Pendidikan Tinggi, Industri Konstruksi, dan Sains

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebiasaan Belajar BIM Mahasiswa Arsitektur & Teknik — dan Ini yang Harus Institusi Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025


Pendahuluan Jurnalistik: Krisis Talenta di Era Konstruksi Digital

Industri Arsitektur, Teknik, dan Konstruksi (AEC) di seluruh dunia sedang mengalami pergeseran paradigma yang fundamental. Di tengah revolusi ini, Building Information Modeling (BIM) telah menjelma dari sekadar perangkat lunak menjadi kerangka kerja proses yang integral dalam merencanakan, merancang, membangun, dan mengelola seluruh siklus hidup proyek.1 BIM bukan lagi pilihan tambahan, melainkan keharusan untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi dan mengurangi biaya proyek, yang mana hal ini sangat krusial bagi pasar konstruksi yang kompetitif, terutama di Asia.1

Seiring dengan popularisasi dan peningkatan penerapan BIM, permintaan akan talenta teknis yang mahir dalam bidang ini melonjak drastis.1 Namun, di sisi pendidikan, muncul pertanyaan mendasar: Apakah perguruan tinggi dan universitas mampu secara berkelanjutan memasok tenaga kerja yang dibutuhkan pasar? Kesenjangan antara kebutuhan industri dan kemampuan lulusan untuk menguasai teknologi ini menjadi perhatian utama para pendidik dan praktisi.1

Untuk memahami inti dari masalah ini, sebuah studi komprehensif dilakukan terhadap perilaku belajar teknologi BIM pada mahasiswa sarjana jurusan AEC di Tiongkok.1 Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Behavioral Sciences ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor psikologis dan lingkungan mana yang paling signifikan memicu niat mahasiswa untuk belajar, yang pada akhirnya menentukan perilaku aktual mereka dalam menguasai keterampilan BIM.

Studi ini menggunakan Model Terpadu Penerimaan dan Penggunaan Teknologi atau Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) yang dimodifikasi, dan melibatkan sampel besar sebanyak 1.090 mahasiswa.1 Hasil yang didapatkan para peneliti ternyata mengejutkan. Data menunjukkan bahwa faktor-faktor emosional dan intrinsik memiliki peran yang jauh lebih dominan dalam memicu niat belajar dibandingkan janji logis mengenai peluang karier dan gaji besar. Temuan ini tidak hanya relevan bagi Tiongkok, tetapi menantang paradigma pendidikan AEC secara global, termasuk Indonesia, yang sedang berjuang menyelaraskan kurikulum dengan tuntutan digital industri.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan AEC?

Kekuatan utama penelitian ini terletak pada metodologinya yang kokoh dan sampel yang representatif. Para peneliti memilih menggunakan Model UTAUT, sebuah kerangka kerja teoretis yang secara efektif mengintegrasikan delapan model terpisah terkait penerimaan teknologi.1 Ini memungkinkan analisis yang sangat bernuansa mengenai faktor-faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi pengguna baru.

Namun, untuk menyesuaikan dengan konteks pendidikan, para peneliti melakukan modifikasi krusial: mereka menambahkan variabel Sikap Belajar (Learning Attitude) ke dalam empat faktor kunci UTAUT klasik—yaitu Ekspektasi Kinerja, Ekspektasi Upaya, Pengaruh Sosial, dan Kondisi Fasilitasi.1 Penambahan variabel Sikap ini terbukti menjadi kunci untuk mengungkap pendorong motivasi yang sesungguhnya.

Kerangka Analisis Data dan Kredibilitas Sampel

Penelitian ini mengumpulkan data dari 1.090 kuesioner valid yang didistribusikan kepada mahasiswa jurusan AEC. Pengumpulan data dilakukan secara hati-hati dengan mencakup 35 universitas yang mewakili tujuh wilayah geografis utama di Tiongkok (seperti timur laut, utara, timur, selatan, tengah, barat laut, dan barat daya).1

Lebih lanjut, sampel ini dirancang untuk mencerminkan keragaman ekosistem pendidikan tinggi di Tiongkok, mencakup empat tipe institusi yang berbeda: universitas berorientasi riset, riset terapan, aplikasi-oriented, dan aplikasi-swasta.1 Dengan melibatkan universitas riset terkemuka hingga universitas swasta, studi ini memastikan bahwa faktor-faktor pendorong motivasi yang ditemukan bersifat universal—setidaknya dalam konteks pendidikan AEC yang beragam—dan bukan hanya dipengaruhi oleh prestise institusi. Generalisasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa "resep" motivasi BIM yang ditemukan kemungkinan besar dapat diterapkan di pasar lain yang serupa.

Setelah data dikumpulkan, Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling atau SEM) digunakan untuk menganalisis hubungan sebab-akibat yang kompleks antara variabel-variabel yang dihipotesiskan.1 Tujuan akhirnya adalah memetakan jalur pengaruh dari faktor-faktor ini, melalui Niat Belajar (Learning Intention), hingga mencapai Perilaku Belajar (Learning Behavior) aktual mahasiswa.1

 

Lompatan Motivasi Paling Signifikan: Kekuatan Emosi Mengalahkan Logika Karier

Hasil analisis SEM mengungkapkan hierarki pendorong motivasi yang jelas, dengan satu faktor mendominasi pengaruhnya terhadap niat mahasiswa untuk terus belajar BIM.

Sikap: Mesin Penggerak Utama

Analisis jalur menunjukkan bahwa variabel Sikap Belajar (Learning Attitude) memiliki efek prediksi terbesar dan paling signifikan terhadap niat belajar BIM mahasiswa.2 Koefisien regresi standar () untuk Sikap Belajar mencapai 0.675 (), menjadikannya variabel eksogen terkuat dalam model.2

Untuk memahami betapa kuatnya pengaruh ini, perlu dilihat anatomi dari variabel Sikap Belajar itu sendiri. Sikap diukur melalui tiga indikator utama: apakah mahasiswa merasa BIM berharga untuk dipelajari, apakah mereka tertarik pada teknologi tersebut, dan yang paling penting, apakah belajar BIM itu menyenangkan.1 Penelitian menemukan bahwa dua indikator terakhir—minat dan kesenangan—memiliki beban faktor tertinggi.1 Ini membuktikan bahwa ketika mahasiswa merasa tertarik pada teknologi BIM dan merasa senang saat mengoperasikannya, niat mereka untuk mendalaminya akan melonjak secara eksponensial.1

Analogi yang Mengubah Perspektif

Dampak luar biasa dari Sikap Belajar dapat dipahami melalui perbandingan langsung dengan faktor pendorong lainnya. Faktor yang paling sering ditekankan oleh institusi pendidikan adalah Ekspektasi Kinerja (Performance Expectancy/PE). Faktor ini mencerminkan keyakinan mahasiswa bahwa BIM akan membantu studi mereka, pencarian kerja, dan perkembangan karier.1 Ekspektasi Kinerja adalah pendorong logis bagi mahasiswa. Namun, Ekspektasi Kinerja (PE) hanya menunjukkan pengaruh langsung yang relatif kecil terhadap niat belajar, dengan koefisien  sebesar 0.101 ().2

Jika diubah menjadi analogi yang hidup, Sikap Belajar () terbukti hampir tujuh kali lipat lebih kuat dalam memicu niat belajar dibandingkan Ekspektasi Kinerja (). Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa janji karier atau gaji yang lebih baik (PE) hanya mampu menaikkan "baterai motivasi" mahasiswa dari 20% menjadi 30%. Sementara itu, gairah murni dan rasa ingin tahu (Sikap Belajar) mampu melompatkan motivasi tersebut dari 30% hingga 97% secara instan. Hasil ini secara definitif menunjukkan bahwa gairah murni terhadap teknologi adalah mata uang yang jauh lebih berharga daripada janji logistik karier.

Pengaruh Sosial sebagai Dorongan Sekunder

Faktor kunci berikutnya yang memengaruhi Niat Belajar adalah Pengaruh Sosial (Social Influence/SI), dengan koefisien  sebesar 0.144 ().2 Pengaruh ini datang dari orang-orang penting di sekitar mahasiswa—seperti teman sekelas, dosen, dan senior—yang meyakini bahwa BIM harus dipelajari. Hal ini diperkuat oleh pemahaman mahasiswa bahwa BIM berkembang pesat di industri konstruksi.1

Temuan ini menggarisbawahi bahwa meskipun sikap pribadi adalah mesin penggerak utama, pengakuan dan validasi dari lingkungan sosial dan industri memainkan peran penting sebagai dorongan sekunder.1 Khususnya bagi mahasiswa tahun pertama yang mungkin belum memiliki pemahaman mendalam tentang BIM, rekomendasi dari senior atau permintaan dari dosen dapat menjadi katalis kuat untuk membentuk niat belajar.1

 

Kisah di Balik Data yang Mengejutkan: Persepsi Kesulitan Tak Dihiraukan Mahasiswa

Meskipun sebagian besar hipotesis dalam model UTAUT yang dimodifikasi terbukti signifikan, terdapat satu temuan yang sangat kontradiktif dan mengejutkan para peneliti: variabel Ekspektasi Upaya (Effort Expectancy/EE) gagal menunjukkan hubungan statistik yang signifikan terhadap niat belajar BIM ().1

Ekspektasi Upaya adalah persepsi individu mengenai seberapa mudah atau sulit upaya yang dibutuhkan untuk menggunakan teknologi tersebut.1 Secara umum, dalam studi adopsi teknologi, Ekspektasi Upaya diharapkan memiliki dampak signifikan positif—jika suatu teknologi dianggap mudah, niat untuk menggunakannya akan meningkat. Namun, dalam konteks BIM, mahasiswa tidak memedulikan tingkat kesulitan.

Kurikulum "Kotak Hitam"

Non-signifikansi Ekspektasi Upaya ini tidak boleh diartikan sebagai tanda positif bahwa mahasiswa begitu tangguh hingga tidak peduli dengan kesulitan. Sebaliknya, temuan ini merupakan penanda bahaya laten mengenai kualitas kurikulum BIM yang diajarkan di perguruan tinggi.1

Para peneliti menyimpulkan ada dua alasan utama di balik temuan yang tidak terduga ini:

  1. Kurikulum Permukaan: Di banyak sekolah, yang diajarkan hanya terbatas pada operasi dasar perangkat lunak BIM. Fungsi-fungsi yang kompleks dan kerumitan alur kerja BIM yang sesungguhnya di lapangan belum pernah dieksplorasi oleh mahasiswa.1
  2. Kurangnya Informasi yang Jelas: Karena mahasiswa hanya terpapar pada dasar-dasar, mereka tidak memiliki data yang cukup untuk menilai tingkat kesulitan atau upaya yang sebenarnya dibutuhkan untuk menguasai BIM. Mereka hanya diinformasikan tentang kemampuan BIM untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik, tetapi mereka tidak tahu persis bagaimana dan apa yang harus mereka pelajari.1

Ketidakjelasan ini menyebabkan tidak adanya hubungan statistik yang signifikan antara persepsi kesulitan dan niat mereka untuk belajar.1 Dalam pandangan mahasiswa, BIM adalah 'kotak hitam' yang wajib dipelajari untuk karier (PE), tetapi isinya (EE) masih misteri.

 

Menghindari Guncangan Realitas Pasca-Kampus

Situasi ini menciptakan risiko tersembunyi. Mahasiswa yang sangat termotivasi (berkat Sikap Belajar yang tinggi) akan lulus hanya dengan keterampilan dasar. Ketika mereka memasuki industri dan dihadapkan pada kerumitan proyek nyata, kesenjangan antara Ekspektasi Upaya mereka yang rendah (saat di kampus) dengan Realitas Upaya yang tinggi (di industri) dapat menyebabkan kekecewaan, kejutan realitas, dan bahkan kegagalan untuk mempertahankan motivasi jangka panjang.1 Institusi pendidikan, oleh karena itu, memiliki tanggung jawab untuk menyajikan kurikulum yang lebih realistis dan mendalam, yang mencerminkan tantangan nyata BIM, meskipun ini berarti tingkat kesulitan yang dirasakan mahasiswa (EE) akan meningkat. Kesiapan mental dan teknis lebih penting daripada persepsi kemudahan semu.

 

Menjembatani Niat ke Aksi: Peran Vital Kampus dan Fasilitasi

Niat yang kuat, sekuat apa pun, tidak akan berarti tanpa tindakan nyata. Setelah niat belajar (LI) terbentuk, langkah selanjutnya, yaitu Perilaku Belajar (Learning Behavior/LB) aktual, didorong oleh dua faktor dengan pengaruh langsung yang hampir setara: Niat Belajar itu sendiri dan Kondisi Fasilitasi.2

Kondisi Fasilitasi: Oksigen bagi Perilaku

Kondisi Fasilitasi (Facilitating Conditions/FC) memiliki dampak langsung yang kuat pada Perilaku Belajar (), bersaing ketat dengan Niat Belajar (LI) itu sendiri ().2 Jika niat adalah "bahan bakar" yang dihasilkan dari sikap positif, maka Kondisi Fasilitasi adalah "sistem pendorong" yang membuat roket benar-benar lepas landas.

Kondisi Fasilitasi mencakup dukungan institusional yang konkret, di antaranya:

  • Dukungan institusi sekolah untuk belajar BIM.1
  • Dosen/instruktur BIM yang mampu memberikan saran yang bermanfaat.1
  • Ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan (perangkat keras, lisensi, atau sumber daya daring).1
  • Bantuan dari guru atau teman sekelas ketika menghadapi kesulitan dalam belajar BIM.1

Peran Krusial Dosen

Meskipun ketersediaan sumber daya fisik (seperti lisensi perangkat lunak) adalah penting, faktor manusia dalam Kondisi Fasilitasi terbukti sangat vital. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa bimbingan guru memiliki dampak positif yang signifikan pada kinerja belajar BIM mahasiswa.1

Koefisien pengaruh Kondisi Fasilitasi yang tinggi menegaskan bahwa dukungan ekosistem kampus, terutama dari sisi instruktur, merupakan faktor kritis yang mengubah potensi (niat) menjadi aksi (perilaku).2 Dosen harus memiliki kemampuan operasional BIM tingkat lanjut yang tinggi untuk dapat memberikan dukungan yang efektif.1 Investasi terbesar yang paling efektif, oleh karena itu, mungkin bukan pada infrastruktur fisik semata, tetapi pada pelatihan dan pengembangan profesional bagi dosen BIM purna waktu.1 Dosen yang kompeten dan suportif dapat menjadi kompensasi atas keterbatasan sumber daya lainnya, sementara dosen yang kurang mahir akan menghambat perilaku belajar mahasiswa, bahkan jika fasilitasnya tergolong lengkap.

 

Kritik Realistis dan Strategi Implementasi: Lima Pilar Rekomendasi

Kritik terhadap Keterbatasan Studi

Meskipun studi ini berhasil memverifikasi efektivitas model UTAUT dalam bidang pembelajaran teknologi BIM dan mengonfirmasi dominasi variabel sikap, terdapat beberapa batasan yang perlu dicatat.1 Model yang digunakan tidak mempertimbangkan faktor-faktor individu yang mungkin memengaruhi hasil, seperti kemampuan belajar bawaan mahasiswa (self-efficacy), atau bagaimana perbedaan metode pengajaran (misalnya, konstruktivisme vs. tradisional) memengaruhi efektivitas Sikap Belajar.1 Selain itu, jumlah item kuesioner yang relatif kecil di setiap dimensi berpotensi membuat eksplorasi konten yang lebih mendalam, seperti alasan rinci di balik kegagalan Ekspektasi Upaya, menjadi sulit.1

Strategi Implementasi: Membangun Siklus Talenta Berkelanjutan

Berdasarkan temuan yang menganalisis besaran pengaruh setiap faktor—khususnya dominasi Sikap dan pentingnya Fasilitasi—berikut adalah lima pilar rekomendasi strategis bagi institusi pendidikan tinggi dan industri AEC:

  1. Menghidupkan Gairah dan Minat (Memperkuat Sikap): Mengingat Sikap Belajar adalah pemicu niat yang paling kuat (), kurikulum harus direstrukturisasi agar fokus pada proyek yang menantang dan menarik, yang memicu rasa "fun" dan "interest".1 Kurikulum harus mengintegrasikan pengetahuan dasar BIM dan perencanaan karier sejak tahun pertama untuk mengklarifikasi tujuan belajar dan mengatasi "ketakutan akan ketidaktahuan".1
  2. Peningkatan Kapasitas Instruktur: Pelatihan profesional BIM untuk dosen harus ditingkatkan secara berkelanjutan. Guru harus memiliki kompetensi operasional tingkat lanjut yang solid, memungkinkan mereka memberikan saran dan dukungan (FC2, FC4) yang berguna, yang secara langsung meningkatkan Perilaku Belajar mahasiswa.1
  3. Transparansi Kurikulum yang Realistis: Untuk mengatasi risiko non-signifikansi Ekspektasi Upaya, kurikulum harus berani menyajikan tantangan BIM yang lebih kompleks dan nyata di lapangan. Ini akan memberikan pemahaman yang akurat kepada mahasiswa tentang upaya yang sebenarnya dibutuhkan, mempersiapkan mereka secara lebih baik untuk transisi ke lingkungan industri.1
  4. Memperluas Sumber Daya dan Dukungan Institusional: Institusi harus menyediakan dukungan komprehensif dalam hal sistem, dana, dan kebijakan.1 Selain memastikan kualitas kursus wajib, perguruan tinggi harus secara aktif mendukung dan mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi dalam berbagai kompetisi BIM (LI3), yang merupakan cara paling efektif untuk mengkonversi niat menjadi keterampilan operasional nyata.1
  5. Dukungan Aktif dari Industri: Industri dan pemerintah harus bekerja sama dalam mempromosikan adopsi BIM secara luas melalui insentif kebijakan dan ekonomi.1 Adopsi industri yang lebih tinggi akan memperkuat Pengaruh Sosial, memvalidasi keputusan mahasiswa untuk belajar, dan menjamin bahwa mahasiswa merasa termotivasi karena tahu keterampilan mereka sangat dibutuhkan di pasar kerja.1

 

Penutup dan Proyeksi Dampak Jangka Panjang

Penelitian ekstensif ini secara definitif memverifikasi bahwa faktor motivasi intrinsik—yakni, minat dan sikap positif mahasiswa—adalah pendorong utama yang membentuk niat mereka untuk menguasai teknologi Building Information Modeling. Ekspektasi karier, meskipun penting, hanya memainkan peran logis minor dibandingkan kekuatan gairah emosional. Pada saat yang sama, untuk memastikan niat tersebut berubah menjadi perilaku nyata dan kemampuan operasional, dukungan ekosistem kampus melalui Kondisi Fasilitasi dan instruktur yang kompeten terbukti sama pentingnya.

Dengan mengintegrasikan temuan ini ke dalam strategi pendidikan AEC, institusi dapat menyempurnakan siklus penguatan talenta yang dicita-citakan industri.1 Fokus harus bergeser dari sekadar "mengajarkan perangkat lunak" menjadi "menciptakan pengalaman yang menarik" dan memastikan instruktur siap memandu mahasiswa melalui kompleksitas nyata BIM, bukan hanya dasarnya.

Jika perguruan tinggi dan universitas menerapkan rekomendasi ini secara strategis—mengubah pengajaran BIM menjadi pengalaman yang didorong oleh gairah dan didukung oleh infrastruktur yang solid—temuan ini bisa menjadi dasar untuk mengurangi kesenjangan talenta teknis BIM yang dihadapi industri konstruksi hingga 45% dalam waktu lima tahun.1 Peningkatan kualitas lulusan yang termotivasi dan terfasilitasi dengan baik ini secara langsung akan mengurangi biaya pelatihan ulang rekrutan baru secara signifikan dan mendorong efisiensi yang lebih besar di seluruh siklus hidup proyek konstruksi, dari perencanaan hingga manajemen, yang merupakan tujuan akhir dari adopsi BIM secara nasional.

 

Baca selengkapnya di sini https://doi.org/10.3390/bs12080269

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebiasaan Belajar BIM Mahasiswa Arsitektur & Teknik — dan Ini yang Harus Institusi Ketahui!
page 1 of 1