Manajemen Risiko

Menggali Potensi Penuh: Memanfaatkan Proyek Pengelolaan Risiko Banjir untuk Ketahanan Urban Holistik.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Penelitian berjudul How flood risk management projects can improve urban resilience: a combined assessment approach of functional resilience and adaptive capacity yang dipublikasikan di Australasian Journal of Water Resources ini menyajikan sebuah pendekatan penting untuk mengevaluasi dan merancang proyek pengelolaan risiko banjir (PRB) di kawasan urban. Memahami bahwa banjir merupakan tantangan besar bagi kawasan urban di seluruh dunia, penelitian ini berfokus pada peningkatan ketahanan, terutama di kawasan pesisir dataran rendah. Tujuan utama dari paper ini adalah untuk menganalisis sejauh mana dan mengapa proyek-proyek manajemen risiko banjir dapat memberikan dampak positif pada ketahanan urban.

Secara konseptual, penelitian ini mendefinisikan ketahanan banjir urban sebagai kapasitas sistem urban—termasuk infrastruktur fisik, institusi, dan komunitas—untuk (1) menahan banjir, (2) menyerap dan pulih dari banjir, dan (3) bertransformasi dan beradaptasi. Penelitian ini berargumen bahwa upaya PRB cenderung terlalu fokus pada pendekatan langsung, seperti intervensi struktural untuk mengurangi kerugian, seringkali mengabaikan aspek penting dari pembangunan kapasitas adaptif.

Untuk mengisi kesenjangan ini, peneliti mengembangkan sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan dua pilar utama penilaian: penilaian dampak terhadap ketahanan fungsional sistem urban dan penilaian kapasitas adaptif warga. Pendekatan ini merupakan contoh dari penilaian partisipatif, yang melibatkan pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan pengetahuan kontekstual mereka dan meningkatkan pemahaman tentang dinamika konteks dan ketahanan. Pendekatan tiga fase ini diterapkan pada proyek remediasi banjir Dudley Creek di Christchurch, Selandia Baru:

  1. Karakterisasi: Pendefinisian sistem urban (fungsi utama, gangguan, dan dampaknya) dan proyek (intervensi struktural dan non-struktural, desain proses, dan konteks tata kelola).
  2. Penilaian: Menilai ketahanan fungsional (menggunakan enam prinsip ketahanan klasik: buffering, redundancy, omnivory, homeostasis, flatness, flux) dan kapasitas adaptif warga (menggunakan empat indikator: persepsi risiko, pengetahuan, kapasitas adaptif yang dirasakan, dan motivasi).
  3. Analisis: Menjelaskan hasil, mengidentifikasi prinsip ketahanan dan indikator kapasitas adaptif yang kurang dimanfaatkan, dan memberikan rekomendasi.

Hasil aplikasi di Dudley Creek, kawasan rawan banjir akibat perubahan elevasi tanah pasca gempa yang memengaruhi sekitar 70% dari rumah-rumah yang terkena banjir reguler (sekitar 600 rumah) di sana, menunjukkan bahwa proyek tersebut secara keseluruhan memiliki dampak positif pada ketahanan urban melalui perbaikan ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif.

Pada sisi ketahanan fungsional, proyek tersebut menunjukkan dampak paling positif pada kemampuan sistem untuk menstabilkan diri melalui homeostasis (skor rata-rata: 4.2) dan kemampuan untuk merespons cepat melalui flux (skor rata-rata: 3.9). Semua intervensi, baik struktural maupun non-struktural, memiliki skor dampak rata-rata positif (>3). Intervensi struktural yang paling memengaruhi adalah underground piped bypass (skor rata-rata: 4.0), sementara intervensi non-struktural adalah citizen engagement (skor rata-rata: 4.0). Namun, dampak terbatas tercatat pada redundancy (skor rata-rata: 3.3) dan flatness (skor rata-rata: 3.1).

Pada sisi kapasitas adaptif, keterlibatan warga secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko dibandingkan warga yang tidak terlibat. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara keterlibatan warga dan peningkatan pengetahuan terkait banjir dan kesiapan dengan nilai $p<.001$ untuk keduanya, serta pengetahuan perubahan iklim ($p<.001$) dan kekhawatiran tentang perubahan iklim ($p=.045$)—menunjukkan potensi kuat untuk intervensi non-struktural yang ditargetkan. Sebaliknya, keterlibatan warga tidak menunjukkan dampak signifikan pada motivasi atau kapasitas adaptif yang dirasakan ($p=.095$ dan $p=.483$ masing-masing).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan menawarkan sebuah kerangka kerja diagnostik dan holistik yang secara eksplisit menggabungkan perspektif rekayasa (functional resilience) dan sosial (adaptive capacity) untuk menilai dampak proyek PRB pada tingkat lokal. Hal ini mengatasi kelemahan literatur yang ada yang sebagian besar fokus pada respons sistem rekayasa dan mengabaikan interaksi banjir-manusia atau faktor sosial.

Secara khusus, penemuan bahwa keterlibatan warga meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko tetapi tidak pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan sangat relevan. Hal ini mengonfirmasi perlunya intervensi engagement yang ditargetkan untuk tidak hanya mengedukasi tetapi juga memberdayakan warga. Penemuan ini menyoroti bahwa proyek PRB perlu mengintegrasikan intervensi struktural yang dirancang dengan baik dengan intervensi engagement yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas adaptif warga.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Penilaian fungsional menunjukkan bahwa flatness (kompetensi lokal untuk memutuskan dan bertindak) dan redundancy (fungsi yang tumpang tindih) adalah prinsip yang paling kurang dimanfaatkan. Analisis menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya kewenangan (otoritas) inisiator proyek, tujuan 'persyaratan minimum' untuk kembali ke tingkat pra-gempa, dan keterbatasan sumber daya yang dipicu oleh proses fast-tracked.

Pertanyaan terbuka yang muncul adalah:

  • Sejauh mana faktor konteks dan desain proses (governance context dan process design), seperti yang disorot dalam analisis, secara kausal membatasi peningkatan flatness dan redundancy dibandingkan dengan faktor desain teknis?
  • Bagaimana proyek dapat dirancang agar kriteria ketahanan, seperti redundancy, dapat tertanam dalam desain saat ini meskipun ada strategi 'jalur adaptif' yang reaktif, yang dikhawatirkan dapat menunda peningkatan kapasitas terhadap gangguan di masa depan?
  • Apakah desain engagement yang berbeda (misalnya, dialog dua arah yang lebih kuat atau transparansi yang lebih tinggi) dapat mengatasi penurunan motivasi yang dirasakan oleh sebagian warga akibat kurangnya dialog dua arah, terutama di tengah tekanan waktu proyek?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Rekomendasi ini disusun untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada eksplorasi variabel dan konteks baru berdasarkan temuan.

  1. Riset Lanjutan tentang Pengoptimalan Redundancy vs. Keterbatasan Tata Kelola:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu dilakukan studi kasus komparatif yang membandingkan proyek PRB di yurisdiksi yang berbeda (misalnya, sistem federal vs. unitaris) dengan otoritas teritorial yang berbeda (misalnya, kota vs. otoritas regional/nasional). Fokus harus pada variabel tata kelola (kewenangan inisiator, mekanisme pendanaan cost-share antar level pemerintahan) dan dampaknya pada implementasi prinsip redundancy dan omnivory (diversifikasi sumber daya) untuk fungsi perumahan dan ekonomi, yang ditemukan kurang terwakili dalam kasus Dudley Creek.
    • Justifikasi Ilmiah: Penemuan bahwa redundancy dibatasi oleh kurangnya kewenangan de-develop dan perlunya persetujuan multi-level memerlukan pemodelan tata kelola dan dampaknya pada ruang lingkup intervensi teknis untuk mengidentifikasi model governance yang secara struktural memungkinkan solusi redundancy yang lebih luas.
  2. Eksplorasi Mendalam mengenai Flatness dan Kompetensi Lokal:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan penelitian pre-test dan post-test kualitatif (misalnya, wawancara mendalam, observasi partisipan) di proyek PRB baru yang secara eksplisit mencantumkan peningkatan flatness (pembentukan komite banjir lokal formal, anggaran diskresi lokal) sebagai tujuan dan kriteria keberhasilan. Variabel kunci adalah hubungan antara implementasi tujuan flatness dan perubahan terukur dalam kapasitas adaptif yang dirasakan warga dan motivasi untuk bertindak.
    • Justifikasi Ilmiah: Karena flatness ditemukan memiliki dampak yang terbatas (skor 3.1) dan engagement tidak meningkatkan motivasi/kapasitas adaptif yang dirasakan, perlu diverifikasi apakah transfer formal kompetensi pengambilan keputusan lokal dapat mengisi kesenjangan antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (motivation / perceived adaptive capacity), sejalan dengan argumen bahwa sistem hierarki yang terlalu kaku terlalu lambat untuk respons non-standar.
  3. Analisis Desain Keterlibatan (Engagement) untuk Peningkatan Motivasi:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menguji secara empiris dampak dari berbagai pendekatan engagement (misalnya, dialog dua arah, penekanan pada peran dan kemampuan warga, transparansi keputusan) pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan (PAD) warga, menggunakan kuisioner yang dimodifikasi untuk memasukkan pertanyaan tentang kualitas dialog dan peran yang dirasakan oleh warga.
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan peningkatan motivasi yang dicapai oleh sebagian warga diimbangi oleh penurunan motivasi pada warga lain karena persepsi kurangnya dialog dua arah. Hal ini menggarisbawahi perlunya studi diferensial untuk memodelkan desain engagement yang menghasilkan dampak positif bersih pada motivasi, mengatasi risiko de-motivation ketika harapan warga akan dampak tidak terpenuhi.
  4. Penilaian Ketahanan Multi-Bahaya (Multi-Hazard):
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan pendekatan gabungan (ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif) ke konteks urban yang menghadapi ancaman majemuk (misalnya, banjir, gempa bumi, kenaikan suhu). Pendekatan ini harus membandingkan dampak intervensi tunggal PRB terhadap ketahanan terhadap bahaya yang tidak terkait (misalnya, gempa) untuk menguji seberapa besar proyek PRB berkontribusi pada ketahanan 'generik' urban.
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun banjir adalah ancaman terbesar bagi Dudley Creek, studi ini mengakui bahwa ketahanan urban yang komprehensif harus mempertimbangkan semua gangguan. Membandingkan prinsip-prinsip ketahanan di seluruh bahaya akan mengidentifikasi intervensi yang paling sinergis atau berpotensi konflik, memberikan dasar bagi desain multi-hazard resilience di masa depan.
  5. Pemodelan Keterbatasan Sumber Daya dan Inovasi:
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan analisis simulasi atau ex-ante pada proyek PRB baru untuk memodelkan hubungan antara tekanan waktu (fast-tracked) dan biaya (fixed budget) dengan pemilihan intervensi 'tradisional/aman' (risiko penundaan rendah) versus intervensi 'inovatif' (risiko penundaan tinggi) yang berpotensi memiliki dampak ketahanan yang lebih tinggi. Membandingkan variabel delay risk aversion (penghindaran risiko penundaan) di antara pengambil keputusan.
    • Justifikasi Ilmiah: Analisis menunjukkan bahwa tekanan waktu menyebabkan pengambil keputusan memilih solusi tradisional daripada yang inovatif, meskipun yang terakhir mungkin lebih meningkatkan ketahanan. Penelitian ini akan membantu merumuskan trade-off antara kecepatan implementasi proyek dan hasil ketahanan yang optimal, menginformasikan kerangka kerja penilaian multi-kriteria untuk proyek mendatang.

Kesimpulan Kolaboratif

Penelitian ini mengonfirmasi relevansi menggabungkan perspektif teknik dan sosial dalam penilaian dan perancangan proyek manajemen risiko banjir. Untuk memastikan redundancy dan flatness tidak lagi menjadi prinsip yang kurang dimanfaatkan, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintahan lokal (sebagai inisiator proyek), otoritas perencanaan regional/nasional (untuk mengatasi keterbatasan kewenangan), dan organisasi komunitas (untuk menguji desain engagement yang memberdayakan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menggali Potensi Penuh: Memanfaatkan Proyek Pengelolaan Risiko Banjir untuk Ketahanan Urban Holistik.

Manajemen Risiko

Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Penelitian berjudul “Disaster Risk Management and Spatial Planning: Evidence from the Fire-Stricken Area of Mati, Greece” secara mendalam membahas peran penting perencanaan spasial sebagai alat panoptik untuk pembangunan berkelanjutan, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim. Perencanaan berbasis risiko mendapatkan perhatian karena meningkatnya kerentanan infrastruktur perkotaan. Integrasi manajemen risiko bencana (DRM) ke dalam perencanaan spasial memerlukan strategi berbasis geografis untuk mengurangi risiko bencana.

Kajian ini berfokus pada kawasan Mati, Attica, yang hancur akibat kebakaran hutan pada Juli 2018. Bencana tersebut merupakan yang paling mematikan di Eropa dan kedua paling mematikan di dunia pada abad terakhir. Penyebab bencana sangat berkaitan dengan kelemahan perencanaan spasial atau ketiadaannya : jalan yang sangat sempit, banyak jalan buntu, blok bangunan yang terlalu panjang tanpa jalur evakuasi lateral, dan kurangnya tempat berkumpul, semuanya menghambat evakuasi yang aman dan cepat. Penelitian ini menyajikan serangkaian proposal urbanistik untuk rekonstruksi Mati berdasarkan kontribusi Urban Planning Research Laboratory (UPRL) dari National Technical University of Athens (NTUA) untuk penyusunan Special Urban Plan (SUP).

Proposal ini bertujuan untuk reorganisasi perkotaan yang berpusat pada prinsip pembangunan berkelanjutan, organisasi tata guna lahan yang rasional, pelestarian sumber daya alam, dan memastikan kondisi aman untuk semua kelompok sosial penduduk dan pengunjung.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini adalah menyediakan cetak biru untuk integrasi DRM ke dalam perencanaan spasial, khususnya melalui instrumen SUP Yunani. SUP dapat digunakan untuk pengurangan risiko bencana dan manajemen , dan penggunaannya di Mati menjadi kasus percontohan yang signifikan bagi perencanaan spasial di Yunani.

Jalur logis perjalanan temuan dimulai dari identifikasi kerentanan Mati, diikuti dengan perumusan proposal reorganisasi:

  1. Analisis Kerentanan Spasial: Kerentanan Mati digarisbawahi oleh data kuantitatif yang menunjukkan ketidakcukupan signifikan dalam ruang publik dan struktur urban.
    • Persentase ruang umum (jalan, ruang terbuka) di permukiman Mati hanya 11,0%, jauh tertinggal dari kawasan perumahan pusat (22,3% dan 22,7%) atau permukiman suburban (14,3%). Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kurangnya ruang publik yang memadai (yang dapat berfungsi sebagai tempat berkumpul dan evakuasi) dan kerentanan permukiman terhadap bencana.
    • Perimeter blok bangunan rata-rata di Mati adalah 751,0 m (atau 730 m) , jauh lebih panjang dibandingkan permukiman lain di Attica (272,3 m hingga 533,0 m). Blok yang besar dan jalan buntu yang banyak menghambat rute evakuasi alternatif. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang fokus pada batas kritis perimeter blok untuk keamanan evakuasi.
    • Lebar jalan tersempit di Mati adalah 3,5 m , yang menghambat akses tim penyelamat dan kendaraan evakuasi.
  2. Perumusan Pola Organisasi Spasial Baru: Proposal reorganisasi Mati didasarkan pada tiga pilar utama: lingkungan alam, evakuasi aman, dan revitalisasi pantai.
    • Lingkungan Alam: Penekanan pada pencegahan kebakaran melalui studi perlindungan api , pengembangan zona pertahanan/perlindungan api dengan membersihkan vegetasi dan menanam spesies non-mudah terbakar , dan pemulihan kemampuan fisik kawasan seperti penyingkapan dasar sungai/aliran air untuk mitigasi banjir.
    • Evakuasi Aman dan Aksesibilitas: Memperluas ruang publik , membagi blok bangunan (memperkenalkan jalan transversal) , dan menciptakan jaringan evakuasi yang aman menuju tempat berkumpul publik.
    • Revitalisasi Pantai: Meningkatkan sifat publik dari zona pantai dengan menghilangkan pagar , dan menciptakan jalur pantai tunggal (sekitar ) untuk akses publik dan evakuasi.

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bagaimana kegagalan perencanaan (misalnya, bangunan informal, blok panjang, akses pantai terhalang) di masa lalu secara langsung berkontribusi pada kerentanan struktural, dan menawarkan kerangka kerja terpadu untuk membangun kembali ketahanan secara fisik dan prosedural.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan kerangka kerja yang komprehensif, penelitian ini menyoroti keterbatasan mendasar dalam sistem perencanaan Yunani yang dapat menghambat implementasi:

  • Pelaksanaan yang Lemah: Perencanaan spasial di Yunani seringkali ditantang oleh implementasi rencana yang terlalu lama, penegakan yang lemah, dan prosedur hukum serta administrasi yang berat.
  • Pemulihan yang Reaktif: Skema pemulihan bencana yang ada di Yunani cenderung berpusat pada bangunan individu dan mereproduksi kondisi spasial pra-bencana, alih-alih mempromosikan 'Build Back Better' dan keberlanjutan.
  • Pemisahan Disiplin: Perencana spasial cenderung memandang pengurangan risiko bencana sebagai area keahlian geosciences dan teknik , dan manajemen bencana sebagai masalah organisasi perlindungan sipil. Hal ini mencerminkan segregasi antara disiplin ilmu yang harus diatasi.

Pertanyaan terbuka yang muncul adalah: Seberapa efektif SUP dalam jangka panjang akan menahan tekanan pembangunan kembali oleh sektor swasta yang sering tidak mematuhi peraturan urban?. Lebih lanjut, bagaimana memastikan partisipasi multi-pemangku kepentingan yang memadai yang diperlukan untuk mengimplementasikan legislasi perencanaan yang kurang preskriptif, namun lebih fleksibel?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Model Simulasi Evakuasi Jaringan Urban Mati

  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan rata-rata perimeter blok bangunan Mati sebesar 751,0 meter dan kurangnya jalan transversal secara langsung menghambat evakuasi aman.
  • Fokus Riset: Mengembangkan model simulasi evakuasi micro-simulation (pejalan kaki dan kendaraan) yang membandingkan efisiensi waktu evakuasi kawasan Mati (pra-rekonstruksi) dengan skenario pasca-rekonstruksi yang mengintegrasikan jalan transversal baru (yang diusulkan ditunjukkan dalam Gambar 7).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menggunakan Analisis Jaringan Geografis untuk mengidentifikasi ambang batas kritis (critical threshold) di mana fragmentasi blok (memperkenalkan jalan transversal) secara signifikan mengurangi waktu respons tim penyelamat dan waktu evakuasi warga.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk memvalidasi desain ex-ante dari jaringan jalan baru dan secara kuantitatif mengukur manfaat pengurangan risiko dari intervensi spasial yang diusulkan Mati.

2. Studi Efikasi Fire Defense Zones Vegetatif-Hibrida

  • Justifikasi Ilmiah: Proposal Mati menyarankan penciptaan zona pertahanan/perlindungan api dengan membersihkan vegetasi, menanam spesies non-mudah terbakar, dan kemungkinan pemasangan sistem sprinkler aktif (solusi "aktif").
  • Fokus Riset: Melakukan kajian komparatif fire-testing dalam skala laboratorium dan lapangan untuk mengukur efikasi (misalnya, pengurangan intensitas api) dari zona pertahanan pasif (vegetatif) dan zona hibrida (vegetatif + sprinkler).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Memasukkan pemodelan propagasi api tingkat mikro (micro-level fire propagation modeling) dengan variabel kondisi ekstrem (misalnya, angin kencang seperti pada bencana 2018) untuk menghasilkan standar fire-resistance bangunan dan vegetasi yang spesifik untuk zona WUI (Wildland Urban Interface) Yunani.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk menyediakan bukti ilmiah yang kuat yang dapat digunakan untuk menyusun kode bangunan dan standar penggunaan lahan yang spesifik di kawasan fire-prone.

3. Analisis Longitudinal Tata Kelola dan Penegakan SUP

  • Justifikasi Ilmiah: Penegakan rencana spasial yang lemah dan prosedur yang terlalu lama adalah tantangan utama di Yunani. Keberhasilan SUP di Mati tergantung pada mengatasi hambatan kelembagaan ini.
  • Fokus Riset: Melakukan analisis tata kelola longitudinal terhadap proses persiapan, persetujuan, dan implementasi SUP Mati (termasuk koordinasi antar Kementerian dan entitas lokal).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menggunakan kerangka kerja action research dan Wawancara Pemangku Kepentingan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan kegagalan dalam integrasi kebijakan sektoral (transportasi, lingkungan, dsb.) di bawah payung SUP.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk mengatasi "perilaku silo" dan "fragmentasi tanggung jawab" yang diakui dalam DRM Yunani dan untuk merumuskan pedoman baru untuk implementasi SUP di masa depan.

4. Studi Penilaian Ketahanan Sosial-Spasial Pantai

  • Justifikasi Ilmiah: Revitalisasi pantai mengusulkan jalur publik sepanjang 3 km yang menghilangkan pagar dan meningkatkan akses ke laut sebagai jalur evakuasi. Akses yang terhalang berkontribusi pada kematian karena warga terjebak.
  • Fokus Riset: Menilai dampak sosiologis dan fungsional dari revitalisasi pantai Mati, khususnya pada keamanan evakuasi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan survei Geografi Perilaku terhadap penduduk dan pengunjung untuk mengukur peningkatan yang dirasakan dalam keamanan evakuasi, aksesibilitas, dan place attachment sebagai hasil dari jalur pesisir baru (yang diusulkan ditunjukkan dalam Gambar 8).
  • Perlunya Lanjutan: Untuk mendemonstrasikan hubungan antara intervensi spasial fisik (pembukaan ruang publik) dan peningkatan ketahanan sosial dan kesadaran risiko.

5. Pengembangan Pedoman Perencanaan untuk Permukiman Informal Pasca-Bencana

  • Justifikasi Ilmiah: Kerentanan di Mati diperparah oleh bangunan informal dan perumahan berkualitas buruk yang merupakan persentase tinggi dari stok bangunan. Pengembangan informal membuat permukiman rentan terhadap bencana.
  • Fokus Riset: Merumuskan pedoman perencanaan spasial adaptif yang spesifik untuk kawasan dengan tingkat pengembangan informal yang tinggi, berdasarkan pelajaran dari Mati.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menganalisis bagaimana relaksasi persyaratan tertentu (misalnya, ukuran plot yang lebih kecil) dan penggunaan strategi pelibatan multi-pemangku kepentingan dapat digunakan untuk mengintegrasikan DRM ke dalam pembaruan infrastruktur dan layanan di permukiman informal yang telah terlanjur ada.
  • Perlunya Lanjutan: Untuk menangani realitas bahwa hanya sebagian kecil pembangunan perkotaan yang mengikuti rencana formal , dan bahwa perencanaan harus beradaptasi untuk mengurangi risiko di kawasan informal.

Penelitian ini berfungsi sebagai cetak biru untuk mengubah krisis bencana menjadi kesempatan untuk mencapai pembangunan urban yang lebih aman dan berkelanjutan. Dengan mengidentifikasi secara eksplisit kelemahan spasial yang fatal, proposal Mati menggunakan Special Urban Plan (SUP) untuk secara radikal mereorganisasi jaringan jalan, memecah blok bangunan, dan mereklamasi ruang publik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi perencanaan regional, badan Perlindungan Sipil nasional, dan komunitas ilmiah geoinformatika untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama pada pemodelan risiko dan implementasi tata kelola.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani

Manajemen Risiko

Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Latar Belakang dan Alur Logis Temuan

Tinjauan literatur sistematis ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience/UR), yang didefinisikan sebagai kemampuan kota dan komunitas untuk bertahan optimal dari disrupsi dan pulih ke kondisi prapadisrupsi. Latar belakangnya adalah peningkatan pesat populasi perkotaan, yang diproyeksikan melebihi 60% populasi dunia pada tahun 2030, di mana kota-kota ini menghasilkan lebih dari 75% PDB global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca. Ironisnya, 90% wilayah metropolitan berada di pesisir, sangat rentan terhadap risiko bencana dari perubahan iklim. Disrupsi mengancam fungsi infrastruktur kritikal seperti jalan, rel kereta api, air, energi, dan telekomunikasi.

Penelitian ini menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus, diterbitkan antara tahun 2011 dan 2022, mencakup tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Alur temuan logis dalam penelitian ini berfokus pada integrasi dari tiga komponen utama untuk memaksimalkan dan melindungi nilai aset konstruksi di tengah risiko bencana:

  1. Manajemen Aset dan Risiko Bencana: Manajemen aset (berdasarkan standar ISO 55000) bertujuan memaksimalkan nilai dari aset dengan menyeimbangkan risiko, biaya, peluang, dan kinerja di seluruh siklus hidupnya. Risiko (berdasarkan ISO 31000) didefinisikan sebagai "efek ketidakpastian pada tujuan". Penelitian menegaskan bahwa pendekatan manajemen aset sangat penting untuk pencegahan dan kesiapan aset di tengah peristiwa yang tidak menguntungkan. Ketahanan melengkapi manajemen risiko dengan mempercepat pemulihan sistem, terutama ketika langkah-langkah manajemen risiko konvensional gagal memitigasi disrupsi.
  2. Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Alat Pendukung Keputusan: Implementasi konsep UR yang efisien memerlukan pendekatan multidisiplin. GIS, sebagai kemampuan digital untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menampilkan data lokasi, terbukti penting karena memberikan konteks spasial untuk data, yang membantu pengambil keputusan memahami masalah dan mengevaluasi alternatif secara komprehensif. GIS juga dapat digunakan untuk membuat peta bahaya dan kerentanan. Kombinasi GIS dengan metode Multicriteria Decision Making (MCDM), seperti Analytic Hierarchy Process (AHP), memungkinkan pengambil keputusan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah dan mengevaluasi alternatif dengan cara yang lebih komprehensif.
  3. Area Diskusi Utama: Tinjauan tersebut mengidentifikasi tujuh area diskusi utama dalam publikasi UR: perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, Sistem Informasi Geografis (GIS), infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, dan infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah istilah yang paling sering muncul (30 kali, dengan relevansi 0.998). Fenomena bencana yang paling banyak disinggung adalah banjir/genangan (74 kali, relevansi 0.285).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari tinjauan ini adalah menyajikan analisis bibliometrik dan NLP untuk secara empiris memetakan tren saat ini dalam riset UR, yang mendukung gagasan UR sebagai topik penting dengan minat akademis yang meluas. Lebih dari 75% dari 67 makalah yang dipilih dipublikasikan antara tahun 2017 dan 2021, dengan peningkatan signifikan pada tahun 2021. Secara disipliner, riset UR didominasi oleh Ilmu Lingkungan (24%), Ilmu Sosial (19%), dan Teknik (17%)—total 60% dari hasil yang tidak disaring, menunjukkan bahwa proyek riset UR wajib mengintegrasikan ketiga disiplin ini secara setara.

Secara substantif, kontribusi terpentingnya adalah usulan bahwa celah-celah riset yang teridentifikasi dapat diatasi dengan bantuan metode manajemen aset dan risiko bencana yang dikombinasikan dengan alat bantu keputusan berbasis GIS untuk meningkatkan UR secara signifikan. Penelitian ini menawarkan kerangka konseptual yang diperkaya yang secara eksplisit menghubungkan aset perkotaan dan risiko bencana dengan upaya untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan perkotaan, didukung oleh alat ilmu keputusan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan krusial dalam literatur UR saat ini, yang juga menjadi celah riset utama:

  • Kurangnya Definisi Ketahanan yang Sama dan Analisis Multidisiplin: Ada kurangnya definisi umum tentang ketahanan dan analisis multidisiplin yang memadai. Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas.
  • Kebutuhan akan Model UR yang Terpadu, Skalabel, dan Dapat Diadopsi: Model multidimensi yang ada perlu dibangun ulang setiap kali disesuaikan dengan kebutuhan kota dan bencana yang spesifik, sehingga menuntut model yang lebih canggih, skalabel, dan adaptif.
  • Ruang untuk Peningkatan Aplikasi Alat Multidimensi Berbasis GIS: Ada kebutuhan untuk mengubah semua data menjadi data berlabel-geo yang dapat ditransfer ke lingkungan cloud-based untuk analisis yang lebih baik oleh sistem pendukung keputusan.
  • Analisis Stokastik Kota Virtual: Mengingat akuisisi data yang mahal dan memakan waktu, ada kebutuhan untuk memperluas data yang ada menggunakan analisis stokastik pada kota virtual untuk memberikan wawasan awal sebelum pengambilan keputusan akhir.
  • Simulasi Skenario untuk Mendukung Proses Pengambilan Keputusan: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dan inklusif untuk secara proaktif mempersiapkan masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang ditujukan kepada komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada jalur riset untuk mengatasi celah yang diidentifikasi oleh tinjauan ini:

1. Pengembangan Kerangka Kerja Metrik Konsensus UR Multidisiplin

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyoroti "kurangnya definisi ketahanan yang sama dan analisis multidisiplin". Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas. Riset perlu menyelaraskan pendekatan dari Ilmu Lingkungan, Ilmu Sosial, dan Teknik, yang bersama-sama menyumbang 60% dari literatur yang ditinjau.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan metode kualitatif ekstensif seperti survei Delphi global multi-putaran yang melibatkan ahli untuk mencapai konsensus tentang metrik dan indikator inti yang dapat diukur secara kuantitatif dalam berbagai konteks geografis. Metrik harus mencakup dimensi adaptif, redundancy, dan pemulihan, bukan hanya resistensi.

2. Perancangan Model UR Terpadu yang Parametrik dan Cloud-Based

Justifikasi Ilmiah: Kebutuhan utama adalah "model UR yang terpadu, skalabel, dan dapat diadopsi". Model yang ada saat ini tidak dapat beradaptasi dan harus dibangun ulang untuk setiap kota atau bencana yang spesifik.

Arah Riset: Riset teknik harus berfokus pada pengembangan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis cloud yang berfungsi sebagai Model UR Parametrik Terbuka. Model ini harus dirancang untuk menerima input dari metrik konsensus dan dapat menyesuaikan pembobotan kriteria menggunakan metode MCDM seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS. Model ini harus dapat beroperasi di lingkungan berbasis cloud untuk memfasilitasi integrasi "alat multidimensi berbasis GIS" dan data berlabel-geo (geo-tagged) dari berbagai sumber untuk analisis spasial waktu nyata.

3. Investigasi Efek Berjenjang (Cascading Effects) melalui Analisis Stokastik Kota Virtual

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyerukan "analisis stokastik kota virtual" untuk mengatasi biaya dan waktu akuisisi data nyata yang membatasi. Penelitian juga perlu mempertimbangkan efek berjenjang (cascading effects) dari kegagalan infrastruktur.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan simulasi kota virtual yang detail, mereplikasi interdependensi infrastruktur kritikal (listrik, air, transportasi). Variabel harus mencakup parameter stokastik (misalnya, simulasi kerusakan acak menggunakan inverse distribution atau reverse sampling dari data kerusakan terbatas) untuk memodelkan kegagalan sistematis yang diakibatkan oleh bencana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "sinyal peringatan dini" dari komponen sistem yang rusak, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru.

4. Kuantifikasi Nilai Non-Moneter Aset dan Risiko Menggunakan Pendekatan RIDM

Justifikasi Ilmiah: Proses pengambilan keputusan dalam manajemen aset kompleks harus mengintegrasikan hasil kuantitatif dengan faktor tidak berwujud dan sulit dikuantifikasi. Faktor-faktor ini, seperti bias, ketidakpastian, dan persepsi, sangat penting untuk keputusan aset yang efektif.

Arah Riset: Fokus harus pada penerapan Risk-Informed Decision-Making (RIDM), sebuah metodologi yang ada, untuk mengintegrasikan nilai non-moneter aset (misalnya, nilai ekologis infrastruktur hijau atau nilai sosial) ke dalam proses manajemen risiko. Variabel baru yang harus diuji adalah bagaimana MCDM dapat memberi bobot pada variabel ketahanan sosial (social resilience), seperti pengetahuan warga dan kesadaran atau tingkat keterlibatan publik, dalam konteks keputusan investasi infrastruktur.

5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif

Justifikasi Ilmiah: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang sama sekali baru untuk "secara proaktif mempersiapkan" masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui "mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario".

Arah Riset: Riset harus mengembangkan kerangka kerja simulasi untuk Scenario-Based Decision Making (SBDM) yang menggunakan model UR yang dapat diadopsi (seperti yang diusulkan dalam Rekomendasi 2) sebagai mesin inti. Mekanisme ini harus memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menjalankan serangkaian skenario bencana yang beragam (baik bencana alam maupun buatan manusia) dan secara adaptif menyesuaikan rencana tata ruang, termasuk kode bangunan dan zonasi, untuk mengurangi bahaya. SBDM harus menekankan strategi adaptif (adaptation strategies) di atas strategi resistensi murni.

Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa masa depan Ketahanan Perkotaan tidak terletak pada model tunggal, tetapi pada integrasi sinergis antara manajemen aset, penilaian risiko, dan alat ilmu keputusan spasial. Celah riset yang teridentifikasi menuntut transisi dari analisis deskriptif ke model preskriptif, prediktif, dan adaptif yang mampu mengatasi interdependensi sistem yang kompleks dan sifat bencana yang stokastik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi teknik (untuk pemodelan aset dan infrastruktur), ilmu lingkungan/perencanaan kota (untuk konteks GIS dan sosial), dan ilmu politik/ekonomi (untuk keputusan dan pendanaan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Manajemen Risiko

Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Resensi Riset Mendalam: Menuju Ketahanan Bencana Berkelanjutan di Era Compound Risks ASEAN (Instruksi 6–12)

Kawasan Asia Tenggara telah lama diakui sebagai salah satu wilayah yang paling rawan bencana di dunia. Publikasi ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) Edisi ke-3 ini secara komprehensif membedah tantangan multidimensi ketika krisis kesehatan publik global —khususnya Pandemi COVID-19— berbenturan dengan siklus bencana alam yang terjadi secara rutin di kawasan ini. Tujuan utama riset ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif dampak COVID-19 terhadap lanskap risiko bencana ASEAN (disaster riskscape) dan untuk mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana organisasi penanggulangan bencana nasional (NDMO) dan AHA Centre beradaptasi. Studi ini tidak hanya penting untuk para pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi fondasi krusial bagi komunitas akademik dan penerima hibah dalam merumuskan agenda riset ke depan.

Parafrase Isi Paper dan Jalur Logis Temuan

Jalur logis penelitian dimulai dengan penegasan bahwa periode pandemi (antara 11 Maret 2020 dan 30 November 2021) merupakan masa yang sangat rentan, di mana 48% dari total 3.503 kejadian bencana yang tercatat oleh ADINet sejak 2012 terjadi selama pandemi COVID-19. Peristiwa ini menggarisbawahi realitas risiko berjenjang (cascading risk) yang harus dihadapi kawasan ASEAN.

Untuk mengukur dampak ini, para peneliti memperkenalkan ASEAN Risk Index for Situational Knowledge (ASEAN RISK). ASEAN RISK menggunakan pendekatan model-of-models, yang menyinergikan indeks risiko terkemuka seperti INFORM (Index for Risk Management) dan ASEAN RVA (Risk and Vulnerability Assessment). Model komposit ini mengukur risiko berdasarkan tiga komponen utama: Multi-Hazard Exposure (Paparan Berbagai Bahaya), Vulnerability (Kerentanan), dan Coping Capacity (Kapasitas Penanggulangan). Dengan menggunakan data resolusi spasial tertinggi (30m x 30m) untuk mengukur paparan bahaya alam seperti gempa bumi, siklon tropis, dan banjir, model ini memberikan penilaian yang seimbang mengenai magnitud dan kepentingan paparan di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS).

Secara konsisten dengan edisi ARMOR sebelumnya, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa Myanmar, Filipina, dan Indonesia tetap menjadi tiga AMS yang paling berisiko terhadap bencana. Namun, analisis yang lebih kritis mengungkapkan bahwa risiko bencana di seluruh kawasan telah meningkat sejak ARMOR edisi pertama pada tahun 2019. Pendorong utama di balik peningkatan risiko ini adalah peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas penanggulangan.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara bencana alam dan pandemi, di mana Paparan COVID-19 (berdasarkan total kasus, kematian, dan populasi yang tidak divaksinasi) digabungkan dengan risiko bahaya alam untuk menghasilkan nilai akhir yang menunjukkan beban aditif (additive burden). Dampak gabungan ini menghasilkan temuan yang sangat penting: Pandemi COVID-19 memperburuk risiko bencana di kawasan ASEAN rata-rata 33% —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru tentang compound risk dan sistem kesehatan publik yang terintegrasi dengan manajemen bencana. Secara spesifik, negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia mencatat persentase perubahan risiko tertinggi setelah dimasukkannya paparan COVID-19.

Di sisi respons dan operasi, survei kualitatif terhadap NDMO dan AHA Centre mengungkapkan tantangan operasional yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi adalah Logistik (akibat pembatasan pergerakan domestik dan internasional yang melambatkan pengiriman bantuan) dan Sumber Daya Manusia (staf NDMO harus mengemban peran ganda dalam respons kesehatan dan bencana, menyebabkan ketegangan pada sumber daya). Namun, pandemi juga mendorong praktik baik seperti digitalisasi dan virtualisasi operasional (koordinasi daring), serta desentralisasi respons ke otoritas lokal (localisation), terutama di mana ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dinilai paling tidak menantang oleh responden.

Kontribusi Utama, Keterbatasan, dan Arah Riset ke Depan

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Riset ini memberikan kontribusi mendasar terhadap ilmu manajemen bencana, terutama dalam konteks risiko berjenjang:

  1. Penciptaan Metodologi ASEAN RISK: Pengenalan ASEAN RISK sebagai model-of-models yang menggabungkan dua indeks risiko terkemuka menjadi metrik komposit regional yang kuat, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan.
  2. Kuantifikasi Dampak Krisis Kesehatan: Untuk pertama kalinya, penelitian ini secara eksplisit mengukur beban aditif dari krisis kesehatan terhadap risiko bencana alam. Temuan bahwa COVID-19 memperburuk risiko bencana rata-rata 33% memberikan bukti empiris yang tak terbantahkan tentang perlunya perencanaan terpadu.
  3. Dokumentasi Penyesuaian Operasional: Melalui kuesioner, penelitian ini mendokumentasikan penyesuaian prosedur, tantangan (logistik dan SDM), dan praktik baik (virtualisasi dan lokalisasi) yang dipelajari NDMO dan AHA Centre selama bencana yang tumpang tindih dengan pandemi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun berkontribusi signifikan, studi ini memiliki keterbatasan yang membuka peluang riset lanjutan. Keterbatasan utama terletak pada sifat paparan aditif COVID-19 yang diukur. Pemodelan risiko hanya mengagregasikan paparan kesehatan ke dalam model bahaya alam , yang mungkin tidak sepenuhnya menangkap interaksi non-linear atau efek bergulir (cascading effects) yang kompleks antara bencana biologi dan bencana alam.

Secara regional, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam Resiliensi: Singapura dan Brunei Darussalam memiliki skor Kapasitas Penanggulangan (Coping Capacity) yang jauh lebih tinggi daripada skor Kerentanan dan Paparan Bahaya mereka. Kesenjangan ini menunjukkan adanya 'kelebihan kapasitas ketahanan' (resilience surplus) di beberapa AMS, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami atau dimanfaatkan untuk dibagi kepada AMS lain, yang merupakan pertanyaan terbuka krusial.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arah riset eksplisit, terstruktur, dan berbasis temuan yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:

  1. Riset Mendalam tentang Penggerak Inti Kerentanan Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan peningkatan risiko kawasan didorong oleh peningkatan Vulnerability dan penurunan Coping Capacities sejak 2019.
    • Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada dekomposisi indikator-indikator di bawah Vulnerability dan Coping Capacity dari ASEAN RISK untuk mengidentifikasi variabel-variabel sosio-ekonomi spesifik (misalnya, Indeks Pembangunan Manusia di tingkat sub-nasional, tata kelola pemerintahan lokal) yang paling memengaruhi penurunan kapasitas penanggulangan di AMS yang paling berisiko. Riset lanjutan ini akan memerlukan analisis regresi data panel multi-tahun untuk memastikan intervensi kebijakan yang lebih terarah dan efektif, sesuai dengan rekomendasi agar metodologi pengurangan risiko fokus pada penggerak risiko.
  2. Pengembangan Model Risiko Berjenjang (Cascading Risk) Non-Linear
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi meningkatkan risiko bencana rata-rata 33% melalui paparan aditif. Realitas operasional menunjukkan tantangan logistik yang tumpang tindih antara respons bencana alam dan pandemi.
    • Arah Riset: Akademisi harus bergeser dari model paparan aditif menuju pemodelan risiko berjenjang non-linear yang menguji bagaimana krisis (seperti bencana alam) di tengah ketegangan krisis lain (seperti pandemi) mengalikan dampak dan bukan hanya menjumlahkannya. Penelitian harus menggunakan simulasi berbasis agen (agent-based modeling) untuk memprediksi kegagalan rantai pasok logistik atau kelebihan kapasitas sistem kesehatan ketika bahaya ganda terjadi serentak, merumuskan protokol tanggap darurat yang resilient terhadap krisis simultan.
  3. Kajian Formulasi Kerangka Berbagi Kelebihan Kapasitas Resiliensi Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Singapura dan Brunei Darussalam menunjukkan 'kelebihan kapasitas ketahanan' yang tinggi (Coping Capacity jauh di atas Vulnerability). Penelitian merekomendasikan eksplorasi cara berbagi resiliensi surplus ini di seluruh kawasan.
    • Arah Riset: Penelitian kebijakan harus mengkaji kerangka kerja yang layak dan berkelanjutan untuk mentransfer Coping Capacity—bukan hanya bantuan fisik. Ini termasuk analisis governance dan legal (seperti pemanfaatan ASEAN Single Window untuk memfasilitasi logistik ), transfer pengetahuan (knowledge management), dan berbagi sumber daya teknis (misalnya, sistem peringatan dini atau teknologi ICT) dari AMS yang memiliki kapasitas tinggi ke AMS yang berisiko tinggi. Studi ini harus merancang proof-of-concept operasional regional untuk menguji kelayakan model berbagi kapasitas.
  4. Integrasi AI dan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) ke dalam Protokol Lokal
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi membatasi mobilitas, meningkatkan kebutuhan akan informasi real-time yang akurat. Teknologi seperti program FloodAI UNOSAT terbukti dapat memproses citra satelit dan menghasilkan peta banjir dalam waktu yang jauh lebih singkat. Namun, perlu adanya sistem yang lebih mudah diakses oleh pengambil keputusan di tingkat lokal.
    • Arah Riset: Penelitian harus menyelidiki desain dan implementasi Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis machine learning yang ramah pengguna untuk pengambil keputusan di tingkat nasional dan sub-nasional. Fokusnya harus pada integrasi teknologi ini ke dalam Standard Operating Procedure (SOP) respons bencana yang ada. Tujuan jangka panjang adalah untuk mengkatalisasi kapasitas lokal dan nasional dalam identifikasi dan pemantauan risiko.
  5. Analisis Jangka Panjang Dampak Ganda Krisis terhadap Sumber Daya Manusia NDMO
    • Justifikasi Ilmiah: Sejumlah besar NDMO melaporkan ketegangan pada sumber daya manusia dan tuntutan workload ganda akibat peran ganda dalam respons COVID-19 dan bencana.
    • Arah Riset: Penelitian psikososial dan manajemen organisasi harus dilakukan untuk mengukur dampak jangka panjang stres dan burnout pada staf manajemen bencana. Riset ini harus merumuskan model Rencana Kelangsungan Bisnis (Business Continuity Plan/BCP) untuk Sumber Daya Manusia NDMO yang berkelanjutan, termasuk kebijakan rotasi tugas, peningkatan keterampilan lintas-sektoral, dan sistem dukungan kesehatan mental. Tujuannya adalah memastikan kesiapan operasional yang terjamin dalam skenario protracted crisis di masa depan.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Studi ARMOR edisi ke-3 ini telah secara tegas memposisikan masa depan manajemen bencana ASEAN sebagai tantangan compound risks. Peningkatan risiko rata-rata 33% yang terkuantifikasi menunjukkan bahwa strategi Disaster Risk Reduction (DRR) tidak boleh lagi beroperasi dalam silo. Perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa krisis seperti COVID-19 bukanlah yang terakhir, menuntut pendekatan yang lebih terlembagakan dan efektif dalam mengatasi risiko.

Untuk mewujudkan Visi ASEAN 2025 menjadi pemimpin global dalam manajemen bencana, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antar-institusi strategis. Ini harus melibatkan institusi ASEAN University Network (AUN) untuk riset akademik mendalam, lembaga pendanaan regional dan internasional (seperti Uni Eropa dan ADB) untuk hibah riset berorientasi solusi, dan satuan tugas operasional regional (seperti ASEAN-ERAT) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama melibatkan NDMO di setiap AMS untuk menjamin relevansi data dan kebijakan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%

Manajemen Risiko

Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.

Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana

Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.

Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).

Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem

Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.

  • Skor FMEIs Keseluruhan: Penilaian berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa sistem FM Inggris mencatat skor total 48 (kualitas Optimum, dalam rentang 42-54), sedangkan Turki mencatat skor total 28 (kualitas Tinggi, dalam rentang 28-41). Perbedaan deskriptif ini menunjukkan bahwa model yang menggabungkan kesiapsiagaan proaktif, perencanaan mendalam, dan keterlibatan lokal menunjukkan potensi kuat untuk ketahanan sistem yang lebih tinggi.
  • Perencanaan dan Kesiapsiagaan: Kesenjangan terbesar muncul di fase perencanaan. Mayoritas responden Inggris mengonfirmasi adanya rencana mitigasi dan respons banjir yang spesifik, kemitraan dalam pengembangannya, serta peninjauan dan penerapan berkala. Sebaliknya, mayoritas responden Turki melaporkan bahwa rencana mitigasi banjir tidak ada, dan tidak ada kemitraan untuk pengembangan atau peninjauan rencana.
  • Sistem Peringatan Dini: Terdapat perbedaan dalam teknologi. Inggris menggunakan peringatan ponsel (phone alerts), media, dan media sosial. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk sistem komunikasi yang lebih personal dan tepat sasaran. Sebaliknya, Turki belum menerapkan sistem peringatan ponsel, yang dikaitkan dengan ketiadaan peta bahaya banjir yang akurat di tingkat lokal, sehingga membatasi kemampuan untuk memperingatkan penduduk di zona risiko secara spesifik.

Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.

Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:

  1. Pergeseran ke Aksi Proaktif: Sistem yang efektif dicirikan oleh fokus pada kesiapsiagaan (preparedness)—melalui perencanaan mitigasi, pemetaan risiko, dan pembelajaran kelembagaan yang terorganisir—bukan sekadar tanggapan darurat reaktif.
  2. Pentingnya Keterlibatan Lokal: Pendekatan terdesentralisasi yang memberdayakan aktor dan komunitas lokal (model bottom-up) sangat penting untuk meningkatkan koordinasi, kecepatan respons, dan kesadaran publik.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.

Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:

  • Bagaimana peta bahaya banjir, yang baru direncanakan selesai di Turki pada tahun 2022, dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam kerangka kerja bottom-up di masa mendatang?
  • Apakah sistem terpusat (seperti di Turki), jika sepenuhnya dilengkapi dengan rencana, sumber daya, dan peta yang akurat, dapat melampaui efektivitas sistem yang terdesentralisasi murni, mengingat kompleksitas geografis dan demografi negara yang lebih besar?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.

  1. Riset Kolaboratif tentang Transisi Tata Kelola FM (Metode: Studi Kasus Intervensi):
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pendekatan sentralistik Turki secara fundamental membatasi keterlibatan lokal, yang merupakan kunci efektivitas FM. Riset lanjutan harus berfokus pada studi kasus yang menganalisis dampak intervensi kebijakan yang bertujuan untuk mendesentralisasi tanggung jawab FM di provinsi-provinsi percontohan di Turki (misalnya, menguji efek pembentukan Lembaga Forum Ketahanan Lokal/LRF ala Inggris).
    • Tujuan: Mengukur peningkatan nyata dalam Skor Kesiapsiagaan FMEIs (khususnya indikator "Keterlibatan Masyarakat" dan "Pelatihan") sebagai fungsi dari desentralisasi yang terstruktur.
  2. Analisis Manfaat-Biaya Implementasi Peta Bahaya Banjir (Variabel: Biaya Infrastruktur vs. Skor FMEIs Respons):
    • Justifikasi Ilmiah: Peta bahaya yang tidak akurat di Turki adalah alasan utama ketidakmampuan untuk menerapkan sistem peringatan dini berbasis lokasi dan rencana mitigasi yang spesifik. Penelitian harus memodelkan rasio manfaat-biaya dari investasi penuh dalam pemetaan risiko banjir digital dan real-time di seluruh Turki, menggunakan Total Damage Prevented sebagai metrik utama.
    • Tujuan: Menentukan koefisien investasi minimum yang diperlukan dalam infrastruktur pemetaan (seperti data satelit dan phone alerts) untuk mendorong Skor Respons FMEIs Turki ke tingkat Optimum.
  3. Studi Komparatif tentang Adaptabilitas Kebijakan (Konteks: Perubahan Iklim/Frekuensi Ekstrem):
    • Justifikasi Ilmiah: Kedua negara menunjukkan kelemahan dalam adaptabilitas sistem FM mereka terhadap perubahan yang tidak terduga dan frekuensi bencana ekstrem (Banjir Kendal 2015 melebihi ambang batas pertahanan). Riset lanjutan harus menggunakan simulasi skenario perubahan iklim ekstrem untuk menguji ketahanan kerangka regulasi dan perencanaan Inggris (misalnya, UU FM 2010) dan Turki.
    • Tujuan: Mengidentifikasi ambang batas kegagalan (failure threshold) kebijakan dan merekomendasikan prosedur kontingensi kegagalan infrastruktur (seperti kegagalan tembok penahan banjir atau sistem drainase) untuk dimasukkan dalam Rencana Respons FM.
  4. Analisis Peran Asuransi dalam Ketahanan Jangka Panjang (Metode: Analisis Regresi Data Asuransi):
    • Justifikasi Ilmiah: Ketersediaan asuransi banjir non-wajib di Inggris dan asuransi yang berfokus pada gempa bumi di Turki menunjukkan kesenjangan pemulihan bencana. Penelitian harus menguji hubungan antara tingkat penetrasi asuransi banjir dan waktu pemulihan (time to recovery) ekonomi pasca-bencana.
    • Tujuan: Menganalisis data dari Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) untuk memodelkan bagaimana perluasan mandatnya secara wajib untuk mencakup risiko banjir akan berdampak positif pada Skor Pemulihan FMEIs di wilayah-wilayah berisiko tinggi.
  5. Riset Aksi tentang Pembelajaran Kelembagaan Vertikal (Metode: Protokol Peninjauan Pasca-Aksi [After-Action Review/AAR] Terstruktur):
    • Justifikasi Ilmiah: Meskipun kedua negara memiliki skema pembelajaran kelembagaan, Turki sangat kurang dalam organisasi formal, sehingga membatasi perbaikan kebijakan sistematis. Penelitian harus memperkenalkan protokol AAR pasca-banjir yang terstruktur (mirip dengan praktik militer/darurat) di AFAD (Turki) untuk memastikan temuan di lapangan ditransfer secara vertikal ke perumusan kebijakan nasional.
    • Tujuan: Menetapkan korelasi antara penerapan protokol AAR yang formal dan peningkatan skor pada indikator "Pembelajaran Kelembagaan" FMEIs, memvalidasi pentingnya proses formal atas komunikasi lisan yang informal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.

Selengkapnya
Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global

Manajemen Risiko

Melampaui Siklus Empat Fase: Memetakan 5 Kelompok Model Manajemen Bencana dan Arah Riset Adaptif Masa Depan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah

Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas

Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.

Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.

Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.

Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.

Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.

Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:

  • Bagaimana kita merancang Model Manajemen Bencana yang cukup adaptif dan fleksibel untuk mengakomodasi sifat non-linear, tidak stabil, dan tidak terduga dari bencana modern—terutama ketika bencana dapat memicu krisis dan bencana berantai (cascading disasters)?
  • Mengapa, meskipun Model Kombinatorial (seperti Model Komprehensif Cuny, 1998) dirancang untuk menggabungkan kekuatan dari model lain, masih ada keraguan yang meluas dan keengganan di antara para praktisi untuk menggunakannya? Pertanyaan ini secara langsung berhubungan dengan temuan bahwa para manajer memiliki pemahaman yang terbatas mengenai penerapan model, yang menunjukkan adanya kesenjangan transfer pengetahuan yang serius.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.

1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.

2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)

Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.

3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.

4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam

Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.

5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.

Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Melampaui Siklus Empat Fase: Memetakan 5 Kelompok Model Manajemen Bencana dan Arah Riset Adaptif Masa Depan
page 1 of 12 Next Last »