Physics of Failure Modeling

Model Ketergantungan Kegagalan Meningkatkan Keandalan Sistem Kompleks Secara Sistematis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Ketika Asumsi Kemandirian Kegagalan Tidak Berlaku

Pada 31 Mei 2009, pesawat Air France 447 jatuh di Samudera Atlantik, menewaskan seluruh 228 penumpangnya. Pesawat modern seperti ini seharusnya sangat aman, dilengkapi banyak sistem keselamatan redundan. Namun, tragedi itu menunjukkan satu hal penting: kegagalan sistem tidak selalu terjadi secara independen. Tiga tabung pitot yang mengukur kecepatan udara mengalami kerusakan serentak karena badai es, padahal analisis keandalan klasik mengasumsikan bahwa mereka akan gagal secara acak dan terpisah.

Kegagalan semacam ini adalah contoh nyata dari dependent failure—yakni ketika satu kegagalan berkaitan erat dengan yang lain karena sebab umum atau efek berantai. Artikel yang diulas ini menawarkan sebuah tinjauan literatur sistematis dan kritis terhadap model-model kegagalan tergantung, dengan tujuan memberikan klasifikasi, evaluasi, serta arah penelitian masa depan dalam konteks risiko dan keandalan.

Latar Belakang Penelitian

Penelitian mengenai kegagalan tergantung telah berkembang sejak 1960-an. Namun, kebanyakan tinjauan terdahulu terlalu sempit: fokus pada optimasi pemeliharaan, hanya mencakup metode tertentu (misalnya hanya menggunakan Bayesian Network), atau tidak sistematis. Penelitian oleh Zeng, Barros, dan Coit ini menjadi tinjauan sistematis pertama yang menyoroti kegagalan tergantung di berbagai hirarki sistem teknik—dari level mekanisme hingga sistem-of-systems.

Metodologi: Tinjauan Sistematis yang Ditingkatkan

Penulis menggunakan pendekatan sistematis berbasis protokol pencarian ketat melalui Web of Science, menghasilkan:

  • 2.149 artikel awal → difilter menjadi 927 berdasarkan abstrak dan judul,
  • +135 artikel penting ditambahkan secara manual,
  • Total akhir: 1.062 artikel.

Data dianalisis secara bibliometrik menggunakan perangkat lunak VOSviewer dan Bibliometrix, lalu dilakukan analisis isi kritis terhadap artikel paling relevan berdasarkan jumlah sitasi dan relevansi topik.

Evolusi Penelitian Kegagalan Tergantung: Tiga Era

  1. Sebelum 1995
    Fokus pada distribusi probabilistik multivariat dan fault tree sederhana, terbatas oleh kemampuan komputasi rendah.
    Contoh: penggunaan model distribusi gabungan oleh Gumbel dan Kiureghian.
  2. 1995–2009
    Munculnya model frailty, copula, Bayesian network, dan dynamic fault tree.
    Contoh: pengembangan metode fault tree dinamis dan optimasi pemeliharaan berbasis ketergantungan.
  3. 2010–sekarang
    Fokus bergeser ke sistem besar seperti cyber-physical systems, critical infrastructure, dan pengaruh lingkungan besar seperti guncangan atau bencana.
    Terdapat peningkatan publikasi rata-rata 61 artikel/tahun.

Hirarki Sistem & Contoh Kegagalan Tergantung

1. Level Mekanisme Kegagalan

  • Parameter dependency: Misalnya korelasi antara modulus Young dan rasio Poisson.
  • State dependency: Degradasi bergantung pada histori, seperti model Hurst exponent oleh Xi et al.

2. Level Komponen

  • Direct influence: Contohnya MEMS yang gagal karena kejutan mempercepat keausan.
  • Common factors: Lingkungan bersama memengaruhi beberapa mekanisme, seperti suhu tinggi dan kelembaban yang mempercepat degradasi plastik.

3. Level Sistem

  • Common cause failure (CCF): Misalnya, kegagalan akibat gempa memengaruhi banyak penghalang keselamatan dalam sistem reaktor nuklir.
  • Load-sharing: Jika satu pompa gagal, beban meningkat pada yang lain sehingga mereka lebih cepat rusak.
    Contoh: sistem hidrolik pesawat dengan 4 pompa aktif dan 1 cadangan.

4. Sistem-of-Systems

  • Cascading failure: Kegagalan listrik menyebabkan putusnya komunikasi.
  • Spatial dependency: Banjir atau gempa memengaruhi seluruh jaringan transportasi atau listrik.
    Contoh: jaringan listrik London yang rusak saat terjadi banjir (Stoyanov et al.).

Klasifikasi Model Ketergantungan

1. Model Statistik

  • Multivariate Distribution: Marshall–Olkin digunakan untuk model lifetime dua komponen.
  • Frailty Models: Misalnya gamma frailty untuk reliabilitas sistem multi-komponen.
  • Copula Models: Gumbel, Clayton copulas memodelkan korelasi dalam waktu kegagalan.

2. Model Keadaan Sistem (System State Models)

  • Combinatorial: Dynamic fault trees, binary decision diagrams, memperluas logika sistem kompleks.
  • State Space: Petri net dan Markov digunakan untuk memodelkan transisi antar status sistem.
  • Bayesian Network: Digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar komponen.

3. Model Degradasi

  • Common Random Effects: Beberapa jalur degradasi berbagi parameter acak bersama.
  • Copula for Degradation: Misalnya, estimasi kegagalan LED berdasarkan jalur degradasi ganda.
  • Degradation-Shock: Kombinasi degradasi bertahap dan kegagalan mendadak karena kejutan.

Studi Kasus dan Aplikasi Angka

  • Sari et al. (2016): Model copula untuk LED—menggabungkan dua jalur degradasi → waktu gagal diprediksi lebih akurat.
  • Zhang et al. (2020): Copula diterapkan pada sistem CNC 3-out-of-7, beban meningkat → model prediksi reliabilitas meningkat 35% dibanding asumsi independen.
  • Peng et al. (2012): MEMS gagal karena shock dan degradasi → interaksi dikonfirmasi dalam model gabungan → memperkuat pentingnya pemodelan ketergantungan langsung.

Kritik & Tantangan Utama

  1. Data Tidak Tersedia atau Tidak Lengkap
    Dibutuhkan data multivariat besar & real-time, yang sering kali sulit diperoleh.
  2. Kompleksitas Komputasi
    Terutama untuk model copula atau Bayesian besar.
  3. Keterbatasan Generalisasi
    Banyak model harus dikustomisasi untuk struktur sistem tertentu.

Rekomendasi Penelitian Masa Depan

  • Integrasi AI dengan Model Klasik: Misalnya, penggunaan reinforcement learning dalam Bayesian Network.
  • Simulasi Sistem-of-Systems Skala Besar: Menggunakan pendekatan hybrid antara simulasi dan analitik.
  • Model Adaptif Real-Time: Untuk sistem dinamis seperti jaringan energi atau transportasi.

Kesimpulan

Artikel ini menjadi acuan penting dalam pemodelan reliabilitas sistem modern, menawarkan pendekatan komprehensif, sistematis, dan berorientasi praktis. Dengan mengintegrasikan berbagai metode statistik dan mekanistik, serta melihat berbagai level sistem, penelitian ini membantu pembuat keputusan dan peneliti memahami bahwa kegagalan tidak bisa diasumsikan independen dalam sistem kompleks. Maka, untuk industri-industri seperti energi, kedirgantaraan, dan infrastruktur kritis, pendekatan ini sangat relevan dan dibutuhkan.

Sumber Artikel : Zhiguo Zeng, Anne Barros, David Coit. Dependent failure behavior modeling for risk and reliability: A systematic and critical literature review. Reliability Engineering and System Safety, 2023, 239, 109515.

Selengkapnya
Model Ketergantungan Kegagalan Meningkatkan Keandalan Sistem Kompleks Secara Sistematis

Physics of Failure Modeling

Prediksi Umur Elektronik Power pada PCB dengan Physics-of-Failure: Strategi Digital untuk Keandalan Desain Awal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Tantangan Keandalan Elektronik Modern

Dalam sistem kritis seperti pesawat terbang, kendaraan otonom, dan perangkat medis, komponen elektronik harus dirancang sejak awal dengan mempertimbangkan umur pakainya. Namun, pendekatan tradisional seperti pengujian fisik atau statistik tak cukup mampu mengantisipasi semua skenario degradasi. Oleh karena itu, pendekatan Physics-of-Failure (PoF) menjadi alternatif cerdas dan proaktif.

Makalah karya Andrew Wileman, Suresh Perinpanayagam, dan Sohaib Aslam memaparkan penerapan PoF berbasis simulasi Finite Element Analysis (FEA) dan Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk memprediksi umur perangkat elektronik daya di tingkat Printed Circuit Board (PCB). Ini memungkinkan pengujian virtual (digital twin) sebelum produksi, serta perencanaan umur komponen secara lebih akurat.

H2: Apa Itu Physics-of-Failure dan Mengapa Penting?

PoF adalah pendekatan berbasis mekanisme degradasi nyata seperti:

  • Kejutan mekanis
  • Getaran acak
  • Kejadian termal ekstrem
  • Keausan solder
  • Fatigue pada sambungan dan lapisan logam

Dengan menggunakan simulasi digital dan data desain (seperti file ODB++ dan topologi PCB), engineer dapat menghitung:

  • Stress-strain
  • Displacement
  • Probabilitas kegagalan
  • Remaining Useful Life (RUL)

H2: Studi Kasus: PCB Pengujian Modul Evaluasi IGBT

Penelitian menggunakan modul evaluasi IGBT dari Infineon sebagai platform uji. Fitur penting:

  • Layout optimasi (induktansi komutasi <35 nH)
  • Komponen aktif: dua transistor IGBT (S1, S2)
  • Dapat dikonfigurasi sebagai DC–DC step-up/down converter

Model FEA 3D dibuat dari:

  • File ODB++
  • Pick-and-place
  • PCB stack-up

Simulasi dilakukan dengan dua tipe mesh: merged (PCB dan komponen menyatu) dan bonded (terpisah untuk fleksibilitas bentuk).

H2: Pendekatan Simulasi dan Standar Uji

Pengujian dilakukan dengan mencakup 8 kategori lingkungan ekstrem yang menguji ketahanan dan performa perangkat dalam kondisi yang sangat keras. Jenis tes yang digunakan antara lain siklus termal (MIL-STD-810G, IEC 60068) dengan rentang suhu -33°C hingga 63°C selama 30–60 menit per siklus, serta getaran acak (IEC 60068-2-64) pada frekuensi 20–2000 Hz dan 7.7 G RMS dalam tiga sumbu. Selain itu, pengujian frekuensi alami dilakukan dengan rentang 10–2000 Hz dan 10 G. Kejut mekanik (IEC 60068-2-27) menguji perangkat dengan 15 G selama 18 kejutan dengan durasi 6 ms. Fatigue solder mengikuti standar IPC-JEDEC J-STD-020D-01 dengan 3 siklus reflow pada suhu puncak 260°C. Keausan semikonduktor diuji menggunakan metode SAE ARP 6338 untuk TDDB, HCI, EM, dan NBTI. Thermal derating diuji dalam kisaran suhu −55°C sampai 125°C, sementara PTH fatigue dilakukan berdasarkan iterasi life yang dihitung berdasarkan regangan sesuai dengan SAE J3168 dan IPC TR-579.

H2: Hasil Simulasi dan Analisis Umur

1. Thermal Mechanical Cycling

  • Komponen yang gagal: kapasitor box, inductor toroidal, transistor Q1/Q2
  • Penyebab utama: perbedaan koefisien ekspansi termal + desain heatsink
  • Regangan maksimum: 7.2 × 10⁻⁴ (transistor overmold-leaded)
  • Prediksi life reduction: hingga 15% pada area kritis

2. Thermal Mechanical Events

  • Displacement maksimum: 2.82 mm di soket power
  • Rekomendasi: monitoring tegangan kontak saat operasi penuh
  • Komponen dalam batas aman, belum gagal

3. Natural Frequency & Harmonics

  • Frekuensi berbahaya: 212–223 Hz
  • Kerusakan meningkat signifikan di atas 200 Hz
  • Harmonik ke-3 (73.98 Hz) menyebabkan regangan tinggi di sekitar heatsink

4. Random Vibration

  • Uji dengan spektrum daya: 0.04 G²/Hz → 7.7 G RMS
  • Komponen besar di atas board (seperti kapasitor & toroidal) mengalami kegagalan
  • Umur pakai turun drastis jika tidak dimitigasi

5. Mechanical Shock

  • Shock 10 G, 6 ms
  • Semua komponen lolos → waktu shock terlalu singkat untuk menyebabkan kerusakan struktural

H2: Analisis Solder Fatigue: Lead vs. Lead-Free

Diuji dua tipe solder:

  • SAC305 (lead-free) → semua komponen aman
  • PB90SN10 (lead-based) → gagal pada 2 Schottky diode

Rekomendasi: ganti solder PB90SN10 atau reposisi diode dari area strain tinggi.

H2: Wear-Out Semikonduktor

Menggunakan 4 model degradasi:

  • EM (Electromigration)
  • TDDB (Time-Dependent Dielectric Breakdown)
  • BTI (Bias Temperature Instability)
  • HCI (Hot Carrier Injection)

Hasil: semua komponen melewati simulasi wear-out → tidak gagal dalam umur pakai 30 tahun

H2: Hasil Akhir Prediksi Umur PCB

Probabilitas kegagalan kumulatif sebesar 5% dalam 30 tahun mengindikasikan risiko yang perlu diperhatikan dalam desain. Beberapa faktor kritis yang dapat menyebabkan kegagalan antara lain regangan termal di area heatsink, yang dapat mengakibatkan kegagalan transistor dan kapasitor. Solusi yang disarankan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan damping heatsink dan merancang ulang layout. Getaran acak juga menjadi faktor yang menyebabkan kegagalan pada komponen besar, yang dapat diatasi dengan pendekkan stand-off dan redaman getaran. Selain itu, fatigue solder pada material PB90SN10 dapat menyebabkan kegagalan solder, sehingga rekomendasinya adalah mengganti solder atau memindahkan posisi solder. Perlu dicatat bahwa retaining clip dan bolt yang ada pada desain fisik belum disimulasikan. Jika komponen tersebut ditambahkan ke dalam model, potensi kegagalan bisa dikurangi lebih lanjut.

H2: Kritik dan Pengembangan Lebih Lanjut

Kritik:

  • Model simulasi belum menyertakan retensi mekanis tambahan
  • Komponen hanya dari modul evaluasi, belum produk akhir
  • Beban lingkungan hanya dari profil laboratorium

Saran Pengembangan:

  • Uji dengan variasi profil misi nyata (flight hours, thermal shocks mingguan, dll)
  • Integrasi sistem condition monitoring real-time
  • Gunakan hasil simulasi untuk membuat database desain berbasis risiko

Kesimpulan

Penerapan Physics-of-Failure (PoF) melalui model simulasi FEA dan CFD terbukti:

  • Mampu memprediksi umur pakai komponen elektronik daya pada PCB
  • Menghasilkan validasi desain awal yang lebih akurat sebelum produksi
  • Menurunkan biaya prototipe fisik dan waktu iterasi desain

Dengan menurunkan probabilitas kegagalan hingga <5% dalam 30 tahun, metode ini menjadi alat penting untuk desain sistem elektronik di industri kedirgantaraan, otomotif, dan perangkat kritikal lainnya.

Sumber : Wileman, Andrew; Perinpanayagam, Suresh; Aslam, Sohaib. Physics-of-Failure Based Lifetime Prediction of Power Electronics at the Printed Circuit Board Level. Applied Sciences, 2021, 11(6), 2679.

Selengkapnya
Prediksi Umur Elektronik Power pada PCB dengan Physics-of-Failure: Strategi Digital untuk Keandalan Desain Awal

Physics of Failure Modeling

Cara Prediksi Umur Engsel Pintu Kulkas dengan ALT Berbasis Simulasi: Solusi Akurat dan Hemat Biaya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Masalah Lama, Solusi Baru dalam Prediksi Umur Komponen

Memprediksi umur pakai engsel pintu kulkas bisa menjadi tantangan besar. Tes ketahanan fisik tradisional membutuhkan waktu bertahun-tahun—tidak efisien dan mahal. Industri peralatan rumah tangga kini beralih ke Accelerated Life Testing (ALT), metode yang lebih cepat dan murah untuk mengevaluasi keandalan produk.

Penelitian oleh Seunghyeon Cheon dkk. menawarkan solusi menarik: menggabungkan model numerik berbasis simulasi fisik dalam ALT untuk memprediksi keausan engsel pintu kulkas berbahan polyacetal. Artikel ini merangkum pendekatan, studi kasus, data numerik, dan validasi yang digunakan, sekaligus menyoroti kekuatan metode ini untuk industri manufaktur modern.

H2: Apa Itu ALT dan Mengapa Berbasis Simulasi?

ALT (Accelerated Life Testing) adalah metode percepatan pengujian umur produk dengan cara meningkatkan beban/stres. Namun, daripada mengandalkan uji fisik prototipe seperti biasa, studi ini menggunakan simulasi FEM (Finite Element Method) berbasis DEFORM3D untuk:

  • Menghitung keausan pada permukaan engsel
  • Mengembangkan life-stress model
  • Memprediksi waktu kegagalan tanpa uji fisik penuh

Simulasi memberikan efisiensi waktu 65% lebih cepat dibandingkan uji nyata, serta biaya yang jauh lebih rendah.

H2: Studi Kasus: Engsel Pintu Kulkas dari Polyacetal (POM)

Penelitian dilakukan pada komponen engsel cam kulkas konsumen, terdiri dari:

  • Braket baja (tidak dianalisis)
  • Hinge cam dari Polyoxymethylene (POM), bahan plastik tahan gesekan

Komponen diuji terhadap keausan akibat pembukaan dan penutupan pintu berulang. Tujuan utama: memprediksi penurunan tinggi hinge sebagai indikator kegagalan.

H2: Uji Material dan Model Fisika Kegagalan

1. Uji Tarik dan Parameter Material

  • Uji dilakukan dengan INSTRON 5882 pada 60 dan 600 mm/menit
  • Kurva beban–regangan memperlihatkan konsistensi, menunjukkan bahwa sifat POM stabil di berbagai kecepatan regangan
  • Data digunakan untuk mengisi parameter pada Swift Equation dan GTN Model (Gurson-Tvergaard-Needleman)

2. Model Keausan Archard yang Dimodifikasi Digunakan persamaan: W=KPavbtHcW = K \frac{P^a v^b t}{H^c}

  • P = tekanan normal, v = kecepatan geser, t = waktu, H = kekerasan permukaan
  • Nilai a = 1, b = 1, c = 2 dari literatur

H2: Penentuan Koefisien Keausan (K) Melalui Eksperimen

Metode:

  • Dua hinge cam dimodifikasi (sudut 10°) dan diuji rotasi 100.000 siklus di bawah beban 48,7 kgf
  • Hasil pengukuran perubahan tinggi menunjukkan hubungan linear antara keausan dan jumlah siklus

Persamaan Hasil: h=0,3454×N(mm)h = 0{,}3454 \times N \quad (mm)

Validasi melalui simulasi:

  • DEFORM3D digunakan untuk menguji berbagai nilai K
  • Nilai terbaik diperoleh: K = 7{,}17 × 10⁻⁷
  • Hasil simulasi keausan 0,346 mm ≈ hasil uji aktual 0,345 mm → akurasi < 0,3%

H2: Simulasi Step-Stress ALT: Meningkatkan Akurasi Prediksi

Step-stress test:

  • Beban awal: 43,7 kgf
  • Bertambah 2,8 kgf setiap 20.000 siklus, total 100.000 siklus
  • Simulasi dilakukan sebanyak 10 kali untuk setiap tahap

Hasil:

  • Grafik simulasi vs uji aktual menunjukkan kesesuaian sangat baik
  • Digunakan fungsi: h=4,74986×10−5×AF+0,0511h = 4{,}74986 \times 10^{-5} \times AF + 0{,}0511
  • AF (Acceleration Factor) dihitung dari beban dan jumlah siklus

H2: Prediksi Umur Pakai Berdasarkan Penggunaan Konsumen

Menggunakan persamaan: Life (years)=Jumlah siklus hingga kegagalanx×365\text{Life (years)} = \frac{\text{Jumlah siklus hingga kegagalan}}{x \times 365}

  • x = frekuensi buka/tutup pintu per hari (diasumsikan 40 kali)
  • h kritis (maksimum defleksi yang diterima): 1 mm
  • Beban aktual rumah tangga (termasuk isi pintu) = 44 kgf
  • Gaya kontak engsel aktif hanya jika beban > 38 kgf → efektif 6 kgf

Hasil prediksi:

  • Umur engsel ≈ 14,01 tahun
  • Hasil uji aktual (204.604 siklus) ≈ 14,78 tahun
  • Selisih hanya 4,9% → validasi akurat

H2: Efisiensi dan Manfaat Simulasi Berbasis ALT

Metode step-stress eksperimental membutuhkan waktu uji 85 jam dengan hasil yang valid, sedangkan simulasi DEFORM3D hanya memerlukan waktu uji 30 jam dengan deviasi kurang dari 5%. Perbandingan ini menunjukkan efisiensi yang signifikan dari penggunaan simulasi DEFORM3D, yang tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga memberikan akurasi yang sangat baik dalam prediksi hasil.

Keuntungan simulasi:

  • Penghematan waktu uji hingga 65%
  • Potensi lebih besar jika simulasi dijalankan paralel (multi-core CPU)
  • Bisa digunakan untuk membandingkan alternatif desain tanpa prototipe fisik

H2: Kritik dan Implikasi Lebih Luas

Kritik:

  • Simulasi valid untuk failure mode berbasis keausan, belum tentu cocok untuk retakan termal atau korosi
  • Model hanya valid untuk geometri dan bahan POM tertentu
  • Membutuhkan perangkat lunak dan keahlian teknis yang spesifik

Implikasi untuk Industri:

  • Metode ini bisa digunakan untuk komponen rumah tangga lain: engsel mesin cuci, rel laci, komponen pemanas
  • Cocok untuk produsen yang ingin mempercepat siklus desain dan menghemat biaya uji prototipe
  • Bisa jadi standar baru untuk uji keandalan produk massal

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa pendekatan Accelerated Life Testing berbasis simulasi numerik dapat menjadi alat yang efisien, akurat, dan hemat biaya dalam memprediksi umur komponen berbasis keausan seperti engsel pintu kulkas.

Temuan penting:

  • Model prediksi sangat akurat (deviasi < 5%)
  • Waktu uji dipersingkat hingga 65%
  • Validasi eksperimental mendukung pendekatan simulasi penuh
  • Potensi besar untuk diterapkan di industri manufaktur konsumen skala besar

Sumber : Cheon, Seunghyeon; Jeong, Hyunsoo; Hwang, So Young; Hong, Seokmoo; Domblesky, Joseph; Kim, Naksoo. Accelerated Life Testing to Predict Service Life and Reliability for an Appliance Door Hinge. Procedia Manufacturing, Volume 1, 2015, Pages 169–180.

 

Selengkapnya
Cara Prediksi Umur Engsel Pintu Kulkas dengan ALT Berbasis Simulasi: Solusi Akurat dan Hemat Biaya

Physics of Failure Modeling

Cara Cepat Menghitung Kelelahan Kerja Manusia: Menggabungkan ALT dan Analisis Faktor Kinerja

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Mengapa Kelelahan Manusia Butuh Metode Analisis Baru

Di era otomatisasi industri, peran manusia dalam sistem manufaktur mulai digantikan oleh mesin. Namun kenyataannya, kesalahan manusia masih menjadi penyebab utama dalam menurunnya kualitas produksi. Salah satu pemicunya adalah kelelahan kerja, baik fisik maupun mental, yang sayangnya sering diabaikan dalam proses desain sistem produksi.

Makalah dari Jamshidi & Sadeghi (2021) menawarkan solusi inovatif dengan menggabungkan Accelerated Life Testing (ALT) dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghitung kelelahan manusia secara kuantitatif, efisien, dan berbasis data nyata. Pendekatan ini disebut sebagai Accelerated Human Fatigue Test (AHFT).

H2: Apa Itu ALT dan Mengapa Relevan untuk Manusia?

ALT biasa digunakan untuk mempercepat pengujian daya tahan produk dengan cara menambahkan beban lingkungan ekstrem. Dalam konteks manusia, beban lingkungan ini direpresentasikan oleh Performance Shaping Factors (PSFs) seperti stres kerja, waktu kerja, ergonomi, dan kompleksitas tugas.

Dalam pendekatan AHFT:

  • ALT dipakai untuk mempercepat dan mengukur akumulasi kelelahan.
  • PCA digunakan untuk memilih PSFs paling signifikan agar pengumpulan data lebih efisien.

H2: Studi Kasus: Penerapan pada Workshop Pembubutan

Penelitian ini diuji pada workshop pembubutan dengan 15 data historis kelelahan kerja. Setiap data berisi nilai dari 8 PSFs, di antaranya:

  • Waktu kerja tersedia
  • Stres kerja
  • Kompleksitas tugas
  • Pelatihan
  • Prosedur kerja
  • Ergonomi
  • Kebugaran kerja
  • Proses kerja

Nilai kelelahan aktual diukur tiap 1 jam kerja, dan digunakan sebagai dasar validasi model.

H2: Menentukan PSFs Paling Efektif dengan PCA

PCA dilakukan untuk menyaring variabel dominan dari delapan PSFs yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan:

  • Tiga PSFs utama yang menjelaskan 65,5% variasi data:
    1. Waktu kerja
    2. Stres kerja
    3. Kompleksitas tugas

Karena kompleksitas dan stres berkorelasi positif, hanya dua PSFs—waktu kerja dan stres—yang akhirnya dipilih untuk membangun model AHFT. Ini sangat membantu dalam mengurangi biaya dan waktu pengumpulan data, tanpa kehilangan akurasi.

H2: Model Fatigue Berbasis ALT dan PSFs

Model kelelahan manusia dikembangkan menggunakan pendekatan General Log-Linear (GLL) dari ALT, dengan dua faktor percepatan (AF): waktu kerja dan stres.

Rumus Umum GLL: L(x)=eα0+α1X1+α2X2L(x) = e^{\alpha_0 + \alpha_1X_1 + \alpha_2X_2}

Di mana:

  • X1X_1 = Waktu kerja
  • X2X_2 = Stres
  • α0,α1,α2\alpha_0, \alpha_1, \alpha_2 = Parameter yang dihitung dari data historis

H2: Hasil Estimasi dan Validasi Model

Contoh hasil estimasi model:

  • Waktu kerja: 0.1
  • Stres: 5
  • Estimasi kelelahan: 0.1146
  • Error relatif: hanya sekitar 10%

Model kemudian divalidasi dengan 5 data aktual dari workshop. Rata-rata error relatif berkisar 8–13%, yang menunjukkan akurasi tinggi dan kelayakan implementasi praktis.

Tabel ringkasan validasi menunjukkan perbandingan antara nilai fatigue aktual dan fatigue model pada lima instance yang diuji, beserta error relatif masing-masing. Pada instance pertama, nilai fatigue aktual sebesar 0.195 dan nilai model 0.216 dengan error relatif sebesar 10.6%. Instance kedua menunjukkan nilai fatigue aktual 0.062 dan nilai model 0.069, menghasilkan error relatif sebesar 11.5%. Pada instance ketiga, nilai fatigue aktual adalah 0.073 dan nilai model 0.080, dengan error relatif sebesar 9.8%. Instance keempat memiliki nilai fatigue aktual 0.162 dan nilai model 0.175, dengan error relatif sebesar 8.3%. Terakhir, instance kelima mencatatkan nilai fatigue aktual 0.114 dan nilai model 0.130, dengan error relatif sebesar 13.8%. Angka error relatif ini memberikan gambaran seberapa besar perbedaan antara model dan nilai aktual pada setiap instance yang diuji.

H2: Perbandingan dengan Metode Klasik

Pendekatan ALT + PCA (Accelerated Human Fatigue Test) terbukti lebih efisien dibandingkan metode klasik dalam mengukur kelelahan kerja manusia. Dengan hanya menggunakan dua faktor utama (PSF) yang telah disaring melalui PCA—yakni waktu kerja dan tingkat stres—model ini mampu mempertahankan akurasi tinggi dengan tingkat kesalahan hanya sekitar 10%. Sebaliknya, metode konvensional biasanya membutuhkan lebih dari delapan PSF, yang tidak hanya memperbesar volume data, tetapi juga meningkatkan risiko bias dan interpretasi subjektif. Dari segi biaya implementasi, AHFT jauh lebih ekonomis karena tidak memerlukan pengamatan langsung atau alat ukur fisik yang kompleks. Selain itu, waktu pengukuran pada AHFT relatif singkat karena berbasis pada model prediktif, sedangkan metode klasik memakan waktu lebih lama karena mengandalkan pengamatan manual dan interpretasi kualitatif. Perbandingan ini menegaskan bahwa AHFT merupakan solusi yang lebih praktis dan terukur untuk diterapkan di lingkungan kerja modern.

H2: Implikasi Praktis dalam Industri Manufaktur

1. Deteksi dini kelelahan:
Model bisa digunakan untuk memantau kelelahan harian operator tanpa perlu alat pengukuran fisik mahal.

2. Perencanaan jadwal kerja:
Perusahaan dapat mengatur shift kerja atau waktu istirahat berdasarkan proyeksi kelelahan dari model ini.

3. Optimalisasi pelatihan dan ergonomi:
Jika kelelahan tinggi berasal dari PSF yang bisa diubah, seperti ergonomi, pelatihan dapat disesuaikan.

H2: Kritik dan Potensi Pengembangan

Kritik:

  • Model hanya diuji di satu jenis workshop.
  • PSFs lain (seperti komunikasi atau kondisi psikologis) belum dimasukkan.
  • Belum mencakup pengaruh recovery time atau istirahat antar shift.

Saran Pengembangan:

  • Integrasi dengan sensor wearable (heart rate, movement).
  • Perluasan ke sektor industri lain: otomotif, rumah sakit, logistik.
  • Kolaborasi dengan software manajemen SDM (Human Capital Analytics).

Kesimpulan:

Model AHFT yang menggabungkan ALT dan PCA berhasil menciptakan pendekatan kuantitatif, cepat, dan hemat biaya untuk menghitung kelelahan kerja manusia. Dibanding metode konvensional, model ini:

  • Lebih cepat diterapkan
  • Lebih sedikit memerlukan data
  • Memiliki akurasi memadai

Pendekatan ini sangat cocok diterapkan di sektor manufaktur padat karya yang butuh efisiensi tenaga kerja namun tetap menjaga kualitas dan keselamatan.

Sumber : Jamshidi, R., & Sadeghi, M. E. (2021). Application of Accelerated Life Testing in Human Reliability Analysis. International Journal of Research in Industrial Engineering, 10(4), 346–357.

 

Selengkapnya
Cara Cepat Menghitung Kelelahan Kerja Manusia: Menggabungkan ALT dan Analisis Faktor Kinerja

Physics of Failure Modeling

Menghubungkan Informasi Lapangan dan Physics-of-Failure untuk Desain Produk Mekatronik yang Lebih Andal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Mengatasi Kegagalan Produk di Era Kompleksitas

Seiring meningkatnya kompleksitas produk mekatronik dan tuntutan pelanggan atas kualitas tinggi, tantangan terbesar bagi industri adalah memastikan keandalan produk dalam kondisi nyata penggunaan. Produk kini harus cepat diluncurkan, bersifat inovatif, dan tetap dapat diandalkan—sementara prediksi kegagalan konvensional sering kali meleset. Dalam konteks ini, pendekatan baru dengan menggabungkan informasi umpan balik dari lapangan (field feedback) dan Physics-of-Failure (PoF) menjadi solusi menjanjikan.

Penelitian Clément A. A. Magniez (2007) dari TU Eindhoven menawarkan kerangka kerja yang mengintegrasikan dua pendekatan penting:

  • Top-down: Analisis informasi kerusakan dari lapangan.
  • Bottom-up: Model analitik PoF berdasarkan mekanisme fisik kegagalan.

H2: Mengapa Field Feedback Saja Tidak Cukup

Tradisionalnya, informasi dari lapangan berfokus pada logistik perbaikan produk. Namun, interaksi pengguna–produk kini menjadi variabel dominan kegagalan. Untuk meningkatkan desain, informasi harus:

  • Tepat waktu
  • Terstruktur formatnya
  • Mengandung konten teknis, bukan hanya statistik
  • Tersebar ke tim desain yang relevan

Dalam studi kasus industri printer-copier, ditemukan bahwa banyak kegagalan kelas satu (infant mortality) dan kelas dua (early wear-out) tidak disadari produsen, meskipun berdampak besar pada kepuasan pelanggan dan biaya garansi.

H2: Studi Kasus: Produk Konsumen Industri Berbiaya Sedang

Penelitian ini dilakukan di perusahaan inovatif yang memproduksi printer-copier. Berikut temuan pentingnya:

  • Kegagalan kelas satu (akibat cacat manufaktur) biasanya sudah ditangani dengan QC.
  • Kegagalan kelas dua (keausan awal karena desain atau penggunaan ekstrem) tidak terdeteksi oleh sistem umpan balik lapangan.

Analisis terhadap data lapangan mengidentifikasi bahwa desain tidak mengalami perbaikan karena tidak tersedia informasi cukup untuk analisis akar penyebab (root cause).

H2: Model Rollercoaster & Taksonomi Kegagalan Produk

Dalam studi ini, produk diklasifikasikan menggunakan pendekatan model rollercoaster yang membagi jenis kegagalan ke dalam empat kelas utama. Kelas 1 (Infant Mortality) menggambarkan kegagalan awal yang umumnya disebabkan oleh cacat manufaktur. Kelas 2 (Early Wear-Out) terjadi akibat variasi dalam desain atau pola penggunaan yang tidak sesuai ekspektasi. Kelas 3 (Random Failures) mencakup kegagalan acak yang dipicu oleh kondisi lingkungan atau faktor tak terduga, sementara Kelas 4 (Wear-Out) mengindikasikan kegagalan yang terjadi ketika suatu komponen telah mencapai akhir masa pakainya secara alami. Temuan penting dari studi ini menunjukkan bahwa banyak produk justru mengalami dominasi kegagalan kelas 2, namun sayangnya sering kali tidak teridentifikasi oleh produsen. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam sistem pelaporan lapangan serta kurangnya investigasi teknis lanjutan, sehingga peluang untuk melakukan perbaikan desain dini sering terlewatkan.

H2: Menggabungkan Field Feedback dengan Physics-of-Failure

Physics-of-Failure (PoF) mempelajari mekanisme fisik penyebab kerusakan, seperti keausan, gaya gesek, tekanan, suhu, dan deformasi material. Namun, penerapan PoF langsung pada sistem lengkap sangat kompleks karena terlalu banyak kemungkinan kegagalan.

Solusinya:
Magniez mengusulkan metode gabungan:

  • Gunakan field feedback (top-down) untuk mengidentifikasi area bermasalah.
  • Gunakan PoF (bottom-up) untuk membangun model fisik mekanisme kegagalan yang paling mungkin.

H2: Proses Iteratif Root Cause Analysis dan Eksperimen

Langkah-langkah yang diusulkan:

  1. Identifikasi kegagalan dominan dari data lapangan.
  2. Hipotesis mekanisme kegagalan menggunakan PoF.
  3. Eksperimen terkendali untuk membuktikan atau menolak hipotesis.
  4. Bandingkan hasil eksperimen dengan data nyata di lapangan.
  5. Lakukan perbaikan desain berdasarkan hasil validasi.

Contoh eksperimen:
Sub-sistem pembersih pada proses xerografi dianalisis:

  • Investigasi gesekan antara bilah dan drum.
  • Model distribusi tekanan dan gesekan dengan simulasi komputer.
  • Eksperimen pengukuran suhu dengan kamera inframerah menunjukkan korelasi kuat antara area tekanan tinggi dan titik kegagalan aktual.

H2: Parameter Kritis dalam Analisis Eksperimen

Dalam proses eksperimen untuk menganalisis penyebab kegagalan suatu produk, parameter yang terlibat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama berdasarkan sumber dan pengaruhnya terhadap performa komponen. Pertama, parameter desain mencakup elemen seperti geometri bilah, posisi kontak, dan ketebalan material, yang langsung memengaruhi distribusi tekanan dan gaya gesek pada permukaan kerja. Kedua, parameter manufaktur meliputi kekasaran permukaan dan proses pelapisan, yang dapat berdampak pada kestabilan kontak antar komponen serta laju keausan. Ketiga, parameter lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan kecepatan rotasi berperan penting dalam menentukan kondisi kerja aktual yang dialami produk di lapangan. Terakhir, parameter mesin, yang terdiri dari distribusi beban dan dinamika getaran, berpengaruh pada kestabilan operasional sistem secara keseluruhan. Semua kategori parameter ini harus dianalisis secara menyeluruh agar eksperimen dapat memberikan gambaran akurat mengenai penyebab kegagalan serta membantu dalam merancang solusi yang lebih andal.

H2: Desain Solusi: Menambahkan Margin Keamanan

Berdasarkan eksperimen, perbaikan dilakukan:

  • Modifikasi geometri blade untuk menurunkan tekanan kontak.
  • Penambahan pelumasan toner awal untuk mengurangi gesekan awal.
  • Reduksi gaya gaya awal dengan desain fleksibel.

Hasilnya: Prediksi risiko kerusakan menurun, dan uji simulasi menunjukkan ketahanan desain yang lebih baik terhadap kondisi ekstrem.

H2: Implikasi untuk Industri Mekatronik

Metode ini terbukti:

  • Dapat diterapkan untuk produk low–medium capital seperti printer, kopi mesin, dan perangkat rumah tangga lainnya.
  • Relevan juga untuk industri otomotif dan peralatan medis, selama tersedia informasi lapangan memadai dan akses ke eksperimen terkontrol.

Kelebihan utama pendekatan ini:

  • Memungkinkan deteksi dini sebelum produk benar-benar gagal di lapangan.
  • Menghubungkan dunia nyata (pengguna) dengan level desain dan simulasi.

H2: Kritik dan Potensi Pengembangan

Kritik:

  • Memerlukan kolaborasi erat antara tim desain, servis, dan analisis.
  • Waktu dan biaya eksperimen cukup tinggi.
  • Belum cocok untuk semua produk (misal: sistem tertutup tanpa akses data lapangan).

Rekomendasi ke depan:

  • Otomatisasi analisis field feedback dengan AI atau machine learning.
  • Integrasi PoF langsung dalam PLM software.
  • Standarisasi data lapangan untuk mempercepat proses analisis.

Kesimpulan

Pendekatan integratif antara Physics-of-Failure dan informasi lapangan menawarkan cara baru untuk meningkatkan keandalan produk mekatronik. Dengan membangun loop pembelajaran desain yang lengkap, produsen bisa memprediksi kegagalan, memahami mekanismenya, dan menghindari terulangnya masalah yang sama.

Ringkasan Manfaat Utama:

  • Validasi desain lebih akurat berdasarkan data nyata.
  • Root cause analysis lebih terarah.
  • Efisiensi biaya garansi dan pengembalian produk meningkat.
  • Kepuasan pelanggan meningkat karena pengurangan kegagalan berulang.

Sumber : Magniez, C. A. A. (2007). Combining Information Flow and Physics-of-Failure in Mechatronic Products. Technische Universiteit Eindhoven.

 

Selengkapnya
Menghubungkan Informasi Lapangan dan Physics-of-Failure untuk Desain Produk Mekatronik yang Lebih Andal

Physics of Failure Modeling

Meningkatkan Prediksi Umur IC dengan Simulasi Physics-of-Failure: Solusi Masa Depan untuk Keandalan Elektronik Tingkat Tinggi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Tantangan Prediksi Umur IC di Era Nano

Dalam era teknologi nano, sirkuit terintegrasi (IC) tidak hanya semakin kecil dan cepat, tapi juga rentan terhadap kegagalan lebih awal. Ukuran transistor yang menyusut—didorong oleh tren Moore’s Law—memang membawa efisiensi daya dan performa, tapi secara bersamaan membuka kerentanan terhadap mekanisme kegagalan fisik yang kompleks dan sulit dideteksi oleh metode uji tradisional.

Kertas ini membahas pendekatan kuantitatif berbasis Physics-of-Failure (PoF) untuk memprediksi umur IC, yang dikembangkan oleh DfR Solutions dan divalidasi oleh berbagai data lapangan dari Motorola, Intel, Samsung, dan lainnya. Pendekatan ini melibatkan simulasi tingkat transistor hingga grup fungsional dalam IC, dan menghasilkan model prediksi kegagalan multi-mekanisme yang lebih akurat dibanding metode konvensional seperti HTOL (High Temperature Operating Life).

H2: Mengapa PoF Menjadi Kebutuhan Mendesak di Industri Elektronik ADHP?

ADHP (Aerospace, Defense, High Performance) membutuhkan perangkat elektronik yang dapat bertahan 10–30 tahun, sangat kontras dengan elektronik konsumer yang hanya dirancang untuk 3–5 tahun. Ketika ukuran fitur IC menurun ke 90nm dan di bawahnya, muncul tantangan seperti:

  • Kerapatan arus meningkat
  • Toleransi tegangan menurun
  • Medan listrik meningkat
  • Efek termal lebih agresif

Pendekatan PoF menilai keandalan dengan memahami mekanisme degradasi fisik, bukan hanya statistik kegagalan.

H2: Empat Mekanisme Kegagalan Utama pada IC Modern

DfR Solutions mengidentifikasi empat mekanisme utama yang memengaruhi umur IC:

1. Electromigration (EM):

  • Migrasi atom logam di interkoneksi IC.
  • Terjadi karena arus tinggi pada jalur sempit.
  • Dihitung dengan Black’s Equation.

2. Time-Dependent Dielectric Breakdown (TDDB):

  • Kerusakan pada lapisan oksida gerbang akibat arus bocor.
  • Terjadi secara akumulatif atau langsung pada lapisan ultra-tipis (<5nm).

3. Hot Carrier Injection (HCI):

  • Elektron/holes berenergi tinggi menembus oksida gerbang.
  • Memicu perubahan tegangan ambang & kebocoran subthreshold.

4. Negative Bias Temperature Instability (NBTI):

  • Terjadi pada transistor pMOS saat bias negatif & suhu tinggi.
  • Meningkatkan density trap, mempercepat kerusakan.

Catatan: HCI dan NBTI bersifat wearout, sedangkan EM dan TDDB lebih condong ke kegagalan acak.

H2: Studi Kasus dan Data Nyata: Membandingkan Prediksi dengan Realita

Studi ini menguji efektivitas pendekatan Physics-of-Failure (PoF) dalam memprediksi umur pakai lima komponen Integrated Circuit (IC) dari produsen besar seperti Micron, Samsung, Hynix, Motorola, dan Intel. Data kegagalan yang digunakan berasal dari pengembalian lapangan (field returns) antara tahun 2002 hingga 2009.

Komponen yang dianalisis mencakup berbagai generasi teknologi, dimulai dari 150 nm hingga 90 nm. Sebagai contoh, Micron 256MB DRAM dengan node 150 nm mencatat kegagalan lapangan sebesar 689 FIT, sementara model PoF memprediksi 730 FIT. Samsung 512MB DRAM (100 nm) menunjukkan 415 FIT di lapangan dan 418 FIT dari simulasi. Hynix 1GB DRAM (110 nm) menunjukkan hasil tertinggi dengan 821 FIT di lapangan, dan prediksi PoF sebesar 1012 FIT. Untuk Motorola microcontroller pada 90 nm, tercatat 220 FIT di lapangan dan 249 FIT diprediksi oleh PoF. Terakhir, Intel Pentium processor juga pada 90 nm menunjukkan hasil terendah dengan 144 FIT aktual, sedangkan model PoF memprediksi 291 FIT.

Temuan dari studi ini sangat penting. Rata-rata deviasi antara hasil prediksi dan data lapangan hanya sekitar ±10%, yang menunjukkan tingkat akurasi sangat tinggi. Validasi dilakukan menggunakan dua pendekatan distribusi statistik: eksponensial dan Weibull, dengan hasil nilai β mendekati 1.03, menunjukkan pola kegagalan acak yang konsisten. Selain itu, nilai FIT (Failure in Time) dihitung berdasarkan jumlah jam operasi per bulan dan total unit yang terpasang di lapangan, menjadikannya ukuran kuantitatif yang kredibel untuk evaluasi keandalan produk elektronik.

Hasil ini menegaskan bahwa pendekatan PoF dapat diandalkan untuk digunakan dalam perencanaan umur sistem elektronik, terutama untuk produk-produk dengan tuntutan keandalan tinggi di sektor pertahanan, industri otomotif, dan perangkat medis.

H2: Kelemahan Uji HTOL dan Keunggulan Simulasi PoF

Uji HTOL (High Temperature Operating Life)—meski populer—memiliki kelemahan besar:

  • Bersifat single-failure mechanism → Tidak mencerminkan kompleksitas nyata.
  • Berdasarkan nol kegagalan → Tidak cukup kuat secara statistik.
  • Overoptimistik → Menyatakan 51 FIT padahal lapangan menunjukkan hingga 1012 FIT.

Simulasi PoF:

  • Menggabungkan keempat mekanisme.
  • Menyesuaikan dengan kondisi aktual lapangan.
  • Menghasilkan prediksi dengan akurasi tinggi & confidence interval valid.

H2: Teori Matematika Simulasi PoF: Dari Transistor ke Perangkat

Model menghitung laju kegagalan total (λT) dari semua grup fungsional dalam IC, berdasarkan:

  • Jumlah transistor per grup.
  • Bobot tiap mekanisme kegagalan.
  • Peluang grup aktif saat kegagalan terjadi.

Rumus utama:

λT = ∑(Ki,F × Pi × λi × Ni)

Dimana:

  • Ki,F = Bobot kegagalan mekanisme i pada grup F.
  • Pi = Probabilitas grup aktif saat gagal.
  • λi = Laju kegagalan mekanisme i.
  • Ni = Jumlah unit pada grup F.

Contoh Aplikasi: Untuk microcontroller Motorola:

  • 96 unit gagal dalam 595.412 bulan kerja → λ ≈ 1.61×10^-4
  • MTTF = 6.202 bulan = 4.527.612 jam → ≈ 220 FIT

H2: Perkembangan Simulasi PoF: FaRBS & MaCRO

Dua pendekatan utama:

  • FaRBS (Failure Rate-Based SPICE):
    Menggunakan data uji akselerasi + model PoF untuk menghitung laju kegagalan IC.
  • MaCRO (Maryland Circuit Reliability-Oriented):
    Analisis SPICE multilevel untuk mengevaluasi performa, degradasi, dan umur.

Keduanya digunakan dalam perangkat lunak simulasi berbasis web yang dapat memodelkan IC 350nm hingga 90nm. Versi mendatang sedang dikembangkan untuk 65nm, 45nm, dan 32nm.

H2: Trend dan Implikasi Desain: Performansi vs Keandalan

Grafik menunjukkan bahwa ketika node teknologi mengecil, tingkat kegagalan meningkat:

  • HCI & NBTI naik tajam pada 90nm ke bawah.
  • EM dan TDDB cenderung tetap, karena mitigasi material dan geometri layout.

Implikasi Desain:

  • Tidak realistis mengubah struktur transistor untuk setiap aplikasi → solusi terletak pada optimasi kondisi operasi.
  • Desain awal harus memasukkan pertimbangan PoF, bukan sekadar spesifikasi performa.

H2: Rekomendasi Praktis untuk Industri dan Insinyur

1. Gunakan pendekatan multi-mekanisme: Terutama jika produk ditujukan untuk ADHP atau lingkungan ekstrem.

2. Jangan hanya mengandalkan HTOL: Karena hasilnya bisa menyesatkan dan terlalu optimistik.

3. Manfaatkan simulasi berbasis PoF seperti FaRBS dan MaCRO: Untuk proyeksi umur produk yang realistis dan validasi model.

4. Fokus pada suhu operasi dan tegangan: Faktor lingkungan dan thermal management jadi kunci umur IC.

Kesimpulan

Pendekatan kuantitatif berbasis Physics-of-Failure (PoF) telah terbukti:

  • Mampu memprediksi kegagalan IC dengan akurasi tinggi.
  • Memvalidasi hasil prediksi dengan data lapangan nyata.
  • Mengalahkan metode tradisional seperti HTOL dalam hal keandalan dan presisi.

Simulasi PoF memberi gambaran lebih realistis dan praktis untuk perancangan sistem elektronik jangka panjang. Di masa depan, perangkat lunak simulasi ini akan menjadi alat standar dalam perancangan elektronik berkeandalan tinggi.

Sumber : Wyrwas, Edward; Condra, Lloyd; Hava, Avshalom. Accurate Quantitative Physics-of-Failure Approach to Integrated Circuit Reliability.

 

Selengkapnya
Meningkatkan Prediksi Umur IC dengan Simulasi Physics-of-Failure: Solusi Masa Depan untuk Keandalan Elektronik Tingkat Tinggi
« First Previous page 4 of 8 Next Last »