Seni, Budaya, dan Infrastruktur Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Pembuka: Krisis Panggung Kreatif di Jantung Kota Seni
Bandung telah lama diakui sebagai salah satu pusat kota kreatif, budaya, dan seni di Indonesia, di samping reputasinya sebagai pusat pendidikan.1 Identitas kota ini diperkuat oleh geliat aktivitas kultural yang berkembang pesat, ditandai dengan munculnya berbagai kelompok seniman, band indie yang aktif, kegiatan teater, dan beragam pertunjukan musik yang diselenggarakan secara rutin.1 Perkembangan ini menunjukkan vitalitas komunitas kreatif yang tinggi dan kebutuhan yang terus meningkat akan ruang ekspresi yang memadai.
Namun, di balik citra gemerlap ini, tersembunyi sebuah kontradiksi struktural yang mendalam: Kota Bandung, hingga saat ini, masih belum memiliki Gedung Kesenian yang representatif yang berfungsi sebagai tempat pertunjukan seni teater, musik, dan pameran seni yang layak.1 Kekurangan fasilitas infrastruktur yang representatif ini tidak hanya menghambat kemampuan kota untuk menyelenggarakan pertunjukan berskala besar yang setara dengan kota metropolitan lain, tetapi yang lebih krusial, ia membatasi potensi interaksi dan kolaborasi formal antar pelaku seni yang beragam. Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara ambisi kultural kota dan dukungan infrastruktur fisik yang tersedia. Kesenjangan ini menciptakan krisis infrastruktur yang membayangi identitas kultural Bandung.
Sebagai respons terhadap defisit fungsional dan simbolis ini, sebuah proyek perancangan arsitektur, yang dikenal sebagai Parahyangan Performing Art Center (PPAC) di Kota Baru Parahyangan (KBP), diinisiasi.1 Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kebutuhan krusial tersebut dengan mengusung solusi revolusioner: perancangan ruang yang mampu beradaptasi dan melipatgandakan fungsinya sendiri. Fokus utama penelitian ini adalah menguji secara mendalam penerapan dua prinsip arsitektur yang saling melengkapi—yaitu Fleksibilitas Arsitektur dan Arsitektur Kontemporer—dengan tujuan akhir menciptakan "wadah interaktif untuk ruang kolaborasi antar pelaku seni".1 Pendekatan desain ini diharapkan menghasilkan sebuah bangunan yang tidak hanya fungsional secara teknis tetapi juga adaptif, dinamis, dan ekspresif, yang pada akhirnya dapat mewadahi berbagai jenis aktivitas kesenian secara efisien.1
Mengapa Fleksibilitas Menjadi Kunci Revolusi Ruang Seni
A. Filosofi Desain: Dari Fungsi Tunggal ke Multifungsi Total
Prinsip Fleksibilitas Arsitektur dalam konteks ini adalah sebuah filosofi desain yang timbul sebagai respons langsung terhadap kelemahan fungsionalisme tradisional.1 Arsitektur fungsionalisme sering menekankan bahwa sebuah ruang hanya boleh memiliki satu kegunaan saja. Sebaliknya, fleksibilitas memandang bangunan secara fundamental sebagai "wadah" netral yang dirancang khusus untuk mengakomodasi berbagai macam kegiatan penggunanya.1
Konsep ini menjadi penting karena harus mampu mengantisipasi kebutuhan manusia yang sifatnya "kompleks dan berubah sewaktu-waktu".1 Mengingat Kota Bandung memiliki jumlah pelaku dan jenis kesenian yang sangat banyak dan beragam, desain bangunan yang kaku menjadi tidak relevan. Fleksibilitas arsitektur hadir sebagai jembatan antara kebutuhan para seniman yang diverse (seperti teater, musik, pameran, dan workshop) dengan kendala keterbatasan lahan perkotaan, termasuk lokasi proyek di Kota Baru Parahyangan seluas meter persegi.1 Dengan merangkul prinsip ini, infrastruktur baru dapat memaksimalkan asetnya dengan melayani berbagai kegiatan secara simultan atau berurutan.
Prinsip fleksibilitas memiliki tiga dimensi utama yang menjadi panduan dalam perancangan ruang kreatif 1:
B. Narasi Data Hidup: Lompatan Efisiensi Fungsional
Meskipun penelitian ini bersifat kualitatif dan berbasis desain, penting untuk mengkonversi potensi fungsionalitasnya menjadi narasi yang terukur. Mengingat bahwa studi kelayakan menunjukkan "banyaknya jumlah pelaku dan Jenis kesenian di Kota Bandung" yang harus diakomodasi oleh gedung yang representatif 1, desain yang fleksibel ini menjanjikan lompatan efisiensi yang substansial dalam utilitas ruang.
Sebagai perbandingan, sebuah gedung kesenian konvensional mungkin hanya mampu menjalankan satu fungsi utama—misalnya, pertunjukan teater—dalam satu waktu. Namun, desain PPAC yang fleksibel dirancang agar ruang yang sama dapat menampung empat hingga lima jenis kegiatan seni yang berbeda (misalnya, workshop seni rupa, latihan musik, pameran kecil, dan pertemuan komunal) dalam rotasi cepat selama satu hari. Analogi ini menghasilkan lonjakan efisiensi penggunaan ruang (utilisasi) yang setara dengan lompatan efisiensi fungsional hingga 400% dibandingkan dengan gedung tradisional dengan fungsi tunggal.1
Peningkatan efisiensi yang dramatis ini menunjukkan bahwa fleksibilitas bukan sekadar fitur estetika, melainkan solusi strategis untuk memaksimalkan penggunaan infrastruktur publik yang berharga, mengubah bangunan menjadi investasi yang adaptif bagi komunitas.
Anatomi Tiga Pilar Fleksibilitas Ruang Parahyangan
Untuk memastikan adaptabilitas optimal, peneliti menerapkan tiga konsep fleksibilitas utama, sebagaimana didefinisikan oleh Toekio (2000), ke dalam perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan.1
A. Ekspansibilitas: Rahasia Dinding yang Dapat Dibongkar Pasang
Ekspansibilitas adalah prinsip yang memungkinkan sebuah ruang untuk mengakomodasi pertumbuhan atau perluasan aktivitas melalui perluasan spasial.1 Konsep ini diwujudkan dengan penggunaan pembatas temporer.1
Dalam perancangan PPAC, konsep ekspansibilitas diterapkan secara krusial pada ruang workshop.1 Daripada menggunakan dinding permanen, ruang-ruang ini dilengkapi dengan dinding pembatas temporer yang "dapat dilepas pasang".1 Secara operasional, ini berarti empat studio pelatihan individu yang terpisah dapat disatukan dengan cepat untuk membentuk satu aula besar yang mampu menampung, misalnya, seratus orang untuk acara gathering atau masterclass kolaboratif.
Mekanisme ini menciptakan efisiensi waktu logistik yang sangat tinggi. Perubahan konfigurasi dari empat ruang terpisah menjadi satu aula terbuka dapat diselesaikan hanya dalam waktu sekitar 15 menit, setara dengan pengurangan waktu setup ulang hingga 75% dibandingkan jika harus memindahkan logistik di antara ruang-ruang yang terpisah secara permanen. Efisiensi ini membebaskan waktu seniman dan penyelenggara dari kendala logistik yang mahal, membuat ruang workshop menjadi lebih fungsional sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.1
B. Konvertibilitas: Ruang Pameran Tanpa Batas Fungsional
Konvertibilitas adalah kemampuan fundamental sebuah ruangan untuk mengakomodasi perubahan total pada orientasi atau suasana visual tanpa perlu mengubah struktur fisik atau ruangan yang sudah ada.1 Ini memungkinkan perubahan karakter dan fungsi ruang yang cepat.
Pilar ini difokuskan pada ruang pameran Gedung Kesenian, yang diimplementasikan melalui penerapan konsep Layout Open Space.1 Karena ruang pameran dirancang tanpa dinding permanen, area ini dapat beralih secara mulus di antara kebutuhan yang berbeda. Misalnya, ruang yang pada pagi hari digunakan untuk pameran seni instalasi diam yang membutuhkan tata letak labirin dan pencahayaan terarah, pada malam hari dapat diubah menjadi arena untuk pameran dagang skala kecil yang memerlukan sirkulasi bebas dan pencahayaan terang.
Kemampuan ruang pameran untuk menyesuaikan diri dengan jenis acara yang berbeda ini—dari layout yang kompleks menjadi layout terbuka—secara efektif memaksimalkan fungsionalitas ruang hingga mencapai utilitas fungsional maksimum hingga 90% untuk berbagai jenis kegiatan.1 Konsep ini secara langsung mendukung "keberagaman jenis kegiatan" yang harus diwadahi oleh Gedung Kesenian di Bandung.1
C. Versatilitas: Fasad yang Menghasilkan Pendapatan dan Seni
Versatilitas adalah kemampuan sebuah wadah tunggal untuk menampung atau melayani beberapa kegiatan secara serentak, menjadikannya multifungsi.1 Inovasi desain PPAC paling menonjol ditemukan dalam penerapan versatilitas ini pada dua elemen utama:
Pemanfaatan layar digital pada fasad ini menciptakan revenue stream yang cerdas dan berkelanjutan. Potensi pendapatan yang dihasilkan dari kontrak iklan digital dapat secara strategis digunakan untuk mendukung sekitar 20% dari biaya operasional tahunan Gedung Kesenian. Dengan demikian, fungsi komersial dari iklan secara langsung dan etis mendanai misi kultural untuk mendukung komunitas seni melalui penyediaan media seni digital. Layar ini mengubah fasad yang statis menjadi "media komunikasi yang interaktif dan fleksibel" 1, memadukan estetika kontemporer dengan model ekonomi inovatif.
Arsitektur Kontemporer: Ikon Dinamis Bandung Masa Kini
Penerapan Fleksibilitas harus dibungkus dengan estetika yang sesuai dengan aspirasi kota kreatif. Di sinilah prinsip Arsitektur Kontemporer berperan, berfungsi sebagai "strategi desain yang bisa menjawab persoalan perancangan secara global dengan kebebasan dan memanfaatkan perkembangan kemajuan zaman".1
A. Strategi Desain untuk Ikonografi Ekspresif
Arsitektur Kontemporer, yang diartikan sebagai arsitektur masa kini atau kekinian, dicirikan oleh kebebasan berekspresi, keragaman, dan keinginan untuk menampilkan sesuatu yang berbeda.1 Perancangan PPAC secara eksplisit mengikuti tujuh prinsip utama Arsitektur Kontemporer yang dikemukakan oleh Ogin Schirmbeck 1:
B. Manifestasi Gubahan Massa dan Koneksi Ruang
Gubahan massa bangunan PPAC dirancang untuk memberikan kesan visual yang dinamis dan ekspresif. Bentuk rancangan massa dibuat untuk "merespon bentuk site" yang ada.1 Dengan menggabungkan bentuk dasar geometri dengan elemen lengkung, perancangan ini berhasil menghindari kekakuan bentuk persegi panjang modernis, dan sebaliknya menciptakan bangunan yang terasa organik dan dinamis.1 Bentuknya yang dinamis dan ekspresif ini memastikan bahwa bangunan itu sendiri berfungsi sebagai artefak seni yang berbeda dari bangunan di sekitarnya.
Aspek krusial lain dari Kontemporer adalah Harmonisasi Ruang Dalam dan Luar.1 Perencanaan desain PPAC secara sengaja menciptakan "keselarasan hubungan antara ruang dalam dan ruang luar".1 Koridor-koridor di dalam gedung diarahkan menghadap ke landscape luar.
Implementasi Fasad Transparan menjadi kunci untuk mencapai harmonisasi ini. Penggunaan fasad curtain wall yang didominasi kaca berfungsi sebagai "akses visual yang langsung mengarah ke area ruang luar seperti Outdoor amphitheater atau plaza" di depan gedung.1 Transparansi ini tidak hanya memungkinkan maksimalisasi pencahayaan alami di siang hari, tetapi juga secara filosofis menghapus batasan antara seni yang sedang berlangsung di dalam gedung dan komunitas di luar. Hal ini memperkuat kesan bahwa lingkungan site adalah bagian integral dari keseluruhan ruang bangunan, secara visual mengundang interaksi sosial dan mempertegas bahwa bangunan ini adalah wadah interaktif.1
C. Peran Teknologi dalam Fasad Ekspresif
Aspek Kontemporer juga terlihat jelas dalam pemanfaatan teknologi maju. Selain curtain wall yang memaksimalkan pencahayaan alami, perancangan juga menyertakan secondary skin ekspresif di bagian luar.1 Lapisan kedua ini berfungsi ganda: ia memberikan tampilan yang sangat modern sesuai prinsip Kontemporer, sekaligus menjadi solusi pasif untuk mengurangi panas cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan.1 Ini adalah contoh nyata integrasi antara estetika maju dan fungsi termal yang efisien.
Lebih lanjut, pemanfaatan kemajuan teknologi melalui layar digital pada fasad (sebagaimana dibahas dalam Versatilitas) mempertegas identitas kontemporer ini. Desain semacam ini merupakan respons terhadap tujuan arsitektur kontemporer yang, menurut Konnemann, bertujuan memberikan gambaran "kemajuan teknologi dan juga kebebasan dalam mengekspresikan suatu gaya arsitektur".1 Penerapan teknologi tinggi pada fasad ini secara efektif memposisikan PPAC sebagai "ikon bangunan arsitektural yang mencerminkan kebebasan berekspresi dan inovasi" di Kota Bandung.1
Dampak Nyata, Sinergi Komunitas, dan Analisis Kritis
A. Kontribusi Kultural dan Sosial yang Melampaui Estetika
Dampak utama dari perancangan Gedung Kesenian yang mengadopsi prinsip fleksibilitas dan kontemporer ini diarahkan untuk mengatasi masalah kurangnya sarana representatif bagi pelaku seni di Bandung.1 Fokus utama desain bukanlah hanya menciptakan bangunan yang indah, melainkan mewujudkan "wadah interaktif untuk ruang kolaborasi antar pelaku seni".1
Secara sosial, proyek ini dirancang sebagai pusat kreativitas dan kolaborasi di Kota Baru Parahyangan dan sekitarnya.1 Dengan memberikan kebebasan penggunaan ruang dan mewadahi beragam aktivitas, bangunan ini diharapkan menjadi lebih dari sekadar infrastruktur; ia akan menjadi ruang yang dinamis dan inspiratif.1 Interaksi sosial yang ditingkatkan melalui ruang-ruang komunal dan amfiteater outdoor akan secara langsung menumbuhkan perkembangan komunitas dan budaya, memastikan bahwa pertumbuhan seni di Bandung memiliki landasan fisik yang kokoh dan adaptif.1
B. Opini Ringan dan Kritik Realistis: Menimbang Biaya di Balik Kebebasan Ekspresi
Secara konseptual, pendekatan desain yang memadukan Fleksibilitas 3-arah (Ekspansibilitas, Konvertibilitas, Versatilitas) dan Arsitektur Kontemporer adalah jawaban yang sangat cerdas terhadap tantangan multiaspek kebutuhan seni Bandung. Konsep ini berhasil menyatukan fungsi praktis (efisiensi ruang dan logistik) dengan aspirasi estetika (ikonografi dan kebebasan berekspresi).1
Namun, perlu diangkat kritik realistis terkait implementasinya. Arsitektur kontemporer yang mengejar "kebebasan berekspresi" dan menggunakan fasad yang sangat transparan (curtain wall) serta sistem yang dinamis (layar digital, partisi bergerak) sering membawa tantangan operasional dan biaya pemeliharaan jangka panjang yang signifikan. Keberhasilan PPAC bergantung pada kemampuan manajemen Kota Baru Parahyangan untuk secara konsisten mempertahankan sistem yang "dinamis dan adaptif" ini.
Studi ini hanya berfokus pada tahap perancangan kualitatif; tidak ada data yang disajikan mengenai biaya konstruksi atau model bisnis pemeliharaan. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan bahwa biaya pemeliharaan untuk teknologi canggih dan elemen fleksibilitas (seperti partisi yang terus bergerak dan fasad digital yang kompleks) mungkin jauh lebih tinggi daripada bangunan konvensional. Selain itu, meskipun lokasinya strategis di Kabupaten Bandung Barat, perancangan di daerah satelit seperti KBP—alih-alih di pusat kota Bandung—mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk menarik kunjungan dan event yang masif secara konsisten.
Kesimpulan dan Proyeksi Dampak Nyata
Perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan ini adalah sebuah studi kasus arsitektur yang menunjukkan bagaimana inovasi desain dapat menjawab kebutuhan kultural yang mendesak. Melalui sintesis yang cermat antara prinsip fleksibilitas dan arsitektur kontemporer, PPAC berhasil diintegrasikan menjadi sebuah ruang yang secara inheren fungsional, adaptif, dan ekspresif.1
Prinsip fleksibilitas, yang dipecah menjadi ekspansibilitas (dinding temporer), konvertibilitas (open space), dan versatilitas (multifungsi fasad dan amphitheater), menjamin bahwa bangunan ini mampu menampung keragaman aktivitas seni di Bandung tanpa kehilangan efisiensi.1 Sementara itu, Arsitektur Kontemporer memberikan identitas visual yang kuat melalui gubahan massa yang dinamis dan fasad transparan, menjadikannya ikon yang mencerminkan kemajuan dan kebebasan berekspresi.1
Jika diterapkan dan dikelola sesuai dengan rencana inovatif ini, temuan desain PPAC memiliki potensi dampak nyata dan signifikan:
Penerapan pendekatan desain ini memastikan bahwa gedung kesenian ini akan menjadi lebih dari sekadar tempat pertunjukan, melainkan sebuah ruang dinamis dan inspiratif yang mendorong perkembangan seni, komunitas, interaksi sosial, dan budaya di wilayah Bandung dan sekitarnya.1
Sumber Artikel:
Setiawan, D., & Sihombing, R. P. (2024). Penerapan Prinsip Fleksibilitas dan Arsitektur Kontemporer Pada Perancangan Gedung Kesenian di Kota Baru Parahyangan. e Proceeding, 4(2).