Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Perjalanan Menuju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Lebih Tinggi
Peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-78 bulan ini merupakan saat yang tepat untuk merefleksikan perjalanan bangsa Indonesia dalam mencapai visi "Indonesia Maju" pada ulang tahunnya yang ke-100 di tahun 2045. Meskipun perjalanannya tidak mudah selama satu dekade terakhir, ada beberapa pencapaian luar biasa dalam beberapa aspek pembangunan, yang memberikan landasan yang kokoh bagi ekonomi Indonesia untuk lepas landas. Sebelumnya dijuluki sebagai "lima negara rapuh" karena defisit transaksi berjalan yang besar pada tahun 2013, Indonesia telah menjadi negara berkembang yang kuat dengan manajemen ekonomi makro yang patut dicontoh. Menandai pemulihan ekonomi yang solid pasca pandemi, tahun ini Indonesia telah mendapatkan kembali statusnya sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas dengan pendapatan per kapita pada tahun 2022 sebesar $4.580.
Satu Dekade Kemajuan: Infrastruktur, Sumber Daya Manusia, dan Iklim Usaha
Salah satu pencapaian penting pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo adalah penekanannya pada pembangunan infrastruktur fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti jalan, pelabuhan, bandara, dan jaringan transportasi umum, telah dilakukan untuk meningkatkan konektivitas, memperbaiki logistik, dan mendorong lebih banyak investasi. Kapasitas irigasi telah meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 2014, yang berkontribusi pada ketahanan pangan nasional yang lebih kuat, sementara kapasitas pembangkit listrik nasional telah meningkat lebih dari 20 gigawatt dalam sepuluh tahun terakhir.
Selama masa jabatannya, banyak inisiatif di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Meskipun masih ada kesenjangan yang harus ditutup, telah ada kemajuan besar dalam berbagai indikator sumber daya manusia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat dari 68,90 pada tahun 2014 menjadi 72,91 pada tahun 2022, dengan tingkat partisipasi pendidikan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik.
Program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah telah mengirimkan lebih dari 35.000 pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi mereka di universitas-universitas terkemuka di dalam dan luar negeri. Di bidang kesehatan, jumlah rumah sakit umum telah meningkat lebih dari 30 persen sejak tahun 2014, sementara prevalensi stunting untuk periode 2014-2022 telah menurun dengan laju 0,91 persen per tahun. Dalam satu dekade terakhir, kita juga telah menyaksikan perluasan bantuan sosial, terutama implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pembangunan besar-besaran ini telah mendorong Indonesia ke posisi 51 dalam hal infrastruktur berdasarkan IMD World Competitiveness Ranking 2023. Meskipun masih terdapat kesenjangan yang cukup besar, Indonesia berada di peringkat yang lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Brasil. Strategi ekonomi Jokowi juga berfokus pada pengembangan sumber daya manusia.
Per Juli 2023, sekitar 95,74 persen penduduk Indonesia telah tercakup dalam jaminan kesehatan masyarakat, dengan lebih dari 90 juta penduduk miskin tercakup dalam pendanaan pemerintah. Upaya berkelanjutan untuk menciptakan iklim bisnis dan investasi yang lebih kondusif juga telah dipercepat melalui perampingan birokrasi, penyederhanaan proses bisnis, dan reformasi peraturan. Beberapa kemajuan penting dalam prosedur perizinan dan perizinan telah dicapai, terutama dengan dibentuknya Online Single Submission (OSS) dan pemberlakuan Omnibus Law Cipta Kerja. Pembentukan sovereign wealth fund yang disebut Otoritas Investasi Indonesia (INA) juga bertujuan untuk mempercepat investasi di Indonesia. Baru-baru ini, Pemerintah juga telah mengesahkan Omnibus Law tentang Pengembangan Sektor Keuangan sebagai upaya untuk memperkuat dan memperdalam pasar keuangan di Indonesia, yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
Mengatasi tantangan yang akan datang
Kemajuan sering kali disertai dengan tantangan, tidak terkecuali di Indonesia. Terlepas dari fondasi ekonomi yang kokoh yang telah dibangun, Indonesia masih perlu mempercepat pertumbuhan ekonominya untuk mewujudkan visi "Indonesia Maju" pada tahun 2045. Selain konsumsi, belanja pemerintah, dan ekspor, investasi sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas tinggi. Sayangnya, Indonesia telah mengalami pertumbuhan investasi yang lambat, terutama setelah periode booming komoditas pada tahun 2010-2012, yang kemudian diperparah oleh efek samping dari pandemi. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia selama periode 2014-2019 mencapai 6,5, lebih tinggi dari 4,3 ICOR yang terjadi pada tahun 1990-1996. Pada saat ini, Indonesia perlu mengoptimalkan upaya domestik dan internasional. Di dalam negeri, Indonesia harus terus secara proaktif melakukan reformasi struktural yang efektif untuk mendukung transformasi ekonominya.
Reformasi struktural harus mengatasi tiga kesenjangan utama: infrastruktur, sumber daya manusia, dan institusi, untuk mengurangi hambatan-hambatan pembangunan ekonomi Indonesia. Lebih penting lagi, Indonesia perlu bertindak cepat dalam mengimplementasikan reformasi struktural, mengingat dividen demografisnya tidak akan bertahan selamanya. Di kancah internasional, Indonesia perlu memperkuat "soft power" di tengah lingkungan global yang kurang kondusif. Partisipasi aktif dalam forum-forum global akan bermanfaat untuk menyelaraskan agenda-agenda internasional dengan kepentingan nasional. Kolaborasi dengan mitra negara yang lebih luas dan beragam juga akan meningkatkan ukuran pasar Indonesia, yang akan berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan domestik. Yang tak kalah penting adalah kelestarian lingkungan, yang menjadi tantangan lain yang harus dihadapi Indonesia ke depan.
Polusi udara yang terjadi di Jakarta baru-baru ini menggambarkan semakin pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Meskipun Indonesia telah menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan di berbagai forum internasional, masih perlu dilihat apakah Indonesia dapat menjadi contoh yang baik untuk diikuti oleh negara-negara lain.
Disadur dari: jakartaglobe.id
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Mengembangkan Infrastruktur
Pendahuluan
Menyadari adanya kesenjangan infrastruktur yang besar di Indonesia dan dampak pertumbuhan yang cukup besar dari investasi infrastruktur yang lebih tinggi (sebagaimana diilustrasikan dalam Bab 3, "Mendorong Potensi Pertumbuhan"), bab ini berfokus pada isu-isu fiskal makro dan hambatan-hambatan struktural di sekitar pembangunan infrastruktur. Sejumlah literatur yang ada menyoroti bagaimana inefisiensi dalam proses investasi publik, yang merupakan masalah utama di negara berkembang, membatasi manfaat yang dapat diamati dari program-program infrastruktur publik (Pritchett 2000; Caselli 2005; Warner 2014; Bank Dunia 2014).
Kesenjangan infrastruktur di Indonesia, termasuk di bidang transportasi dan listrik, masih cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Terlepas dari kesenjangan infrastruktur, investasi infrastruktur masih kecil selama beberapa tahun terakhir, terkendala oleh terbatasnya anggaran dan hambatan struktural. Untuk menutup kesenjangan infrastruktur, pemerintah telah menyusun rencana ambisius untuk pembangunan infrastruktur. Sejalan dengan rencana ini, Pemerintah telah mempercepat belanja modal yang didukung oleh beberapa langkah reformasi dan telah mencapai keberhasilan awal dalam mempercepat belanja modal.
Kendala Infrastruktur dan Strategi Pembangunan
Kesenjangan infrastruktur di Indonesia masih cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain (Gambar 4.1 dan 4.2), terutama di bidang transportasi dan listrik. Sebagai contoh, biaya logistik merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, diperkirakan mencapai rata-rata 25 persen dari PDB (dibandingkan dengan negara-negara lain yang hanya 13-20 persen), yang mencerminkan lemahnya konektivitas antarpulau dan terbatasnya jaringan jalan nasional. Kesenjangan infrastruktur yang besar telah meningkatkan biaya distribusi, menghambat daya saing industri, dan melemahkan kondisi ekonomi makro. Hasilnya adalah terbatasnya aliran investasi asing langsung dan berkurangnya daya saing ekspor (World Economic Forum 2014).
Infrastruktur Terkait Perdagangan dan Transportasi, 2016
sumber: www.elibrary.imf.org
Infestasi Publik
sumber: www.elibrary.imf.org
Untuk menutup kesenjangan infrastruktur, pemerintah telah menetapkan rencana ambisius untuk meningkatkan investasi infrastruktur sebesar US$323 miliar (32% dari PDB) selama 2015-22. Investasi-investasi ini termasuk membangun 3.650 kilometer jalan, 3.258 kilometer jalur kereta api, 24 pelabuhan laut baru, dan 15 bandar udara baru. Rencana ini juga mencakup pengembangan pembangkit listrik dengan total kapasitas 35 gigawatt, 33 bendungan baru, dan kilang minyak baru dengan kapasitas 600.000 barel per hari. Sebagian besar biaya diperkirakan akan ditanggung oleh sektor swasta (18% dari PDB) dan BUMN (10% dari PDB) (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2015). Dari 247 proyek, 6 proyek telah selesai dibangun, 146 proyek sedang dibangun, dan 95 proyek sedang dipersiapkan.
Implikasi Fiskal Makro dari Pembangunan Infrastruktur
Peningkatan belanja infrastruktur memiliki implikasi fiskal makro yang signifikan. Pertama, hal ini akan meningkatkan pertumbuhan output dengan meningkatkan permintaan agregat dan juga kapasitas produksi ekonomi. Kedua, hal ini akan mempengaruhi neraca fiskal karena pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi perlu dibiayai oleh langkah-langkah peningkatan pendapatan, pemotongan pengeluaran, atau defisit yang lebih tinggi-atau ketiganya. Ketiga, guncangan kebijakan fiskal ini akan mempengaruhi sektor korporasi dan rumah tangga melalui perubahan variabel makroekonomi seperti inflasi, upah, tingkat suku bunga, dan nilai tukar. Terakhir, dalam perekonomian terbuka, guncangan-guncangan ini juga akan mempengaruhi keseimbangan eksternal, yang mungkin mengakibatkan defisit transaksi berjalan eksternal yang lebih tinggi.
Institusi Pengelolaan Investasi Publik di Indonesia
Negara-negara dengan lembaga manajemen investasi publik yang lebih kuat memiliki investasi yang lebih mudah diprediksi, kredibel, efisien, dan produktif. Untuk membantu negara-negara mengevaluasi kekuatan praktik manajemen investasi publik mereka, IMF telah mengembangkan Penilaian Manajemen Investasi Publik (Public Investment Management Assessment/PIMA).1 PIMA mengevaluasi 15 lembaga yang membentuk pengambilan keputusan investasi publik dalam tiga tahap utama (lihat Gambar 4.4): pertama, merencanakan investasi berkelanjutan di seluruh sektor publik; kedua, mengalokasikan investasi pada sektor dan proyek yang tepat; dan ketiga, mengimplementasikan proyek secara tepat waktu dan sesuai anggaran. PIMA mencakup siklus investasi publik secara keseluruhan, termasuk perencanaan nasional dan sektoral, penganggaran investasi, penilaian dan pemilihan proyek, serta pengelolaan dan pemantauan pelaksanaan proyek.
Disadur dari: www.elibrary.imf.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Perkenalan
Kota-kota besar di Indonesia, sama seperti kota-kota lain di dunia, menghadapi urbanisasi besar-besaran akibat migrasi penduduk secara internal, yang dipicu oleh perkembangan ekonomi dan ketersediaan fasilitas yang lebih baik di kota-kota besar 2 serta peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 3 Langkah-langkah telah diambil untuk mengurangi jumlah orang yang bermigrasi, seperti program penghubung perkotaan dan pedesaan yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015–2019. 4 Program-program ini bertujuan untuk mengembangkan dan menyediakan lebih banyak fasilitas di desa-desa dan daerah pedesaan; namun demikian, pemerintah tidak dapat menghentikan urbanisasi. Akibatnya penduduk terkonsentrasi di perkotaan dan menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan, seperti perumahan yang tidak memadai dan kurangnya lapangan kerja. Khususnya, migran internal yang memiliki sedikit pendidikan dan pengalaman kerja adalah pihak yang paling terkena dampaknya. 5 Tanpa pekerjaan yang layak, tidak ada pilihan lain selain bekerja di sektor informal yang upahnya rendah. Akibatnya, sulit bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan perumahan yang layak. Oleh karena itu, permukiman informal dan kawasan kumuh tumbuh di bantaran sungai, rel kereta api, dan kawasan hijau seperti danau atau hutan kota. Permukiman kumuh banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Surakarta. 6 Pada tahun 2013, Jakarta memiliki kawasan kumuh seluas 905 hektar, yang mencakup 20 persen wilayahnya. 7 Pada tahun 2014, Surakarta memiliki kawasan kumuh seluas 468 hektar yang mencakup 11 persen wilayahnya.
Hak Atas Perumahan dan Kebijakan Perumahan di Indonesia yang Terdesentralisasi
Indonesia mengakui hak asasi manusia terkait perumahan dalam sejumlah peraturan nasional, misalnya dalam Konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pengakuan tersebut juga dapat ditemukan dalam undang-undang ratifikasi instrumen dan peraturan internasional yang diadopsi oleh kementerian yang membidangi pekerjaan umum dan perumahan, serta urusan sosial.
Konstitusi menjamin hak atas perlindungan keluarga dan harta benda, serta hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, mempunyai tempat tinggal, menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak memperoleh pelayanan kesehatan. 17 Undang-undang tersebut tidak menyatakan hak atas perumahan secara langsung namun menetapkan ‘hak untuk bertempat tinggal,’ yang secara harafiah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai hak atas tempat tinggal, dan yang secara luas dapat diartikan sebagai hak atas tempat berlindung atau rumah. Secara keseluruhan, Pasal 28G(1) dan 28H(1) Konstitusi menyatakan bahwa hak atas perumahan tidak hanya melindungi rumah sebagai bangunan, tetapi juga rumah sebagai rumah dan tempat tinggal, dengan atau tanpa keluarga. Lebih lanjut, UU Hak Asasi Manusia 18 melindungi hak atas tempat tinggal dan hak atas kehidupan yang layak. 19 Selanjutnya, melalui Undang-Undang No. 11/2005 20 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 21 yang mengakui hak atas perumahan yang layak 22 dan menetapkan kewajiban negara untuk secara bertahap mewujudkan hak-hak yang terkandung di dalamnya.
Praktik Empat Kota tentang Akses terhadap Perumahan Rakyat bagi Orang Luar
Masyarakat bermigrasi dari desa ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Para migran ini berasal dari seluruh Indonesia dan sebagian besar dari mereka tidak menjadi penduduk resmi di kota tuan rumah. Sebaliknya, mereka tetap mempertahankan status pemukiman di wilayah mereka sebelumnya. Menemukan perumahan yang layak di pasar perumahan merupakan permasalahan yang menantang bagi migran miskin.
Pemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional telah membangun lebih banyak perumahan umum untuk mengatasi permasalahan perumahan. Pemerintah pusat cenderung membangun perumahan rakyat sewaan dibandingkan perumahan rakyat dengan hak milik. Sebagai bagian dari strategi pembaruan perkotaan, pengembangan perumahan sewa bertingkat bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di permukiman informal. Selain itu, perumahan rakyat sewa merupakan salah satu strategi untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan di kota-kota besar dan meningkatkan jaminan kepemilikan rumah bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu membeli rumah. Kota-kota seperti Jakarta dan Surakarta memperoleh manfaat dari pembangunan perumahan umum sewaan untuk memukimkan kembali masyarakat yang terkena dampak penggusuran atau program pemukiman kembali.
Hak atas Perumahan yang Layak dan Diskriminasi Berdasarkan Tempat Tinggal Terdaftar
Untuk membahas diskriminasi terkait hak atas perumahan, kita harus memahami makna diskriminasi dan kesetaraan. Artikel ini tidak berupaya membahas diskriminasi dan kesetaraan secara umum, namun akan fokus pada pelarangan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam hukum ihr, khususnya dalam escr dan sebagaimana diuraikan dalam Komentar Umum dan Pengamatan Penutup yang diadopsi oleh Komite Ekonomi. , Hak Sosial dan Budaya.
Praktik Diskriminatif Tidak Langsung
Sebagaimana dibahas di atas, situasi diskriminasi tidak langsung dapat muncul ketika
Tampaknya Kebijakan, Tindakan, atau Aturan Netral
Kebijakan untuk memberikan posisi yang lebih istimewa kepada masyarakat yang terdaftar secara lokal telah menjadi praktik umum di Indonesia berdasarkan argumen bahwa jumlah penduduk akan mempengaruhi pengeluaran daerah. Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu daerah, maka semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan suatu daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Karena asas otonomi fiskal, pemerintah daerah mempunyai kewenangan utama dalam mengelola anggaran penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip efektifitas dan efisiensi.
Perlakuan Berbeda yang Diijinkan
Meskipun terdapat argumen yang menyatakan bahwa praktik-praktik yang ditemukan di empat kota tersebut merupakan diskriminasi tidak langsung, kita juga harus mempertimbangkan apakah perbedaan perlakuan praktis antara orang luar dan penduduk lokal yang terdaftar masih diperbolehkan berdasarkan hukum hak asasi manusia. Perlu dilakukan penyelidikan mengenai apakah perlakuan berbeda tersebut sah dan dapat dibenarkan berdasarkan batasan umum Pasal 4 escr.
Agar diperbolehkan, perlakuan yang berbeda terhadap hak atas perumahan harus :
Disadur dari: brill.com
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Perumahan yang Terjangkau Bukan Satu-Satunya Masalah Atau Satu-Satunya Solusi
Eva Belle Favours Davis adalah salah satu penghuni pertama East Lake Meadows, sebuah proyek perumahan umum di East Lake, yang pindah bersama anak-anaknya tak lama setelah gedung tersebut dibuka pada tahun 1971. Proyek tersebut segera memburuk, dengan cepat menjadi salah satu proyek yang paling terbengkalai dan paling terbengkalai di Atlanta. daerah rawan kejahatan. Dengan latar belakang aktivisnya, ia menjadi presiden asosiasi penyewa dan salah satu juru bicara paling terkemuka di wilayah tersebut. Pada awal tahun 1972, dia meminta perlindungan polisi di daerah tersebut setelah pengedar narkoba mengubah proyek perumahan menjadi zona perang. Dia mengorganisir pemogokan sewa terhadap otoritas perumahan kota, memenangkan peningkatan pencahayaan luar ruangan, lebih banyak trotoar, dan pusat penitipan anak baru. Meskipun terdapat perbaikan-perbaikan yang bersifat tambal sulam, keadaan terus memburuk.
pada tahun 1995, tingkat kejahatan secara keseluruhan mencapai 18 kali lipat rata-rata nasional – tertinggi di kota tersebut. Hampir tiga perlima orang dewasa bergantung pada suatu bentuk kesejahteraan masyarakat. Satu dari setiap delapan orang merupakan pekerja formal. Satu dari setiap 20 siswa kelas lima memenuhi tujuan pendidikan negara. Kurangnya harapan terlihat jelas – bahkan para politisi pun menjauhinya. Meskipun kita cenderung mengaitkan masalah-masalah ini dengan kemiskinan, ada faktor-faktor yang lebih luas yang berperan.
Kemiskinan tidak menyebabkan kehancuran sosial; kesenjangan sosial juga tidak hanya terjadi di wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Sebaliknya, hal ini disebabkan oleh lingkungan sosial yang tidak sehat yang biasanya menyertai kemiskinan antargenerasi yang terkonsentrasi di Amerika saat ini. Dengan kata lain, produk sampingan dari lingkungan sosial yang buruk ini cenderung berlipat ganda di daerah-daerah dimana kemiskinan sangat terkonsentrasi, sehingga lebih sulit bagi seseorang yang miskin dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat untuk mencapai mobilitas ke atas, dibandingkan dengan seseorang yang miskin tetapi masih hidup. di lingkungan yang sehat. Meskipun banyak sekali program yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan individu yang miskin, “dampak dari terkonsentrasinya kemiskinan terhadap dampak sosial, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup masyarakat tampaknya tidak tertangani oleh sistem yang telah bersumpah untuk memberikan dampak terhadap hal tersebut,” perkotaan tulis ahli strategi revitalisasi Majora Carter. Baik di lingkungan perkotaan atau pinggiran kota, habitat yang sesuai harus mencakup pusat komersial — jalan raya, kumpulan toko, atau alun-alun — serta taman, perpustakaan, dan rumah ibadah, yang menyediakan fasilitas dan layanan sehari-hari serta tempat untuk aktivitas sehari-hari. orang untuk berkumpul dan berinteraksi. Dan hal ini harus mencakup titik-titik transit, yang menghubungkan penduduk dengan masyarakat dan peluang di luar lingkungannya, serta trotoar yang berdekatan sehingga memberikan akses bagi penduduk untuk berjalan kaki ke daerah-daerah lain di lingkungan tersebut.
Dan banyak “lingkungan di AS yang sebagian besar tidak terlayani dengan baik,” tulis sosiolog dan penulis Emily Talen, yang menemukan bahwa 91,5% dari 174.186 lingkungan kelompok blok di Amerika tidak dapat dilalui dengan berjalan kaki. Mereka yang mempunyai pilihan untuk meninggalkan lingkungan seperti East Lake melakukan hal yang sama, sehingga lingkungan tersebut semakin tertekan. Dengan semakin sedikitnya pemimpin, panutan, keluarga pekerja, dan sumber daya ekonomi, dinamika sosial di negara-negara tersebut semakin memburuk, sehingga menghasilkan permasalahan sosial baru yang menghambat perubahan dan memperkuat pola-pola yang merugikan. Bagi penduduk East Lake, permasalahannya lebih dari sekedar kurangnya kesempatan untuk melakukan mobilitas ke atas. Masalah sebenarnya bukanlah tingginya angka pengangguran, kekerasan bersenjata, atau bahkan kemiskinan; faktor-faktor struktural dan institusi-institusi sosiallah yang menciptakan kondisi-kondisi ini. Infrastruktur perumahan memusatkan warga berpenghasilan rendah di lingkungan tersebut (dengan banyak rumah yang terbengkalai atau bobrok).
Meskipun terdapat sebuah klub golf terkenal di sebelahnya, klub tersebut menjadi putus asa (proyek perumahan rakyat dibangun di lapangan golf kedua), sehingga menyeret area tersebut ke bawah. Perdagangan terbatas (etalase toko ditutup), dan peluang kerja sedikit. Buruknya akses terhadap angkutan umum membuat penduduk terputus dari bagian-bagian terbaik wilayah perkotaan. Dan karena sekolah-sekolah lokal dikelola sebagai bagian dari sistem sekolah yang lebih besar, para pemimpin lokal mempunyai pengaruh yang kecil terhadap arah sekolah, dan tidak ada mekanisme untuk meningkatkan kinerja buruk sekolah-sekolah tersebut. Sementara itu, volatilitas pemukiman, yang merupakan salah satu indikator utama lingkungan yang tidak sehat, cukup tinggi, dengan seperlima penghuni perumahan umum dan tiga perlima siswa di sekolah setempat berpindah tempat tinggal setiap tahunnya. Perputaran uang yang konstan di tempat-tempat seperti itu berarti hanya sedikit penduduk yang berinvestasi untuk menjadikannya lebih baik.
Masalah-masalah ini tidak terjadi secara terpisah; mereka saling memberi makan. Buruknya kualitas sekolah dan kurangnya kesempatan kerja berkontribusi terhadap tingginya tingkat kejahatan, prevalensi kejahatan berkontribusi pada kelangkaan pengecer dan calon pemberi kerja, dan isolasi serta kurangnya kesempatan kerja pada gilirannya menghasilkan eksodus orang-orang yang lebih banyak bekerja. anggota masyarakat yang mampu. Untuk berhasil mengatasi salah satu permasalahan ini berarti juga mengatasi permasalahan lainnya secara bersamaan. Angela Blanchard, mantan CEO organisasi nirlaba pengembangan masyarakat BakerRipley, menyebut pendekatan seperti itu sebagai “pengaturan yang cerdik,” dan menulis, “Kami melihat banyak upaya gagal untuk merevitalisasi dan mengubah lingkungan hanya karena satu elemen—sekolah yang terisolasi, perumahan yang heroik, klinik transformasional. Upaya ini gagal. Jika kita membayangkan kita ‘menyiapkan meja pengembangan masyarakat’, kita harus membayangkannya sebagai sebuah acara seadanya dimana piring, piring, dan makanan disumbangkan dari berbagai sumber. Menjadi tugas organisasi pengembangan masyarakat untuk menciptakan pengaturan yang cerdik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.”
Disadur dari: nextcity.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Indonesia akan menyoroti sejumlah pencapaian yang telah diraihnya di bidang pengelolaan air di hadapan audiens internasional pada Forum Air Dunia (WWF) ke-10 pada tanggal 18-24 Mei 2024 di Bali.
Deputi Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti dalam konferensi pers daring, Selasa, mengatakan akan disiapkan area showcase sistem irigasi Bali, Subak, untuk acara tersebut.
Selain itu, Indonesia akan menyoroti program pengendalian pencemaran dan restorasi ekosistem di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang dikenal dengan Program Citarum Harum.
Menurut Hendiarti, Program Citarum Harum akan dipromosikan pada WWF ke-10 karena program tersebut berhasil meningkatkan kualitas air di Citarum dari tercemar berat menjadi tercemar ringan, dengan Indeks Kualitas Air mencapai 51,01 poin.
“Ini contoh program yang terintegrasi, mungkin melibatkan sekitar 16 kementerian/lembaga, dan sedang dilaksanakan rencana aksinya,” ujarnya.
Kemudian, program penyelamatan 15 danau prioritas nasional yang meliputi pemulihan kualitas air, tata kelola dan ekosistem sekitar, serta program penanganan sampah laut juga akan diusung pada WWF ke-10 mendatang.
“Karena (penanganan sampah laut) ini sudah diakui dunia internasional, dan Indonesia juga punya komitmen dan konsisten dalam melakukan upaya tersebut,” ujarnya.
WWF ke-10 yang mengusung tema “Air untuk Kemakmuran Bersama” ini akan menampilkan diskusi yang melibatkan tiga proses, yaitu tematik, politik, dan regional.
Proses tematik ini akan mencakup enam sub-tema: keamanan dan kesejahteraan air; air untuk manusia dan alam; pengurangan dan pengelolaan risiko bencana; tata kelola, kerja sama, dan hidro-diplomasi; pembiayaan air berkelanjutan; dan pengetahuan dan inovasi.
Proses regionalnya akan mencakup empat wilayah, yaitu Mediterania, Asia-Pasifik, Amerika, dan Afrika.
Sementara itu, proses politik akan terdiri dari pertemuan para kepala negara, menteri, parlemen, pemerintah daerah, dan otoritas daerah aliran sungai.
WWF ke-10 ini menargetkan melibatkan sebanyak 30 ribu peserta, meliputi 33 kepala negara, 190 menteri dari 180 negara, serta perwakilan 250 organisasi yang akan menghadiri 214 sesi forum.
Disadur dari: en.antaranews.com
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Perumahan Rakyat, Solusi Perumahan di Indonesia
Kota-kota di Indonesia yang mengalami urbanisasi yang tidak terkendali menyebabkan berbagai permasalahan dalam penyediaan perumahan, seperti fenomena urban sprawling.
Merespon permasalahan tersebut, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB menyelenggarakan webinar dengan tema "Keterjangkauan Perumahan: Menemukan Jembatan Antara Kebijakan dan Realita" pada Kamis (9/12) melalui Zoom Meeting. Webinar ini termasuk dalam seri webinar SAPPK ketujuh yang kini menghadirkan pembicara dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman SAPPK ITB.
Sebagai salah satu pembicara, M. Jehansyah Siregar, Ph.D., menyatakan bahwa program perumahan rakyat dapat mengatasi masalah perumahan di Indonesia. Diskusi ini bertajuk "Tantangan Implementasi Program Perumahan Rakyat di Indonesia: Pelajaran dari Singapura dan Jepang".
Perumahan rakyat merupakan praktik intervensi langsung dari pemerintah dalam menyediakan perumahan yang telah dilakukan dengan baik di banyak negara di Asia. Di Indonesia, program perumahan publik belum tersedia. Pemerintah menyediakan banyak program perumahan sosial dan komersial, seperti Rusunawa, yang dekat dengan program perumahan publik, namun sayangnya belum berkembang dengan baik.
Sejauh ini, program penyediaan rumah tapak sederhana bersubsidi menjadi semakin mahal, tidak terjangkau, dan semakin jauh dari pusat kota. Semakin luasnya wilayah metropolitan Jakarta menyebabkan perumahan bersubsidi semakin jauh dari pusat kota. Hal ini merupakan sebuah paradoks mengingat tingginya permintaan akan hunian yang terletak di pusat kota. Ketidaksinambungan antara permintaan dan penawaran berdampak pada pertumbuhan kawasan kumuh di pusat kota.
Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus untuk mengatasi masalah keterjangkauan perumahan bagi masyarakat. Keterjangkauan perumahan adalah kemampuan untuk menjangkau perumahan, baik dalam kepemilikan rumah atau apartemen maupun penyewaan rumah atau apartemen. Masalah ini perlu diatasi dengan kebijakan perumahan rakyat yang memadai.
Public housing sebagai salah satu bentuk kebijakan perumahan rakyat merupakan jawaban dari permasalahan urbanisasi dan permasalahan perumahan di perkotaan, khususnya di Singapura dan Jepang. Pemerintah Singapura menyediakan perumahan publik yang dibangun oleh HDB (Housing Development Board) dengan tipe apartemen yang tinggi dan berstandar minimum untuk menjangkau 80% penduduknya. Pemerintah memberikan subsidi untuk perumahan umum ini, namun ada mekanisme kontrol yang ketat untuk menghindari salah sasaran, pembangunan di lokasi yang tidak tepat, dan manajemen yang buruk.
Penelitian SCAPPE (Singapore Center for Applied and Policy Economics) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa rasio keterjangkauan perumahan publik di Singapura menunjukkan angka yang kecil, yaitu di bawah 0,3. Hal ini berkebalikan dengan rasio keterjangkauan perumahan swasta yang lebih dari 0,3.
"Singapura dulu sama seperti Jakarta, masih banyak pemukiman kumuh. Namun, dengan pengembangan program perumahan rakyat yang progresif, sekarang menjadi kota tanpa permukiman kumuh," katanya.
Dengan demikian, perumahan yang terjangkau tidak lagi menjadi masalah bagi Singapura karena perumahan publik memainkan peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang modern dan sejahtera serta pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Perumahan publik di Singapura juga menjadi instrumen untuk membangun karakter bangsa. Program perumahan rakyat membangun fisik perumahan dan membangun karakter sosial masyarakat.
"Perumahan rakyat di Indonesia tidak bisa ditunda lagi dan harus dilaksanakan secara konsisten. Urbanisasi yang cepat dan tumbuhnya kota-kota metropolitan baru berpotensi mengulang kegagalan pengelolaan urbanisasi oleh kota-kota pendahulunya, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan," ujar M. Jehansyah di akhir presentasinya.
Disadur dari: