Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Saat ini, banyak masyarakat yang sulit mendapatkan air karena kemarau berkepanjangan. Baca selengkapnya di sini. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan air perlu diupayakan dengan menggunakan sumber air baku yang bervariasi, salah satunya dengan memanfaatkan air laut. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia memiliki paparan yang begitu tinggi terhadap air laut (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2019). Karenanya, pemanfaatan air laut untuk memenuhi kebutuhan air harian sangat mungkin dilakukan.
Air laut dapat diubah menjadi air minum melalui proses desalinasi. Desalinasi adalah suatu proses menghilangkan kandungan garam dari air laut atau air payau untuk menghasilkan air minum (Smart Water Magazine, 2023). Kadar garam dalam suatu sumber air dapat terukur melalui parameter Total Dissolved Solid (TDS) (Lianda dkk., 2015). Di Indonesia, nilai TDS air laut berkisar antara 18.000 – 35.000 ppm (Mapurna, 2022). Namun, nilai TDS dari air minum yang dapat dikonsumsi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 harus lebih kecil dari 300 ppm. Oleh sebab itu, desalinasi dilakukan agar air laut memiliki kualitas yang baik untuk diminum.
Meski bisa menjadi alternatif dalam penyediaan air minum, pemanfaatan desalinasi masih terbilang kecil. Voutchkov (2016) mengemukakan bahwa desalinasi baru menyediakan 1% dari seluruh air minum di dunia. Namun, penggunaan desalinasi senantiasa meningkat seperti terlihat pada gambar 2. Pada tahun 2022, terdapat lebih dari 21.000 instalasi desalinasi di seluruh dunia (Eyl-Mazzega dan Cassignol, 2022). Secara global, produksi air desalinasi dipimpin oleh Arab Saudi dengan kapasitas produksi harian sebesar 35,7 juta m3. Negara ini memiliki 27 instalasi desalinasi yang tersebar di sepanjang garis pantainya (Sawe, 2017).
Pertumbuhan desalinasi secara global
Sumber: nuwsp.web.id
Desalinasi di Indonesia
Tak hanya Arab Saudi, Indonesia pun telah menerapkan desalinasi dalam penyediaan air minum, salah satunya di Kepulauan Seribu. Pada tahun 2022, sebanyak 8 instalasi desalinasi telah tersedia di Kepulauan Seribu (Putri, 2023). Instalasi desalinasi ini dioperasikan dengan konsep Sea Water Reverse Osmosis sehingga sering disebut dengan nama SWRO. Skema pengolahan air laut menjadi air minum menggunakan SWRO
Skema pengolahan air laut menggunakan SWRO di Kepulauan Seribu
Sumber: nuwsp.web.id
Secara keseluruhan, SWRO di Kepulauan Seribu dapat menghasilkan air minum dengan kapasitas 17 liter/detik (PAM Jaya, 2022). Sebaran serta kapasitasnya dapat dilihat pada gambar 4. Air minum yang diproduksi diestimasikan dapat melayani 13.770 sambungan rumah (Berita Jakarta, 2021; Media Indonesia, 2017). Angka ini dapat bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah SWRO. Pada tahun 2023, Pemerintah DKI Jakarta membangun 1 SWRO tambahan di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu
Sebaran instalasi desalinasi (SWRO) di Kepualauan Seribu dan kapasitasnya
Sumber: nuwsp.web.id
Instalasi desalinasi di Kepulauan Seribu
Sumber: nuwsp.web.id
Itulah sekilas pembahasan mengenai desalinasi. Semoga ke depannya, pemanfaatan desalinasi dapat meningkat untuk mendukung variasi penggunaan sumber air baku, baik secara global maupun secara lokal di Indonesia
Sumber: nuwsp.web.id
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Saat ini, lebih dari setengah (55%) populasi Indonesia hidup di perkotaan. Di tahun 2045, diperkirakan bahwa populasi penduduk perkotaan akan meningkat 63,8 juta dari tahun 2015 dimana 67,1% nya tinggal di perkotaan (Badan Pusat Statistik, 2019). Angka tersebut menjadikan Indonesia, dibandingkan negara-negara di dunia, menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk perkotaan tertinggi. Perkembangan penduduk perkotaan yang cepat di lahan yang semakin terbatas berimplikasi pada urgensi sistem penyediaan perumahan dan akses infrastruktur dasar yang tepat.
Namun, pada kenyataannya, kota-kota di Indonesia memiliki kapasitas terbatas dalam penyediaan pelayanan infrastruktur dasar dan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tingginya harga lahan dan rumah menyebabkan masyarakat harus tinggal di pinggiran kota tanpa akses transportasi publik yang memadai untuk berangkat ke tempat kerja. Akhirnya, banyak yang harus rela menempuh commuting time lebih dari 1 jam akibat kemacetan lalu lintas yang tidak dapat dihindari.
Kondisi fisik bangunan pun tidak menunjukan hal yang cukup baik. Menurut hasil pengolahan Susenas Tahun 2019, saat ini terdapat 15,5 juta (38,9%) rumah tangga perkotaan yang tinggal di unit rumah dengan kondisi di bawah standar yang mayoritas disebabkan oleh kondisi air bersih dan sanitasi. Selain itu, 3,9 juta rumah tangga perkotaan di Indonesia, terutama di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah masih harus bersesakan tinggal di hunian yang berukuran tidak memadai padahal disana merupakan tempat dimana kawasan metropolitan terbesar di Indonesia berada. Kepadatan hunian sendiri bukan merupakan hal yang bisa diabaikan. Tingginya interaksi antar manusia di dalam hunian yang tidak layak akan beresiko terhadap cepatnya penyebaran penyakit yang menular akibat interaksi antar manusia seperti TBC atau Covid-19.
Di tengah lahan perkotaan yang semakin terbatas sedangkan kebutuhan akan rumah layak juga terus meningkat, maka pilihan untuk meningkatkan kepadatan penduduk dalam satu wilayah ke dalam bentuk hunian vertikal, baik high rise atau pun low rise, menjadi satu-satunya cara dalam mengatasi kepadatan hunian sekaligus meningkatkan supply perumahan layak terjangkau bagi masyarakat. Mempertimbangkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2020-2024 mendorong upaya peremajaan kota secara inklusif melalui konsolidasi tanah dalam rangka mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah dengan mengembangkan public housing berupa Rumah Susun Perkotaan, yang dicanangkan sebagai major project Tahun 2020-2024.
Tidak ada definisi pasti mengenai public housing karena setiap negara memiliki makna yang berbeda mengenainya. Namun, rata-rata seluruhnya memiliki latar belakang yang sama yaitu kebutuhan akan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang sulit mengaksesnya dari sektor privat, seperti masyarakat berpendapatan rendah. Definisi di Asia sendiri bervariasi, ada yang berupa perumahan sewa dan milik yang disediakan dan didanai langsung oleh pemerintah (Hong Kong dan Singapura) atau disediakan berupa rumah sewa yang dibangun dan dikelola melalui subsidi pemerintah untuk rumah tangga berpenghasilan rendah (China, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang). Indonesia cenderung untuk menggunakan definisi public housing rumah susun perkotaan berupa apartemen transit yang mendukung implementasi sistem karir perumahan (sewa ke milik), bisa disediakan oleh pemerintah maupun swasta, namu dikelola oleh lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengelolanya, termasuk memastikan kesesuaian target sasaran dan berjalannya sistem karir perumahan (housing career system).
Jehansyah Siregar, seorang pakar arsitektur dan perumahan di Indonesia menyebutkan bahwa Public housing dapat menjadi salah satu solusi praktis bagi penyediaan hunian layak skala besar di perkotaan, di tengah keterbatasan lahan, serta dapat menjangkau lapisan masyarakat menengah ke bawah. Public housing juga dapat menjadi bagian dalam penataan kota yang lebih komprehensif, baik dalam konteks urban renewal atau peremajaan, relokasi permukiman, atau pembangunan kota dan kawasan baru. Namun, hal yang terpenting adalah public housing menjadi salah satu bentuk perwujudan kehadiran negara dalam penyediaan rumah untuk seluruh rakyat, sebagai strategi pembangunan kota yang berkelanjutan.
Mungkinkah membangun hunian vertikal di kota-kota besar Indonesia? Hasil penelitian Van den Ouden, “The Vertical Village: Jakarta Impian (A Dream for Jakarta) Tahun 2016 yang dikutip oleh RUJAK Centre of Urban Studies menunjukan bahwa kepadatan penduduk kota-kota di Indonesia seperti DKI Jakarta masih berada di bawah negara lain seperti Singapura atau Hongkong. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa dengan kondisi kepadatan di Indonesia, jika kota seperti DKI Jakarta ingin membangun seluruh permukiman kota dengan kepadatan seperti Singapura dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 8 atau Hong Kong dengan KLB 15, maka hanya akan membutuhkan luas seperduabelas hingga seperempat luas Jakarta untuk menampung kepadatan penduduk eksisting. Artinya, upaya mengatasi kepadatan penduduk sekaligus meningkatkan supply akan perumahan terjangkau di perkotaan melalui public housing rumah susun perkotaan sangat mungkin dilakukan, namun diperlukan kreativitas dalam mencari potensi-potensi lahan/pembiayaan yang dapat dimanfaatkan. Contohnya kerjasama dengan masyarakat pemilik lahan, revitalisasi rusun-rusun perkotaan eksisting yang sudah mengalami penurunan fungsi dan kualitas, menjadikan pembangunan public housing rumah susun perkotaan sebagai bagian dari konsolidasi tanah permukiman padat, atau memanfaatkan kewajiban hunian berimbang bagi pengembang.
Pembangunan rumah susun sendiri bukan merupakan hal baru, baik di Indonesia maupun luar negeri. Di luar negeri, kesuksesan beberapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Hongkong dalam pembangunan rumah susun berkepadatan tinggi bisa dijadikan gambaran positif dari implementasi kebijakan dalam praktek di lapangan. Sedangkan di Indonesia, Sejak tahun 1981, Pemerintah telah memulai pembangunan Rumah Susun misalnya di Kawasan Tanah Abang DKI Jakarta. Pembangunan tersebut ditujukan untuk mengurai kepadatan penduduk di DKI Jakarta yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun, berbeda dengan negara di Asia lainnya seperti Korea dan Singapura, pembangunan rumah susun di Indonesia tidak berkembang pesat seperti yang diharapkan. Stok untuk Rusunawa yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan akan rumah sewa. Stok Rusunawa hanya sekitar 27.965 unit yang mana hanya memenuhi kurang lebih 5,2% kebutuhan di Kawasan Metropolitan. Angka tersebut belum memperhitungkan kebutuhan rumah sewa untuk rumah tangga yang saat ini menumpang, yang terdampak relokasi, dan peningkatan kebutuhan akan rumah sewa per tahun.
Pengembangan public housing ke depan diharapkan dapat menjadi bagian dalam penataan kota yang lebih komprehensif dalam konteks urban renewal, juga dapat secara bertahap mengatasi persoalan-persoalan penyediaan rumah terjangkau di perkotaan dengan pengelolaan yang lebih mumpuni, terutama dalam memastikan berjalannya housing career system perumahan, dimana masyarakat dapat secara bertahap menghuni rumah sesuai kebutuhan dari sewa sampai milik. Oleh karena itu, hal yang akan dibangun adalah konsep apartemen transit sebagai pilihan hunian yang layak dan terjangkau dengan lokasi yang strategis di perkotaan atau dekat dengan simpul transportasi dan pusat kegiatan. Konsep transit diimplementasikan dengan masyarakat menghuni apartemen transit yang tersedia sambil menabung untuk dapat membeli hunian milik. Setelah 3 – 5 tahun menghuni apartemen transit dan menabung, masyarakat kemudian mengakses fasilitas pembiayaan perumahan seperti KPR atau produk pembiayaan lainnya sehingga lama kemanaan masyarakat dapat menempati hunian milik sendiri sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya. Dalam memastikan berjalannya hal-hal tersebut, tentunya dibutuhkan sistem pengelolaan yang lebih mapan. Hal inilah yang akan membedakan proyek pembangunan rumah susun yang akan dilakukan dengan major project Public Housing.
Sistem hunian vertikal saat ini, walaupun masih banyak menyisakan permasalahan, namun pemenuhannya adalah keniscayaan. Di masa pandemi ini, kita semakin disadarkan pentingnya peningkatan akses setiap lapisan masyarakat terhadap hunian layak dan aman yang terjangkau. Oleh karena itu, penyediaan rumah layak dan aman yang terjangkau melalui penyediaan public housing rumah susun perkotaan ini menjadi suatu kewajiban yang harus kita perjuangkan bersama.
Sumber: www.nawasis.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia dianggap oleh pemerintah sebagai sektor yang strategis dan merupakan inti utama dari program pembangunan nasional. Beberapa argumen yang mendasari pertimbangan ini adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." (Pasal 33)
Pernyataan "dikuasai oleh pemerintah" tidak berarti secara fisik diotorisasi oleh pemerintah. Melainkan bahwa semua eksploitasi sumber daya alam oleh individu atau kelompok dalam masyarakat, termasuk tanah dan air yang memiliki nilai ekonomi dan fungsi sosial, akan dikontrol oleh pemerintah. Eksploitasi dilakukan secara berkelanjutan dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Paradigma pembangunan pertanian mengalami kehidupan baru selama era reformasi di Indonesia, dengan transisi yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan baru. Paradigma ini berpusat pada tiga prinsip dasar:
Potensi Sumber Daya Lahan dan Air
Total luas lahan di Indonesia adalah sekitar 192 juta hektar (Puslitbangtan, 1992). Meskipun Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan yang sangat besar untuk pengembangan pertanian, pada kenyataannya masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Menurut Biro Pusat Statistik (1998), total penggunaan lahan pertanian di Indonesia - sawah, kebun rumah tangga dan kebun buah-buahan, dataran tinggi tadah hujan dan dataran rendah, padang rumput, tambak air payau dan air tawar, rawa-rawa, perkebunan negara dan swasta - adalah sekitar 66 juta ha.
Luas lahan sawah adalah sekitar 11 juta ha dari total luas wilayah Indonesia (Kementerian Pekerjaan Umum, 1998). Tergantung pada sumber air dan penyediaan fasilitas irigasi, lahan diklasifikasikan sebagai daerah irigasi teknis (3,4 juta ha atau 31 persen), daerah irigasi semi-teknis (1,12 juta ha atau 10 persen), daerah irigasi sederhana (0,77 juta ha atau 7 persen), daerah irigasi desa (2,29 juta ha atau 21 persen), rawa pedalaman dan rawa pasang surut (1,677 juta ha atau 15 persen), dan daerah tadah hujan (1,77 juta ha atau 16 persen).
Selain lahan sawah, Indonesia juga memiliki lahan kering yang luas dan tidak beririgasi. Total luas lahan kering di Indonesia adalah sekitar 57 juta hektar dan umumnya digunakan untuk keperluan seperti pekarangan rumah tangga, pertanian tadah hujan, dataran tinggi/perkebunan dan padang rumput terbuka, sementara sisanya terbengkalai sebagai lahan tidur.
Sumber daya air
Meskipun Indonesia adalah negara tropis yang lembab dengan curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi, masalah sumber daya air masih menjadi masalah utama. Beberapa masalah utamanya adalah:
Meningkatnya kebutuhan air. Permintaan masyarakat akan air yang memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal kuantitas - dan kualitas cenderung meningkat. Sebaliknya, karena jumlah air yang tersedia relatif tetap, persaingan antar sektor seperti pertanian, rumah tangga, kota dan industri untuk mendapatkan air yang terbatas menjadi semakin ketat. Oleh karena itu, kebijakan yang mengatur penggunaan dan distribusi air secara bijaksana sangat diperlukan.
Kurangnya pengelolaan lahan di dataran tinggi/hulu. Pengelolaan lahan di daerah hulu tanpa memperhatikan konservasi tanah dan air cenderung menciptakan lahan kritis yang menyebabkan banjir dan kekeringan yang dahsyat di daerah hilir. Indonesia saat ini memiliki sekitar 8 juta hektar lahan pertanian kritis.
Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Lahan dan Air
Kami telah menjelaskan bahwa potensi sumber daya lahan dan air cukup tersedia, namun pada kenyataannya masih banyak masalah kompleks yang harus dihadapi untuk mengembangkan penggunaan sumber daya lahan dan air yang lebih produktif.
Kementerian Pertanian Indonesia telah menetapkan visi untuk menghadapi kebijakan pembangunan pertanian nasional saat ini, yaitu membangun sistem agribisnis yang berdaya saing dan "berorientasi pada rakyat, berkelanjutan dan terdesentralisasi". Visi ini harus diwujudkan secara operasional dalam kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menjadikan sektor pertanian sebagai inti dari semua sektor pembangunan nasional.
Untuk mewujudkan visi tersebut, dukungan yang kuat dari pengembangan sumber daya lahan dan air sangat penting dan menentukan keberhasilan atau kegagalannya. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan serangkaian kebijakan umum dan khusus mengenai pengembangan sumber daya lahan dan air. Evaluasi terhadap efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan secara berkesinambungan untuk memperbaiki substansi dan isi kebijakan tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Disadur dari: www.fao.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Tantangan untuk mencapai perumahan yang layak, berkualitas, aman dan terjangkau tidak hanya menakutkan, tetapi juga meluas. Tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara miskin atau masyarakat miskin di mana kita menemukan hampir satu miliar orang tinggal di daerah kumuh; tantangan ini juga terjadi di pusat-pusat ekonomi yang berkembang di negara-negara maju, di mana banyak orang yang "tidak miskin" - termasuk rumah tangga berpenghasilan menengah - kesulitan untuk mendapatkan perumahan yang layak.
Sektor perumahan formal tidak mampu menghasilkan perumahan baru pada skala atau harga yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan. Akibatnya, pilihan perumahan menjadi sangat terbatas bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah, dan sebagian besar penduduk terpaksa mencari solusi perumahan alternatif.
TDD berlangsung di Hiroshima untuk mempelajari pengalaman Hiroshima dalam mengatasi kekurangan perumahan yang parah setelah Perang Pasifik. Para peserta belajar tentang perubahan dalam kebijakan penyesuaian lahan di Hiroshima dan berbagai proyek perumahan yang dilakukan oleh kota tersebut dari pembangunan pasca perang hingga periode pertumbuhan ekonomi dan populasi.
Tantangan yang Dihadapi Klien
Para peserta mengkaji masalah utama penyediaan perumahan yang terjangkau di negara masing-masing, yang meliputi ketersediaan lahan yang tidak mencukupi, kurangnya infrastruktur dan layanan dasar, tata kelola pemerintahan yang lemah, kerangka kerja kelembagaan yang tidak memadai, tidak adanya mekanisme pendanaan yang memadai dan keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan perumahan, buruknya pemeliharaan perumahan rakyat, dan pasokan perumahan yang tidak mampu mengatasi permintaan yang terus meningkat.
Temuan Utama
TDD menghasilkan wawasan berharga dari para peserta dan pakar mengenai tantangan mendesak dalam penyediaan perumahan yang terjangkau mengingat pesatnya urbanisasi dan terbatasnya kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses perumahan yang layak dan tangguh. Berikut ini adalah beberapa hal penting yang dapat diambil dari TDD.
Lokasi untuk kunjungan lapangan
Fasilitas-fasilitas berikut ini telah dikunjungi selama TDD ini:
Para peserta mengunjungi replika ukuran asli dari sebuah unit rumah Jepang yang dibangun pada tahun 1990-an.
Sumber: www.worldbank.org
Representasi kehidupan nyata dari interior rumah Jepang yang dibangun pada tahun 1970-an.
Sumber: www.worldbank.org
Apartemen bertingkat rendah dan tinggi di distrik apartemen Motomachi.
Sumber: www.worldbank.org
Peserta TDD bergabung dengan warga Motomachi dalam olahraga bersama.
Sumber: www.worldbank.org
Disadur dari: www.worldbank.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
"Kota yang tenggelam", adalah ibu kota Indonesia saat ini. Terletak di Laut Jawa, kota pesisir ini merupakan rumah bagi hampir 30 juta penduduk di wilayah Jabodetabek. Jakarta telah bergulat dengan masalah pengelolaan air selama beberapa dekade, yang mengarah ke beberapa krisis terkait air saat ini. Akses terhadap pasokan air minum yang dapat diandalkan sangat terbatas karena ada kesenjangan yang signifikan antara mereka yang memiliki akses air leding dan yang tidak. Warga yang tidak memiliki akses air leding akibatnya sangat bergantung pada air tanah dan telah menggali ribuan sumur yang tidak diatur. Hal ini telah menyebabkan krisis air kedua - pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer bawah tanah Jakarta. Penurunan permukaan tanah menjadi perhatian utama karena kota yang sedang tenggelam ini memiliki risiko banjir yang tinggi dari lautan di sekitarnya.
Sekitar 40% wilayah Jakarta saat ini berada di bawah permukaan laut, dan model prediksi menunjukkan bahwa seluruh kota akan terendam air pada tahun 2050 (Gilmartin, 2019). Selain itu, krisis iklim telah menyebabkan kenaikan permukaan laut yang signifikan karena gletser dan lapisan es terus mencair (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, 2019; Lindsey, 2022). Seiring dengan tenggelamnya kota Jakarta dan naiknya permukaan air laut, jutaan warga Jakarta berada pada risiko banjir yang sangat tinggi, terutama selama musim hujan (Gambar 1). Ribuan penduduk telah terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih baik dan dataran yang lebih tinggi (Garschagen et al., 2018).
Sumber: www.space4water.org
Bagaimana krisis air di Jakarta bermula?
Pada paruh pertama abad ke-20, Jakarta merupakan kota yang relatif kecil, dengan jumlah penduduk sekitar 150.000 jiwa (Rukmana, 2018). Sejak saat itu, Jakarta telah mengalami urbanisasi yang pesat hingga menjadi kota terpadat di Asia Tenggara, dengan jumlah penduduk hampir 30 juta jiwa (Rustiadi et al., 2021). Masuknya penduduk dalam jumlah besar ini disertai dengan perubahan penggunaan lahan yang ekstrem, yang pada akhirnya mengubah hutan hujan menjadi gedung-gedung bertingkat, ladang menjadi trotoar, dan rawa-rawa menjadi lahan bisnis. Diperkirakan 97% dari kota ini sekarang terbuat dari beton atau aspal, dengan ruang-ruang alami yang sangat sedikit dan jarang ditemukan (Kimmelman, 2017). Dampak dari urbanisasi ini terus dirasakan, dengan beberapa implikasi signifikan terhadap pengelolaan air di dalam kota.
Data dari luar angkasa: Bagaimana kita bisa tahu bahwa hal ini sedang terjadi?
Ekstraksi air tanah yang berlebihan, penurunan permukaan tanah, dan kenaikan permukaan air laut adalah ancaman kronis dan berat yang dihadapi Jakarta. Bagaimana kita mengukur dan melacak perubahan-perubahan ini dari waktu ke waktu? Ketiga fenomena ini terjadi dengan sangat lambat - terlalu lambat untuk dilacak dengan mata telanjang. Bahkan, mereka sering kali tidak disadari hingga kerusakannya tidak dapat dipulihkan. Fenomena ini juga sulit dan mahal untuk dilacak dalam skala regional dari tanah itu sendiri (Wada, 2015). Oleh karena itu, teknologi berbasis ruang angkasa sangat penting dalam pemantauan perubahan tersebut, mengingat kemampuannya untuk melacak perubahan yang sangat kecil di area yang luas dengan konsistensi.
Mengukur perubahan dalam penyimpanan air tanah
Penggunaan air tanah yang berlebihan secara kronis merupakan inti dari masalah penurunan permukaan tanah di Jakarta. Para ilmuwan dapat menggunakan teknologi berbasis ruang angkasa bersama dengan pengukuran in-situ untuk memantau perubahan penyimpanan air tanah dari waktu ke waktu. Pengukuran berbasis ruang angkasa sangat membantu karena memungkinkan pengumpulan data rutin dari wilayah yang sangat terpencil di dunia, meniadakan kebutuhan akan pengambilan sampel yang konstan (Pamungkas dan Chiang, 2021; Rodell dkk., 2009). Satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) dan GRACE Follow-On (GRACE-FO) milik NASA melakukan hal ini dengan cara melacak air di daratan, yang dikenal dengan nama Terrestrial Water Storage (TWS) (Gambar 5). TWS didefinisikan sebagai jumlah air di permukaan tanah dan bawah permukaan - terutama mencakup air permukaan, air tanah, kelembaban tanah, dan salju/es (Girotto dan Rodell, 2019).
Sumber: www.space4water.org
Mengukur pergerakan tanah
Yang didokumentasikan di Jakarta pada tahun 1926. Sejak saat itu, beberapa teknologi inovatif telah muncul untuk melacak pergerakan tanah (Abidin et al., 2005). Salah satu teknologi tersebut, yang dikenal sebagai radar bukaan sintetis interferometrik, atau InSAR, telah dikembangkan dan digunakan untuk melacak perubahan penurunan permukaan tanah pada area spasial yang luas dengan tingkat akurasi dan resolusi yang tinggi, hingga ke tingkat sentimeter dan milimeter (USGS, 2023; Xiao dan He, 2013). Dasar pemikiran InSAR adalah membandingkan dua gambar dari area yang sama, yang diambil dari sudut pandang yang sama, pada titik waktu yang berbeda. Sistem ini bergantung pada citra Synthetic Aperture Radar (SAR), yang dihasilkan dengan memancarkan sinyal gelombang mikro ke permukaan bumi. Bergantung pada pola energi yang dipantulkan kembali ke sensor radar, para ilmuwan dapat mendeteksi sifat fisik Bumi. Pada dasarnya, jika tanah telah bergerak ke arah atau menjauh dari satelit, bagian yang sedikit berbeda dari panjang gelombang dipantulkan kembali ke satelit.
Sumber: www.space4water.org
Apa yang bisa dilakukan?
Tantangan yang dihadapi Jakarta tampaknya sangat besar. Apakah memperlambat, atau bahkan membalikkan, tenggelamnya sebuah kota merupakan hal yang mungkin dilakukan? Hebatnya, hal ini pernah dilakukan sebelumnya. Tokyo, misalnya, menghadapi tantangan penurunan permukaan tanah yang serupa pada tahun 1940-an ketika pabrik-pabrik mulai menggunakan air tanah dalam jumlah yang sangat besar. Akuifer bawah tanah dikeringkan dan menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga 4,5 meter di beberapa daerah - angka yang sangat mirip dengan penurunan permukaan tanah di Jakarta (Cao et al., 2021). Setelah masalah ini diketahui, pemerintah kota mulai menyebarluaskan informasi mengenai penggunaan air tanah untuk meningkatkan kesadaran akan masalah ini. Kebijakan baru diadopsi dan undang-undang diberlakukan untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan air tanah, terutama untuk keperluan industri (Sato et al., 2006).
Disadur dari: www.space4water.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Usulan pembangunan tanggul laut raksasa di Pantai Utara Pulau Jawa, seperti yang dibahas dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan dipimpin oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, mendapat kritik dari organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Menurut WALHI, proposal ini dipandang sebagai solusi yang keliru untuk krisis iklim dan ekologi dan menimbulkan kekhawatiran tentang potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Para pengkritik berpendapat bahwa pembangunan tanggul laut raksasa dapat memperburuk degradasi ekologi dan isu-isu sosial, dan bukannya mengatasi akar permasalahan perubahan iklim.
Turut hadir dalam seminar tersebut, sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju. Mereka adalah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Bob Arthur Lombogia, serta para pejabat yang mewakili Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Perikanan serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menko Perekonomian beralasan bahwa proyek tanggul laut raksasa ini sangat dibutuhkan karena wilayah Utara Jawa yang meliputi lima kawasan pertumbuhan, 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus, dan lima kawasan pusat pertumbuhan, sering terganggu oleh banjir rob.
Menurut WALHI, proyek tanggul laut yang diusulkan, yang melibatkan reklamasi laut, dianggap sebagai kesalahpahaman pembangunan dan tidak mungkin mengatasi akar masalah dari kerusakan ekologi di Pulau Jawa.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menyatakan keprihatinannya bahwa proyek ini mungkin akan menguntungkan industri ekstraktif dan gagal untuk memberikan solusi yang berkelanjutan untuk tantangan ekologi di wilayah tersebut.
"WALHI memandang bahwa rencana pemerintah membangun tanggul laut dengan cara mereklamasi laut adalah sebuah kesalahpahaman pembangunan. Proyek ini tidak akan menyelesaikan akar masalah kehancuran ekologis Pulau Jawa yang selama ini dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil," ujar Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, 11 Januari 2024.
Buku "Jawa Runtuh" yang diterbitkan oleh WALHI pada tahun 2012 menyoroti kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa. Buku ini menelusuri degradasi ini ke sejarah eksploitasi sumber daya alam di pulau ini, mulai dari era kolonial hingga era pasca reformasi. Menurut buku tersebut, eksploitasi sumber daya alam dalam jangka waktu yang lama ini telah menyebabkan kehancuran daya dukung ekologis Pulau Jawa.
Wilayah pesisir utara, yang membentang dari Banten hingga Jawa Timur, telah mengalami masalah lingkungan yang signifikan, terutama izin industri skala besar yang berkontribusi terhadap penurunan permukaan tanah yang cepat.
Alih-alih membangun tanggul laut raksasa, solusi yang lebih efektif adalah dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pantai utara Jawa. Proyek tanggul laut dikhawatirkan akan memperburuk degradasi sosial dan ekologi, menyebarkan kerusakan dari daratan ke pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Perspektif ini menekankan pentingnya mengatasi akar penyebab tantangan lingkungan, seperti praktik industri yang tidak berkelanjutan dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, daripada mengimplementasikan proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Krisis di perairan utara Jawa
Pembangunan tanggul laut raksasa, yang membutuhkan pasir laut dalam jumlah besar, dapat menyebabkan kerusakan perairan atau laut di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Hal ini, pada gilirannya, menjadi ancaman bagi mata pencaharian ratusan ribu nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada perairan tersebut.
Referensi proyek reklamasi Teluk Jakarta pada tahun 2021, yang memperkirakan kebutuhan pasir laut dalam jumlah besar, menyoroti potensi dampak lingkungan yang terkait dengan proyek-proyek tersebut.
Pada tahun 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkirakan kebutuhan pasir laut untuk proyek reklamasi Teluk Jakarta mencapai 388.200.000 meter kubik.
Merusak hutan bakau
Pemerintah mengklaim bahwa proyek ini merupakan skenario mitigasi krisis iklim di pesisir utara Jawa. Namun, pada kenyataannya, proyek tanggul laut raksasa ini tidak akan mampu menjawab krisis iklim yang dihadapi masyarakat pesisir.
Proyek ini justru akan mempercepat kerusakan ekosistem mangrove yang selama ini terjadi di pesisir utara Jawa. Sebagai contoh, akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan hutan bakau terus mengalami penurunan.
Pada tahun 2010, luas mangrove mencapai 1.784.850 hektar. Pada tahun 2021, mengalami penyusutan yang sangat signifikan, dimana luasannya hanya tercatat 10.738,62 hektar. Begitu juga di pesisir Jakarta. Saat ini, luasan mangrove tercatat tidak lebih dari 25 hektar. Padahal, sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya tercatat lebih dari seribu hektar.
Menggusur nelayan
Di Jakarta, pembangunan tanggul laut yang masih berlangsung hingga saat ini telah mengancam keberlangsungan hidup para nelayan yang tinggal di pesisir utara Jakarta. Berdasarkan hasil analisis risiko pembangunan NCICD tahap A yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara terancam digusur.
Penggusuran ini mau tidak mau menyebabkan potensi hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan, karena harus direlokasi ke wilayah lain yang aksesnya jauh dari laut dan kapal.
Alih-alih melindungi identitas nelayan dengan menjaga aksesibilitas nelayan ke laut, pemerintah justru merencanakan pelatihan untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi nelayan yang terkena dampak penggusuran. Dengan cara ini, ancaman hilangnya identitas nelayan akibat pembangunan NCID di Teluk Jakarta semakin besar.
Disadur: www.ekuatorial.com