Regenerasi Tenaga Kerja Konstruksi

Kekurangan Tenaga Ahli Mengancam Masa Depan Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 September 2025


Krisis tenaga kerja terampil tengah membayangi industri konstruksi di Inggris. Berbagai proyek besar terancam tertunda atau mengalami pembengkakan biaya karena tidak cukupnya pekerja dengan kemampuan spesifik. Faktor utama yang disorot adalah kombinasi efek pasca-Brexit, pandemi Covid-19, serta angkatan kerja yang menua. Pandemi Covid-19 memaksa banyak proyek konstruksi ditutup sementara, membuat sebagian pekerja terampil beralih ke sektor lain. Sementara itu, keluarnya Inggris dari Uni Eropa menurunkan drastis jumlah pekerja imigran—dari 42% menjadi hanya 8% dari total pekerja konstruksi di London dalam kurun 2018–2021. Gelombang pekerja Eropa yang mundur terus meninggalkan celah besar; lebih dari 200.000 pekerja konstruksi asal Uni Eropa memilih pulang sejak 2019. Kekosongan itu semakin menekan industri, yang pada akhirnya berimbas pada keterlambatan proyek, naiknya biaya, dan penurunan standar mutu pekerjaan.

Riset terbaru menegaskan bahwa pandemi Covid-19 dan Brexit telah memperburuk krisis kekurangan tenaga ahli konstruksi. Dampak ganda ini tidak berdiri sendiri, melainkan diperparah oleh masalah demografi yang sudah lama membayangi sektor ini. Saat ini, sekitar 35 persen pekerja konstruksi Inggris berusia di atas 50 tahun, sementara hanya 20 persen yang berusia di bawah 30 tahun. Ketimpangan usia ini menunjukkan bahwa industri tengah menghadapi ancaman penuaan tenaga kerja yang serius.

Generasi muda, yang seharusnya menjadi pengganti alami pekerja senior, ternyata kurang berminat terjun ke dunia konstruksi. Profesi di sektor ini dianggap berat, berisiko, dan kurang bergengsi bila dibandingkan dengan peluang karier lain yang lebih menjanjikan secara finansial maupun status sosial. Program pendidikan vokasi dan magang yang seharusnya menjadi pintu masuk bagi tenaga muda pun tidak mampu menarik minat yang cukup. Alhasil, terjadi kekosongan berlapis: bukan hanya pekerja lama yang berkurang, tetapi juga penerus baru yang enggan masuk.

Kombinasi ketiga faktor ini—Brexit yang memutus aliran pekerja imigran, pandemi yang mengguncang stabilitas proyek, dan penuaan angkatan kerja—memicu gelombang kekurangan tenaga terampil. Implikasinya nyata: banyak perusahaan konstruksi terpaksa menunda jadwal pengerjaan, menaikkan biaya operasional, bahkan mengorbankan standar mutu demi sekadar menyelesaikan proyek tepat waktu.

Penelitian terbaru yang diterbitkan di Ain Shams Engineering Journal menegaskan bahwa krisis ini bukan sekadar soal jumlah pekerja yang berkurang, tetapi juga soal kualitas keterampilan yang semakin sulit dijaga. Para pekerja yang tersedia tidak selalu memiliki sertifikasi atau kompetensi sesuai kebutuhan proyek. Bahkan, sebagian pekerja dengan pengalaman panjang mulai kesulitan menyesuaikan diri dengan teknologi baru yang kini semakin dominan di sektor konstruksi modern.

Konsekuensinya meluas ke berbagai lini. Dari pembangunan perumahan rakyat yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, hingga proyek besar seperti gedung perkantoran dan pusat bisnis yang menopang perekonomian, semua kini ikut merasakan dampak. Kekurangan tenaga terampil berarti keterlambatan, pembengkakan biaya, serta kualitas hasil akhir yang tidak optimal. Proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru berisiko menjadi bukti lemahnya kesiapan sektor dalam menghadapi tantangan global.

Dengan kata lain, krisis ini tidak lagi dapat dipandang sebagai masalah teknis semata, melainkan telah menjelma menjadi tantangan struktural bagi masa depan industri konstruksi.

Lantas, bagaimana akar masalah ini bermula? Dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk mencegah runtuhnya fondasi industri ini?

Brexit: Awal Gelombang Kekosongan

Selama bertahun-tahun, konstruksi di Inggris bertumpu pada tenaga kerja imigran, terutama dari Uni Eropa. Mereka mengisi posisi vital—tukang batu, tukang kayu, teknisi spesialis—yang jumlahnya terbatas di kalangan pekerja lokal.

Namun, keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi titik balik. Sebelum 2019, lebih dari 40 persen pekerja konstruksi di London berasal dari Eropa. Angka ini anjlok menjadi hanya sekitar 8 persen dalam kurun 2018–2021. Sekitar 200.000 pekerja Eropa kembali ke negara asal mereka sejak Brexit resmi berlaku.

Celakanya, sistem pelatihan tenaga kerja domestik tidak cukup cepat untuk menyiapkan pengganti. Kekosongan itu ibarat merobohkan fondasi: proyek tetap berjalan, tetapi dengan risiko besar—molor, biaya membengkak, dan mutu menurun.

Pandemi: Luka Lama yang Kian Dalam

Jika Brexit membuka celah, pandemi Covid-19 memperlebar luka itu. Saat gelombang pertama merebak, proyek-proyek konstruksi di Inggris terpaksa berhenti total. Ribuan pekerja harus isolasi, banyak yang kehilangan pekerjaan, dan sebagian memilih alih profesi—tak kembali lagi ke sektor konstruksi.

Ketika proyek dibuka kembali, realitas pahit menanti: jumlah pekerja berkurang drastis, sementara tenggat tetap menekan. Banyak kontraktor akhirnya memilih mengejar produktivitas ketimbang kualitas. Hasilnya, detail teknis terabaikan, baru disadari di tahap akhir, dan perbaikannya menelan biaya berlipat.

Pandemi juga memutus aliran regenerasi. Kursus sertifikasi dan program magang ditangguhkan. Akibatnya, tidak hanya tenaga berkurang, jalur mencetak pekerja baru pun terhenti. Industri kehilangan suplai tenaga segar yang seharusnya bisa menambal kekosongan akibat Brexit.

Pekerja Menua: Ancaman Jangka Panjang

Selain faktor eksternal, sektor konstruksi juga menghadapi bom waktu demografi. Data menunjukkan, lebih dari sepertiga pekerja kini berusia di atas 50 tahun, sementara hanya sekitar 20 persen berusia di bawah 30 tahun.

Pekerja senior memang berpengalaman, tetapi banyak di antaranya mendekati pensiun. Mereka juga sering kesulitan menyesuaikan diri dengan teknologi baru. Sebaliknya, generasi muda kurang berminat terjun ke dunia konstruksi, yang dianggap berat, berisiko, dan kurang prestisius dibanding karier di sektor lain.

Artinya, bahkan jika krisis akibat Brexit dan Covid-19 bisa diatasi, industri tetap menghadapi ancaman kekurangan tenaga ahli dalam 10–20 tahun ke depan, kecuali regenerasi segera dibenahi.

Studi Kasus: Proyek Durham yang Molor

Untuk melihat dampak krisis ini, penelitian menyoroti proyek senilai £85 juta di Durham, Inggris utara. Proyek ambisius itu mencakup hotel, apartemen, kantor, bioskop, hingga pusat perbelanjaan. Target awal penyelesaian adalah November 2021, namun per Maret 2022 pembangunan masih berlangsung, dengan target baru Mei 2022.

Enam bulan keterlambatan itu mencerminkan masalah nasional. Saat pandemi, banyak pekerja harus isolasi sehingga tenaga di lapangan menipis. Manajemen akhirnya fokus mengejar target penyelesaian, bukan menjaga detail mutu. Hasilnya, sejumlah kesalahan teknis baru terdeteksi belakangan.

Brexit menambah beban: material penting seperti kaca dan batu fasad tertahan di perbatasan. Tanpa bahan itu, pekerjaan dalam gedung mandek. Solusi darurat adalah memasang material sementara, lalu membongkarnya kembali saat material asli tiba. Praktik ini bukan hanya menambah biaya, tapi juga menurunkan kualitas hasil akhir.

Lebih pelik lagi, jalur pelatihan tenaga baru ikut terhenti. Sertifikasi pekerja kadaluarsa karena kursus ditunda. Subkontraktor kesulitan mencari tukang baru, bahkan harus meminjam tenaga dari proyek lain. Durham pun menjadi cermin nyata betapa krisis tenaga kerja bisa melumpuhkan proyek besar meski dana melimpah.

Sistem Manajemen Mutu yang Terguncang

Salah satu korban utama krisis ini adalah Quality Management System (QMS)—kerangka kerja standar untuk menjaga keselamatan dan mutu konstruksi.

Penelitian mencatat, kekurangan tenaga terampil membuat QMS goyah. Banyak perusahaan terpaksa melonggarkan pengawasan mutu demi mengejar tenggat. Dengan kata lain, QMS berubah sifat: bukan lagi preventif, melainkan kuratif. Masalah tidak dicegah sejak awal, tapi baru ditangani setelah muncul.

Analisis statistik memperkuat temuan ini: Brexit dan Covid-19 terbukti berkorelasi langsung dengan peningkatan masalah mutu. Dalam kasus Durham, manajemen mengakui bahwa tim lebih mengutamakan produktivitas, sehingga “ketidaksempurnaan awal terlewat” dan kualitas akhir “tidak setinggi potensinya.”

Risikonya jelas: proyek berisiko menghadapi kesalahan besar yang baru terdeteksi di tahap akhir—menambah biaya dan menurunkan kepuasan klien.

Pelatihan: Solusi Menjanjikan, tapi Tidak Sempurna

Di tengah situasi suram, penelitian menemukan titik terang: pelatihan dan pengembangan tenaga kerja.

Program pelatihan terbukti mampu meredam dampak negatif Brexit dan Covid-19 terhadap mutu proyek. Pekerja yang terlatih lebih adaptif, mampu menutup celah akibat kekurangan tenaga, dan menjaga standar mutu.

Ibarat charger cepat, pelatihan bisa mengisi kembali daya tim meski sebagian besar baterai melemah.

Namun ada keterbatasan. Pelatihan tidak efektif menghadapi masalah tenaga kerja yang menua. Pekerja senior yang mendekati pensiun sulit menyesuaikan diri dengan metode baru. Karena itu, fokus pelatihan sebaiknya diarahkan pada generasi muda agar regenerasi berjalan mulus.

Kasus Durham menegaskan pentingnya kontinuitas. Begitu kursus dihentikan, jalur suplai tenaga baru terputus, dan industri kehilangan “darah segar.”

Jalan ke Depan: Investasi pada Generasi Baru

Pesan riset ini jelas: masa depan konstruksi bergantung pada investasi pelatihan generasi muda.

Tanpa itu, krisis akan terus berulang: kekurangan tenaga ahli membuat proyek molor, biaya naik, mutu menurun. Sebaliknya, dengan pelatihan berkesinambungan, industri bisa melahirkan tenaga baru yang lebih terampil, siap menghadapi guncangan eksternal, dan menjaga standar mutu.

Peran pemerintah juga vital. Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan nasional. Keterlambatan proyek berarti keterlambatan infrastruktur vital—rumah sakit, sekolah, jalan raya. Dampaknya langsung dirasakan masyarakat luas.

Karena itu, diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah dan industri. Skema subsidi, pusat pelatihan, hingga kampanye karier di sekolah menengah perlu diperluas. Selain itu, prinsip learning by doing harus diintegrasikan dalam sistem mutu proyek: pelatihan bukan sekadar formalitas, melainkan bagian nyata dari pembangunan.

Konteks Global: Krisis yang Meluas

Fenomena ini bukan unik di Inggris. Di Amerika Serikat, industri konstruksi diperkirakan butuh 723.000 pekerja baru setiap tahun untuk mengejar permintaan. Di Australia, kekurangan tukang bangunan juga dilaporkan semakin parah.

Faktor-faktor global serupa terlihat: pekerja menua, minat generasi muda rendah, dan citra pekerjaan konstruksi yang dianggap berat. Banyak negara kini mendorong diversifikasi tenaga kerja—melibatkan perempuan, minoritas, dan generasi milenial—agar lebih banyak yang bergabung ke sektor ini.

Kesimpulan: Dari Krisis ke Harapan

Brexit, pandemi Covid-19, dan penuaan tenaga kerja telah menciptakan krisis tenaga ahli serius di sektor konstruksi. Dampaknya jelas: proyek terlambat, biaya membengkak, mutu menurun. Kasus Durham menjadi bukti nyata bagaimana masalah ini menjalar ke lapangan.

Namun, penelitian juga membawa kabar baik: pelatihan dan pengembangan tenaga kerja terbukti mampu mengurangi dampak krisis. Fokus pada generasi muda adalah kunci.

Jika diterapkan secara serius, langkah ini dapat menghemat biaya, mempercepat pembangunan, dan menjaga mutu proyek dalam lima tahun ke depan. Dari krisis, lahir peluang membangun fondasi industri yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Maqbool, R., Rashid, Y., Altuwaim, A., Shafiq, M. T., & Oldfield, L. (2024). Coping with skill shortage within the UK construction industry: Scaling up training and development systems. Ain Shams Engineering Journal, 15(2), 102396.

Selengkapnya
Kekurangan Tenaga Ahli Mengancam Masa Depan Proyek Konstruksi
page 1 of 1