Pembangunan Pedesaan

Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Transformasi Akses Air Minum di Era SDG

Bangladesh sering dipuji sebagai kisah sukses dalam memperluas akses air minum ke masyarakat pedesaan. Namun, di balik statistik capaian Millennium Development Goals (MDGs), terdapat dinamika baru yang kini menjadi tantangan utama di era Sustainable Development Goals (SDGs): pergeseran tanggung jawab penyediaan air minum dari negara ke individu dan rumah tangga. Paper “Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh” karya Alex Fischer dkk. (2020) membedah secara kritis fenomena pertumbuhan pesat self-supply—yakni sumur bor dan pompa air yang didanai dan dikelola sendiri oleh rumah tangga—beserta implikasi sosial, ekonomi, dan kelembagaannya.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Matlab dan Khulna, serta mengaitkan dengan tren global, tantangan regulasi, dan pelajaran bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

Latar Belakang: Dari Infrastruktur Publik ke Self-Supply

Evolusi Kebijakan dan Infrastruktur

Pada dekade 1970–1980-an, pemerintah Bangladesh bersama donor internasional membangun ratusan ribu sumur bor dangkal (shallow tubewell) sebagai respons terhadap epidemi kolera dan kontaminasi air permukaan. Namun, sejak 1990-an, terjadi desentralisasi dan liberalisasi pasar, sehingga pemasangan sumur bor mulai didominasi sektor swasta informal dan rumah tangga.

Data menunjukkan, antara 2012–2017, untuk setiap satu titik air publik yang dibangun pemerintah, terdapat 45 sumur bor baru yang dipasang secara privat. Akibatnya, jumlah infrastruktur air nasional lebih dari dua kali lipat sejak 2006. Rasio rumah tangga per sumur bor menurun drastis dari 57 pada 1982 menjadi kurang dari 2 pada 2017—menandakan hampir setiap rumah kini memiliki sumur sendiri. Penurunan harga riil sumur bor privat hingga 70% sejak 1982 turut mendorong tren ini.

Studi Kasus: Matlab dan Khulna—Dinamika Self-Supply di Lapangan

Matlab: Lonjakan Sumur Bor Privat

  • Populasi studi: 25.617 jiwa di 6.036 rumah tangga, tersebar di 10 desa.
  • Jumlah titik air (2017): 3.830, dengan 3.734 digunakan untuk kebutuhan domestik.
  • Dominasi privat: 95% sumur dangkal dan 72% sumur dalam dibiayai dan dikelola swasta.
  • Motivasi investasi: 94% rumah tangga memilih sumur privat demi kenyamanan akses pribadi, bukan karena kekhawatiran kualitas air.

Pertumbuhan sumur bor tetap eksponensial bahkan setelah krisis arsenik di awal 2000-an dan program pengujian massal. Pada 2017, dua pertiga sumur dangkal hanya dipakai satu rumah tangga, dan 90% sumur baru dipakai maksimal tiga rumah tangga—menandakan pergeseran dari model kolektif ke individual.

Khulna: Tantangan Salinitas dan Diversifikasi Sumber

  • Populasi studi: 34.639 jiwa, 2.805 sumur bor, 19 pond sand filter.
  • Pertumbuhan pesat: Jumlah sumur bor di Khulna meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir.
  • Diversifikasi: Selain sumur bor, masyarakat juga mengandalkan air hujan, filter pasir, dan vendor air karena masalah salinitas tinggi.
  • Kualitas air: Sepertiga sumur yang digunakan untuk minum melebihi ambang batas salinitas nasional (1.500 µS/cm).

Angka-Angka Penting: Skala, Investasi, dan Pola Konsumsi

  • Estimasi nasional (2017): 11,5–18,4 juta sumur bor di seluruh Bangladesh, dengan 8–15% saja yang dibiayai publik.
  • Investasi rumah tangga (2018): USD 177,6–253 juta untuk pemasangan dan pemeliharaan sumur bor baru.
  • Kontribusi ke sektor WASH: Investasi privat pada sumur bor mencapai 65% dari total belanja rumah tangga di sektor air dan sanitasi nasional.
  • Biaya pemasangan: Harga riil sumur bor privat turun dari USD 444 (1980) ke USD 125 (2017); biaya publik turun dari USD 444 ke USD 275.
  • Biaya operasional: Rata-rata USD 4,5–7,5 per tahun per sumur, tergantung usia infrastruktur.

Risiko dan Tantangan: Dari Kesehatan hingga Tata Kelola

1. Kesehatan dan Kualitas Air

  • Arsenik: Setelah program pengujian massal selesai pada 2006, sembilan juta sumur baru dipasang tanpa pengujian kualitas air.
  • Salinitas: Di wilayah pesisir, banyak sumur privat tidak layak konsumsi karena kandungan garam tinggi.
  • Minim pengujian: Hanya 1–3% biaya pemasangan sumur yang diperlukan untuk tes kualitas air, namun hampir tidak ada rumah tangga yang melakukannya.

2. Tata Kelola dan Regulasi

  • Sumur privat di luar regulasi: Tidak ada kewajiban izin, pengujian, atau pelaporan bagi sumur privat.
  • Pemerintah kehilangan kontrol: Tanggung jawab pengelolaan risiko air kini berpindah ke individu, bukan lagi kolektif atau negara.
  • Data nasional bias: Sistem monitoring pemerintah hanya menghitung infrastruktur publik, sehingga paparan risiko air tidak aman di level populasi terabaikan.

3. Ekonomi dan Ketimpangan

  • Akses makin merata: Standar deviasi rasio rumah tangga per sumur antar desa menurun dari 1,63 (2005) ke 0,38 (2017), menandakan distribusi akses makin setara.
  • Tapi... Desa termiskin justru mengalami lonjakan pemasangan sumur, yang bisa menambah beban ekonomi dan risiko kesehatan jika kualitas air buruk.

Analisis dan Tinjauan Kritis

Keberhasilan dan Dilema Self-Supply

  • Keberhasilan: Self-supply mempercepat capaian akses air, mengurangi ketergantungan pada negara dan donor, serta meningkatkan kenyamanan rumah tangga.
  • Dilema: Keberhasilan ini dibayar mahal dengan meningkatnya risiko kesehatan (arsenik, salinitas), hilangnya mekanisme kolektif pengelolaan risiko, dan lemahnya sistem monitoring.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • AS dan Eropa Timur: Sistem sumur privat juga lazim, tapi regulasi dan pengujian kualitas air lebih ketat, meski masih ada celah.
  • Afrika dan Asia: Self-supply makin diakui sebagai solusi alternatif, tapi tantangan kualitas air dan ketahanan infrastruktur serupa Bangladesh.

Peluang dan Rekomendasi

  • Blended finance: Pemerintah dapat memanfaatkan investasi privat melalui skema pembiayaan campuran, insentif pengujian air, dan sertifikasi sumur aman.
  • Regulasi progresif: Sertifikasi tukang bor, pelaporan sumur baru, dan integrasi data privat ke sistem nasional bisa jadi langkah awal.
  • Edukasi dan inovasi: Dorong rumah tangga untuk menguji air secara rutin lewat subsidi alat tes murah atau layanan keliling.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

  • Pemerintah: Harus berperan sebagai regulator risiko, bukan sekadar penyedia infrastruktur. Reformasi kebijakan air minum perlu mengatur peran, insentif, dan tanggung jawab semua aktor.
  • Industri: Pasar sumur bor dan alat tes air bisa berkembang pesat jika didukung regulasi dan edukasi.
  • Masyarakat: Perlu edukasi tentang pentingnya kualitas air, bukan hanya akses fisik.

Keterkaitan dengan Tren Global dan SDGs

Fenomena self-supply di Bangladesh menjadi cermin tantangan global dalam mencapai SDG 6.1 (air minum aman dan terjangkau untuk semua). Banyak negara kini menghadapi dilema serupa: bagaimana mengelola pertumbuhan infrastruktur privat tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan air? Bangladesh memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan akses harus diimbangi dengan tata kelola risiko dan regulasi yang adaptif.

Penutup: Menuju Tata Kelola Air Minum yang Berbasis Risiko

Studi Fischer dkk. menegaskan bahwa capaian akses air minum di Bangladesh tidak lepas dari investasi privat rumah tangga, namun keberlanjutan dan keamanan layanan sangat bergantung pada reformasi kelembagaan dan regulasi. Menuju SDG, pendekatan berbasis risiko—bukan sekadar infrastruktur—harus menjadi arus utama. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap sumur yang dibangun benar-benar memberikan air yang aman, bukan sekadar menambah angka statistik.

Sumber asli:
Alex Fischer, Rob Hope, Achut Manandhar, Sonia Hoque, Tim Foster, Adnan Hakim, Md. Sirajul Islam, David Bradley. (2020). Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh. Global Environmental Change, 65, 102152.

Selengkapnya
Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Pembangunan Pedesaan

Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?

Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan

Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.

Sistem Kompleks dan Ketidakpastian

Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:

  • Jangka waktu panjang antara perencanaan dan realisasi membuat kebijakan mudah usang sebelum infrastruktur selesai dibangun.
  • Perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan selama proses berlangsung bisa mengubah kebutuhan dan prioritas masyarakat.
  • Keterbatasan data dan partisipasi menyebabkan kebijakan seringkali hanya didasarkan pada persepsi atau narasi dominan, bukan pada pemetaan kebutuhan nyata semua pemangku kepentingan1.

Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah

Latar Belakang Wilayah

Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.

Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog

Penelitian dilakukan melalui:

  • Wawancara dan diskusi kelompok dengan 17 pejabat muda (junior) dan 25 pejabat senior dari enam kota.
  • Analisis dokumen strategi, visualisasi, dan photovoice (peserta mengambil foto isu aksesibilitas di wilayahnya).
  • Workshop dan seminar yang mempertemukan pejabat lintas kota untuk mendiskusikan visi masa depan, tantangan, dan solusi.

Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan

Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:

  1. Warga Lokal: Fokus pada kebutuhan mobilitas penduduk tetap, terutama untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari.
  2. Kerja dan Rekreasi: Menyoroti pentingnya akses transportasi untuk komuter dan aktivitas waktu luang.
  3. Lingkungan Urban: Mengidealkan kota kecil dengan akses 15 menit ke segala layanan, namun mengabaikan realitas pedesaan yang lebih luas.
  4. Layanan Transportasi Publik: Menekankan pentingnya transportasi umum, namun seringkali hanya relevan untuk area dengan kepadatan penduduk cukup tinggi.

Narasi ini cenderung mengabaikan:

  • Kebutuhan kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, anak muda, migran baru).
  • Aksesibilitas untuk pelaku usaha, wisatawan, dan layanan penting seperti kesehatan, logistik, dan komunikasi digital.
  • Peran infrastruktur kritis non-transportasi (air bersih, listrik, internet) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan12.

Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang

1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif

Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.

2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran

Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.

3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan

Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:

  • Kurangnya jalur pejalan kaki dan sepeda yang aman.
  • Minimnya koneksi bus dan informasi perjalanan.
  • Stasiun kereta dan terminal bus yang terasa tidak aman dan kurang ramah pengguna.
  • Keterbatasan sinyal telepon dan internet di beberapa area1.

4. Ketimpangan dan Spiral Negatif

Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.

Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain

Tantangan Serupa di Negara Lain

  • Nordic Roadmap for Rural Development menyoroti pentingnya pendekatan berbasis tempat (“place-based”), inovasi tata kelola, dan keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan serupa di seluruh Skandinavia3.
  • OECD menekankan bahwa aksesibilitas bukan sekadar soal mobilitas, tetapi juga tentang kemudahan mengakses layanan, peluang kerja, pendidikan, dan rekreasi. Mobilitas tinggi tidak selalu berarti akses tinggi, dan sebaliknya4.
  • Studi tentang perumahan pedesaan di Swedia juga menegaskan pentingnya integrasi antara akses transportasi, ketersediaan layanan, dan kebijakan perumahan untuk mendukung keberlanjutan sosial dan ekonomi5.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:

  • Ketimpangan akses antara kota besar dan desa terpencil.
  • Kebutuhan akan narasi pembangunan yang lebih inklusif, tidak hanya berpusat pada kelompok mayoritas.
  • Pentingnya kolaborasi lintas wilayah dan pelibatan masyarakat dalam perumusan visi masa depan.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Pendekatan Paper

  • Menggunakan kombinasi pendekatan naratif dan sistem untuk membedah kebijakan infrastruktur.
  • Melibatkan visualisasi dan partisipasi aktif pejabat muda dan senior, memperkaya pemahaman lintas generasi dan lintas bidang.
  • Menyoroti pentingnya “deep shadows”—isu-isu yang sering luput dari narasi dominan namun krusial bagi keberlanjutan jangka panjang1.

Keterbatasan dan Tantangan

  • Narasi yang dihasilkan masih cenderung “tanpa wajah”—kurang menampilkan karakter nyata (hero, villain, victim) yang bisa memicu aksi kolektif.
  • Kurangnya data dan perspektif dari pelaku usaha, kelompok rentan, dan otoritas nasional membatasi cakupan analisis.
  • Visi masa depan cenderung homogen dan kurang berani mengambil posisi unik atau diferensiasi strategis.

Rekomendasi Praktis

  • Perluas dialog lintas kelompok: Libatkan pelaku usaha, komunitas, dan kelompok rentan dalam perumusan visi pembangunan.
  • Kembangkan narasi yang lebih kaya dan kritis: Jangan hanya mengandalkan cerita “warga lokal dan komuter”, tapi juga kebutuhan layanan dasar, logistik, dan peluang ekonomi baru.
  • Integrasikan data dan visualisasi: Gunakan data spasial, survei kebutuhan, dan visualisasi untuk mengidentifikasi “blind spot” dan prioritas nyata.
  • Dorong inovasi tata kelola: Bangun mekanisme kolaborasi yang jelas, adil, dan transparan antar wilayah, serta pastikan distribusi manfaat dan beban yang proporsional.
  • Fokus pada keberlanjutan jangka panjang: Jangan terjebak pada solusi jangka pendek atau tren sesaat; rancang kebijakan yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner

Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.

Selengkapnya
Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Pembangunan Pedesaan

Menggali Potensi Revolusioner: Metode Pengadaan Design and Build dalam Pembangunan Sanitasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025


Sektor pembangunan infrastruktur, khususnya sanitasi, di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan tuntutan akan akses sanitasi yang lebih baik, metode pengadaan proyek tradisional seringkali terbukti tidak efisien. Di sinilah peran penting metode Design and Build (DB) muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Studi mendalam oleh Muhammad Iqbal Perkasa, "The Potential of Design and Build Procurement Method Implementation in the Directorate of Environmental Sanitation Development Indonesia," memberikan pencerahan signifikan mengenai potensi DB untuk mengatasi hambatan pembangunan sanitasi di Indonesia, sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilannya. Resensi ini akan mengupas tuntas temuan Perkasa, menganalisis implikasinya, dan memberikan nilai tambah berupa perspektif kritis serta kaitannya dengan tren industri terkini.

1. Dinamika Pembangunan Sanitasi Indonesia: Antara Target Ambisius dan Realita Konvensional

Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi masalah sanitasi perkotaan yang rumit, melibatkan aspek sosial, manajerial, dan teknis. Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum (MOPW) adalah institusi yang bertanggung jawab penuh dalam penanganan isu ini. Untuk mengejar target Millennium Development Goals (MDGs) 2015 dan mencapai 100% akses sanitasi pada tahun 2019, pemerintah Indonesia melalui MOPW telah meningkatkan anggaran di sektor sanitasi secara signifikan. Anggaran meningkat hampir dua kali lipat, dari 14,38 triliun rupiah pada periode 2009-2014 menjadi 35,6 triliun rupiah pada periode 2015-2019. Namun, meskipun terjadi peningkatan anggaran, masalah-masalah mendasar masih terus ada.

Secara konvensional, proyek-proyek infrastruktur sanitasi di Indonesia umumnya menggunakan metode pengadaan tradisional. Pendekatan ini efektif dalam mencapai harga yang lebih rendah dan kualitas produk yang baik, yang sangat penting bagi pemerintah. Dalam metode ini, pihak-pihak terpisah ditunjuk oleh pemerintah untuk desain rekayasa detail (DED), pengawasan, dan konstruksi. Namun, kelemahan utama dari metode tradisional terletak pada faktor waktu. Sifat sekuensial dari proses pengadaan ini seringkali menyebabkan durasi proyek yang sangat panjang. Sebagai contoh, penyusunan DED saja bisa memakan waktu sekitar tujuh hingga delapan bulan. Artinya, jika sebuah proyek direncanakan pada tahun 2015, konstruksi baru akan dimulai pada tahun 2016. Keterbatasan waktu ini menjadi penghalang serius dalam mencapai target nasional 100% akses sanitasi pada tahun 2019, sehingga pemerintah perlu mencari pendekatan pengadaan alternatif untuk mempercepat proses.

2. Design and Build sebagai Katalis Percepatan Proyek

Metode Design and Build (DB) menawarkan solusi yang menarik untuk masalah keterlambatan waktu yang melekat pada metode tradisional. DB didefinisikan sebagai sistem di mana satu organisasi kontraktor memikul tanggung jawab penuh untuk desain dan konstruksi proyek klien hingga penyelesaian praktis/substansial, biasanya berdasarkan harga tetap lump sum. Konsep ini memiliki tiga karakteristik fundamental: satu organisasi bertanggung jawab untuk desain dan konstruksi; penggantian biaya umumnya didasarkan pada harga lump sum tetap; dan proyek dirancang serta dibangun secara khusus untuk memenuhi kebutuhan klien berdasarkan persyaratan awal yang dikembangkan oleh proposal kontraktor.

Keunggulan utama DB terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan proses desain dan konstruksi, memungkinkan "jalur cepat" atau fast track di mana DED dan implementasi infrastruktur dapat berjalan secara bersamaan. Secara teoretis, metode DB memiliki keunggulan dibandingkan metode pengadaan tradisional dalam hal durasi penyelesaian proyek yang lebih singkat, penghematan biaya, dan peningkatan kinerja proyek secara keseluruhan. Integrasi ini berpotensi memangkas waktu penyelesaian proyek secara signifikan, sebuah keuntungan krusial mengingat tenggat waktu yang ketat untuk mencapai target sanitasi nasional.

Meskipun DB telah menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penggunaan pengadaan konstruksi di banyak negara maju seperti Singapura dan Hong Kong, yang secara progresif beralih ke metode ini di sektor publik, penerapannya di Indonesia masih terbatas, umumnya hanya digunakan dalam proyek-proyek swasta. Regulasi pemerintah Indonesia, seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 70/2012 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2013, menjadi acuan utama dalam pengadaan publik. Meskipun regulasi ini cukup detail dan komprehensif, metode DB belum secara eksplisit diakomodasi di dalamnya. Kondisi ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi potensi adopsi DB dalam proyek-proyek infrastruktur publik di Indonesia.

3. Mengidentifikasi Hambatan dan Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs)

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi potensi implementasi metode pengadaan DB dalam proyek infrastruktur sanitasi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, studi ini menetapkan dua objektif utama: pertama, mengidentifikasi hambatan potensial dalam mengimplementasikan metode pengadaan DB; dan kedua, mengidentifikasi Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs) yang memiliki kekuatan prediktif kuat untuk keberhasilan proyek DB, khususnya dalam infrastruktur sanitasi.

Studi ini membatasi ruang lingkupnya pada proyek infrastruktur sanitasi yang dikelola oleh Direktorat Pengembangan Sanitasi Lingkungan MOPW, meliputi sistem pembuangan limbah cair dan tempat pembuangan sampah. Hambatan potensial yang diidentifikasi dari tinjauan literatur dikelompokkan menjadi empat kategori utama: hukum yang dapat ditegakkan, kemampuan klien, kemampuan pemangku kepentingan lainnya, dan kemampuan adaptasi klien terhadap metode pengadaan DB.

Untuk mengidentifikasi CSFs, penelitian ini mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk tinjauan literatur, dan melakukan perbandingan tabulasi CSFs yang dikumpulkan dari hasil implementasi DB di negara-negara yang memiliki pengalaman dalam proyek publik, seperti Amerika Serikat, Singapura, Hong Kong, dan Vietnam. Setelah CSFs teridentifikasi, survei dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan para ahli dan profesional yang berpengalaman di bidang pengadaan. Responden ini sebagian besar adalah ahli yang memegang posisi manajemen puncak dan memiliki peran pengambilan keputusan dalam organisasi masing-masing, serta memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang cukup dalam sistem pengadaan, khususnya metode pengadaan DB. Keterlibatan para ahli ini diharapkan dapat memperkaya temuan studi dengan perspektif mereka.

4. Hasil Studi: Membuka Tabir Hambatan dan Mengokohkan Fondasi Keberhasilan DB

Studi ini berhasil mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang berpotensi menjadi hambatan dalam implementasi sistem DB. Berdasarkan wawancara terstruktur dengan para ahli di Indonesia, faktor-faktor ini meliputi:

  • Kurangnya pengalaman: Kurangnya pengalaman dalam mengelola dan melaksanakan proyek DB merupakan salah satu hambatan terbesar. Ini mencakup baik pengalaman di pihak klien maupun kontraktor.

  • Kurangnya regulasi tentang pengaturan kontraktual: Ketiadaan regulasi yang jelas dan komprehensif terkait kontrak DB menciptakan ketidakpastian hukum dan operasional.

  • Kurangnya regulasi rinci tentang sistem tender: Sistem tender yang ada belum secara spesifik mengakomodasi karakteristik unik dari proyek DB, sehingga menimbulkan kerumitan dalam proses pengadaan.

  • Kurangnya pedoman rinci tentang karakteristik proyek: Tidak adanya pedoman yang jelas mengenai jenis proyek yang paling cocok untuk DB, serta karakteristik yang harus dimiliki oleh proyek tersebut, menyulitkan pengambilan keputusan.

  • Jumlah pemangku kepentingan lain yang berpengalaman dan terampil dalam DB masih sedikit: Keterbatasan jumlah profesional, konsultan, dan pihak-pihak terkait lainnya yang memiliki keahlian dalam DB menjadi kendala dalam ekosistem proyek.

Selain mengidentifikasi hambatan, studi ini juga menyoroti Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs) yang esensial untuk implementasi proyek DB yang sukses. Para ahli menekankan pentingnya faktor-faktor berikut:

  • Bentuk kontrak dan dokumentasi yang komprehensif: Kontrak yang jelas, lengkap, dan mencakup semua aspek proyek DB sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan perselisihan.

  • Definisi ruang lingkup proyek yang terdefinisi dengan baik: Pemahaman yang jelas dan kesepakatan mengenai ruang lingkup proyek sejak awal adalah fondasi keberhasilan.

  • Masukan klien dalam proyek: Keterlibatan aktif dan masukan yang berarti dari pihak klien sepanjang proyek sangat vital untuk memastikan proyek memenuhi kebutuhan dan harapan.

  • Kompetensi kontraktor: Kemampuan teknis, manajerial, dan pengalaman kontraktor dalam melaksanakan proyek DB secara efektif adalah faktor penentu.

  • Pemimpin tim proyek yang berpengalaman: Adanya pemimpin proyek yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengelola proyek DB dapat mengarahkan tim menuju keberhasilan.

  • Hubungan kerja di antara anggota tim proyek: Kolaborasi yang kuat, komunikasi yang efektif, dan hubungan kerja yang harmonis di antara semua anggota tim proyek sangat memengaruhi kelancaran dan kesuksesan proyek.

Faktor-faktor keberhasilan ini, menurut studi, perlu mendapatkan perhatian lebih besar untuk meningkatkan potensi implementasi metode pengadaan DB di Direktorat Pengembangan Sanitasi Lingkungan, MOPW.

5. Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membuka Jalan Menuju Era Baru Pembangunan Infrastruktur

Temuan studi ini menguatkan argumentasi bahwa metode Design and Build bukan sekadar tren, melainkan sebuah kebutuhan mendesak bagi Indonesia dalam mempercepat pembangunan infrastruktur sanitasi. Kondisi Indonesia, dengan target sanitasi 100% pada 2019 yang ambisius dan keterbatasan waktu yang krusial, menjadikan DB sebagai solusi yang tak terelakkan.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain:

Penelitian ini secara komprehensif mengidentifikasi hambatan dan CSFs dalam konteks Indonesia, yang merupakan nilai tambah signifikan. Namun, ada baiknya jika studi ini juga bisa menyertakan analisis lebih detail mengenai bagaimana negara-negara seperti Singapura dan Hong Kong mengatasi hambatan serupa dalam transisi mereka ke DB di sektor publik. Misalnya, apakah mereka menghadapi masalah regulasi yang sama, dan bagaimana mereka merumuskan kerangka hukum yang mendukung DB? Perbandingan ini bisa memberikan roadmap yang lebih konkret bagi Indonesia.

Selain itu, meskipun studi menyebutkan bahwa data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan para ahli, akan lebih kuat jika terdapat informasi kuantitatif lebih lanjut mengenai profil responden (misalnya, jumlah responden, rata-rata pengalaman mereka dalam proyek DB), serta hasil statistik dari wawancara tersebut (misalnya, peringkat prioritas hambatan atau CSFs berdasarkan penilaian responden). Ini akan menambah bobot validitas dan generalisasi temuan.

Dampak Praktis dan Kaitannya dengan Tren Industri:

Implikasi praktis dari temuan ini sangat besar bagi pemerintah Indonesia. Pertama, urgensi untuk merevisi atau menambahkan regulasi terkait DB dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum menjadi semakin jelas. Regulasi yang komprehensif akan memberikan kepastian hukum dan pedoman yang diperlukan bagi semua pihak yang terlibat. Ini tidak hanya mencakup aspek kontraktual dan tender, tetapi juga panduan yang jelas mengenai kriteria proyek yang sesuai untuk DB.

Kedua, program peningkatan kapasitas perlu digalakkan secara masif. Ini mencakup pelatihan dan pengembangan profesional bagi staf di MOPW dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk kontraktor dan konsultan. Fokus harus diberikan pada pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip DB, manajemen risiko, serta praktik terbaik dari negara-negara yang sukses mengimplementasikan DB.

Ketiga, keberhasilan proyek DB sangat bergantung pada kolaborasi dan komunikasi yang efektif. Membangun budaya kerja yang mengedepankan sinergi antara klien, desainer, dan kontraktor adalah esensial. Ini bisa difasilitasi melalui lokakarya, sesi berbagi pengalaman, dan pembentukan tim proyek multi-disiplin sejak tahap awal. Konsep Early Contractor Involvement (ECI), di mana kontraktor terlibat sejak tahap desain awal, terbukti efektif dalam proyek DB di banyak negara dan bisa menjadi model yang relevan untuk dipertimbangkan di Indonesia. ECI memungkinkan buildability yang lebih baik, identifikasi risiko lebih awal, dan inovasi yang lebih besar.

Dalam konteks tren industri global, Building Information Modeling (BIM) menjadi teknologi yang semakin tak terpisahkan dari proyek DB. BIM memungkinkan kolaborasi yang lebih baik, visualisasi proyek yang komprehensif, deteksi clash yang efisien, dan estimasi biaya serta jadwal yang lebih akurat. Implementasi BIM bersamaan dengan metode DB dapat memaksimalkan potensi efisiensi dan inovasi yang ditawarkan oleh DB. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan investasi dalam teknologi BIM dan pengembangan keahlian terkait.

Selain itu, tren Public-Private Partnerships (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) juga semakin relevan. Jika DB digabungkan dengan skema PPP, beban anggaran pemerintah dapat berkurang, dan sektor swasta dapat membawa keahlian, teknologi, dan efisiensi yang lebih besar dalam proyek infrastruktur sanitasi. Namun, implementasi PPP juga memerlukan kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat, serta kapasitas klien yang mumpuni untuk mengelola kontrak yang kompleks.

6. Studi Kasus dan Data Pendukung: Urgensi Pergeseran Paradigma

Studi ini menyoroti bahwa Indonesia menghadapi tantangan signifikan untuk memenuhi target akses sanitasi 100% pada tahun 2019. Dengan populasi sekitar 230 juta jiwa dan hampir separuh di antaranya tinggal di perkotaan, kebutuhan akan infrastruktur sanitasi sangat mendesak. Data dari UNICEF (2007) yang dikutip dalam studi menunjukkan bahwa Indonesia kemungkinan akan gagal mencapai target MDG sanitasi sebesar 73% sebesar 10 poin persentase, setara dengan 25 juta orang. Anggaran yang meningkat menjadi sekitar 35,6 triliun rupiah untuk periode 2015-2019 menunjukkan komitmen finansial pemerintah, tetapi masalah DED yang memakan waktu 7-8 bulan menjadi penghambat nyata efisiensi alokasi anggaran ini.

Inilah mengapa pendekatan seperti DB sangat vital. Dengan DB, konstruksi tidak harus menunggu DED selesai sepenuhnya. Hal ini berpotensi memangkas waktu proyek secara drastis, memungkinkan proyek yang direncanakan pada tahun 2015 dapat dimulai konstruksinya di tahun yang sama, bukan di tahun 2016 seperti pada metode tradisional. Peningkatan kecepatan ini bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang dampak sosial-ekonomi yang lebih luas, yaitu percepatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang layak.

Sebagai perbandingan, Singapura, yang merupakan negara maju di Asia Tenggara, secara progresif beralih ke metode DB dari metode tradisional. Demikian pula, Hong Kong telah mengadopsi pendekatan DB di sektor publik dan lembaga pemerintah, dengan penerapan metode ini semakin diterima dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan negara-negara ini dalam mengadopsi DB di sektor publik menjadi bukti konkret potensi metode ini. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penyesuaian regulasi, peningkatan kapasitas, dan komitmen yang kuat, Indonesia juga dapat mereplikasi keberhasilan tersebut.

Kesimpulan

Penelitian Muhammad Iqbal Perkasa secara meyakinkan menunjukkan bahwa metode pengadaan Design and Build memiliki potensi besar untuk merevolusi pembangunan infrastruktur sanitasi di Indonesia. Meskipun ada hambatan signifikan, terutama terkait dengan pengalaman, regulasi, dan kapasitas pemangku kepentingan, hambatan ini bukan tidak dapat diatasi. Dengan fokus pada pengembangan kerangka hukum yang mendukung, peningkatan kompetensi klien dan kontraktor, serta pemupukan budaya kolaborasi, Indonesia dapat memanfaatkan keuntungan DB untuk mencapai target sanitasi nasional yang ambisius. Studi ini bukan hanya sebuah analisis akademis, melainkan sebuah seruan untuk pergeseran paradigma dalam praktik pengadaan proyek pemerintah, demi masa depan sanitasi Indonesia yang lebih baik dan lebih cepat terwujud.

Sumber Artikel:

Penelitian ini dapat diakses di Universiti Teknologi Malaysia Repository: "The Potential of Design and Build Procurement Method Implementation in the Directorate of Environmental Sanitation Development Indonesia" oleh Muhammad Iqbal Perkasa, September 2015.

Selengkapnya
Menggali Potensi Revolusioner: Metode Pengadaan Design and Build dalam Pembangunan Sanitasi di Indonesia

Pembangunan Pedesaan

Menperin Tegaskan Kebijakan Antikorupsi, Dukung Capaian Target Pembangunan Nasional

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memegang peranan penting dalam mendukung pemerintah guna mencapai target pembangunan nasional melalui sektor industri. Sektor tersebut ialah pilar utama pembangunan ekonomi nasional dan terbukti memberikan kontribusi yang sangat besar untuk perekonomian nasional. Pada triwulan I tahun 2022, sektor industri manufaktur tumbuh sebesar 5,47 persen, melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Industri pengolahan nonmigas berkontribusi pula terhadap PDB nasional hingga 17,34 persen. Sektor manufaktur juga merupakan kontributor ekspor terbesar, yaitu USD 50,51 Milyar atau 72 persen dari total ekspor nasional.

Guna mencapai target pembangunan yang sudah ditetapkan, Kemenperin melakukan tugas serta fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menjaga terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) dan juga tata kelola kepemerintahan yang bersih (clean governance).

“Salah satu perwujudan good governance dan clean governance ialah pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan berkinerja tinggi. Dalam mewujudkannya, salah satu langkah Kemenperin yaitu dengan menerapkan beberapa kebijakan antikorupsi,” ungkap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Pembekalan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Kamis(14/7).

Kebijakan antikorupsi yang ditempuh Kemenperin dengan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG), Whistle Blowing System (WBS), membuka fasilitas pengaduan masyarakat, melaksanakan penanganan benturan kepentingan, dan membentuk klinik konsultasi. Pimpinan dan jajaran Kemenperin juga menciptakan komitmen untuk meningkatkan pengendalian intern dan kepatuhan terhadap perundang-undangan dengan menandatangani Piagam Audit Internal (Internal Audit Charter) yang dituangkan dalam bentuk “Bali Commitment”.

“Untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kualitas pelayanan publik, sekaligus sebagai instrumen pengendalian transparansi dan akuntabilitas, Kemenperin melaksanakan inovasi pelayanan melalui sistem berbasis elektronik yang semakin dimutakhirkan, salah satunya Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK), Jalur Penerimaan Vokasi Industri (JARVIS), dan terakhir baru-baru ini kita mengembangkan Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH),” ungkap Menperin.

Penerapan kebijakan antikorupsi di lingkungan Kemenperin memberikan hasil di antaranya indeks integritas Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang mencapai 85,1 atau di atas rata-rata nasional, capaian Reformasi Birokrasi dengan nilai 79,2 dan nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP) yang mencapai 78,7 pada tahun 2021, mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan sebanyak 14 x berturut-turut semenjak tahun 2008, dan mendapatkan predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) bagi 28 satuan kerja dan predikat Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) untuk sembilan satuan kerja dengan terus mendorong implementasi Zona Integritas pada satker-satker lainnya.

Pelayanan publik di lingkungan Kemenperin menunjukkan pula berbagai capaian, di antaranya masuk dalam TOP 99 Sistem Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) dan mendapakan predikat kepatuhan tinggi dari Ombudsman RI Tahun 2021 dengan nilai 88,07. “Kita menyadari bahwa capaian yang sudah kita dapatkan hingga saat ini belum sempurna, sehingga kita terus berupaya untuk melaksanakan perbaikan-perbaikan secara internal,” ungkap Menperin.

Kemenperin juga sepenuhnya menyadari bahwa birokrasi masih mampunyai banyak celah atau titik rawan bila terjadinya tindak pidana korupsi, sehingga value dan saran perbaikan yang didapat dari pembekalan antikorupsi tersebut akan diimplementasikan untuk meningkatkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik dan bersih.


Disadur dari sumber kemenperin.go.id

Selengkapnya
Menperin Tegaskan Kebijakan Antikorupsi, Dukung Capaian Target Pembangunan Nasional
page 1 of 1