Reformasi Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Menilai Diagnosis Sistem & Kapabilitas Individu
Menilai bukan sekadar mengambil snapshot keadaan; ini adalah proses analitis yang menautkan data kuantitatif, wawancara pemangku kepentingan, dan evaluasi proses untuk menghasilkan diagnosis yang bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. OECD menyarankan dua dimensi komplementer: assessment tingkat sistem (institusional, legal, fiskal) dan assessment kapabilitas individu (kompetensi teknis dan non-teknis). Kedua dimensi ini harus berjalan paralel karena masalah pada level institusi seringkali memancar ke kapabilitas individu — dan sebaliknya.
1) Assessment Sistem — apa saja yang harus dicari?
Assessment sistem memetakan enabler: kerangka hukum pengadaan, keberadaan otoritas pusat (central purchasing body), alokasi anggaran untuk fungsi pengadaan, akses ke data e-procurement, dan mekanisme akuntabilitas/anti-korupsi. Alat resmi seperti MAPS Supplementary Module on Professionalisation menyediakan 10 indikator utama dan 21 sub-indikator; ini bukan sekadar daftar — ia memandu evaluator untuk menilai kualitas enabler, bukan hanya keberadaannya. Misalnya, ada perbedaan besar antara “ada peraturan sertifikasi” dan “peraturan sertifikasi yang dijalankan dan terkait pada jalur karier nyata”.
Langkah praktis untuk assessment sistem:
2) Assessment Kapabilitas Individu — mengukur orang di balik proses
Assessment kapabilitas tidak cukup hanya menanyakan pendidikan; ia harus mengukur kompetensi yang relevan: pemahaman regulasi, kemampuan menyusun spesifikasi teknis, evaluasi tender berbasis MEAT, manajemen kontrak, serta kompetensi non-teknis seperti negosiasi dan etika. ProcurCompEU (atau adaptasinya) merekomendasikan matriks kompetensi dengan level penguasaan—ini memudahkan diagnosis gap dan merancang kurikulum.
Metode evaluasi kapabilitas efektif:
Kenapa data ini krusial?
Tanpa baseline yang kuat, program pelatihan menjadi tembakan di kegelapan: Anda mungkin mengirim ribuan pejabat ke kursus umum, tetapi inti gap (mis. kemampuan evaluasi tender yang adil) tetap tidak tertangani. Dengan diagnosis, alokasi sumber daya menjadi efisien—fokus pada kompetensi yang paling ‘value-adding’. OECD menekankan bahwa diagnosis harus menghasilkan actionable recommendations—mis. jumlah personel yang perlu sertifikasi pada tahun pertama, target persen sender yang harus dikelola oleh staf bersertifikat, dan alokasi anggaran pelatihan sebagai persen dari total belanja pengadaan.
Indikator yang direkomendasikan untuk dipantau sejak assessment awal:
Risiko jika assessment dilewatkan atau setengah-setengah:
Contoh kasus singkat dari dokumen:
Peru, dalam pilot MAPS, mengidentifikasi “red flags” di beberapa sub-indikator—kekurangan pendanaan untuk pusat pelatihan dan ketiadaan mekanisme sanksi—yang jika tidak diatasi akan menghambat implementasi program profesionalisasi meski modul pelatihan tersedia. Hal ini menegaskan perlunya diagnosis holistik yang menggabungkan aspek fiskal, institusional, dan kapabilitas individu.
Output akhir assessment:
Sebuah diagnostic report yang memuat: peta gap (sistem & kapabilitas), daftar prioritas (short/medium/long term), target KPI (mis. 30% personel bersertifikat dalam 3 tahun), estimasi anggaran, dan rekomendasi institusional (who does what). Dokumen ini adalah blueprint yang akan digunakan di tahap strategi — tanpa blueprint yang jelas, langkah berikutnya rawan gagal.
Strategi Desain Peta Jalan, Politik Publik, & KPI
Strategi adalah penghubung antara diagnosis dan aksi nyata. Di sini teknokrasi bertemu politik: tanpa legitimasi politik, peta jalan yang baik tidak akan mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. OECD menegaskan bahwa strategi profesionalisasi harus berupa dokumen yang operasional—memiliki target kuantitatif, mekanisme pendanaan, RACI (who-does-what), jadwal implementasi, dan skema monitoring. Lithuania sering ditampilkan sebagai contoh karena menyusun action plan multi-tahun yang rinci dan terikat pada indikator performa.
Elemen wajib dalam strategi yang efektif:
Mengelola aspek politik (policy buy-in):
Strategi tanpa dukungan politik mudah kandas. Kunci mendapat buy-in: tunjuk “quick wins” yang menunjukkan manfaat awal (mis. pilot di satu kementerian yang berhasil menurunkan cost overrun 10% dalam 12 bulan), gunakan data dari assessment sebagai alat negosiasi anggaran, dan libatkan pemimpin birokrasi sejak awal (bukan sekadar konsultasi). RACI sederhana membantu membagi kewenangan: siapa yang membuat kebijakan, siapa yang menjalankan, siapa yang memantau.
Desain jalur karier & mekanisme insentif dalam strategi:
Tanpa jalur karier yang jelas, sertifikasi akan kehilangan daya tarik. Strategi harus menautkan level kompetensi ke grade jabatan, skema promosi, dan skema remunerasi (atau setidaknya non-financial incentives seperti pengakuan formal). OECD merekomendasikan model bertahap: tahun 1 fokus pada sertifikasi inti; tahun 2 integrasikan sertifikasi ke proses rekrutmen/promosi; tahun 3 evaluasi dampak pada outcome pengadaan.
Perencanaan risiko & mitigasinya:
Strategi yang matang memuat analisis risiko: kekurangan pendanaan, rotasi staf tinggi, resistensi birokrasi, atau ketergantungan proyek pada donor. Untuk setiap risiko harus ada mitigasi: mis. alokasikan anggaran baseline untuk 3 tahun pertama; buat retention scheme bagi staf bersertifikat; memulai pilot bertahap untuk membangun bukti.
Desain M&E terintegrasi:
Strategi wajib mencantumkan rencana monitoring (quarterly reporting) dan evaluasi independen (mid-term dan endline). KPI harus measurable dan linked ke outcome: bukan hanya “jumlah orang tersertifikasi” tetapi “persentase tender yang dikelola oleh personel bersertifikat” dan “pengurangan rata-rata keterlambatan proyek”. Integrasi antara data personel (HR) dan data pengadaan (e-procurement) sangat penting untuk analisis cross-cutting.
Desain pembiayaan yang realistis:
Strategi harus menyediakan skenario pembiayaan: conservative, moderate, dan ambitious—masing-masing dengan trade-offs. OECD menegaskan bahwa sebagian intervensi (modul e-learning) murah dan scalable, tetapi mentoring on-the-job dan pembangunan centre of excellence memerlukan biaya signifikan. Oleh karena itu, strategi perlu memprioritaskan intervensi berdampak tinggi yang feasible secara fiskal dalam 1–3 tahun pertama.
Stakeholder engagement yang operasional:
Libatkan universitas, asosiasi penyedia, dan CSO dalam perancangan agar kurikulum relevan dan penerapan sertifikasi tidak memunculkan hambatan pasar. OECD merekomendasikan forum multi-stakeholder reguler untuk review implementasi strategi—ini mengurangi risiko kebijakan yang terisolasi.
Output strategi yang ideal:
Sebuah dokumen action plan 3–5 tahun yang memuat: tabel kegiatan (what), penanggung jawab (who), timeline (when), sumber daya (budget), KPI (how measured), dan risiko/mitigasi. Lithuania dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa dokumen dengan tingkat detail ini memudahkan implementasi karena memudahkan alokasi anggaran dan pengawasan.
Implementasi Model Kompetensi, Sertifikasi, Pelatihan Praktis, & Scaling
Implementasi adalah saat ujian: apakah diagnosis dan strategi berhasil diterjemahkan menjadi perubahan nyata di lapangan? OECD memetakan elemen inti implementasi: adaptasi model kompetensi, pembuatan skema sertifikasi, desain paket pelatihan yang menekankan praktik, pembangunan mekanisme mentoring/on-the-job, dan pengembangan pusat kompetensi.
Adaptasi model kompetensi (from framework to job profiles):
Kerangka umum seperti ProcurCompEU harus diadaptasi ke konteks nasional: sederhanakan 30 kompetensi menjadi kelompok yang relevan untuk job profiles lokal (buyer, contract manager, head of procurement). Level penguasaan harus jelas—mis. Level 1 (operational), Level 2 (supervisory), Level 3 (strategic). Matriks ini akan menjadi dasar untuk rekrutmen, penilaian kinerja, dan kurikulum.
Sertifikasi: desain yang meaningful
Sertifikasi harus memiliki aspek assessment yang ketat: ujian teori, assessment portofolio, dan assessment praktek. Skema sertifikasi hanya efektif bila terkait dengan insentif karier (promosi, eligibility untuk posisi tertentu). OECD menekankan pentingnya independensi proses sertifikasi untuk menjaga kredibilitas—mis. lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau bipartite governance antara pemerintah dan asosiasi profesi.
Pelatihan praktis & mentoring
Pelatihan harus lebih dari ceramah: case study lokal, simulasi tender, exercise evaluasi MEAT, dan tugas on-the-job dengan mentor. Mentoring adalah kunci untuk transfer learning—pakar senior mendampingi junior selama siklus tender sehingga teori diterjemahkan ke praktik. Contoh praktik baik: program graduate di New Zealand yang menggabungkan rotasi tugas dan mentor senior untuk regenerasi talenta.
Scaling dan digitalisasi
E-learning modul mempercepat akses, namun harus dipadu dengan modul praktek regional. Untuk scaling, bangun repository materi, bank soal sertifikasi, dan platform pelaporan M&E. Integrasi data HR dengan e-procurement mempercepat analisis dampak—mis. melihat korelasi antara sertifikasi dan outcome tender di level kementerian.
Pengukuran keberhasilan implementasi (KPI operasional & outcome):
Risiko implementasi & mitigasi operasional:
Sustainability: memastikan program hidup setelah fase awal
Jaga agar academy atau centre tidak hanya proyek berdurasi donor; integrasikan biaya operasional ke dalam anggaran rutin kementerian yang relevan, dan buat revenue stream (mis. fee for certification bagi sektor swasta) jika sesuai. Kolaborasi dengan universitas juga membantu sustainability melalui program studi dan penelitian bersama.
Uang Bukan Segalanya, Tetapi Harus Realistis
Laporan merinci mekanisme insentif finansial dan non-finansial: jalur karier yang jelas, kenaikan gaji terikat kompetensi, award nasional/regional, dan penghargaan kinerja. Contoh Kanada merekomendasikan skema promosi yang transparan sedangkan Scotland mengembangkan program “Procurement People of Tomorrow” untuk regenerasi talenta.
Analisis mendalam:
Kolaborasi dengan Knowledge Centres — Jembatan ke Pendidikan dan Riset
Laporan menekankan peran universitas, lembaga riset, dan think-tanks: mereka membantu menyusun kurikulum, menilik aspek riset (innovation procurement, circular procurement), dan menciptakan pipeline tenaga muda (graduate programmes). Banyak negara menempatkan pusat kompetensi bersama untuk menyebarkan praktik baik dan modul pelatihan.
Analisis mendalam:
Monitoring & Evaluasi — Jangan Lupakan Pengukuran Dampak
M&E harus built-in: indikator kualitatif (tingkat kepuasan pelatihan, adopsi MEAT criteria) dan kuantitatif (jumlah sertifikat, persentase tender yang dikelola oleh personel bersertifikat, pengurangan cost overruns). OECD merekomendasikan M&E berkala dan penggunaan KPI spesifik dalam action plan (contoh: Lithuania).
Analisis mendalam:
Risiko dan Keterbatasan — Kritikan Realistis
Laporan kuat tapi juga menunjukkan batasan: data survey sebagian besar sampai 2020; dinamika pasca-COVID dan digitalisasi mempercepat perubahan sehingga beberapa temuan perlu pembaruan. Selain itu, ada risiko birokratisasi: sertifikasi yang dibuat “paper-based” tanpa jalur karier dan anggaran berarti menambah beban administrasi tanpa dampak nyata. Peru, misalnya, masih menandai masalah pendanaan dan ketiadaan mekanisme sanksi sebagai hambatan besar meski sudah melakukan assessment.
Rekomendasi Operasional (ringkas & praktis)
Dampak Nyata dalam Lima Tahun
Jika pemerintah menerapkan rangkaian tindakan ini secara sistematis — diagnosis menyeluruh (MAPS), strategi bertarget (action plan dengan KPI), dan implementasi yang menautkan kompetensi ke jalur karier — OECD menunjukkan bahwa potensi perbaikan adalah nyata dan terukur: profesionalisasi dapat mengurangi pembengkakan biaya proyek, memperkecil keterlambatan, dan meningkatkan akses pasar bagi UMKM. Secara pragmatis, bila tindakan terfokus dijalankan penuh selama 3–5 tahun (termasuk M&E berkala), negara dapat melihat peningkatan kualitas pelaksanaan proyek dan penghematan biaya operasional yang signifikan — yang dalam banyak kasus akan terasa pada siklus anggaran tahunan ke-3 hingga ke-5. (Dokumen mendokumentasikan contoh-contoh tindakan dan hasil awal dari pilot di negara-negara seperti Peru, Lithuania, dan Chile).
Sumber Artikel:
OECD, 2023, Professionalising the Public Procurement Workforce