Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Penelitian berjudul How flood risk management projects can improve urban resilience: a combined assessment approach of functional resilience and adaptive capacity yang dipublikasikan di Australasian Journal of Water Resources ini menyajikan sebuah pendekatan penting untuk mengevaluasi dan merancang proyek pengelolaan risiko banjir (PRB) di kawasan urban. Memahami bahwa banjir merupakan tantangan besar bagi kawasan urban di seluruh dunia, penelitian ini berfokus pada peningkatan ketahanan, terutama di kawasan pesisir dataran rendah. Tujuan utama dari paper ini adalah untuk menganalisis sejauh mana dan mengapa proyek-proyek manajemen risiko banjir dapat memberikan dampak positif pada ketahanan urban.
Secara konseptual, penelitian ini mendefinisikan ketahanan banjir urban sebagai kapasitas sistem urban—termasuk infrastruktur fisik, institusi, dan komunitas—untuk (1) menahan banjir, (2) menyerap dan pulih dari banjir, dan (3) bertransformasi dan beradaptasi. Penelitian ini berargumen bahwa upaya PRB cenderung terlalu fokus pada pendekatan langsung, seperti intervensi struktural untuk mengurangi kerugian, seringkali mengabaikan aspek penting dari pembangunan kapasitas adaptif.
Untuk mengisi kesenjangan ini, peneliti mengembangkan sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan dua pilar utama penilaian: penilaian dampak terhadap ketahanan fungsional sistem urban dan penilaian kapasitas adaptif warga. Pendekatan ini merupakan contoh dari penilaian partisipatif, yang melibatkan pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan pengetahuan kontekstual mereka dan meningkatkan pemahaman tentang dinamika konteks dan ketahanan. Pendekatan tiga fase ini diterapkan pada proyek remediasi banjir Dudley Creek di Christchurch, Selandia Baru:
Hasil aplikasi di Dudley Creek, kawasan rawan banjir akibat perubahan elevasi tanah pasca gempa yang memengaruhi sekitar 70% dari rumah-rumah yang terkena banjir reguler (sekitar 600 rumah) di sana, menunjukkan bahwa proyek tersebut secara keseluruhan memiliki dampak positif pada ketahanan urban melalui perbaikan ketahanan fungsional dan kapasitas adaptif.
Pada sisi ketahanan fungsional, proyek tersebut menunjukkan dampak paling positif pada kemampuan sistem untuk menstabilkan diri melalui homeostasis (skor rata-rata: 4.2) dan kemampuan untuk merespons cepat melalui flux (skor rata-rata: 3.9). Semua intervensi, baik struktural maupun non-struktural, memiliki skor dampak rata-rata positif (>3). Intervensi struktural yang paling memengaruhi adalah underground piped bypass (skor rata-rata: 4.0), sementara intervensi non-struktural adalah citizen engagement (skor rata-rata: 4.0). Namun, dampak terbatas tercatat pada redundancy (skor rata-rata: 3.3) dan flatness (skor rata-rata: 3.1).
Pada sisi kapasitas adaptif, keterlibatan warga secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko dibandingkan warga yang tidak terlibat. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara keterlibatan warga dan peningkatan pengetahuan terkait banjir dan kesiapan dengan nilai $p<.001$ untuk keduanya, serta pengetahuan perubahan iklim ($p<.001$) dan kekhawatiran tentang perubahan iklim ($p=.045$)—menunjukkan potensi kuat untuk intervensi non-struktural yang ditargetkan. Sebaliknya, keterlibatan warga tidak menunjukkan dampak signifikan pada motivasi atau kapasitas adaptif yang dirasakan ($p=.095$ dan $p=.483$ masing-masing).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan menawarkan sebuah kerangka kerja diagnostik dan holistik yang secara eksplisit menggabungkan perspektif rekayasa (functional resilience) dan sosial (adaptive capacity) untuk menilai dampak proyek PRB pada tingkat lokal. Hal ini mengatasi kelemahan literatur yang ada yang sebagian besar fokus pada respons sistem rekayasa dan mengabaikan interaksi banjir-manusia atau faktor sosial.
Secara khusus, penemuan bahwa keterlibatan warga meningkatkan pengetahuan dan persepsi risiko tetapi tidak pada motivasi dan kapasitas adaptif yang dirasakan sangat relevan. Hal ini mengonfirmasi perlunya intervensi engagement yang ditargetkan untuk tidak hanya mengedukasi tetapi juga memberdayakan warga. Penemuan ini menyoroti bahwa proyek PRB perlu mengintegrasikan intervensi struktural yang dirancang dengan baik dengan intervensi engagement yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas adaptif warga.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Penilaian fungsional menunjukkan bahwa flatness (kompetensi lokal untuk memutuskan dan bertindak) dan redundancy (fungsi yang tumpang tindih) adalah prinsip yang paling kurang dimanfaatkan. Analisis menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya kewenangan (otoritas) inisiator proyek, tujuan 'persyaratan minimum' untuk kembali ke tingkat pra-gempa, dan keterbatasan sumber daya yang dipicu oleh proses fast-tracked.
Pertanyaan terbuka yang muncul adalah:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Rekomendasi ini disusun untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada eksplorasi variabel dan konteks baru berdasarkan temuan.
Kesimpulan Kolaboratif
Penelitian ini mengonfirmasi relevansi menggabungkan perspektif teknik dan sosial dalam penilaian dan perancangan proyek manajemen risiko banjir. Untuk memastikan redundancy dan flatness tidak lagi menjadi prinsip yang kurang dimanfaatkan, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintahan lokal (sebagai inisiator proyek), otoritas perencanaan regional/nasional (untuk mengatasi keterbatasan kewenangan), dan organisasi komunitas (untuk menguji desain engagement yang memberdayakan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Membangun Kembali Mati dengan Ketahanan: Peran Kritis Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Risiko Bencana Pasca Kebakaran Hutan di Yunani
Penelitian berjudul “Disaster Risk Management and Spatial Planning: Evidence from the Fire-Stricken Area of Mati, Greece” secara mendalam membahas peran penting perencanaan spasial sebagai alat panoptik untuk pembangunan berkelanjutan, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim. Perencanaan berbasis risiko mendapatkan perhatian karena meningkatnya kerentanan infrastruktur perkotaan. Integrasi manajemen risiko bencana (DRM) ke dalam perencanaan spasial memerlukan strategi berbasis geografis untuk mengurangi risiko bencana.
Kajian ini berfokus pada kawasan Mati, Attica, yang hancur akibat kebakaran hutan pada Juli 2018. Bencana tersebut merupakan yang paling mematikan di Eropa dan kedua paling mematikan di dunia pada abad terakhir. Penyebab bencana sangat berkaitan dengan kelemahan perencanaan spasial atau ketiadaannya : jalan yang sangat sempit, banyak jalan buntu, blok bangunan yang terlalu panjang tanpa jalur evakuasi lateral, dan kurangnya tempat berkumpul, semuanya menghambat evakuasi yang aman dan cepat. Penelitian ini menyajikan serangkaian proposal urbanistik untuk rekonstruksi Mati berdasarkan kontribusi Urban Planning Research Laboratory (UPRL) dari National Technical University of Athens (NTUA) untuk penyusunan Special Urban Plan (SUP).
Proposal ini bertujuan untuk reorganisasi perkotaan yang berpusat pada prinsip pembangunan berkelanjutan, organisasi tata guna lahan yang rasional, pelestarian sumber daya alam, dan memastikan kondisi aman untuk semua kelompok sosial penduduk dan pengunjung.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi penelitian ini adalah menyediakan cetak biru untuk integrasi DRM ke dalam perencanaan spasial, khususnya melalui instrumen SUP Yunani. SUP dapat digunakan untuk pengurangan risiko bencana dan manajemen , dan penggunaannya di Mati menjadi kasus percontohan yang signifikan bagi perencanaan spasial di Yunani.
Jalur logis perjalanan temuan dimulai dari identifikasi kerentanan Mati, diikuti dengan perumusan proposal reorganisasi:
Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bagaimana kegagalan perencanaan (misalnya, bangunan informal, blok panjang, akses pantai terhalang) di masa lalu secara langsung berkontribusi pada kerentanan struktural, dan menawarkan kerangka kerja terpadu untuk membangun kembali ketahanan secara fisik dan prosedural.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menyajikan kerangka kerja yang komprehensif, penelitian ini menyoroti keterbatasan mendasar dalam sistem perencanaan Yunani yang dapat menghambat implementasi:
Pertanyaan terbuka yang muncul adalah: Seberapa efektif SUP dalam jangka panjang akan menahan tekanan pembangunan kembali oleh sektor swasta yang sering tidak mematuhi peraturan urban?. Lebih lanjut, bagaimana memastikan partisipasi multi-pemangku kepentingan yang memadai yang diperlukan untuk mengimplementasikan legislasi perencanaan yang kurang preskriptif, namun lebih fleksibel?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
1. Model Simulasi Evakuasi Jaringan Urban Mati
2. Studi Efikasi Fire Defense Zones Vegetatif-Hibrida
3. Analisis Longitudinal Tata Kelola dan Penegakan SUP
4. Studi Penilaian Ketahanan Sosial-Spasial Pantai
5. Pengembangan Pedoman Perencanaan untuk Permukiman Informal Pasca-Bencana
Penelitian ini berfungsi sebagai cetak biru untuk mengubah krisis bencana menjadi kesempatan untuk mencapai pembangunan urban yang lebih aman dan berkelanjutan. Dengan mengidentifikasi secara eksplisit kelemahan spasial yang fatal, proposal Mati menggunakan Special Urban Plan (SUP) untuk secara radikal mereorganisasi jaringan jalan, memecah blok bangunan, dan mereklamasi ruang publik.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi perencanaan regional, badan Perlindungan Sipil nasional, dan komunitas ilmiah geoinformatika untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama pada pemodelan risiko dan implementasi tata kelola.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Latar Belakang dan Alur Logis Temuan
Tinjauan literatur sistematis ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience/UR), yang didefinisikan sebagai kemampuan kota dan komunitas untuk bertahan optimal dari disrupsi dan pulih ke kondisi prapadisrupsi. Latar belakangnya adalah peningkatan pesat populasi perkotaan, yang diproyeksikan melebihi 60% populasi dunia pada tahun 2030, di mana kota-kota ini menghasilkan lebih dari 75% PDB global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca. Ironisnya, 90% wilayah metropolitan berada di pesisir, sangat rentan terhadap risiko bencana dari perubahan iklim. Disrupsi mengancam fungsi infrastruktur kritikal seperti jalan, rel kereta api, air, energi, dan telekomunikasi.
Penelitian ini menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus, diterbitkan antara tahun 2011 dan 2022, mencakup tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Alur temuan logis dalam penelitian ini berfokus pada integrasi dari tiga komponen utama untuk memaksimalkan dan melindungi nilai aset konstruksi di tengah risiko bencana:
Analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah istilah yang paling sering muncul (30 kali, dengan relevansi 0.998). Fenomena bencana yang paling banyak disinggung adalah banjir/genangan (74 kali, relevansi 0.285).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari tinjauan ini adalah menyajikan analisis bibliometrik dan NLP untuk secara empiris memetakan tren saat ini dalam riset UR, yang mendukung gagasan UR sebagai topik penting dengan minat akademis yang meluas. Lebih dari 75% dari 67 makalah yang dipilih dipublikasikan antara tahun 2017 dan 2021, dengan peningkatan signifikan pada tahun 2021. Secara disipliner, riset UR didominasi oleh Ilmu Lingkungan (24%), Ilmu Sosial (19%), dan Teknik (17%)—total 60% dari hasil yang tidak disaring, menunjukkan bahwa proyek riset UR wajib mengintegrasikan ketiga disiplin ini secara setara.
Secara substantif, kontribusi terpentingnya adalah usulan bahwa celah-celah riset yang teridentifikasi dapat diatasi dengan bantuan metode manajemen aset dan risiko bencana yang dikombinasikan dengan alat bantu keputusan berbasis GIS untuk meningkatkan UR secara signifikan. Penelitian ini menawarkan kerangka konseptual yang diperkaya yang secara eksplisit menghubungkan aset perkotaan dan risiko bencana dengan upaya untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan perkotaan, didukung oleh alat ilmu keputusan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan krusial dalam literatur UR saat ini, yang juga menjadi celah riset utama:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang ditujukan kepada komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada jalur riset untuk mengatasi celah yang diidentifikasi oleh tinjauan ini:
1. Pengembangan Kerangka Kerja Metrik Konsensus UR Multidisiplin
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyoroti "kurangnya definisi ketahanan yang sama dan analisis multidisiplin". Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas. Riset perlu menyelaraskan pendekatan dari Ilmu Lingkungan, Ilmu Sosial, dan Teknik, yang bersama-sama menyumbang 60% dari literatur yang ditinjau.
Arah Riset: Penelitian harus menggunakan metode kualitatif ekstensif seperti survei Delphi global multi-putaran yang melibatkan ahli untuk mencapai konsensus tentang metrik dan indikator inti yang dapat diukur secara kuantitatif dalam berbagai konteks geografis. Metrik harus mencakup dimensi adaptif, redundancy, dan pemulihan, bukan hanya resistensi.
2. Perancangan Model UR Terpadu yang Parametrik dan Cloud-Based
Justifikasi Ilmiah: Kebutuhan utama adalah "model UR yang terpadu, skalabel, dan dapat diadopsi". Model yang ada saat ini tidak dapat beradaptasi dan harus dibangun ulang untuk setiap kota atau bencana yang spesifik.
Arah Riset: Riset teknik harus berfokus pada pengembangan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis cloud yang berfungsi sebagai Model UR Parametrik Terbuka. Model ini harus dirancang untuk menerima input dari metrik konsensus dan dapat menyesuaikan pembobotan kriteria menggunakan metode MCDM seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS. Model ini harus dapat beroperasi di lingkungan berbasis cloud untuk memfasilitasi integrasi "alat multidimensi berbasis GIS" dan data berlabel-geo (geo-tagged) dari berbagai sumber untuk analisis spasial waktu nyata.
3. Investigasi Efek Berjenjang (Cascading Effects) melalui Analisis Stokastik Kota Virtual
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyerukan "analisis stokastik kota virtual" untuk mengatasi biaya dan waktu akuisisi data nyata yang membatasi. Penelitian juga perlu mempertimbangkan efek berjenjang (cascading effects) dari kegagalan infrastruktur.
Arah Riset: Penelitian harus menggunakan simulasi kota virtual yang detail, mereplikasi interdependensi infrastruktur kritikal (listrik, air, transportasi). Variabel harus mencakup parameter stokastik (misalnya, simulasi kerusakan acak menggunakan inverse distribution atau reverse sampling dari data kerusakan terbatas) untuk memodelkan kegagalan sistematis yang diakibatkan oleh bencana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "sinyal peringatan dini" dari komponen sistem yang rusak, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru.
4. Kuantifikasi Nilai Non-Moneter Aset dan Risiko Menggunakan Pendekatan RIDM
Justifikasi Ilmiah: Proses pengambilan keputusan dalam manajemen aset kompleks harus mengintegrasikan hasil kuantitatif dengan faktor tidak berwujud dan sulit dikuantifikasi. Faktor-faktor ini, seperti bias, ketidakpastian, dan persepsi, sangat penting untuk keputusan aset yang efektif.
Arah Riset: Fokus harus pada penerapan Risk-Informed Decision-Making (RIDM), sebuah metodologi yang ada, untuk mengintegrasikan nilai non-moneter aset (misalnya, nilai ekologis infrastruktur hijau atau nilai sosial) ke dalam proses manajemen risiko. Variabel baru yang harus diuji adalah bagaimana MCDM dapat memberi bobot pada variabel ketahanan sosial (social resilience), seperti pengetahuan warga dan kesadaran atau tingkat keterlibatan publik, dalam konteks keputusan investasi infrastruktur.
5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif
Justifikasi Ilmiah: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang sama sekali baru untuk "secara proaktif mempersiapkan" masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui "mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario".
Arah Riset: Riset harus mengembangkan kerangka kerja simulasi untuk Scenario-Based Decision Making (SBDM) yang menggunakan model UR yang dapat diadopsi (seperti yang diusulkan dalam Rekomendasi 2) sebagai mesin inti. Mekanisme ini harus memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menjalankan serangkaian skenario bencana yang beragam (baik bencana alam maupun buatan manusia) dan secara adaptif menyesuaikan rencana tata ruang, termasuk kode bangunan dan zonasi, untuk mengurangi bahaya. SBDM harus menekankan strategi adaptif (adaptation strategies) di atas strategi resistensi murni.
Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa masa depan Ketahanan Perkotaan tidak terletak pada model tunggal, tetapi pada integrasi sinergis antara manajemen aset, penilaian risiko, dan alat ilmu keputusan spasial. Celah riset yang teridentifikasi menuntut transisi dari analisis deskriptif ke model preskriptif, prediktif, dan adaptif yang mampu mengatasi interdependensi sistem yang kompleks dan sifat bencana yang stokastik.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi teknik (untuk pemodelan aset dan infrastruktur), ilmu lingkungan/perencanaan kota (untuk konteks GIS dan sosial), dan ilmu politik/ekonomi (untuk keputusan dan pendanaan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Resensi Riset Mendalam: Menuju Ketahanan Bencana Berkelanjutan di Era Compound Risks ASEAN (Instruksi 6–12)
Kawasan Asia Tenggara telah lama diakui sebagai salah satu wilayah yang paling rawan bencana di dunia. Publikasi ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) Edisi ke-3 ini secara komprehensif membedah tantangan multidimensi ketika krisis kesehatan publik global —khususnya Pandemi COVID-19— berbenturan dengan siklus bencana alam yang terjadi secara rutin di kawasan ini. Tujuan utama riset ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif dampak COVID-19 terhadap lanskap risiko bencana ASEAN (disaster riskscape) dan untuk mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana organisasi penanggulangan bencana nasional (NDMO) dan AHA Centre beradaptasi. Studi ini tidak hanya penting untuk para pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi fondasi krusial bagi komunitas akademik dan penerima hibah dalam merumuskan agenda riset ke depan.
Parafrase Isi Paper dan Jalur Logis Temuan
Jalur logis penelitian dimulai dengan penegasan bahwa periode pandemi (antara 11 Maret 2020 dan 30 November 2021) merupakan masa yang sangat rentan, di mana 48% dari total 3.503 kejadian bencana yang tercatat oleh ADINet sejak 2012 terjadi selama pandemi COVID-19. Peristiwa ini menggarisbawahi realitas risiko berjenjang (cascading risk) yang harus dihadapi kawasan ASEAN.
Untuk mengukur dampak ini, para peneliti memperkenalkan ASEAN Risk Index for Situational Knowledge (ASEAN RISK). ASEAN RISK menggunakan pendekatan model-of-models, yang menyinergikan indeks risiko terkemuka seperti INFORM (Index for Risk Management) dan ASEAN RVA (Risk and Vulnerability Assessment). Model komposit ini mengukur risiko berdasarkan tiga komponen utama: Multi-Hazard Exposure (Paparan Berbagai Bahaya), Vulnerability (Kerentanan), dan Coping Capacity (Kapasitas Penanggulangan). Dengan menggunakan data resolusi spasial tertinggi (30m x 30m) untuk mengukur paparan bahaya alam seperti gempa bumi, siklon tropis, dan banjir, model ini memberikan penilaian yang seimbang mengenai magnitud dan kepentingan paparan di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS).
Secara konsisten dengan edisi ARMOR sebelumnya, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa Myanmar, Filipina, dan Indonesia tetap menjadi tiga AMS yang paling berisiko terhadap bencana. Namun, analisis yang lebih kritis mengungkapkan bahwa risiko bencana di seluruh kawasan telah meningkat sejak ARMOR edisi pertama pada tahun 2019. Pendorong utama di balik peningkatan risiko ini adalah peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas penanggulangan.
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara bencana alam dan pandemi, di mana Paparan COVID-19 (berdasarkan total kasus, kematian, dan populasi yang tidak divaksinasi) digabungkan dengan risiko bahaya alam untuk menghasilkan nilai akhir yang menunjukkan beban aditif (additive burden). Dampak gabungan ini menghasilkan temuan yang sangat penting: Pandemi COVID-19 memperburuk risiko bencana di kawasan ASEAN rata-rata 33% —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru tentang compound risk dan sistem kesehatan publik yang terintegrasi dengan manajemen bencana. Secara spesifik, negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia mencatat persentase perubahan risiko tertinggi setelah dimasukkannya paparan COVID-19.
Di sisi respons dan operasi, survei kualitatif terhadap NDMO dan AHA Centre mengungkapkan tantangan operasional yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi adalah Logistik (akibat pembatasan pergerakan domestik dan internasional yang melambatkan pengiriman bantuan) dan Sumber Daya Manusia (staf NDMO harus mengemban peran ganda dalam respons kesehatan dan bencana, menyebabkan ketegangan pada sumber daya). Namun, pandemi juga mendorong praktik baik seperti digitalisasi dan virtualisasi operasional (koordinasi daring), serta desentralisasi respons ke otoritas lokal (localisation), terutama di mana ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dinilai paling tidak menantang oleh responden.
Kontribusi Utama, Keterbatasan, dan Arah Riset ke Depan
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Riset ini memberikan kontribusi mendasar terhadap ilmu manajemen bencana, terutama dalam konteks risiko berjenjang:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun berkontribusi signifikan, studi ini memiliki keterbatasan yang membuka peluang riset lanjutan. Keterbatasan utama terletak pada sifat paparan aditif COVID-19 yang diukur. Pemodelan risiko hanya mengagregasikan paparan kesehatan ke dalam model bahaya alam , yang mungkin tidak sepenuhnya menangkap interaksi non-linear atau efek bergulir (cascading effects) yang kompleks antara bencana biologi dan bencana alam.
Secara regional, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam Resiliensi: Singapura dan Brunei Darussalam memiliki skor Kapasitas Penanggulangan (Coping Capacity) yang jauh lebih tinggi daripada skor Kerentanan dan Paparan Bahaya mereka. Kesenjangan ini menunjukkan adanya 'kelebihan kapasitas ketahanan' (resilience surplus) di beberapa AMS, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami atau dimanfaatkan untuk dibagi kepada AMS lain, yang merupakan pertanyaan terbuka krusial.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima arah riset eksplisit, terstruktur, dan berbasis temuan yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Studi ARMOR edisi ke-3 ini telah secara tegas memposisikan masa depan manajemen bencana ASEAN sebagai tantangan compound risks. Peningkatan risiko rata-rata 33% yang terkuantifikasi menunjukkan bahwa strategi Disaster Risk Reduction (DRR) tidak boleh lagi beroperasi dalam silo. Perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa krisis seperti COVID-19 bukanlah yang terakhir, menuntut pendekatan yang lebih terlembagakan dan efektif dalam mengatasi risiko.
Untuk mewujudkan Visi ASEAN 2025 menjadi pemimpin global dalam manajemen bencana, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antar-institusi strategis. Ini harus melibatkan institusi ASEAN University Network (AUN) untuk riset akademik mendalam, lembaga pendanaan regional dan internasional (seperti Uni Eropa dan ADB) untuk hibah riset berorientasi solusi, dan satuan tugas operasional regional (seperti ASEAN-ERAT) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama melibatkan NDMO di setiap AMS untuk menjamin relevansi data dan kebijakan.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global
Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.
Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana
Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.
Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).
Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem
Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.
Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.
Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.
Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah
Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas
Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.
Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.
Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.
Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.
Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.
1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.
2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)
Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.
3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.
4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam
Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.
5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.
Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.