Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko di Sektor Publik dalam Perspektif Teoritis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Menelusuri Konsep Risiko: Definisi, Dimensi, dan Aplikasinya

Artikel ini membuka diskusi dengan mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang berpotensi mengganggu pencapaian tujuan organisasi. Dalam konteks sektor publik, risiko tidak hanya berkutat pada aspek keuangan, tetapi juga menyangkut dimensi sosial, politik, dan teknologis. Penulis mengadopsi pendekatan Althaus (2005) yang membagi pemahaman risiko berdasarkan berbagai disiplin ilmu, seperti logika (risiko sebagai fenomena kalkulatif), ekonomi (risiko sebagai peluang dan ancaman terhadap nilai), hingga sosiologi (risiko sebagai konstruksi sosial).

Penting untuk dicatat bahwa artikel ini membedakan risiko dan ketidakpastian. Risiko mengacu pada probabilitas yang dapat dikuantifikasi, sedangkan ketidakpastian sering kali tidak dapat diukur dan sulit diprediksi. Distingsi ini penting karena pengelolaan keduanya membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam kebijakan publik.

Studi Kasus: Risiko Korupsi dan Dampaknya pada Belanja Publik

Salah satu bagian paling mencolok dari artikel ini adalah sorotan terhadap risiko korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik. Berdasarkan data OECD, belanja publik untuk pengadaan barang dan jasa mencakup 13–20% dari PDB, dengan nilai sekitar USD 9,5 triliun per tahun. Namun, 20–25% dari anggaran ini—setara dengan USD 2 triliun—diperkirakan hilang akibat praktik korupsi.

Sebagai contoh konkret, artikel ini mengutip laporan OECD tahun 2021 yang mencatat lonjakan pengeluaran pemerintah untuk pengadaan publik selama pandemi COVID-19. Di 22 negara OECD-UE, proporsinya meningkat dari 13,7% PDB (2019) menjadi 14,9% (2020), memperbesar eksposur terhadap penyalahgunaan wewenang dan manipulasi tender. Risiko ini menjadi sangat tinggi dalam proyek infrastruktur besar atau pembelian di sektor pertahanan, di mana kompleksitas teknis dan minimnya transparansi menciptakan ruang untuk kolusi dan penyalahgunaan.

Evolusi Standar Internasional dan Implikasi Praktisnya

Perkembangan teori manajemen risiko di sektor publik tidak bisa dilepaskan dari peran standar internasional seperti ISO 31000 dan COSO II. Penulis menyoroti bagaimana ISO 31000 menekankan pentingnya konteks organisasi dan umpan balik berkelanjutan dalam siklus manajemen risiko. Lima tahapan inti—identifikasi, penilaian, pengendalian, pembiayaan, dan pemantauan risiko—harus disesuaikan dengan budaya dan struktur organisasi publik.

Sementara COSO melihat manajemen risiko sebagai proses yang melibatkan seluruh entitas organisasi, dari dewan pengarah hingga staf paling bawah. Hal ini mendukung paradigma Enterprise Risk Management (ERM) yang kini mulai diadopsi di berbagai pemerintahan, seperti Kanada dan Selandia Baru, sebagai upaya membangun tata kelola berbasis akuntabilitas dan efisiensi layanan publik.

Klasifikasi Risiko dalam Konteks Publik

Artikel ini memperluas kerangka klasifikasi risiko yang relevan untuk sektor publik ke dalam dua kategori utama: risiko strategis dan operasional. Risiko strategis mencakup risiko politik, sosial, teknologi, ekonomi, dan lingkungan. Misalnya, perubahan undang-undang (seperti perlindungan data atau hak asasi manusia) bisa memengaruhi kinerja operasional lembaga secara signifikan.

Di sisi lain, risiko operasional muncul dari aktivitas harian, seperti risiko hukum (pelanggaran regulasi), risiko fisik (kecelakaan kerja), risiko kontraktual (gagalnya rekanan), serta risiko teknologi akibat ketergantungan pada sistem informasi. Dalam kerangka ini, pejabat pelayanan publik seperti polisi, dokter, atau pegawai sosial menjadi garda terdepan yang harus peka terhadap potensi risiko di lapangan.

Penulis juga mengutip pendekatan Fone dan Young (2005) yang membedakan antara “social risk” (seperti bencana, epidemi, atau migrasi massal) dan “organizational risk” (seperti kebangkrutan lembaga, litigasi hukum, atau kegagalan kebijakan).

Perbandingan Manajemen Risiko di Sektor Publik dan Swasta

Artikel ini menyoroti perbedaan fundamental antara pendekatan sektor publik dan swasta terhadap manajemen risiko. Sektor swasta cenderung berorientasi pada keuntungan dan menggunakan metrik seperti “risk-adjusted return on capital.” Sebaliknya, sektor publik memiliki mandat pelayanan sosial dan akuntabilitas publik yang lebih luas.

Sebagai contoh, perusahaan swasta bisa menutup unit bisnis yang tidak menguntungkan, sementara instansi pemerintah harus tetap menyediakan layanan penting meski tidak menghasilkan keuntungan. Perubahan rezim politik pun dapat langsung memengaruhi arah kebijakan dan alokasi sumber daya.

Namun, tantangan terbesar sektor publik adalah fragmentasi pendekatan, di mana manajemen risiko belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam strategi organisasi. Banyak lembaga pemerintah mengelola risiko secara terpisah dan ad hoc, tanpa koordinasi lintas departemen, yang menyebabkan inkonsistensi dalam pengambilan keputusan dan rendahnya efektivitas pengendalian risiko.

Integrasi Manajemen Risiko dalam Budaya Organisasi Publik

Penulis menegaskan bahwa manajemen risiko tidak boleh dianggap sebagai tanggung jawab individu atau unit tertentu. Sebaliknya, pendekatan ini harus melekat dalam seluruh struktur organisasi, mulai dari strategi hingga pelaksanaan. Pendekatan ERM memungkinkan organisasi publik untuk memetakan skenario risiko, merancang respons yang proporsional, dan menilai implikasi keuangan dari keputusan yang diambil.

Langkah-langkah yang disarankan mencakup identifikasi misi organisasi, analisis risiko, kontrol dan mitigasi risiko, evaluasi finansial, serta implementasi berkelanjutan dengan sistem pelaporan yang kuat. Selain itu, strategi penanganan risiko seperti risk avoidance, risk reduction, dan risk transfer juga dibahas secara komprehensif.

Isu dan Tantangan Implementasi

Kendati teori manajemen risiko telah mapan, implementasinya di sektor publik masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah “lack of integration,” yakni ketika pengelolaan risiko tidak menyatu dengan sistem pengambilan keputusan atau hanya dijalankan sebagai kewajiban administratif.

Selain itu, masih terdapat miskonsepsi bahwa manajemen risiko identik dengan kepatuhan, bukan alat strategis untuk meningkatkan kinerja organisasi. Ketidakharmonisan komunikasi antara tingkatan manajerial dan operasional juga menjadi penghambat utama efektivitas.

Tantangan lainnya adalah tekanan politik, perubahan cepat dalam teknologi dan regulasi, serta menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara pasca krisis keuangan global. Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis data dan sistematis agar risiko tidak hanya dihindari tetapi juga dimitigasi dengan perencanaan kontinjensi yang matang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Melalui artikel ini, Bentahar dan Rifai berhasil membangun kerangka teoritis yang kuat mengenai pentingnya manajemen risiko dalam sektor publik. Mereka menggarisbawahi bahwa risiko bukanlah sekadar ancaman, tetapi juga peluang untuk berinovasi dan meningkatkan nilai layanan publik.

Implikasi praktis dari artikel ini sangat luas, mulai dari reformasi pengadaan barang dan jasa, penguatan fungsi audit internal, hingga penerapan manajemen risiko terpadu di semua lini birokrasi. Dalam konteks globalisasi, digitalisasi, dan krisis multidimensi, sektor publik tidak lagi bisa menunda adopsi sistem pengelolaan risiko yang profesional dan terintegrasi.

Bagi negara-negara berkembang seperti Maroko (fokus konteks penulis), penguatan kapasitas institusi publik dalam mengenali dan mengelola risiko merupakan prasyarat untuk mencapai good governance, mengurangi korupsi, dan memperkuat kepercayaan warga terhadap negara.

Akhirnya, artikel ini menjadi kontribusi penting dalam literatur manajemen publik, khususnya dalam memperluas pemahaman teoritis dan aplikatif terhadap tantangan manajemen risiko di sektor yang kompleks, politis, dan serba dinamis.

Sumber Artikel dalam Bahasa Asli:

Bentahar Abdelrhani & Rifai Adnan. (2022). Risk and Risk Management in the Public Sector: A Theoretical Contribution. Journal of Economics, Finance and Management Studies, Vol. 5 Issue 09, September 2022, Hal. 2492–2506. DOI: 10.47191/jefms/v5-i9-03.

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko di Sektor Publik dalam Perspektif Teoritis

Manajemen Risiko

Risiko dalam Proyek Design and Build di Indonesia: Analisis Mendalam dan Strategi Pengelolaan yang Efektif

Dipublikasikan oleh Anisa pada 05 Mei 2025


Pendahuluan: Kompleksitas Proyek Design and Build di Indonesia

Model proyek design and build (D&B) semakin populer di industri konstruksi Indonesia karena efisiensi waktu dan biaya yang ditawarkannya. Namun, kompleksitas dan integrasi antara desain serta pelaksanaan membuat model ini sarat risiko. Paper karya Muhammad Farhan Ramadhan mengkaji secara komprehensif jenis-jenis risiko yang sering terjadi pada proyek D&B di Indonesia dan menawarkan strategi pengelolaan berbasis analisis kuantitatif.

Latar Belakang dan Fokus Penelitian

Proyek D&B di Indonesia mengalami peningkatan pesat, seiring dengan perkembangan infrastruktur dan tuntutan efisiensi. Metode ini menyatukan tanggung jawab desain dan konstruksi pada satu entitas kontraktor, sehingga mempercepat proses dan mengurangi konflik. Namun, model ini juga memunculkan tantangan risiko yang unik: dari ketidakjelasan spesifikasi awal, potensi perbedaan persepsi, hingga perubahan desain mendadak saat proyek berjalan.

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengidentifikasi risiko signifikan dalam proyek D&B di Indonesia.

  • Mengukur probabilitas dan dampaknya.

  • Menyusun strategi mitigasi berdasarkan analisis data lapangan.

Metodologi: Survei, Analisis Risiko, dan Matriks Evaluasi

Penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang disebarkan kepada para profesional di bidang konstruksi (konsultan, kontraktor, pemilik proyek). Kuesioner dirancang untuk mengukur persepsi terhadap:

  • Kemungkinan terjadinya risiko (probability).

  • Dampak risiko terhadap proyek (impact).

  • Tingkat signifikansi risiko (risk significance).
     

Masing-masing risiko kemudian dipetakan dalam matriks probabilitas-dampak untuk mengidentifikasi prioritas pengelolaan.

Responden:
Sebanyak 48 profesional konstruksi di Indonesia, terdiri dari:

  • 40% dari perusahaan kontraktor.

  • 33% dari konsultan pengawas atau perencana.

  • 27% dari pemilik proyek (owner representative).
     

Temuan Utama: 10 Risiko Paling Signifikan dalam Proyek D&B

Dari hasil analisis, 10 risiko teratas dalam proyek D&B di Indonesia berdasarkan risk significance adalah:

  1. Perubahan desain selama konstruksi.

  2. Ketidaksesuaian antara desain dan kebutuhan di lapangan.

  3. Ketidakjelasan lingkup pekerjaan di awal.

  4. Kurangnya koordinasi antara tim desain dan konstruksi.

  5. Kurangnya pengalaman kontraktor dalam proyek D&B.

  6. Keterlambatan pengambilan keputusan oleh owner.

  7. Kegagalan dalam memahami kebutuhan pengguna akhir.

  8. Kesalahan dalam estimasi biaya proyek.

  9. Ketidaksesuaian antara jadwal desain dan jadwal konstruksi.

  10. Ketidaktepatan waktu dalam penyediaan material.
     

Sebagian besar risiko tersebut bersumber dari komunikasi yang buruk dan kurangnya perencanaan terpadu antara desain dan konstruksi—dua aspek yang dalam model D&B seharusnya saling menguatkan.

Studi Kasus dan Konteks Industri di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, banyak proyek D&B dikerjakan oleh perusahaan yang belum terbiasa mengelola aspek desain secara komprehensif. Misalnya, pada pembangunan jalan tol atau fasilitas publik (seperti LRT Jakarta), sering ditemukan perubahan desain di tengah jalan akibat ketidakjelasan dokumen awal atau perbedaan interpretasi antarpihak. Hal ini menyebabkan penundaan dan pembengkakan biaya, dua masalah klasik dalam proyek D&B.

Contoh konkret bisa dilihat pada proyek pembangunan RSUD di beberapa daerah yang menggunakan skema D&B, namun mengalami revisi gambar kerja di tahap konstruksi karena kurangnya koordinasi awal antara desainer dan eksekutor.

Strategi Mitigasi: Membangun Sistem Manajemen Risiko Proaktif

Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi risiko, tetapi juga menyusun strategi mitigasi yang relevan, antara lain:

  • Kick-off meeting yang menyeluruh antara tim desain dan konstruksi sejak awal proyek.

  • Dokumentasi kebutuhan pengguna akhir secara detail, termasuk skenario penggunaan bangunan.

  • Review desain berkala yang melibatkan semua stakeholder, termasuk kontraktor lapangan.

  • Pelatihan dan sertifikasi kontraktor untuk proyek D&B agar memahami alur kerja desain.

  • Kontrak berbasis risiko (risk-based contract) dengan klausul fleksibilitas namun terkendali.

Strategi ini sangat relevan dengan praktik internasional, di mana proyek D&B sukses biasanya didukung oleh manajemen risiko yang terstruktur dan kolaboratif.

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Menariknya, temuan Ramadhan selaras dengan riset internasional, seperti oleh Molenaar et al. (2000) dan Ling et al. (2004), yang juga menempatkan risiko desain sebagai titik kritis dalam proyek D&B. Namun, kontribusi unik dari penelitian ini adalah fokusnya pada konteks Indonesia yang masih berkembang dan cenderung kurang memiliki standar komunikasi yang kuat dalam proyek konstruksi terpadu.

Sementara di negara-negara maju sudah ada software kolaboratif seperti BIM (Building Information Modeling) yang terintegrasi dalam proyek D&B, di Indonesia implementasinya masih sangat terbatas. Ini memperkuat argumen bahwa manajemen risiko di sini harus difokuskan pada soft skill seperti komunikasi, pengambilan keputusan, dan penyusunan kebutuhan awal proyek.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Penelitian ini memberikan panduan nyata bagi pelaku industri konstruksi di Indonesia:

  • Owner harus lebih aktif dalam menyampaikan ekspektasi secara jelas sejak awal.

  • Kontraktor perlu meningkatkan kapabilitas desain internal, bukan hanya mengandalkan subkontraktor.

  • Konsultan perencana dan pengawas wajib menjembatani komunikasi antara tim desain dan lapangan.
     

Lebih jauh lagi, pemerintah dan asosiasi konstruksi dapat mendorong standar kompetensi khusus untuk proyek D&B, serta mewajibkan penyusunan dokumen design brief yang lengkap.

Kritik dan Saran Pengembangan

Meskipun metode survei memberikan gambaran umum, penelitian ini bisa lebih tajam jika disertai dengan studi kasus kualitatif dari proyek nyata, lengkap dengan data waktu, biaya, dan hasil. Pendekatan mixed-method akan memberikan nuansa yang lebih dalam, terutama pada aspek sosial dan organisasi yang tidak tergambar lewat angka saja.

Selain itu, penggunaan software seperti Monte Carlo Simulation atau FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) bisa memperkuat analisis risiko secara teknis dan prediktif.

Penutup: Membangun Proyek D&B yang Tangguh

Proyek design and build menjanjikan efisiensi, namun di sisi lain, kompleksitas dan ketidakpastian harus dikelola dengan sistematis. Penelitian ini menjadi kontribusi penting dalam mengisi kekosongan literatur lokal tentang risiko proyek D&B di Indonesia, dan menyodorkan solusi yang praktis serta kontekstual.

Bagi pelaku industri, ini adalah pengingat bahwa keberhasilan proyek tidak hanya bergantung pada desain hebat atau teknologi mutakhir, tetapi juga pada kemampuan memahami dan mengelola risiko sejak awal.

Sumber:

Ramadhan, M.F. (2024). Risk Management on Design and Build Construction Project in Indonesia. Universitas Indonesia.
[DOI dan akses resmi akan ditambahkan bila tersedia dari jurnal publikasi]

Selengkapnya
Risiko dalam Proyek Design and Build di Indonesia: Analisis Mendalam dan Strategi Pengelolaan yang Efektif
« First Previous page 11 of 11