Pendidikan, Linguistik, Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Melampaui Kelas: Mengapa Kompetensi Bahasa Menjadi Kunci di Era 5.0
Urgensi penguasaan bahasa di era globalisasi dan digital tidak pernah setinggi ini. Kompetensi bahasa telah lama dipandang sebagai pilar utama yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan intelektual seseorang, serta menjadi landasan bagi keberhasilan dalam semua bidang pembelajaran.1 Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia, sebuah negara multikultural dengan populasi digital yang masif, melampaui sebatas pelajaran tata bahasa di kelas.
Sebuah kompilasi riset monumental berjudul Aspek Peningkat Kompetensi dan Problematika Bahasa yang melibatkan 32 penulis dari berbagai institusi akademik 1, memetakan krisis kompetensi multi-dimensi yang tengah terjadi. Buku ini menegaskan bahwa problematika bahasa di Indonesia tidak seragam. Ada masalah mendasar (foundational) seperti kesulitan membaca di Sekolah Dasar dan pengenalan huruf hijaiyah yang hidup berdampingan dengan tantangan tingkat lanjut, seperti penguasaan kosakata untuk seleksi profesional (pra-Serdos) dan kemampuan percakapan dalam konteks bisnis internasional.1
Resensi mendalam ini akan menyoroti hasil intervensi inovatif yang melintasi batas-batas lima bahasa utama—Indonesia, Inggris, Arab, Mandarin, dan Jepang—dan menunjukkan bagaimana bahasa bertransformasi menjadi alat penguasaan (retorika) dan bahkan penyembuhan (terapi naratif) di tengah percepatan teknologi. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa jika seorang anak belum bisa membedakan huruf [i], [l], dan [j] (suatu problematika fundamental yang diidentifikasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas rendah), solusi yang dibutuhkan adalah metode visual dan kinestetik yang sederhana. Sementara itu, bagi Generasi Z yang sudah chronically online, masalahnya bergeser ke etika digital dan literasi kritis.1 Analisis ini menyajikan peta jalan komprehensif mengenai bagaimana Indonesia dapat menjembatani kesenjangan kompetensi bahasa ini.
Inovasi yang Mengguncang Ruang Kelas: Dari Ecoprint hingga Kecerdasan Buatan
Pendekatan inovatif dalam pendampingan keterampilan berbahasa menjadi fokus utama penelitian ini, menunjukkan bahwa kegiatan yang secara tradisional non-linguistik—seperti seni, kriya, atau teknologi—justru berhasil menembus hambatan pembelajaran bahasa yang kaku.1 Para peneliti terkejut bahwa kegiatan berbasis seni dan media digital mampu menghasilkan terobosan yang signifikan di luar metode ceramah konvensional.
Membangun Kosa Kata dengan Digital dan Kriya Budaya
Dalam ranah pembelajaran Bahasa Inggris, salah satu tantangan terbesar bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) adalah mencapai empat elemen penting penguasaan bahasa: Fluency, Accuracy, Intonation, dan Stressing. Pendampingan peningkatan vocabulary bagi mahasiswa PBI di Aceh menggunakan media populer "Tiffani Video" sebagai metode visual.1 Media ini dipilih karena menyajikan kosakata dengan pengucapan yang sangat jelas dan mudah diikuti, mendorong mahasiswa untuk meniru dan mempraktikkan kosakata baru.1
Data dari proses pendampingan ini menunjukkan adanya lonjakan retensi kata yang luar biasa. Peningkatan dramatis ini setara dengan meng-upgrade daya tahan baterai smartphone Anda yang semula hanya bertahan 20% menjadi 70% hanya dalam satu kali isi ulang sesi belajar—menggarisbawahi efektivitas metode visual dan interaktif yang ringan tetapi terukur.
Inovasi serupa terlihat dalam integrasi seni dan etos konservasi. Eva Nikmatul Rabbianty memaparkan pengintegrasian nilai-nilai lingkungan melalui pelatihan Ecoprint (seni cetak daun dengan metode ecopounding) untuk anak usia dini (PAUD/TK).1 Proses yang sederhana dan kinestetik ini memungkinkan guru memperkenalkan kosakata Bahasa Inggris secara kontekstual, seperti nama alat (hammer, canvas cloth) dan bahan (various leaves) dalam Bahasa Inggris.1 Melalui metode ini, bahasa asing diajarkan bersamaan dengan etos konservasi, yang sejalan dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Lebih lanjut, dalam konteks Bahasa Mandarin, integrasi seni potong kertas Tiongkok (Jianzhi) oleh Dr. C. Dewi Hartati dan Rizky Wardhani 1 mengubah aksara Han yang sulit menjadi simbol visual yang menarik. Seni kriya Tiongkok yang sarat simbolisme dan harapan baik (misalnya aksara Chun 春 yang melambangkan kebahagiaan Tahun Baru Imlek) memfasilitasi pemahaman budaya dan memperkuat pengenalan aksara Han, menjadikan proses pembelajaran lebih menyenangkan dan efektif.1
Keajaiban Digital dalam Efisiensi Pembelajaran
Keterbatasan waktu, terutama bagi mahasiswa yang juga merupakan karyawan, adalah kendala klasik. Pemanfaatan aplikasi kolaboratif Padlet di kelas karyawan Bahasa Jepang (Juariah) berhasil mengatasi kendala keterbatasan waktu tatap muka untuk mata kuliah percakapan (kaiwa).1 Padlet memungkinkan pengajar membuat papan interaktif di mana mahasiswa dapat memposting dialog atau rekaman audio, menerima umpan balik, dan berkolaborasi secara real-time di luar jam kuliah. Fleksibilitas ini sangat krusial bagi SDM yang sibuk, mengubah keterbatasan waktu menjadi efisiensi maksimal dengan memanfaatkan teknologi.
Sementara itu, dalam penguatan Bahasa Inggris tingkat SMA/SMK, penerapan teknik debat (Sherly Citra Putri) menuntut siswa di SMKN 1 Sooko Mojokerto untuk secara simultan mengintegrasikan empat keterampilan bahasa.1 Siswa dipaksa membaca riset dan berita untuk menemukan bukti, menyimak argumentasi lawan, menulis argumen logis (mengikuti struktur AREL), dan berbicara persuasif.1 Keharusan untuk selalu mempertanyakan alasan (why) dan mekanisme (how) suatu penalaran logis menjadikan teknik debat ini sebagai katalisator langsung untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa, sebuah keterampilan yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.
Menghidupkan Budaya Lokal dalam Globalisasi Bahasa
Sebuah pola menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa pembelajaran bahasa global (Inggris, Mandarin) menjadi paling efektif ketika diikat kuat pada konteks dan kebutuhan lokal. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa asing harus diposisikan sebagai aset ekonomi lokal, bukan sekadar mata pelajaran akademik.
Contoh paling jelas adalah inisiatif pembelajaran Bahasa Mandarin Dasar untuk Remaja Karang Taruna di Desa Wisata Cisaat, Subang (Rendy Aditya dan Gustini Wijayanti).1 Mengingat potensi eco-tourism (perkebunan teh, nanas) dan rencana untuk menarik wisatawan Tiongkok, modul yang disusun peneliti difokuskan pada percakapan kontekstual yang relevan dengan pariwisata lokal.1 Dengan cara ini, penguasaan Bahasa Mandarin dasar diterjemahkan langsung menjadi potensi peningkatan ekonomi dan daya saing desa di pasar internasional.
Di lingkungan masyarakat Lio, Kabupaten Ende, pendekatan yang sama diterapkan melalui pengenalan dan pelatihan teknik mendongeng bagi orang tua (Maria Magdalena Rini).1 Dongeng tradisional digunakan sebagai medium terindah untuk menumbuhkan minat baca, daya imajinasi, dan menanamkan nilai-nilai karakter (religius, toleransi, tanggung jawab) yang berlandaskan budaya bangsa.1
Lanskap Multi-Bahasa: Siapa yang Terdampak dan Mengapa Ini Penting Hari Ini?
Penelitian ini membedah lanskap problematika bahasa berdasarkan kelompok yang terdampak, menunjukkan betapa krusialnya masalah ini hari ini, melampaui batas-batas institusi pendidikan.
1. Krisis Identitas dan Kesejahteraan Sosial
Kelompok paling terdampak oleh perubahan ini adalah Generasi Z, yang dijuluki "Generasi Strawberry" karena kerentanan mereka terhadap tekanan.1 Penelitian Cynantia Rachmijati menyoroti urgensi edukasi Netiquette dan panduan berbahasa di dunia maya. Karena Gen Z adalah populasi terbesar di Indonesia (mencakup 27,94% total penduduk) dan paling sering chronically online, kegagalan dalam etika berbahasa di internet—seperti menggunakan kapital berlebihan (flaming) atau menyebar data pribadi—berpotensi menciptakan kerusakan sosial yang luas, termasuk cyberbullying dan masalah kesehatan mental.1 Kegagalan pedagogik untuk mengajarkan etika komunikasi digital akan berimplikasi pada stabilitas sosial yang lebih besar.
Pada spektrum lain, Astri Widyaruli Anggraeni membahas peran bahasa sebagai alat penyembuhan melalui Terapi Naratif bagi klien NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) di Banyuwangi.1 Bahasa di sini berfungsi sebagai alat dekonstruksi cerita masalah. Terapis harus menghindari wacana medis yang kaku dan patologis (misalnya, istilah klinis 'penyalahgunaan zat') dan menggantinya dengan metafora yang memberdayakan diri klien, seperti 'terowongan gelap' untuk masa lalu atau 'keajaiban kecil' untuk hasil positif yang diperoleh.1 Keakuratan dan kepekaan bahasa terapis secara kausal berhubungan dengan kemampuan klien NAPZA untuk mengentalkan narasi diri baru dan menemukan 'hasil unik' (kemampuan perlawanan terhadap adiksi yang sebelumnya tersembunyi).
2. Kesenjangan Literasi Fundamental dan Pedagogik
Di tingkat dasar, problematika fundamental masih mengkhawatirkan. Ratmiati mengidentifikasi tantangan di SD kelas rendah, di mana siswa mengalami kesulitan membedakan huruf sejenis (seperti b, p, dan d) dan kurangnya konsentrasi yang hanya bertahan sekitar 15 menit. Masalah ini diperparah oleh dominasi penggunaan bahasa daerah oleh guru saat menjelaskan materi.1 Kondisi ini secara langsung menghambat keterampilan membaca dan menulis dasar siswa, yang merupakan fondasi literasi.
Menanggapi masalah pedagogik yang kaku, pelatihan untuk guru Bahasa Arab (Tuti Qurrotul Aini) menekankan peralihan dari metode konvensional Qawaid wa Tarjamah yang pasif menuju metode Syamil fil Maharat, yaitu pengajaran terpadu empat keterampilan berbahasa (Istima, Kalam, Qiraah, Kitabah) secara simultan.1 Bagi guru yang berhasil mengadopsi integrasi empat keterampilan ini, terjadi efisiensi waktu penyusunan RPP hingga 40%, yang setara dengan menghemat satu hari penuh waktu persiapan mengajar setiap minggunya, sehingga mereka dapat fokus pada inovasi pembelajaran.
3. Peningkatan Profesionalisme dan Kapasitas Ekonomi
Pentingnya penguasaan bahasa meluas hingga ke tingkat profesional tertinggi. Tan Michael Chandra menyoroti betapa krusialnya pelatihan Tes Kemampuan Bahasa Inggris (TKBI), yang setara dengan skor TOEFL 455, sebagai prasyarat wajib bagi dosen non-Bahasa Inggris yang ingin mendapatkan Sertifikasi Dosen (Serdos).1 Penguasaan TKBI ini bukan hanya sekadar tiket Serdos dan peningkatan kesejahteraan, tetapi merupakan kunci untuk membuka peluang kolaborasi penelitian internasional dan studi lanjut, yang akan secara langsung meningkatkan reputasi institusi dan kapasitas akademik nasional.
Dalam dunia ekonomi, Indah Puspitasari menunjukkan bagaimana pelatihan penulisan copywriting persuasif menjadi jembatan penting antara produk UMKM lokal di Desa Wisata Nusantara dengan pasar digital. Penulisan copywriting yang efektif—memahami target pasar, unique selling point, dan kebutuhan konsumen—sangat penting untuk meningkatkan penjualan.1 Setelah pelatihan ini, pemahaman pemilik UMKM tentang elemen penting copywriting dan pemanfaatan AI untuk promosi melompat drastis dengan peningkatan rata-rata pengetahuan kognitif sebesar 64,4% — ini seperti mengubah toko yang semula hanya dilihat oleh 100 orang menjadi 164 orang di media sosial dalam semalam. Peningkatan kapasitas linguistik terapan ini langsung berdampak pada daya saing ekonomi mikro.
4. Ancaman Kecerdasan Buatan terhadap Asesmen
Problematika paling mutakhir yang diulas adalah ancaman kecerdasan buatan (AI), khususnya ChatGPT, terhadap validitas asesmen keterampilan menulis akademik.1 Ketika siswa menggunakan AI, mereka menghasilkan karya yang nyaris sempurna—tanpa kesalahan tata bahasa, kosakata yang canggih, dan struktur yang rapi—yang tidak merepresentasikan kemampuan riil mereka.1 Akibatnya, guru tidak dapat mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa (seperti kemampuan menghasilkan ide atau menyusun paragraf) untuk memberikan umpan balik yang valid.
Kondisi ini menuntut perubahan filosofi pengajaran yang mendasar. Asesmen harus bergeser dari menguji produk (esai akhir) menjadi menguji proses (pembuatan ide, draf, dan revisi) di bawah pengawasan ketat, tanpa gawai. Ini adalah tantangan pedagogik terbesar bagi para pendidik di Era 5.0, memastikan bahwa kompetensi yang diakui benar-benar dicapai oleh siswa, bukan oleh algoritma.
Realitas Lapangan dan Aspirasi Jangka Panjang: Kritik Realistis dan Proyeksi Dampak
Penelitian yang terhimpun dalam buku ini merupakan peta jalan inovatif, namun penting untuk menyertakan kritik realistis mengenai tantangan implementasi yang dihadapi di lapangan.
Opini Ringan dan Kritik Realistis: Tantangan Implementasi Inovasi
Sebagian besar intervensi yang dicatat, seperti implementasi Padlet, program Ecoprint, atau penggunaan Tiffani Video, bersifat studi kasus atau Pengabdian kepada Masyarakat (PkM). Kegiatan ini dilaksanakan di lokasi yang sangat spesifik (misalnya, satu sekolah di Pamekasan, satu desa di Subang).1
Namun, keterbatasan studi pada skala lokal atau hanya di satu institusi pendidikan saja berpotensi mengecilkan dampak secara umum. Temuan luar biasa ini, seperti lonjakan kosa kata 43% yang diperoleh mahasiswa PBI di Aceh, harus dibuktikan lagi melalui replikasi pada populasi yang lebih luas untuk memastikan validitasnya secara nasional.
Tantangan lainnya adalah adopsi teknologi. Meskipun inovasi Padlet dan media digital sangat menjanjikan, beberapa studi menghadapi kendala mendasar terkait ketersediaan perangkat. Ditemukan bahwa tidak semua guru PAUD memiliki smartphone atau laptop yang memadai untuk demo teknologi.1 Selain itu, pelatihan intensif yang membutuhkan komitmen jangka panjang, seperti pelatihan penulisan proposal PKM, sering kali menghadapi masalah motivasi mahasiswa yang menurun drastis menjelang akhir sesi, menunjukkan bahwa semangat inovasi awal tidak selalu berkelanjutan dalam kerangka waktu akademik yang padat.1
Proyeksi Dampak Nyata: Peningkatan Kapasitas Nasional
Meskipun terdapat keterbatasan dalam skala implementasi, studi-studi ini adalah bukti nyata dari pendekatan Asset-Based Community-Driven Development (ABCD). Inovasi datang dari aset yang ada dalam komunitas (seni kriya, guru yang aktif di YouTube, media sosial), bukan hanya dari melihat defisit. Jika temuan-temuan ini diskalakan dengan dukungan kebijakan yang tepat, dampaknya terhadap kapasitas nasional akan transformatif:
Penutup: Landasan Wawasan Publik
Kompilasi penelitian Aspek Peningkat Kompetensi dan Problematika Bahasa adalah sebuah peta jalan komprehensif yang memuat tantangan dan solusi terhadap krisis kompetensi bahasa di Indonesia. Dari penguatan keterampilan Oracy (keterampilan berbicara dan mendengar) mahasiswa (Eliza Trimadona) hingga upaya menjembatani kesenjangan gender yang termanifestasi dalam karya sastra (Ari Minarni), semua studi menegaskan bahwa bahasa adalah alat transformasi sosial, psikologis, dan ekonomi. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, kritis, dan beretika di tengah tantangan digital adalah prasyarat mutlak untuk kemajuan bangsa.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya pelatihan sumber daya manusia, meningkatkan daya saing UMKM, dan membangun fondasi literasi yang lebih kuat di tingkat dasar, semuanya dalam waktu lima hingga sepuluh tahun.
Sumber Artikel:
Febrianingrum, L. (2024). Aspek Peningkat Kompetensi dan Problematika Bahasa. Akademia Pustaka.