Proyek Kontruksi

Mengoptimalkan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan: Peran Pendekatan Design and Build sebagai Katalis Kinerja Unggul

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 September 2025


Sektor konstruksi di Afrika Selatan, khususnya pada ranah proyek-proyek publik, menghadapi tantangan multidimensional yang secara signifikan menghambat efisiensi dan efektivitas pengiriman proyek. Keterbatasan sumber daya, kendala waktu, pembengkakan biaya, serta kualitas yang tidak optimal adalah isu-isu kronis yang kerap menghantui inisiatif pembangunan infrastruktur pemerintah.

Dalam konteks ini, laporan penelitian berjudul "Design and Build Procurement Approach as An Alternative For Improving Public Sector Construction Projects Performance In South Africa" oleh Nyiko Jeffrey Gudlhuza, yang disusun sebagai bagian dari persyaratan gelar Master of Science in Engineering di University of the Witwatersrand pada Maret 2020, menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan pengadaan Design and Build (D&B) dapat menjadi solusi transformatif.

Laporan ini tidak hanya mengkaji potensi D&B dalam mengatasi masalah kinerja proyek, tetapi juga menggali persepsi pemangku kepentingan serta hambatan implementasinya di konteks Afrika Selatan.

Latar Belakang Tantangan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan

Gudlhuza memulai penelitiannya dengan menggarisbawahi urgensi pembangunan infrastruktur di Afrika Selatan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Namun, laporan ini menyoroti bahwa banyak proyek konstruksi sektor publik di negara tersebut mengalami kendala signifikan, seperti:

  • Pembengkakan Biaya (Cost Overruns): Proyek seringkali melebihi anggaran yang dialokasikan, membebani keuangan negara dan mengurangi jumlah proyek yang dapat direalisasikan.

  • Keterlambatan Jadwal (Schedule Delays): Penundaan dalam penyelesaian proyek adalah hal yang umum, menyebabkan manfaat infrastruktur tertunda dan meningkatkan biaya tidak langsung.

  • Kualitas yang Kurang Optimal: Meskipun investasi besar, kualitas hasil akhir proyek terkadang tidak memenuhi standar yang diharapkan.

Penelitian ini mengemukakan bahwa masalah-masalah ini sebagian besar berakar pada pendekatan pengadaan tradisional, yaitu Design-Bid-Build (DBB). Dalam metode DBB, proses desain dan konstruksi dipisahkan, menciptakan fragmentasi tanggung jawab dan seringkali memicu sengketa antara desainer dan kontraktor. Kurangnya integrasi ini dapat menyebabkan keputusan yang tidak efisien, desain yang tidak dapat dibangun (unconstructible), dan perubahan desain yang mahal di kemudian hari.

Munculnya Design and Build sebagai Alternatif Strategis

Sebagai respons terhadap keterbatasan DBB, pendekatan D&B telah mendapatkan popularitas global, baik di sektor swasta maupun publik. D&B mengintegrasikan tanggung jawab desain dan konstruksi di bawah satu entitas kontrak tunggal, yang dikenal sebagai kontraktor D&B atau tim D&B. Integrasi ini diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat, antara lain:

  • Peningkatan Efisiensi: Dengan desainer dan kontraktor bekerja sama sejak awal, potensi konflik berkurang dan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat.

  • Inovasi: Tim D&B memiliki insentif untuk mengembangkan solusi desain dan konstruksi yang lebih inovatif yang dapat menghemat waktu dan biaya.

  • Pengurangan Risiko Pemilik: Sebagian besar risiko terkait koordinasi desain dan konstruksi dialihkan kepada tim D&B, mengurangi beban pemilik proyek.

  • Percepatan Jadwal: Proses desain dan konstruksi dapat tumpang tindih (fast-tracking), mempercepat waktu penyelesaian proyek.

  • Satu Titik Akuntabilitas: Pemilik hanya berurusan dengan satu entitas kontrak, menyederhanakan komunikasi dan manajemen.

Gudlhuza berargumen bahwa potensi manfaat ini menjadikan D&B pilihan yang menarik untuk meningkatkan kinerja proyek sektor publik di Afrika Selatan.

Metodologi Penelitian: Menggali Persepsi Pemangku Kepentingan

Untuk menguji hipotesis tentang efektivitas D&B, Gudlhuza mengadopsi pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan survei kuesioner. Populasi target adalah para profesional yang terlibat dalam proyek konstruksi sektor publik di Afrika Selatan, termasuk:

  • Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (DPWI): Sebagai entitas utama yang bertanggung jawab atas pengadaan proyek konstruksi publik.

  • Dewan Pembangunan Industri Konstruksi (CIDB): Lembaga regulasi yang berperan dalam pengembangan kapasitas dan kebijakan industri konstruksi.

  • Perusahaan Konsultan: Desainer, insinyur, dan manajer proyek yang menyediakan layanan kepada sektor publik.

  • Perusahaan Kontraktor: Perusahaan yang melaksanakan pekerjaan konstruksi.

Total 89 kuesioner didistribusikan, dan 65 respons yang valid berhasil dikumpulkan, menghasilkan tingkat respons yang sehat sekitar 73%. Analisis data dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik seperti SPSS (Statistical Package for the Social Sciences), dengan teknik analisis deskriptif dan inferensial (misalnya, uji reliabilitas Cronbach's Alpha, analisis frekuensi, dan uji t).

Temuan Kunci: Persepsi Positif dan Potensi D&B

Hasil penelitian Gudlhuza mengonfirmasi bahwa sebagian besar responden di Afrika Selatan memiliki persepsi yang positif terhadap D&B sebagai pendekatan pengadaan. Beberapa temuan kunci yang menarik meliputi:

  1. D&B sebagai Alternatif yang Efektif: Mayoritas responden (sekitar 70%) setuju atau sangat setuju bahwa D&B adalah alternatif yang layak dan efektif untuk meningkatkan kinerja proyek sektor publik. Ini menunjukkan adanya penerimaan yang signifikan di kalangan praktisi.

  2. Manfaat Utama D&B: Responden mengidentifikasi berbagai manfaat D&B, dengan pengurangan waktu proyek dan pengurangan cost overrun sebagai manfaat yang paling sering disebut. Ini sejalan dengan temuan literatur global tentang keunggulan D&B. Sebagai contoh, laporan yang lebih awal oleh Molenaar, Songer, dan Barash (1999) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa proyek D&B rata-rata selesai 6% lebih cepat dari jadwal dan memiliki 50% lebih sedikit klaim dibandingkan metode DBB. Temuan Gudlhuza di Afrika Selatan mengkonfirmasi tren global ini.

  3. Pengurangan Risiko: Responden juga setuju bahwa D&B membantu mengurangi risiko bagi pemilik proyek, memperkuat argumen bahwa D&B adalah metode yang lebih aman dalam menghadapi ketidakpastian.

  4. Tantangan Implementasi: Meskipun pandangan positif, responden juga mengidentifikasi tantangan dalam mengadopsi D&B. Kekhawatiran terbesar adalah kurangnya pemahaman dan pengalaman dengan D&B di sektor publik, serta kerangka regulasi yang belum sepenuhnya mendukung. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi teoretis D&B dan realitas praktis implementasinya.

  5. Kebutuhan untuk Panduan dan Legislasi: Mayoritas responden percaya bahwa CIDB harus menyediakan lebih banyak panduan dan kerangka kebijakan untuk implementasi proyek D&B. Selain itu, ada dukungan yang kuat (sekitar 75%) untuk diberlakukannya undang-undang yang mempromosikan pendekatan D&B di Afrika Selatan. Ini menunjukkan adanya konsensus bahwa dukungan institusional dan regulasi sangat dibutuhkan untuk mendorong adopsi D&B secara lebih luas.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah

Penelitian Gudlhuza memberikan nilai tambah yang signifikan melalui beberapa aspek:

  • Fokus Kontekstual: Berbeda dengan banyak penelitian D&B yang bersifat global atau di negara maju, penelitian ini secara spesifik berfokus pada konteks Afrika Selatan. Ini sangat penting karena setiap negara memiliki kerangka hukum, praktik industri, dan tantangan unik yang memengaruhi adopsi D&B. Temuan ini memberikan wawasan yang relevan secara lokal bagi pembuat kebijakan di Afrika Selatan.

  • Pendekatan Multi-Pemangku Kepentingan: Dengan mengumpulkan persepsi dari berbagai kelompok pemangku kepentingan (pemerintah, regulator, konsultan, kontraktor), penelitian ini menyajikan gambaran yang komprehensif tentang tantangan dan peluang D&B dari berbagai sudut pandang. Ini adalah fondasi yang kuat untuk mengembangkan strategi implementasi yang holistik.

  • Identifikasi Hambatan Kritis: Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kurangnya pengetahuan dan pengalaman, serta kerangka regulasi yang belum matang, sebagai hambatan utama. Ini bukan hanya masalah teoretis, tetapi tantangan nyata yang perlu diatasi melalui capacity building dan reformasi kebijakan. Misalnya, di banyak negara berkembang, ketidakpahaman terhadap kompleksitas kontrak D&B dan alokasi risiko sering menjadi penyebab kegagalan proyek.

  • Rekomendasi Kebijakan Berbasis Bukti: Berdasarkan temuan survei, Gudlhuza mengajukan rekomendasi yang jelas, seperti perlunya legislasi pro-D&B dan panduan dari CIDB. Ini adalah rekomendasi yang sangat praktis dan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah Afrika Selatan.

Kritik dan Keterbatasan Penelitian

Meskipun kuat, laporan penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan:

  • Metode Penelitian Kuantitatif Semata: Meskipun survei kuantitatif memberikan gambaran umum persepsi, penelitian ini dapat diperkaya dengan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam atau studi kasus, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya tentang "mengapa" di balik persepsi tersebut. Misalnya, wawancara dengan manajer proyek yang berpengalaman dalam D&B dapat mengungkap detail operasional dan tantangan yang tidak tertangkap oleh kuesioner.

  • Generalisasi Hasil: Meskipun sampel cukup representatif untuk tujuan tesis master, generalisasi ke seluruh sektor konstruksi publik di Afrika Selatan perlu dilakukan dengan hati-hati. Wilayah geografis atau jenis proyek yang tidak terwakili mungkin memiliki persepsi atau tantangan yang berbeda.

  • Kinerja Aktual vs. Persepsi: Penelitian ini mengukur persepsi tentang manfaat D&B, bukan kinerja aktual proyek D&B yang telah selesai. Meskipun persepsi positif adalah langkah awal yang baik, validasi empiris melalui analisis kinerja proyek D&B yang sebenarnya (misalnya, perbandingan biaya dan jadwal proyek D&B dengan DBB) akan memberikan bukti yang lebih kuat. Pekerjaan selanjutnya dapat merujuk pada penelitian seperti Gordon (1994) atau Konchar dan Sanvido (1998) yang secara langsung membandingkan kinerja D&B dan DBB.

Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Global

Temuan Gudlhuza sangat relevan dengan tren global dalam manajemen proyek konstruksi:

  • Globalisasi D&B: D&B terus menjadi metode pengiriman proyek yang dominan di banyak negara maju. Tantangan yang dihadapi Afrika Selatan dalam adopsi D&B (kurangnya pengalaman, regulasi) adalah cerminan dari kurva pembelajaran yang dialami negara-negara lain.

  • Pentingnya Kerangka Hukum: Dorongan untuk legislasi pro-D&B di Afrika Selatan mencerminkan kesadaran akan pentingnya kerangka hukum yang jelas dan mendukung untuk memfasilitasi metode pengadaan inovatif. Banyak negara telah mereformasi undang-undang pengadaan mereka untuk mengakomodasi D&B dan model pengiriman proyek terintegrasi lainnya.

  • Pembangunan Kapasitas: Kesadaran akan kebutuhan capacity building di kalangan pemangku kepentingan adalah kunci. Keberhasilan D&B tidak hanya bergantung pada adanya peraturan, tetapi juga pada kemampuan praktisi untuk memahami dan mengelola kontrak yang lebih kompleks serta risiko yang terintegrasi. Ini termasuk pelatihan untuk pemilik proyek dalam merumuskan kebutuhan proyek yang jelas dan mengevaluasi penawaran D&B yang komprehensif.

  • Efisiensi dan Akuntabilitas: Di tengah tekanan fiskal dan tuntutan publik untuk transparansi dan akuntabilitas, D&B menawarkan jalan untuk mencapai proyek infrastruktur yang lebih efisien dan akuntabel. Ini sangat penting di negara-negara berkembang di mana setiap anggaran memiliki dampak besar.

Kesimpulan

Laporan penelitian Nyiko Jeffrey Gudlhuza memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman tentang potensi pendekatan pengadaan Design and Build dalam meningkatkan kinerja proyek konstruksi sektor publik di Afrika Selatan. Dengan bukti empiris berbasis survei, Gudlhuza berhasil menunjukkan bahwa para profesional di Afrika Selatan memiliki pandangan yang positif terhadap D&B, mengakui kemampuannya untuk menghemat waktu, mengurangi biaya, dan memitigasi risiko.

Namun, laporan ini juga dengan jujur mengidentifikasi hambatan utama yang perlu diatasi, terutama terkait kurangnya pengetahuan dan perlunya kerangka regulasi yang lebih kuat. Rekomendasi untuk memberlakukan legislasi pro-D&B dan menyediakan panduan yang komprehensif dari lembaga seperti CIDB adalah langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk mempercepat adopsi D&B.

Pada akhirnya, laporan ini bukan hanya sekadar analisis akademis, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Dengan menerapkan pendekatan D&B secara strategis dan didukung oleh kebijakan yang tepat serta peningkatan kapasitas, Afrika Selatan memiliki peluang besar untuk merevolusi pengiriman proyek-proyek infrastruktur publiknya, membuka jalan bagi pembangunan yang lebih efisien, tepat waktu, dan berkualitas, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi seluruh rakyat.

Sumber Artikel: Gudlhuza, N. J. (2020). DESIGN AND BUILD PROCUREMENT APPROACH AS AN ALTERNATIVE FOR IMPROVING PUBLIC SECTOR CONSTRUCTION PROJECTS PERFORMANCE IN SOUTH AFRICA. [Master's Research Report, University of the Witwatersrand]. ResearchGate. (Tidak ada DOI eksplisit dalam dokumen yang diberikan, namun ini adalah laporan penelitian yang kredibel dari institusi akademik).

Selengkapnya
Mengoptimalkan Proyek Sektor Publik di Afrika Selatan: Peran Pendekatan Design and Build sebagai Katalis Kinerja Unggul

Proyek Kontruksi

Strategi Unggul Meningkatkan Produktivitas Konstruksi Australia: Tinjauan Kritis atas Riset Meiqiong Zhong

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Pendahuluan

Produktivitas di industri konstruksi Australia menghadapi tantangan besar, terlihat dari tren penurunan produktivitas dan margin keuntungan yang stagnan selama lebih dari satu dekade. Meiqiong Zhong dalam tesisnya di Bond University (2022) menyuguhkan pendekatan berbasis data dan model struktural untuk memahami serta meningkatkan produktivitas di sektor ini. Kajian ini mereview secara kritis temuan Zhong, menyajikan interpretasi tambahan, data kunci, serta kaitan praktis terhadap praktik industri.

Latar Belakang Masalah

Dalam satu dekade terakhir, produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi Australia mengalami penurunan. Data dari Reserve Bank of Australia (2019) menunjukkan penurunan tajam output per jam kerja. Di sisi lain, margin keuntungan rata-rata perusahaan konstruksi besar di Australia menurun dari 3,2% pada 2006 menjadi hanya 0,3% pada 2016 (Chan & Martek, 2017; Deloitte, 2016). Situasi ini berdampak pada daya saing nasional dan kelangsungan bisnis sektor konstruksi, yang berkontribusi sekitar 7,6% terhadap PDB nasional (Richardson, 2014).

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Zhong mengembangkan model prediktif berbasis Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) untuk mengidentifikasi determinan utama produktivitas proyek konstruksi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap:

  • Tahap 1: Kajian literatur naratif untuk menjaring indikator produktivitas.

  • Tahap 2: Survei kuantitatif terhadap anggota Australian Institute of Quantity Surveyors (AIQS) dan Master Builders Australia (MBA).
     

Model dikembangkan dari tiga konstruk utama:

Hasil Kunci dan Temuan Utama

1. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung

  • CC memiliki pengaruh langsung terhadap produktivitas proyek (Pp), namun kontribusi paling signifikan diperoleh saat dimediasi oleh PM dan didukung oleh CFM.

  • CFM secara kuat mendukung PM, menunjukkan bahwa keberhasilan manajemen proyek bergantung pada sistem keuangan dan kontraktual yang baik.

2. Indikator yang Paling Mempengaruhi Produktivitas:

  • Pemanfaatan teknologi digital untuk kontrol proyek real-time.

  • Tenaga kerja berpengalaman dan termotivasi.

  • Kontrak kolaboratif (relational contracting) untuk meminimalisasi konflik.

  • Perencanaan mutu dan pengawasan proyek yang ketat.
     

Studi Kasus: Relevansi Praktis di Lapangan

Pada proyek perumahan skala menengah di Queensland, penerapan sistem digitalisasi proyek berbasis BIM dan dashboard waktu nyata berhasil mengurangi keterlambatan proyek sebesar 15%. Tenaga kerja yang dilibatkan mayoritas berasal dari SME, mencerminkan relevansi model Zhong yang memang menargetkan sektor usaha kecil dan menengah (SMEs) yang menyumbang 97,6% dari perusahaan konstruksi di Australia (ASBFEO, 2019).

Nilai Tambah dan Kritik

A. Kekuatan Penelitian:

  • Menggunakan pendekatan kausal, bukan hanya korelasional.

  • Memfokuskan pada SMEs, yang selama ini kurang mendapat sorotan.

  • Pendekatan holistik: Menggabungkan aspek sumber daya manusia, manajemen proyek, dan sistem keuangan.

B. Kelemahan dan Catatan:

  • Generalisasi terbatas: Data dominan berasal dari Queensland dan anggota dua asosiasi profesi.

  • Kurangnya eksplorasi faktor budaya organisasi, seperti motivasi intrinsik dan kepemimpinan.

  • Ketergantungan pada metode survei dapat menyebabkan self-reporting bias.
     

Perbandingan dengan Studi Lain

Zhong melampaui pendekatan Zhang et al. (2021) yang hanya melihat pada manajemen proyek tanpa mempertimbangkan dukungan sistem keuangan. Studi ini juga lebih komprehensif dibanding Durdyev et al. (2021), karena menambahkan variabel mediasi dan moderasi dalam kerangka model.

Implikasi Praktis bagi Industri

Bagi pelaku industri konstruksi, model Zhong dapat diterapkan untuk:

  • Pemetaan risiko proyek secara lebih akurat.

  • Rekrutmen dan pelatihan tenaga kerja berbasis prediktor produktivitas.

  • Evaluasi performa keuangan proyek yang terintegrasi dengan sistem manajemen proyek.
     

Pemerintah dan regulator juga dapat menjadikan temuan ini sebagai dasar kebijakan peningkatan daya saing sektor konstruksi nasional.

Kesimpulan

Tesis Meiqiong Zhong memberikan sumbangan penting dalam memahami dan meningkatkan produktivitas konstruksi di Australia. Dengan pendekatan struktural yang komprehensif dan berbasis data, model ini berpotensi menjadi acuan praktis bagi perusahaan konstruksi, regulator, maupun akademisi dalam menyusun strategi peningkatan produktivitas yang terukur dan efektif.

 

Sumber:
Meiqiong Zhong. (2022). Improving Productivity of Australian Construction Firms. Bond University. https://research.bond.edu.au/en/studentTheses/c764df74-43c0-4b6d-865f-01588b1061dc

Selengkapnya
Strategi Unggul Meningkatkan Produktivitas Konstruksi Australia: Tinjauan Kritis atas Riset Meiqiong Zhong

Proyek Kontruksi

Membedah Labirin Hukum Kontrak Konstruksi: Fondasi Krusial bagi Praktisi dan Pengambil Keputusan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Industri konstruksi adalah motor penggerak perekonomian suatu negara, ditandai dengan proyek-proyek berskala besar, risiko tinggi, dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Di tengah kompleksitas ini, landasan hukum yang kuat dan pemahaman kontrak yang mendalam menjadi vital. Tanpa kontrak yang jelas dan pemahaman yang komprehensif tentang aspek hukumnya, proyek konstruksi dapat terjerembab dalam sengketa, penundaan, bahkan kegagalan fatal.

Dalam konteks ini, buku "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" karya Meria Utama adalah sebuah kontribusi substansial yang menjembatani kesenjangan pemahaman antara teori hukum dan praktik lapangan dalam industri konstruksi di Indonesia. Sebagai sebuah pengantar, buku ini tidak hanya menyajikan kerangka teoritis, tetapi juga mengarhkan dalam memahami kompleksitas regulasi dan praktik kontrak konstruksi, menjadikannya referensi esensial bagi mahasiswa, praktisi, dan pembuat kebijakan.

Urgensi Pemahaman Hukum Kontrak dalam Proyek Konstruksi

Meria Utama secara implisit menekankan bahwa proyek konstruksi bukan sekadar aktivitas teknis; merupakan entitas hukum yang melibatkan hak, kewajiban, dan tanggung jawab kontraktual. Setiap tahap proyek mulai dari perencanaan, desain, pengadaan, hingga pelaksanaan dan penyelesaian didasari oleh perjanjian dan ketentuan hukum. Kurangnya pemahaman tentang aspek-aspek ini seringkali menjadi pemicu utama perselisihan yang berujung pada arbitrase atau litigasi, membuang waktu, biaya, dan reputasi.

Buku ini hadir sebagai panduan yang sangat relevan mengingat dinamika industri konstruksi Indonesia yang terus berkembang, dengan adanya berbagai peraturan baru dan proyek infrastruktur berskala masif. Pemahaman yang komprehensif tentang hukum kontrak konstruksi adalah prasyarat mutlak untuk memastikan keberhasilan proyek, meminimalkan risiko hukum, dan menciptakan lingkungan bisnis yang adil dan efisien. Penulis menekankan secara cermat bahwa pengetahuan ini tidak semata menjadi ranah ahli hukum, melainkan juga penting bagi insinyur, manajer proyek, kontraktor, konsultan, hingga pemilik proyek agar mampu mengambil keputusan tepat dan terhindar dari risiko hukum.

Struktur Komprehensif dan Isi yang Relevan

Buku ini tersusun secara sistematis, membimbing pembaca dari konsep dasar hingga aspek yang lebih kompleks dalam hukum kontrak konstruksi. Berikut adalah gambaran bab-bab kunci yang menunjukkan cakupan buku ini:

  • Bab I: Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Kontrak Konstruksi: Bab ini membentuk fondasi dengan mendefinisikan apa itu hukum kontrak konstruksi, membedakannya dari jenis kontrak lain, dan menguraikan ruang lingkup penerapannya. Ini adalah titik awal yang penting bagi pembaca yang mungkin belum familiar dengan spesialisasi hukum ini.

  • Bab II: Pengaturan Mengenai Kontrak Konstruksi: Penulis membahas kerangka regulasi yang mengatur kontrak konstruksi di Indonesia. Ini mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang relevan. Pemahaman akan hierarki dan interkoneksi regulasi ini sangat penting karena seringkali proyek konstruksi melibatkan berbagai lapis hukum.

  • Bab III: Para Pihak dalam Kontrak Konstruksi Internasional: Bab ini memperluas perspektif ke ranah global, mengidentifikasi dan membahas peran serta tanggung jawab berbagai pihak dalam kontrak konstruksi internasional. Ini penting mengingat banyaknya proyek di Indonesia yang melibatkan investor atau kontraktor asing.

  • Bab IV: Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi: Ini adalah salah satu bab yang paling aplikatif, membahas berbagai jenis kontrak konstruksi berdasarkan aspek perhitungan biaya (misalnya, lump sum, harga satuan), perhitungan jasa, dan cara pembayaran. Pemilihan jenis kontrak yang tepat adalah keputusan strategis yang memengaruhi alokasi risiko dan keuntungan.

  • Bab V: Beberapa Teori dan Asas dalam Pembentukan Kontrak Konstruksi: Bab ini menyelami landasan teoretis pembentukan kontrak, termasuk asas-asas hukum kontrak yang fundamental seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, itikad baik, dan kepastian hukum. Pemahaman asas ini membantu pembaca memahami spirit di balik setiap klausul kontrak.

  • Bab VI: Standar Kontrak Konstruksi Internasional: Meria Utama memberikan perhatian khusus pada standar kontrak internasional yang dominan, khususnya FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils) dan SIA (Standard Institute of Architects). FIDIC, dengan "Rainbow Suite" yang terkenal (misalnya, Red Book, Yellow Book, Silver Book), adalah standar yang paling banyak digunakan di dunia untuk proyek infrastruktur berskala besar. Pembahasan ini sangat relevan mengingat adopsi standar internasional semakin umum di Indonesia, terutama untuk proyek-proyek yang didanai secara multilateral atau melibatkan konsorsium internasional.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah

Buku ini menawarkan nilai tambah yang signifikan, terutama bagi konteks Indonesia:

  1. Keseimbangan Teori dan Praktik: Meria Utama berhasil menyajikan konsep hukum yang kompleks dengan bahasa yang relatif mudah dipahami tanpa mengorbankan kedalaman materi. Hal ini sangat penting untuk pembaca non-hukum, seperti insinyur atau manajer proyek, yang membutuhkan pemahaman fungsional tentang kontrak.

  2. Fokus pada Konteks Indonesia: Meskipun membahas standar internasional, buku ini secara konsisten mengaitkan materi dengan regulasi dan praktik yang berlaku di Indonesia. Ini menjadikannya referensi yang sangat relevan dan aplikatif bagi praktisi lokal. Sebagai contoh, pembahasan mengenai Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) atau peraturan pemerintah terkait KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) akan memberikan konteks hukum yang solid bagi proyek-proyek di Indonesia.

  3. Panduan untuk Manajemen Risiko: Pemilihan bentuk kontrak dan pemahaman akan alokasi risiko adalah inti dari manajemen risiko kontraktual. Dengan menguraikan berbagai bentuk kontrak dan standar internasional, buku ini membekali pembaca dengan pengetahuan untuk memilih dan merumuskan kontrak yang sesuai dengan profil risiko proyek. Misalnya, pemahaman tentang perbedaan risiko dalam kontrak lump sum (risiko lebih besar pada kontraktor) dibandingkan dengan kontrak harga satuan (risiko dibagi) adalah kunci untuk negosiasi yang cerdas.

  4. Mendorong Profesionalisme: Dengan memaparkan kompleksitas hukum kontrak konstruksi, buku ini secara tidak langsung mendorong peningkatan profesionalisme di industri. Praktisi yang memahami hukum akan lebih mampu menyusun, menegosiasikan, dan mengelola kontrak secara efektif, mengurangi potensi perselisihan dan mempromosikan praktik terbaik.

  5. Relevansi dalam Konflik: Saat konflik tak terhindarkan, pemahaman terhadap klausul kontrak dan asas hukum menjadi senjata utama. Buku ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi sengketa, baik untuk negosiasi, mediasi, arbitrase, atau litigasi.

Kritik dan Perbandingan dengan Literatur Lain

Meskipun "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" adalah karya yang sangat baik, ada beberapa area yang dapat menjadi pertimbangan:

Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Nyata di Lapangan

Buku ini sangat relevan dengan tren dan tantangan di industri konstruksi Indonesia saat ini:

  • Mega Proyek Infrastruktur: Indonesia sedang giat membangun infrastruktur. Proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek kereta api cepat, atau pembangkit listrik baru, melibatkan kontrak yang sangat kompleks. Pemahaman yang solid tentang alih risiko, jenis kontrak, dan standar internasional yang dibahas dalam buku ini adalah prasyarat untuk kesuksesan proyek-proyek tersebut.

  • Partisipasi Swasta dalam Pembangunan: Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) semakin populer untuk pembiayaan infrastruktur. Kontrak KPS jauh lebih kompleks daripada kontrak konstruksi tradisional, memerlukan pemahaman mendalam tentang alokasi risiko yang adil antara sektor publik dan swasta. Buku ini menyediakan fondasi untuk memahami struktur kontraktual KPS.

  • Manajemen Risiko Proyek: Kegagalan proyek konstruksi seringkali bermuara pada manajemen risiko yang buruk, termasuk risiko kontraktual. Buku ini secara tidak langsung membantu praktisi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memitigasi risiko hukum melalui perumusan kontrak yang tepat.

  • Tantangan Lingkungan Bisnis: Isu korupsi, birokrasi yang lambat, dan ketidakpastian regulasi sering menjadi hambatan. Pemahaman hukum yang kuat dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak kontraktual dan mendorong praktik bisnis yang lebih transparan dan etis.

  • Standardisasi Kontrak: Dorongan global untuk standardisasi kontrak (seperti penggunaan FIDIC) bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi sengketa. Buku ini mengedukasi pembaca tentang standar-standar ini, memfasilitasi adopsi praktik terbaik internasional.

Kesimpulan

Buku "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" oleh Meria Utama adalah sumber daya yang tak ternilai bagi siapa saja yang ingin memahami seluk-beluk hukum yang mengatur proyek konstruksi di Indonesia. Dengan cakupan yang komprehensif, mulai dari definisi dasar hingga pembahasan standar kontrak internasional yang kompleks, buku ini berhasil menjembatani kesenjangan antara teori hukum dan kebutuhan praktis di lapangan.

Penulis dengan jelas menunjukkan mengapa pemahaman hukum kontrak bukanlah sekadar formalitas, melainkan elemen krusial untuk kesuksesan proyek, manajemen risiko yang efektif, dan pencegahan sengketa. Di tengah dinamika pembangunan infrastruktur Indonesia yang pesat, kehadiran buku ini sangat tepat waktu dan relevan. Buku ini adalah bacaan wajib bagi mahasiswa teknik sipil, manajemen konstruksi, dan hukum, serta panduan praktis bagi para profesional konstruksi, konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek yang berupaya menavigasi kompleksitas hukum dalam proyek-proyek mereka. Dengan bekal pengetahuan dari buku ini, diharapkan para pemangku kepentingan dapat merumuskan, menegosiasikan, dan melaksanakan kontrak konstruksi dengan lebih percaya diri dan efektif, mendorong terciptanya proyek infrastruktur yang sukses dan berkelanjutan bagi bangsa.

Sumber Artikel: Utama, M. (2017). Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi (Cetakan 1). Tidak ada informasi penerbit atau DOI yang tersedia dalam file yang diunggah, namun ini adalah buku yang diterbitkan dan digunakan sebagai referensi di bidang hukum konstruksi.

Selengkapnya
Membedah Labirin Hukum Kontrak Konstruksi: Fondasi Krusial bagi Praktisi dan Pengambil Keputusan di Indonesia

Proyek Kontruksi

Mengurai Benang Kusut Pembengkakan Biaya: Analisis Hierarkis Faktor-Faktor Kunci dalam Proyek Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Pembengkakan biaya (cost overruns) merupakan sebuah penyakit kronis dalam industri konstruksi yang sering kali menjadi penentu utama kegagalan sebuah proyek. Karya Calvin Limantoro, Andi, dan Jani Rahardjo yang berjudul, "Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia," secara sistematis berupaya membongkar kompleksitas di balik fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa faktor-faktor penyebab pembengkakan biaya sering kali bersifat kualitatif dan saling terkait, sehingga pendekatan yang hanya membuat daftar penyebab tanpa memahami hubungan sebab-akibat di antara mereka menjadi tidak efektif untuk mitigasi.

Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas sintesis literatur yang cermat, di mana penulis mengidentifikasi dan memilih lima belas faktor utama penyebab cost overruns yang paling sering muncul dalam studi-studi sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk menemukan faktor-faktor baru, melainkan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan yang lebih krusial: memetakan struktur hierarkis dan hubungan kausal antar faktor-faktor tersebut dalam konteks spesifik industri konstruksi di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang merupakan akar masalah fundamental dan mana yang hanya merupakan gejala, sehingga upaya pencegahan dapat difokuskan pada titik-titik dengan daya ungkit tertinggi.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi hibrida yang canggih, mengintegrasikan dua teknik pengambilan keputusan multikriteria (Multi-Criteria Decision-Making - MCDM), yaitu Interpretive Structural Modeling (ISM) dan Decision-making Trial and Evaluation Laboratory (DEMATEL). Pendekatan ini memungkinkan analisis yang melampaui sekadar identifikasi faktor untuk memodelkan interaksi dinamis di antara mereka.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei kuesioner perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang disebar kepada delapan orang responden yang dikategorikan sebagai ahli di bidang konstruksi, dengan kriteria utama memiliki pengalaman sebagai manajer proyek. Proses analisis data sangat terstruktur:

  1. Metode DEMATEL digunakan untuk mengkuantifikasi kekuatan pengaruh antar faktor, menghasilkan matriks hubungan total (Total-Relation Matrix) dan mengklasifikasikan faktor sebagai penyebab (dispatcher) atau akibat (receiver).

  2. Hasil dari DEMATEL kemudian diubah menjadi masukan untuk metode ISM, yang digunakan untuk membangun model struktur hierarkis yang memvisualisasikan hubungan antar faktor ke dalam beberapa tingkatan, dari akar masalah yang paling dasar hingga dampak yang paling permukaan.

Kebaruan dari karya ini terletak pada aplikasi metodologisnya yang rigor untuk konteks Indonesia. Dengan menggabungkan ISM dan DEMATEL, penelitian ini berhasil mengubah daftar faktor kualitatif yang tidak terstruktur menjadi sebuah model kausal yang dapat ditindaklanjuti, memberikan sebuah peta sistemik dari permasalahan cost overruns.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data yang komprehensif menghasilkan sebuah model hierarkis empat tingkat yang secara jelas memetakan hubungan sebab-akibat dari kelima belas faktor cost overruns.

  • Pada level paling dasar (Level 4), penelitian ini mengidentifikasi Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6) sebagai akar masalah yang paling fundamental. Ini adalah pendorong utama yang mempengaruhi semua faktor lain dalam sistem.

  • Pada Level 3, terdapat dua faktor yang dipengaruhi oleh keterbatasan SDM namun menjadi penyebab bagi level di atasnya, yaitu Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7) dan Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8).

  • Pada Level 2, terdapat faktor-faktor yang lebih bersifat perantara, seperti Perencanaan dan Estimasi Pekerjaan yang Buruk (F1), Harga Material yang Berubah-ubah (F3), dan Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu (F14).

  • Pada Level 1, terdapat sembilan faktor yang merupakan dampak atau gejala paling permukaan dari masalah di level-level yang lebih dalam. Faktor-faktor ini termasuk Keterlambatan Pekerjaan (F5), Perubahan Desain (F2), Kontrak yang Tidak Menguntungkan (F12), dan Kualitas Pekerjaan yang Buruk (F15).

Analisis DEMATEL lebih lanjut mengonfirmasi temuan ini. Ketika kedua metode disintesis, tiga faktor secara konsisten muncul sebagai akar masalah utama dengan daya penggerak (driving power) tertinggi dan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah:

  1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6)

  2. Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7)

  3. Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8)

Secara kontekstual, temuan ini sangat signifikan. Ia menunjukkan bahwa masalah-masalah yang sering terlihat di permukaan seperti keterlambatan atau perubahan desain sering kali hanyalah gejala dari masalah yang lebih fundamental di tingkat kapabilitas SDM, integritas manajemen, dan praktik etis perusahaan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara eksplisit mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu ketergantungan pada penilaian subjektif dari sekelompok kecil ahli (delapan responden). Meskipun umum dalam studi ISM/DEMATEL, hal ini berarti bahwa model yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan bias dari para ahli yang berpartisipasi.

Sebagai refleksi kritis, meskipun model ini memberikan wawasan kausal yang mendalam, ia tidak dapat digeneralisasi secara statistik ke seluruh industri konstruksi Indonesia. Validitasnya bergantung sepenuhnya pada keahlian dan representativitas dari panel ahli yang dipilih.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat kuat. Model hierarkis yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai kerangka kerja strategis bagi para manajer proyek dan pemilik perusahaan. Alih-alih memadamkan "kebakaran" di Level 1 (misalnya, mengatasi keterlambatan dengan kerja lembur), mereka dapat memfokuskan sumber daya dan upaya perbaikan pada tiga akar masalah di Level 3 dan 4. Mengatasi masalah keterbatasan SDM melalui pelatihan, memperbaiki sistem manajemen kontraktor, dan memperkuat kontrol internal untuk mencegah kecurangan akan memberikan dampak sistemik yang jauh lebih besar dalam mencegah cost overruns.

Untuk penelitian di masa depan, penulis secara tepat merekomendasikan perlunya validasi lebih lanjut menggunakan metode statistik seperti Structural Equation Modeling (SEM) dengan sampel yang lebih besar. Hal ini akan memungkinkan pengujian hipotesis hubungan kausal yang diidentifikasi dalam model ini secara kuantitatif, sehingga meningkatkan validitas dan generalisasi temuan.

Sumber

Limantoro, C., Andi, & Rahardjo, J. (2023). Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Dimensi Utama Teknik Sipil, 10(1), 20-37. DOI: 10.9744/duts.10.1.20-37

Selengkapnya
Mengurai Benang Kusut Pembengkakan Biaya: Analisis Hierarkis Faktor-Faktor Kunci dalam Proyek Konstruksi Indonesia

Proyek Kontruksi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Implementasi ISO 9001 pada Proyek Konstruksi Inggris — dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025


Proyek konstruksi bukan sekadar urutan pekerjaan teknis—mereka adalah sistem kompleks yang melibatkan ratusan orang, multipel kontrak, pasokan material, jadwal yang saling terkait, dan risiko yang terus berubah. Dalam kondisi seperti itu, dokumen-dokumen standar mutu bisa saja terlihat sebagai “buku aturan” yang jauh dari realitas lapangan. Namun studi doktoral Mahmoud Aburas mencoba mematahkan anggapan itu dengan menempatkan ISO 9001 bukan sebagai simbol formalitas, tetapi sebagai kerangka kerja yang bila diadaptasi dan dihidupkan dapat menjadi pengungkit nyata bagi keberhasilan proyek.

Penelitian ini berangkat dari pertanyaan praktis: faktor mana yang benar-benar menentukan berhasil tidaknya implementasi ISO 9001 di proyek konstruksi Inggris? Dengan mencampurkan analisis literatur, survei kuantitatif, dan wawancara kualitatif, Aburas menyusun peta tindakan yang terdiri dari tujuh faktor utama dan 77 komponen operasional—bukan sekadar daftar prinsip, melainkan panduan langkah demi langkah untuk praktik sehari-hari. Temuan ini penting karena menempatkan perhatian pada bagaimana ISO dijalankan, bukan hanya apakah organisasi memilikinya.

Ada dua aspek yang membuat studi ini layak mendapat perhatian luas. Pertama, ia menggunakan pendekatan triangulasi: survei terhadap ratusan praktisi memberikan gambaran statistik; analisis statistik menunjukkan korelasi dan pola; wawancara mendalam kemudian memberikan konteks naratif yang menjelaskan mengapa pola itu muncul. Kedua, temuan yang muncul tidak selalu sejalan dengan harapan normatif standar—contoh paling menonjol adalah posisi evidence-based decision-making yang ternyata tidak dominan dalam praktik proyek, meski secara teoretis menjadi salah satu prinsip utama ISO 9001:2015. Ini bukan klaim remeh: ia memaksa pembaca—praktisi maupun regulator—untuk mempertanyakan bagaimana bukti dan pengalaman bercampur dalam pengambilan keputusan di lapangan.

Dalam praktik, proyek konstruksi menghadapi masalah yang nyata: perubahan desain di fase akhir, ketergantungan pada subkontraktor yang berbeda standar kerja, dan tekanan biaya yang membuat keputusan cepat menjadi lebih lazim daripada penelaahan panjang berbasis data. Dari sudut pandang ini, ISO 9001 yang berhasil bukan hanya soal memenuhi checklist audit; ia harus menjadi mekanisme manajemen perubahan, komunikasi antar-pemangku kepentingan, dan pembelajaran berkelanjutan. Aburas menunjukkan, melalui angka dan narasi, bahwa manajemen perubahan, keterlibatan tenaga kerja, dan kepemimpinan menjadi penentu utama apakah standar mutu itu "hidup" atau tetap menjadi dokumen prosedural.

Pendahuluan ini menekankan satu hal: relevansi studi bukan hanya akademis, melainkan sangat aplikatif. Jika diimplementasikan dengan konsistensi dan adaptasi lokal, rekomendasi penelitian dapat mengurangi klaim purna proyek, menekan waktu penyelesaian, dan memperbaiki arus kas para pelaksana. Lebih jauh lagi, temuan ini membuka ruang bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi pendekatan regulasi mutu—misalnya, memberi ruang bagi manajemen perubahan sebagai prinsip mutu formal—serta memberi sinyal pada manajer proyek bahwa menggabungkan pengalaman lapangan dengan dokumentasi bukti adalah jalan tengah yang harus dijalin, bukan dikedepankan salah satunya saja.

Mengapa temuan ini penting sekarang?

Proyek konstruksi itu seperti orkestra besar yang dimainkan di lingkungan yang selalu berubah: desain direvisi, cuaca mengguncang jadwal, subkontraktor datang dari kultur kerja berbeda—semua faktor ini membuat kualitas mudah tergelincir dan biaya melonjak. Aburas menempatkan ISO 9001 bukan sebagai dokumen semata, melainkan sebagai sistem manajerial yang harus “hidup” di lapangan. Dengan menggabungkan tinjauan literatur, survei kuantitatif, dan wawancara validasi, ia menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang benar-benar bekerja dalam konteks proyek konstruksi Inggris. 

Metodologi singkat (mengapa kita bisa percaya)

Studi ini menggunakan pendekatan triangulasi:

  • Survei online: 1.000 undangan → 124 respons (response rate 12.4%). Cronbach’s Alpha untuk instrumen = 0.845(memadai untuk reliabilitas). 
  • Analisis statistik: compare means, Kendall’s W, Kruskal–Wallis, Spearman. Hasil Spearman memperlihatkan hubungan signifikan antara sebagian besar faktor dan keberhasilan penerapan, kecuali untuk satu faktor yang mengejutkan.
  • Validasi kualitatif: wawancara semi-terstruktur dengan 6 manajer proyek senior—menambah konteks, menolak dan menambah beberapa komponen. 

Triangulasi ini menambah bobot—angka memberi arah, wawancara memberi alasan dan nuansa. Itu sebabnya temuan layak menjadi bahan kebijakan praktik. 

Temuan inti: 7 faktor yang harus diperhatikan

Aburas merangkum tujuh faktor yang muncul konsisten dari literatur, survei, dan wawancara:

  1. Change management (Manajemen perubahan)
    • Komponen: menentukan kebutuhan pemangku kepentingan, merencanakan perubahan, memonitor ekspektasi, mempromosikan perbaikan berkelanjutan, mengedukasi klien tentang dampak perubahan, dan—yang menonjol—“embrace the change as a team” (komponen baru hasil wawancara). Change management mendapat nilai tinggi dalam survei dan divalidasi penuh.
  2. Client focus (Fokus pada klien)
    • Menempatkan kepuasan dan kebutuhan klien sebagai penggerak utama tujuan mutu. Dalam praktik, ini berarti dokumentasi kebutuhan awal, komunikasi berkelanjutan, dan mekanisme umpan balik pasca-serah terima. 
  3. Engagement of people (Keterlibatan tenaga kerja)
    • Dari pelibatan operasional hingga empowerment—perubahan istilah dari ‘involvement’ ke ‘engagement’ pada ISO 9001:2015 menekankan partisipasi aktif, bukan sekadar kehadiran administratif. 
  4. Leadership (Kepemimpinan)
    • Kepemimpinan yang proaktif: menetapkan kebijakan mutu, mendemonstrasikan komitmen, serta mendorong budaya perbaikan dan tanggung jawab. Kepemimpinan menempati korelasi tertinggi (Spearman .601). 
  5. Process approach (Pendekatan proses)
    • Memetakan proses, interaksi antarproses, dan menjaga pengendalian aliran kerja—mengurangi fragmentasi proyek yang khas di sektor konstruksi. 
  6. Relationship management (Manajemen hubungan)
    • Manajemen hubungan pemangku kepentingan, supplier, dan subkontraktor menjadi kunci menghindari konflik kontraktual yang kerap menguras waktu dan kualitas. 
  7. Continuous improvement (Perbaikan berkelanjutan)
    • Bukan program sekali jadi; budaya yang mengejar efisiensi jangka panjang melalui PDCA, audit, evaluasi tindakan korektif. 

Secara total, penelitian ini merinci 77 komponen operasional yang mengikat tujuh faktor tersebut — langkah demi langkah yang bisa diadaptasi oleh organisasi proyek. 

1) Change management — 9 komponen. 

  1. Determine the needs and expectations of stakeholders
    Menetapkan secara sistematis siapa pemangku kepentingan (klien, subkontraktor, regulator, masyarakat lokal) dan apa yang mereka harapkan sehingga perubahan dapat disiapkan tanpa kejutan; mencakup identifikasi kebutuhan fungsional, waktu, dan kualitas.
  2. Plan for change
    Menyusun rencana perubahan yang jelas (siapa bertanggung jawab, jadwal, dampak, sumber daya) sehingga setiap perubahan diproses sebagai kegiatan terencana, bukan reaksi mendadak.
  3. Monitor the needs and expectations of stakeholders
    Pemantauan berkelanjutan (survei, pertemuan, pelaporan) untuk menangkap perubahan ekspektasi sehingga rencana dan tindakan dapat disesuaikan sebelum masalah meluas.
  4. Promote continual improvement
    Menanamkan mekanisme untuk terus mencari perbaikan (PDCA, audit, kaizen) sehingga perubahan bukan sekadar menambal masalah tetapi meningkatkan kapabilitas proyek.
  5. Educate clients and other stakeholders on the negative outcomes of unnecessary change
    Mengkomunikasikan konsekuensi biaya, waktu, dan kualitas apabila perubahan tidak dikelola—mengubah klien/mitra dari peminta perubahan spontan menjadi mitra yang lebih sadar risiko.
  6. Predict the project environment and create contingency plans
    Analisis skenario (cuaca, pasokan material, keterlambatan subkontraktor) dan penyusunan rencana kontinjensi untuk mengurangi dampak bila skenario terwujud.
  7. Anticipate change and address it effectively
    Membangun budaya dan prosedur proaktif (trigger indicators, eskalasi dini) sehingga perubahan dapat direspons cepat namun terkontrol.
  8. Prioritise and post-implement review of the change
    Mekanisme penentuan prioritas perubahan (nilai vs risiko) dan review pasca-implementasi untuk belajar dan memperbaiki proses pengelolaan perubahan berikutnya.
  9. Embrace the change as a team (komponen hasil wawancara)
    Menyatukan tim dalam menerima & menjalankan perubahan—komunikasi, dukungan lintas-fungsi, dan ownership kolektif yang mengurangi resistensi dan mempercepat eksekusi.

2) Client focus — 8 komponen. 

  1. Understand the current clients' requirements
    Dokumentasi dan klarifikasi kebutuhan saat ini (fit-for-purpose, spesifikasi teknis, batas waktu) agar deliverable sesuai ekspektasi.
  2. Understand future clients' requirements
    Proyeksi kebutuhan masa depan (pemeliharaan, kelayakan fungsi jangka panjang) untuk desain dan material yang tahan uji.
  3. Measure client satisfaction
    Sistem pengukuran (survei, wawancara, KPI pasca-serah-terima) untuk mengukur gap dan menetapkan tindakan perbaikan.
  4. Ensure the project objectives match the client's requirements
    Penyelarasan tujuan proyek dengan kebutuhan klien sejak awal perencanaan untuk mencegah scope creep.
  5. Ensure the project objectives match the client's expectations
    Menjembatani perbedaan antara kebutuhan teknis dan ekspektasi aktual klien (mis. estetika, kebersihan kerja, komunikasi).
  6. Clients are treated with respect and courtesy and empathise with their situation
    Sikap layanan (responsiveness, empati) yang mengurangi konflik dan memperbesar kemungkinan repeat business.
  7. Do not leave the client waiting and let them know what is being done, commit to responding
    Komunikasi proaktif: feed-back waktu nyata atas permintaan dan update berkala agar kepercayaan terjaga.
  8. Conduct external measurements and surveys for the client's needs and engage seriously with the results
    Validasi eksternal (survei independen, benchmark) untuk memverifikasi bahwa proyek memenuhi kebutuhan nyata klien, bukan asumsi internal semata.

3) Engagement of people — 9 komponen. 

  1. Facilitate the open discussion of issues
    Forum terbuka (toolbox talk, briefing) untuk membicarakan masalah kualitas tanpa stigma sehingga solusi muncul lebih cepat.
  2. Facilitate the open discussion of barriers
    Identifikasi hambatan (supply, izin, instruksi kerja) bersama tim dan cari solusi kolaboratif.
  3. Enhance the motivation of personnel
    Inisiatif peningkatan motivasi (apresiasi, kesempatan berkembang, lingkungan kerja aman) agar produktivitas dan kepatuhan mutu naik.
  4. Ensure that employees' abilities are utilised
    Mengalokasikan tugas sesuai kompetensi sehingga keahlian tidak terbuang dan kualitas output meningkat.
  5. Clarify work priorities and define the roles and responsibilities of the project team
    Job descriptions, RACI, dan prioritas harian yang jelas mengurangi tumpang tindih dan miskomunikasi.
  6. Carry out cyclical meetings to review the project status, to inform the team on progress and monitor for conflict
    Rapat periodik (harian/mingguan) yang terstruktur untuk update, eskalasi, dan pencegahan konflik.
  7. Build trust between the project team and project leadership and between teams
    Praktik kepemimpinan yang transparan dan tindakan konsisten untuk membangun kepercayaan—fondasi kolaborasi.
  8. Involve people with ideas and encourage them to provide their perspectives and encourage groupthink
    Mendorong kontribusi ide dari lapangan (suggestion box, sesi perbaikan) yang seringkali membawa solusi praktis.
  9. Explore the project's components and discuss clearly the project's importance with staff members
    Menjelaskan konteks dan dampak pekerjaan tiap orang agar mereka memahami mengapa kualitas dan tenggat penting.

4) Leadership — 12 komponen. 

  1. Establish a vision for the project
    Visi yang jelas memberi arah, menyatukan tujuan mutu, dan menjadi acuan pengambilan keputusan.
  2. Establish a pathway for the project
    Roadmap / rencana jalur (milestone, tender-to-handover) untuk mengkoordinasikan aktivitas lintas fungsi.
  3. Equip employees
    Menyediakan alat, dokumen, dan sumber daya yang diperlukan agar staf mampu mencapai standar mutu.
  4. Create trust with employees
    Tindakan kepemimpinan yang konsisten, adil, dan komunikatif untuk membangun loyalitas dan keterbukaan.
  5. Ensure commitment to the role
    Kepastian bahwa setiap posisi memiliki owner yang bertanggung jawab dan berkomitmen menyelesaikan tugasnya.
  6. Ensure commitment to policy
    Kepatuhan manajemen puncak terhadap kebijakan mutu yang menjadi teladan organisasi.
  7. Ensure responsibility to project partners
    Memastikan manajemen memenuhi kewajiban pada mitra (bank, klien, regulator) sehingga alur kerja tidak tersendat.
  8. Identify challenging targets
    Menetapkan target ambisius namun realistis yang mendorong perbaikan kinerja berkelanjutan.
  9. Ensure the efficient use of resources
    Optimalisasi tenaga kerja, peralatan, dan material untuk menekan pemborosan tanpa mengorbankan mutu.
  10. The leadership must acquire complete awareness of the project's requirements
    Pemahaman menyeluruh atas kebutuhan teknis, kontrak, dan sosial untuk keputusan yang tepat.
  11. Emphasise motivation and team building to allow different members to collaborate
    Intervensi team-building dan motivasi nyata yang mengurangi silo dan meningkatkan sinergi.
  12. Conduct a study for the project with the team and the stakeholders during the planning phase to comprehend project requirements
    Studi kelayakan/analisis kebutuhan kolaboratif di tahap awal untuk mengurangi revisi dan miskomunikasi selanjutnya.

(Catatan: beberapa komponen yang muncul di survei seperti “empower employees”, “reduce environmental impact”, dan “promote high-quality processes” mendapatkan penilaian rendah di beberapa responden sehingga tidak semua versi survei masuk daftar final—tetapi poin inti kepemimpinan di atas adalah yang tervalidasi).

5) Process approach — 14 komponen. 

  1. Manage activities as processes
    Menyusun dan menjalankan aktivitas sebagai rantai proses berinteraksi, bukan tugas terfragmentasi.
  2. Reduce activities that add no value
    Identifikasi dan penghapusan kegiatan yang tidak menambah nilai (waste) untuk kecepatan dan efisiensi.
  3. Reduce processes that add no value
    Penyederhanaan alur kerja yang berlebihan—mengurangi birokrasi dan redundansi.
  4. Conduct audits of processes
    Audit internal proses untuk menemukan ketidaksesuaian dan area perbaikan.
  5. Improve processes to prevent nonconformities
    Perubahan proses berdasarkan akar masalah untuk mencegah terulangnya cacat.
  6. Determine the knowledge necessary for the operation of processes
    Mendeskripsikan kompetensi dan pengetahuan apa yang diperlukan untuk menjalankan tiap proses.
  7. Maintain the knowledge necessary for the operation of processes
    Sistem penyimpanan & transfer pengetahuan (SOP, instruksi kerja, pelatihan) agar kapabilitas tidak hilang.
  8. Take action to address risk
    Proses penilaian dan mitigasi risiko terintegrasi ke dalam alur kerja proyek.
  9. Take action to exploit opportunity
    Mendeteksi dan memanfaatkan peluang efisiensi atau nilai tambah yang muncul selama siklus proyek.
  10. Gauge the feasibility of activities
    Evaluasi kelayakan aktivitas (waktu, biaya, sumber daya) sebelum pelaksanaan.
  11. Determine links between activities
    Memahami ketergantungan antarproses sehingga perubahan pada satu aktivitas tidak merusak proses lain.
  12. Manage and monitor every process and control, measure the results, and report
    Pengukuran KPI proses, kontrol, dan pelaporan teratur agar kinerja transparan dan bisa diperbaiki.
  13. Evaluate and improve the processes is a constant, systematic and repetitive procedure
    Mekanisme perbaikan berkelanjutan yang sistematik—bukan acara sekali jadi.
  14. Ensure the appropriate methodologies, resources, personnel and tools are available for each planning process
    Penjaminan bahwa setiap proses perencanaan memiliki metode dan sumber daya yang sesuai.
  15. Assure that all those involved in the project have an appropriate understanding of the process level
    Sosialisasi dan pelatihan agar semua pihak paham bagaimana proses saling terkait dan peran mereka di dalamnya.

6) Relationship management — 11 komponen. 

  1. Share information with stakeholders
    Mekanisme berbagi data & update yang akurat antara tim proyek, klien, dan pihak eksternal.
  2. Share plans with stakeholders
    Transparansi perencanaan (jadwal, milestone) untuk menyelaraskan ekspektasi dan keterlibatan.
  3. Share resources with stakeholders
    Kolaborasi penggunaan sumber daya (mis. peralatan, tenaga ahli) untuk efisiensi dan pengurangan backlog.
  4. Share expertise with stakeholders
    Transfer keahlian melalui workshop, joint reviews, atau mentoring antar-pihak.
  5. Cooperate in the development of activities
    Kolaborasi nyata dalam pengembangan aktivitas proyek, bukan koordinasi parsial.
  6. Establish effective intra-project-partner cooperation
    Prosedur formal untuk kerja sama antar-kontraktor, konsultan, dan subkontraktor.
  7. Manage effective intra-project-partner cooperation
    Manajemen aktif hubungan (kontrak, KPI bersama, eskalasi isu) untuk menghindari sengketa.
  8. Establish short-term relationships
    Mekanisme kemitraan jangka pendek yang efektif untuk kebutuhan spesifik (mis. trades tertentu).
  9. Establish long-term relationships
    Pengembangan kemitraan strategis jangka panjang yang menurunkan biaya transaksi dan risiko.
  10. Engage stakeholders effectively and frequently
    Keterlibatan rutin (sesi update, review) agar semua pihak tetap sinkron dan responsif.
  11. Ensure that all parties comprehend the overarching project aims
    Kesepahaman akan tujuan proyek yang lebih luas sehingga keputusan sehari-hari terarah pada outcome bersama.

7) Skills & training — 5 komponen. 

  1. Train personnel in terms of quality
    Program pelatihan mutu terstruktur (SOP, kontrol kualitas, inspeksi) untuk mengangkat kompetensi.
  2. Share knowledge
    Praktik berbagi pengetahuan (lessons learned, toolbox talks) sehingga pengalaman proyek terdokumentasi dan dimanfaatkan.
  3. Enable learning
    Membangun mekanisme pembelajaran berkelanjutan (on-the-job coaching, mentoring) bukan pelatihan sekali-kilat.
  4. Share the quality aims and characteristics
    Menyampaikan sasaran mutu & karakteristik deliverable kepada seluruh tim sehingga semua bekerja ke arah yang sama.
  5. Teach the quality aims and characteristics
    Mengajarkan praktik dan standar konkret (bagaimana melakukan inspeksi, apa toleransi) agar pemahaman operasional terjadi.

8) Continuous improvement — 8 komponen. 

  1. Provide resources for continuous improvement
    Alokasi dana, waktu, dan SDM khusus untuk inisiatif perbaikan berkelanjutan.
  2. Manage resources for continuous improvement
    Pengelolaan dan prioritisasi sumber daya agar inisiatif perbaikan berjalan efektif.
  3. Provide documentation for corrective action
    Sistem dokumentasi korektif yang jelas (kertas kerja tindakan, pelacakan penyelesaian) untuk menghindari perulangan masalah.
  4. Enable the project team to participate in improvement
    Melibatkan seluruh tim dalam identifikasi dan implementasi perbaikan sehingga ada ownership.
  5. Conduct operational planning
    Perencanaan operasional yang terhubung dengan siklus perbaikan (mengintegrasikan tindakan korektif & preventif).
  6. Conduct operational control
    Pengendalian operasional (checklists, hold points, inspeksi) untuk memastikan tindakan perbaikan bekerja.
  7. Measure improvement consistently
    KPI terukur untuk memantau hasil perbaikan sehingga organisasi tahu apa yang berhasil dan apa yang perlu disesuaikan.
  8. Develop a reward system (catatan: per survey ini muncul tapi peringkat bervariasi; dalam praktik direkomendasikan sebagai bagian dari budaya perbaikan)
    Sistem penghargaan/incentive untuk mendorong kontribusi perbaikan dari staf lapangan dan manajemen.

Fakta-fakta yang perlu disebarluaskan (bullet points)

  • 124 respons dianalisis; 117 (94.35%) berasal dari organisasi bersertifikat ISO 9001. Ini menunjukkan tingginya penetrasi sertifikasi di sampel studi. 
  • Reliabilitas instrumen: Cronbach’s Alpha 0.845
  • Spearman test: Semua faktor memiliki korelasi signifikan dengan keberhasilan implementasi kecuali evidence-based decision-making (p = 0.307). 
  • Survei awal mengusulkan 10 faktor; setelah validasi, 7 disahkan, 3 ditolak secara provisional (evidence-based decision-making, non-standardisation, skills & training). 

 

Cerita di balik angka: temuan yang mengejutkan

Hal yang benar-benar membuka diskusi luas adalah penolakan terhadap evidence-based decision-making—padahal ini adalah salah satu Quality Management Principles ISO 9001:2015. Wawancara mengungkap alasan praktis: banyak keputusan lapangan diambil berdasarkan pengalaman manajer yang “memutuskan cepat” di kondisi tertekan; bukti formal sering muncul setelah keputusan itu dibuat. Beberapa partisipan menyatakan, secara ringkas: “evidence is good, but experience usually takes the overriding factor”. Ini memunculkan dilema: apakah ISO harus mengakomodasi dinamika pengambilan keputusan yang didorong pengalaman tanpa mengabaikan pentingnya data?

Siapa yang paling terdampak — dan bagaimana implementasi mengubah permainan?

  • Kontraktor & Subkontraktor: Implementasi process mapping dan relationship management mengurangi klaim dan mempercepat serah terima—efek langsung pada cashflow. 
  • Pemilik proyek / klien: Client focus dan continuous improvement meningkatkan kepuasan, menurunkan ongkos perbaikan pasca-serah terima. 
  • Regulator & Pembuat Kebijakan: Temuan bahwa change management layak dipertimbangkan sebagai QMP baru memberi bahan untuk revisi kebijakan QA sektor publik. 

 

Kritik realistis — apa yang perlu diperhatikan

Tidak ada studi sempurna. Beberapa batasan penting:

  • Konteks terbatas: fokus pada UK—hasil mungkin berbeda di negara dengan struktur pasar dan kultur kerja lain. 
  • Response rate & generalisasi: meski 124 respons memenuhi minimum sampel, rate 12.4% mengindikasikan potensi bias non-respon. Pengambilan keputusan kebijakan besar butuh studi tambahan lintas-negara. 
  • Validasi kualitatif terbatas: hanya 6 wawancara—sumber insight kaya, tetapi jumlahnya kecil untuk klaim representatif luas. 
  • Paradoks evidence-based: penolakan evidence-based decision-making menuntut studi kualitatif lebih mendalam untuk memahami hubungan antara pengalaman lapangan dan penggunaan data formal. 

 

Rekomendasi praktis untuk manajer proyek (langkah demi langkah)

  • Formalkan change management: checklist perubahan, mekanisme pelaporan, dan review pasca-implementasi; edukasi klien tentang biaya/risiko perubahan. 
  • Jadwalkan leadership coaching: investasi pada kemampuan memimpin, bukan hanya skill teknis—coaching untuk pengambilan keputusan yang menggabungkan pengalaman dan bukti.
  • Terapkan process mapping sederhana: dokumen proses yang mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan—kurangi ambiguitas dan percepat eskalasi isu. 
  • Dokumentasikan keputusan lapangan: jika pengalaman memimpin keputusan cepat, rekam langkah dan data pendukung untuk evaluasi pasca-hoc—mempertemukan pengalaman dan evidence. 

 

Dampak nyata jika temuan ini diterapkan

Jika organisasi proyek menerapkan ketujuh faktor beserta 77 komponen secara konsisten—dengan adaptasi lokal—dampaknya bukan sekadar perbaikan administratif. Dari pengurangan klaim purna proyek hingga penurunan penundaan, studi ini memperkirakan bahwa implementasi terstruktur dapat memangkas biaya operasional proyek dan menurunkan frekuensi rework dalam jangka menengah. Secara ringkas: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional proyek secara signifikan dalam waktu lima tahun. 

 

Penutup

Mahmoud Aburas tidak hanya menyajikan daftar prinsip—ia memberi peta tindakan yang konkret untuk konteks proyek konstruksi yang kompleks. Studi ini menegaskan pentingnya kepemimpinan, keterlibatan tim, kepuasan klien, proses yang terstruktur, hubungan yang sehat antar-pihak, perbaikan berkelanjutan—dan menempatkan manajemen perubahan di barisan depan kebijakan mutu. Di saat yang sama, penolakan terhadap evidence-based decision-making membuka diskusi kritis: bagaimana menyelaraskan intuisi pengalaman lapangan dengan praktik berbasis bukti? Jawabannya akan menentukan apakah ISO 9001 berubah menjadi alat transformasi nyata atau tetap menjadi dokumen prosedural semata.

Sumber Artikel:

Aburas, M. (2020). Critical success factors for implementing ISO 9001 in UK construction projects. University of Salford (United Kingdom).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Implementasi ISO 9001 pada Proyek Konstruksi Inggris — dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Proyek Kontruksi

Mengurai Keterbatasan DBB dan Menemukan Solusi IPD: Strategi Peningkatan Partnering dalam Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025


Pendahuluan: Saatnya Meninggalkan Fragmentasi dalam Proyek Konstruksi

Industri konstruksi Indonesia terus berkembang, namun masih terperangkap dalam kontradiksi sistemik antara tujuan proyek jangka panjang dan model kerja jangka pendek yang bersifat kompetitif. Salah satu akar masalahnya terletak pada sistem pengadaan proyek yang masih didominasi oleh model design-bid-build (DBB).

Dalam paper ini, Sari dkk. (2024) memaparkan secara kritis bagaimana pendekatan DBB yang terfragmentasi telah menjadi batu sandungan kolaborasi, serta menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan tingkat partnering menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang lebih sinergis dan berkelanjutan.

Apa yang Salah dengan DBB?

Struktur DBB: Praktis, Tapi Terlalu Kompetitif

Model DBB, yang memisahkan entitas perancang dan pelaksana, memang menawakan kejelasan peran dan tahapan kerja. Namun struktur ini justru menciptakan silo antarpihak. Setiap tahapan dari tender perancang, pelaksanaan desain, tender kontraktor, hingga pelaksanaan konstruksi berlangsung dalam iklim persaingan (kompetisi) yang kaku.

Dalam analisis partnering oleh Thompson et al. (1998), DBB umumnya berada pada level “kompetisi”, level terendah dari skala kedalaman kolaborasi.

Dampak Nyata: Proyek Molor dan Boros

Berdasarkan studi tiga proyek gedung di Indonesia dengan nilai di atas 10 miliar rupiah, ditemukan bahwa ketiganya mengalami keterlambatan signifikan. Faktor penyebabnya mencakup:

Hasil analisis statistik menunjukkan deviasi standar yang besar pada grafik kemajuan proyek, menandakan ketidaksesuaian antara target dan realisasi.

Partnering: Dari Kompetisi Menuju Koalisi

Empat Tingkatan Partnering

Berdasarkan teori Larsson dan Thompson, partnering terbagi dalam empat tingkatan:

  1. Kompetisi: Relasi transaksional dan jangka pendek, tidak ada pembagian risiko.

  2. Kooperasi: Mulai ada komunikasi dan saling percaya.

  3. Kolaborasi: Fokus strategis jangka panjang, pengukuran kinerja bersama.

  4. Koalisi (Coalescence): Transparansi total, integrasi budaya kerja, pembagian risiko penuh.
     

Sayangnya, mayoritas proyek DBB di Indonesia masih berada pada tahap kompetisi, jauh dari kedalaman koalisi seperti yang ditemukan pada sistem IPD.

Mengenal IPD: Proyek Kolaboratif Sejak Hari Pertama

Integrated Project Delivery adalah sistem pengadaan yang menyatukan semua aktor utama (owner, desainer, kontraktor, vendor) sejak tahap nol persen desain. Dibandingkan DBB, IPD memiliki karakter:

  • Kontrak multipihak tunggal

  • Pembagian risiko dan keuntungan

  • Komitmen pada transparansi dan tujuan bersama

  • Fokus jangka panjang dan peningkatan berkelanjutan

Studi Kasus Internasional

Menurut Asmar et al. (2013), proyek dengan pendekatan IPD menunjukkan performa superior dalam aspek waktu, biaya, dan kualitas dibandingkan DBB dan DB. Bahkan, IPD mampu mengurangi pengulangan pekerjaan hingga 50% dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 10%.

Strategi Transformasi: DBB yang Lebih Kolaboratif

Apakah DBB Bisa Diubah Tanpa Mengganti Sistemnya?

Jawabannya: bisa. Paper ini menawarkan pendekatan transisional mengubah praktik partnering dalam proyek DBB agar meniru kedalaman kolaborasi pada skema IPD, tanpa harus mengubah format kontrak yang ada.

Rekomendasi Praktis

  1. Pemilihan Perancang Tanpa Tender Kompetitif
    Owner sebaiknya menunjuk perancang berdasar pengalaman dan visi sejalan, bukan sekadar harga termurah.

  2. Keterlibatan Kontraktor Sejak Awal
    Mengundang kontraktor dalam tahap desain untuk meminimalkan miskomunikasi dan variasi teknis.

  3. Kemitraan Jangka Panjang dengan Vendor
    Tidak lagi memilih pemasok berdasar tender harga, tetapi melalui kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
     

Visualisasi Model Perubahan

Transformasi DBB yang semula penuh persaingan dapat diarahkan menjadi kerja sama berbasis koalisi, sebagaimana digambarkan dalam skema model partnering (Gambar 8 dalam paper).

Tantangan Implementasi di Indonesia

Meskipun IPD menjanjikan banyak manfaat, implementasinya di proyek pemerintah di Indonesia masih terkendala oleh:

  • Kurangnya standar hukum dan kontrak multipihak

  • Ketidakpercayaan antar-pemangku kepentingan

  • Praktik tender yang masih berorientasi biaya

Namun, seperti disarankan penulis, peningkatan kualitas relasi dan keterlibatan sejak awal sudah cukup untuk menciptakan dampak besar — bahkan dalam sistem DBB.

Perspektif Industri: Relevansi dan Tren Terkini

Dengan meningkatnya tekanan terhadap efisiensi dan keberlanjutan, pendekatan seperti IPD menjadi relevan, apalagi di era pascapandemi di mana risiko proyek semakin kompleks. Model kerja berbasis kolaborasi juga sejalan dengan prinsip lean construction dan pendekatan agile yang kini mulai diadopsi oleh perusahaan besar seperti PT PP dan Wijaya Karya dalam beberapa proyek EPC.

Opini dan Komentar Tambahan

Paper ini sangat relevan karena tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga strategi pragmatis yang bisa diadopsi tanpa harus merevolusi sistem. Kelebihannya terletak pada pendekatan lokal dengan penggunaan data proyek di Indonesia serta masukan dari 14 pakar konstruksi membuat temuan ini semakin aplikatif.

Namun, penelitian ini bisa lebih kuat jika ditambah:

  • Simulasi dampak finansial dari perubahan model partnering

  • Studi longitudinal proyek DBB yang berhasil mengadopsi prinsip IPD

  • Analisis hukum atas kemungkinan legalisasi kontrak multipihak di sektor publik
     

Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Konstruksi yang Lebih Baik

Transformasi dari DBB ke IPD bukan hanya soal mengganti sistem, tapi soal mengubah pola pikir dan perilaku para pelaku proyek. Pendekatan partnering yang lebih dalam, saling percaya, dan terbuka bisa dicapai bahkan tanpa merombak format kontrak. Paper ini menjadi panduan praktis menuju industri konstruksi Indonesia yang lebih kolaboratif, berkelanjutan, dan resilien menghadapi krisis.

Sumber

Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., et al. (2024). Design-Bid-Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242

Selengkapnya
Mengurai Keterbatasan DBB dan Menemukan Solusi IPD: Strategi Peningkatan Partnering dalam Proyek Konstruksi
page 1 of 5 Next Last »