertanian dan jasa. Penurunan polinasi dan erosi tanah menurunkan hasil pertanian dan kesehatan masyarakat.
- Dampak fiskal: Pendapatan negara turun akibat hilangnya daya tarik wisata alam (8% pasar pariwisata global berasal dari kawasan lindung), sementara belanja untuk pemulihan dan restorasi naik drastis. Negara berpendapatan rendah sangat rentan terhadap lonjakan utang akibat bencana ekologis1.
- Inflasi dan neraca eksternal: Krisis air dan pangan akibat degradasi alam memicu volatilitas harga pangan dan energi, meningkatkan inflasi dan memperburuk neraca perdagangan1.
- Risiko sistemik keuangan: Penurunan nilai aset, gagal bayar kredit, lonjakan klaim asuransi, dan perubahan ekspektasi pasar dapat memicu “nature Minsky moment”—krisis keuangan sistemik akibat guncangan alam1.
Studi Kebijakan: Inisiatif Global dan Praktik Negara
- Regulasi dan pengawasan: Beberapa negara mulai mengintegrasikan risiko alam dalam kebijakan keuangan.
- Brasil: Bank sentral sejak 2008 mewajibkan kredit pertanian di Amazon hanya untuk pelaku yang patuh lingkungan, terbukti menekan deforestasi1.
- Hong Kong: Otoritas moneter sejak 2020 mewajibkan bank mengelola risiko lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati dan deforestasi.
- Uni Eropa: Regulasi perbankan terbaru mewajibkan pengungkapan, manajemen, dan tata kelola risiko ESG, termasuk degradasi ekosistem dan kehilangan biodiversitas.
- Disclosure dan taksonomi: Task Force on Nature-Related Financial Disclosures (TNFD) dan International Sustainability Standards Board (ISSB) mendorong pelaporan risiko alam oleh korporasi dan lembaga keuangan. Beberapa negara (Prancis, Brasil, China, Turki) telah mengadopsi atau mewajibkan disclosure risiko biodiversitas.
- Taksonomi hijau: 17 negara mega-biodiverse telah atau sedang mengembangkan taksonomi yang memasukkan kriteria pelestarian alam. ASEAN, China, Uni Eropa, dan beberapa negara Amerika Latin sudah mengadopsi taksonomi yang mewajibkan perlindungan biodiversitas dalam investasi1.
Tantangan Utama: Data, Model, dan Kesenjangan Kapasitas
- Keterbatasan data: Mayoritas pelaporan risiko alam masih sukarela, tidak seragam, dan bias positif. Hanya sebagian kecil perusahaan dan bank yang benar-benar mengukur dan mengelola risiko alam secara sistemik.
- Model ekonomi konservatif: Estimasi dampak makroekonomi cenderung meremehkan risiko karena hanya mencakup sebagian jasa ekosistem dan mengasumsikan substitusi modal alam dengan modal buatan, padahal substitusi ini sangat terbatas1.
- Ketidakpastian tipping point: Lokasi dan waktu titik kritis ekosistem (tipping point) sulit diprediksi, sehingga prinsip kehati-hatian dan batas kuantitatif lebih efektif daripada sekadar instrumen harga atau pajak1.
- Kesenjangan kapasitas: Negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan sistem data, regulasi, dan kapasitas pengawasan risiko alam.
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi dan Keuangan Ramah Alam
- Integrasi risiko alam dalam kebijakan makro dan keuangan: Negara harus mulai mengadopsi kerangka manajemen risiko alam, melengkapi kebijakan iklim, dan mengintegrasikan prinsip “do no harm” agar kebijakan iklim tidak merugikan alam, dan sebaliknya.
- Transparansi dan disclosure: Pemerintah dan regulator perlu mewajibkan pelaporan risiko alam dan subsidi merusak alam secara konsisten lintas negara.
- Penguatan taksonomi dan data: Pengembangan taksonomi hijau dan sistem data alam menjadi prioritas, dimulai dari sektor-sektor paling relevan (pertanian, kehutanan, energi, pertambangan).
- Inovasi keuangan: Pengembangan instrumen keuangan berbasis konservasi dan restorasi alam, serta penyesuaian due diligence bank dan asuransi untuk risiko alam.
- Kolaborasi global: Kerja sama internasional diperlukan untuk harmonisasi standar, pengembangan skenario risiko alam, dan penutupan kesenjangan pendanaan konservasi.
- Pendekatan kuantitatif dan kehati-hatian: Mengingat keterbatasan model dan ketidakpastian tipping point, kebijakan berbasis batas kuantitatif (misal, larangan deforestasi, perlindungan area kritis) lebih efektif daripada hanya mengandalkan instrumen harga.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini memperkuat temuan Dasgupta Review (2021) dan IPBES (2019) tentang keterbatasan substitusi modal alam, pentingnya tipping point, dan perlunya kerangka ekonomi baru yang mengakui keterbatasan planet. Namun, kontribusi utama paper ini adalah pemetaan saluran risiko alam ke sistem keuangan global secara empiris—misal, angka 38% eksposur pinjaman bank ke sektor subsidi merusak dan 44% ke area konservasi—yang sebelumnya jarang dibahas secara kuantitatif.
Dibanding studi sebelumnya, paper ini juga menyoroti kebutuhan mendesak akan disclosure, taksonomi, dan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi antara alam dan iklim. Penekanan pada “double materiality” dan “nature Minsky moment” menambah perspektif baru dalam diskusi risiko sistemik global.
Implikasi Industri dan Tren Masa Depan
- Sektor keuangan akan menghadapi tuntutan disclosure dan due diligence risiko alam yang makin ketat.
- Industri ekstraktif dan agrikultur harus bersiap menghadapi penghapusan subsidi dan perluasan area konservasi yang berdampak pada model bisnis dan akses pembiayaan.
- Teknologi dan data akan menjadi tulang punggung sistem pelaporan dan penilaian risiko alam.
- Negara berkembang perlu dukungan pendanaan dan transfer teknologi untuk membangun kapasitas manajemen risiko alam.
Mengelola Risiko Alam untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
Paper IMF ini menegaskan bahwa ekonomi dan keuangan global tidak akan stabil tanpa perlindungan alam. Risiko alam kini telah menjadi sumber risiko sistemik, setara dengan risiko iklim, yang menuntut perubahan paradigma kebijakan ekonomi dan keuangan. Tanpa aksi cepat dan terkoordinasi—mulai dari penghapusan subsidi merusak, disclosure risiko, hingga penguatan taksonomi dan data—dunia berisiko menghadapi krisis ekonomi dan keuangan akibat keruntuhan ekosistem. Integrasi kebijakan alam dan iklim, inovasi keuangan, dan kolaborasi global adalah kunci menuju masa depan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel
Charlotte Gardes-Landolfini, William Oman, Jamie Fraser, Mariza Montes de Oca Leon, and Bella Yao. Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations. IMF Staff Climate Notes NOTE/2024/002, October 2024.