Manajemen Kualitas

Resensi Konseptual dan Reflektif: Synergy-Based Approach to Quality Assurance

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 13 Agustus 2025


Pendahuluan: Menggugat Paradigma Lama Jaminan Kualitas

Penelitian Tiit Hindreus mengangkat isu mendasar yang kerap luput dibahas secara terpadu: keterputusan antara konsep kualitas produk dan sistem manajemen kualitas (QMS). Selama ini, keduanya berjalan paralel—kualitas produk dikelola di ranah teknis, sementara QMS berada di ranah prosedural dan administratif. Hindreus menilai kondisi ini kurang efektif untuk membangun quality assurance yang menyeluruh.

Dengan basis riset multi-tahun dan data empiris dari ratusan perusahaan, tesis ini menawarkan kerangka sinergi sebagai metatool integrasi. Pendekatan ini mengandaikan bahwa jika dua atau lebih sistem atau teknologi yang berbeda digabungkan secara tepat, efek gabungannya (synergy effect) akan melebihi jumlah efek masing-masing.

Latar Belakang: Evolusi Konsep Kualitas dan Kebutuhan Integrasi

Hindreus memulai dengan menelusuri sejarah pemikiran kualitas, dari akar etimologinya (quālitās) hingga era modern yang memandang kualitas sebagai kombinasi dimensi teknis, persepsi, dan dorongan pasar.

Ia menyoroti:

  • ISO 9000 sebagai standar global yang berfokus pada manajemen proses, bukan semata hasil akhir.

  • Total Quality Management (TQM) yang mengedepankan keterlibatan semua level organisasi, tetapi belum memberi mekanisme integrasi teknis–manajerial yang solid.

  • Beragam metode seperti QFD, Six Sigma, Kaizen, yang efektif di domain masing-masing, namun kurang memiliki “payung” metodologis bersama.

Interpretasi Reflektif

Kerangka teoritik yang dibangun di sini menekankan bahwa integrasi memerlukan sebuah “bahasa bersama” yang memadai untuk menjembatani dua domain berbeda: teknis (engineering design quality) dan manajerial (quality management). Pendekatan sinergi yang ditawarkan bisa menjadi bahasa tersebut.

Metodologi: Dari Database Kegagalan ke Kerangka Sinergi

Metode riset Hindreus berlapis:

  1. Analisis sistem manajemen kualitas untuk mengidentifikasi celah integrasi.

  2. Pengumpulan database human shortcomings—catatan kesalahan manusia di berbagai fase siklus kualitas.

  3. Pemilihan alat matematis seperti Dependency Structure Matrix (DSM) untuk memodelkan interaksi antar elemen.

  4. Pengembangan kerangka sinergi yang menyatukan kualitas desain produk dengan QMS.

Kekuatan Pendekatan

Hindreus tidak hanya mengandalkan teori, tetapi membangun argumen dari empat basis data besar:

  • 3.000 tindakan servis pada peralatan kantor mekatronik.

  • 5 proyek otomasi pabrik skala besar.

  • 13.000 kasus desain dan aplikasi sistem kontrol.

  • 700 catatan kesalahan pada produksi lampu penerangan.

Data ini memberikan pijakan kuat untuk menguji hipotesis sinergi secara nyata.

Temuan Empiris: Angka yang Berbicara

1. Kegagalan di Fase Infant Mortality Produk Baru

  • 24% kegagalan awal berasal dari technology interface failures—indikasi kuat negative synergy akibat inkompetensi tim desain.

Refleksi: Ini mengonfirmasi bahwa desain antar-disiplin tanpa koordinasi matang bukan hanya tidak efisien, tapi malah menambah beban biaya dan reputasi.

2. Otomasi Pabrik

  • Pada tahap Factory Acceptance Test (FAT), F1 faults (kesalahan komunikasi) dominan, namun relatif mudah diperbaiki.

  • Commissioning menunjukkan kesalahan instalasi fisik dan ketidakmampuan teknis dalam proses utama.

Refleksi: Masalah komunikasi di tahap akhir menunjukkan bahwa bahkan sistem berteknologi tinggi tetap rapuh jika aliran informasi tidak terjaga.

3. Sistem Kontrol

  • Teknologi matang: dominasi kesalahan komunikasi dan spesifikasi alat.

  • Teknologi baru: lonjakan masalah teknis akibat infant mortality komponen.

Refleksi: Validasi awal komponen menjadi faktor kunci, terutama untuk inovasi yang belum teruji.

4. Produksi Lampu Penerangan

  • 75% masalah bersumber dari teknis, terutama kerusakan komponen elektronik akibat panas dan fluktuasi tegangan.

  • Kesalahan manusia banyak berupa kelalaian sederhana (F2).

Refleksi: Kualitas teknis dan disiplin operasional harus berjalan beriringan—satu lemah, keseluruhan sistem runtuh.

Kerangka Sinergi: Penyatuan Dua Dunia

Hindreus mengusulkan synergy-based quality assurance system yang:

  1. Mengintegrasikan kualitas desain produk dan QMS dalam satu model.

  2. Menggunakan DSM untuk memetakan ketergantungan dan mengidentifikasi titik optimasi.

  3. Memperhitungkan faktor manusia melalui klasifikasi faults, mistakes, dan masalah teknis.

Elemen Kunci Kerangka

  • Positive synergy: penguatan antar elemen yang meningkatkan kinerja.

  • Negative synergy (asynergy): konflik antar elemen yang menurunkan kualitas.

  • Adaptif: model dapat menyesuaikan dengan kompetensi tim.

Interpretasi Teoretis: Pendekatan ini bersifat meta-framework—tidak menggantikan metode yang ada, tetapi menjadi “lem perekat” yang mengoptimalkan interaksi di antaranya.

Kritik Metodologi dan Logika

  • Kekuatan: Kombinasi data empiris besar, analisis terstruktur, dan alat formal seperti DSM memberikan bobot ilmiah yang kuat.

  • Keterbatasan:

    1. Skala geografis data terbatas pada konteks Estonia dan sektor tertentu; validasi global belum ditunjukkan.

    2. Implementasi sinergi masih lebih banyak dikonsepkan daripada diujicobakan pada integrasi penuh QMS–desain produk secara simultan.

    3. Pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas sinergi tidak diulas mendalam.

Argumen Utama Penulis dalam Format Poin

  • Integrasi kualitas produk dan QMS adalah keharusan strategis.

  • Pendekatan sinergi mampu mengubah interaksi negatif menjadi positif.

  • Faktor manusia adalah penyebab signifikan kegagalan kualitas, bukan hanya faktor teknis.

  • DSM menyediakan struktur visual dan analitis untuk optimasi proses.

  • Sistem yang adaptif terhadap kompetensi tim lebih realistis daripada pendekatan preskriptif murni.

Implikasi Ilmiah

Temuan ini memiliki potensi besar untuk:

  • Menyediakan kerangka umum bagi industri yang ingin menggabungkan kekuatan desain teknis dan manajemen mutu.

  • Mengurangi biaya kegagalan awal dengan mengidentifikasi titik kritis kolaborasi antar disiplin.

  • Mendorong penelitian lintas-bidang antara rekayasa, manajemen, dan psikologi kerja.

Kesimpulan

Tesis Tiit Hindreus memberikan kontribusi penting pada wacana manajemen kualitas dengan memperkenalkan kerangka sinergi sebagai alat integrasi. Berbasis pada data empiris yang luas, pendekatan ini menyoroti kenyataan bahwa kualitas tidak hanya dihasilkan dari spesifikasi teknis atau prosedur manajemen, tetapi dari interaksi harmonis keduanya.

Secara ilmiah, model ini berpotensi menjadi standar baru dalam quality assurance, terutama di era produk kompleks yang menuntut kolaborasi multidisiplin. Namun, untuk menjadi paradigma global, ia membutuhkan pengujian lintas industri dan budaya organisasi.

📄 DOI: https://doi.org/10.5220/0010785800003113

Selengkapnya
Resensi Konseptual dan Reflektif: Synergy-Based Approach to Quality Assurance

Manajemen Kualitas

Strategi dan Tantangan Perencanaan Biaya Kualitas oleh Kontraktor di Proyek Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.

 

Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.

 

Definisi dan Kategori Biaya Kualitas

 

Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:

 

1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.

2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.

3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.

 

Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.

 

Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:

 

Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)

Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)

 

Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.

 

Hasil Penelitian dan Analisis

 

1. Perencanaan Biaya Pencegahan

 

Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak

Proyek 2: 0,860%

Proyek 3: 0,948%

 

Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.

 

Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.

 

Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.

 

2. Perencanaan Biaya Penilaian

 

Proyek 1: 0,883%

Proyek 2: 1,790%

Proyek 3: 2,324%

 

Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.

 

Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.

 

3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan

 

Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:

 

Proyek 1: 1,35%

Proyek 2: 1,028%

Proyek 3: 0,55%

 

Komponen terbesar:

 

Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material

Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework

 

Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.

 

Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta

 

Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).

 

Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.

 

Hambatan dan Tantangan

 

1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas

2. Data tidak terdokumentasi dengan baik

3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama

4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan

 

Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.

 

Rekomendasi

 

Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi

Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek

Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama

Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas

 

Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini

 

Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.

 

Kesimpulan

 

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.

 

Sumber:

 

Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2

Selengkapnya
Strategi dan Tantangan Perencanaan Biaya Kualitas oleh Kontraktor di Proyek Konstruksi Indonesia

Manajemen Kualitas

Membangun Sistem Manajemen Kualitas Berbasis Risiko untuk Pemeliharaan Gedung Pemerintah: Studi Kasus Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Krisis Perawatan Gedung Pemerintah di Indonesia

 

Gedung pemerintah bukan hanya simbol pelayanan publik, tapi juga representasi dari tata kelola aset negara yang efisien. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak gedung pemerintah di Indonesia mengalami degradasi fungsi dan estetika akibat buruknya sistem pemeliharaan. Latar belakang ini menjadi dasar dilakukannya penelitian oleh Khairina dan Yusuf Latief dari Universitas Indonesia, yang mengembangkan Quality Management System (QMS) berbasis risiko untuk memperbaiki proses pemeliharaan tersebut.

 

Mengapa Sistem Manajemen Kualitas Diperlukan?

 

Menurut Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2011, gedung pemerintah merupakan aset negara yang harus dikelola secara optimal. Sayangnya, laporan dan studi lapangan menunjukkan seringnya terjadi kesalahan fungsi, kekurangan dokumentasi, hingga kerusakan fisik akibat absennya sistem perawatan terstruktur.

 

Peneliti menyadari bahwa:

  • Pemeliharaan tidak terencana mengakibatkan pemborosan anggaran.
  • Ketidakteraturan SOP dan kompetensi staf menurunkan kualitas pekerjaan.
  • Tidak adanya sistem manajemen risiko menyebabkan kegagalan berulang.

 

Metodologi: Kombinasi Delphi, Kuesioner, dan Studi Kasus

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode Delphi dan survey kuesioner terhadap 44 responden dari berbagai instansi pemerintah dan swasta. Data dianalisis secara kualitatif dan deskriptif untuk memetakan risiko dalam setiap tahapan aktivitas pemeliharaan gedung.

 

Langkah-langkah utama penelitian:

1. Validasi terhadap struktur organisasi dan deskripsi pekerjaan.

2. Penjabaran 41 aktivitas dalam 4 proses bisnis utama pemeliharaan.

3. Identifikasi risiko pada tiap aktivitas.

4. Peringkat risiko menggunakan matriks probabilitas-dampak.

5. Penyusunan 24 aksi pengembangan QMS berbasis risiko.

 

Temuan Utama: 8 Risiko Tertinggi dalam Pemeliharaan Gedung Pemerintah

 

Dari 77 risiko yang berhasil diidentifikasi, berikut adalah 4 risiko paling tinggi (kategori “high”) berdasarkan nilai skoring:

  • Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis (skor 0,171)
  • Pengawasan tidak dilakukan dengan benar (skor 0,169)
  • Kesalahan perhitungan volume pekerjaan (skor 0,164)
  • Kesalahan opname lapangan (skor 0,162)

 

Risiko-risiko ini bukan hanya berpotensi mengganggu operasional gedung, tetapi juga dapat menyebabkan pemborosan anggaran dan kerugian fungsi.

 

Strategi Solusi: 24 Aksi Pengembangan QMS

 

Peneliti merumuskan 24 aksi sebagai penguatan sistem manajemen mutu berbasis risiko. Di antaranya:

  • Penambahan SOP pemeriksaan HPS dan RAB/RKS sebelum proses lanjut.
  • Penguatan tahapan inspeksi lapangan dan dokumentasi hasil kerja.
  • Checklist kompetensi tenaga kerja dan pengawasan berkala.
  • Pembuatan berita acara tinjauan lapangan secara periodik.

 

Penerapan solusi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi kerja, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pengawasan manual.

 

Studi Kasus dan Relevansi Lapangan

 

Sebagai contoh nyata, peneliti mengutip situasi di Gedung Rumah Negara, di mana pemeliharaan sering tidak sesuai dengan standar fungsi awal. Hal ini diperparah oleh kurangnya dokumentasi, staf yang tidak kompeten, dan rendahnya kesadaran pengguna gedung.

Tren ini mencerminkan tantangan yang dialami banyak institusi pemerintah, bahkan di negara lain. Studi oleh Ali dan Chua (2016) di Malaysia menunjukkan masalah serupa, dengan pembengkakan anggaran karena tidak adanya standar kualitas pemeliharaan yang baku.

 

Opini Kritis: Kelebihan dan Batasan Penelitian

 

Kelebihan:

  • Struktur metode yang sistematis dan mudah direplikasi.
  • Pendekatan partisipatif dengan melibatkan praktisi lapangan.
  • Fokus pada risiko memungkinkan perbaikan preventif, bukan hanya korektif.

 

Batasan:

  • Objek penelitian terbatas pada satu jenis instansi.
  • Belum menyentuh aspek digitalisasi sistem.

 

Ke depan, pengembangan sistem digital terintegrasi seperti BIM (Building Information Modeling) untuk manajemen pemeliharaan dapat memperkuat implementasi QMS ini.

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

 

  • Pengembangan QMS berbasis risiko ini dapat menjadi acuan nasional dalam:
  • Standarisasi SOP pemeliharaan gedung negara.
  • Pelatihan staf pemeliharaan dengan kompetensi berbasis risiko.
  • Efisiensi anggaran APBN/APBD dalam jangka panjang.

 

Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam regulasi atau platform digital seperti SIMAK-BMN (Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara).

 

Kesimpulan: Pilar Baru untuk Manajemen Aset Pemerintah

 

Penelitian Khairina dan Yusuf Latief menawarkan landasan kuat bagi pemerintah dalam mengelola aset gedung secara efektif, efisien, dan akuntabel. Dengan pendekatan manajemen kualitas berbasis risiko, pemerintah tidak hanya menjaga nilai ekonomis gedung, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap tata kelola negara.

 

 

Sumber Artikel

 

Khairina, & Latief, Y. (2018). Development of Quality Management System in the Process Implementation Maintenance Risk-Based in Government Building. Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, Bandung, Indonesia.

Selengkapnya
Membangun Sistem Manajemen Kualitas Berbasis Risiko untuk Pemeliharaan Gedung Pemerintah: Studi Kasus Indonesia
page 1 of 1