Manajemen Kedaruratan

Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025


Resensi Riset Mendalam: Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan

Penelitian ini menyajikan sintesis kritis dari tiga ulasan literatur yang saling terkait, berfokus pada dinamika praktik, tantangan kognitif, dan kerangka pelatihan untuk pengambilan keputusan dalam konteks manajemen kedaruratan. Dengan menganalisis kesenjangan dalam literatur, kerangka kerja ini secara eksplisit menguraikan jalur logis bagi peneliti akademis, penerima hibah, dan badan manajemen bencana untuk secara sistematis meningkatkan kompetensi dan hasil operasional, yang merupakan prasyarat mutlak dalam lingkungan operasional yang semakin kompleks dan cepat.

Jalur Logis Pengambilan Keputusan dan Tantangan Kognitif

Jalur logis temuan dimulai dengan pengakuan bahwa lingkungan operasional manajemen kedaruratan telah menjadi semakin kompleks, mencakup kesiapsiagaan hingga pemulihan, dan sering kali terfragmentasi dengan logika yang saling bertentangan di antara berbagai pemangku kepentingan. Dalam kondisi lapangan yang ditandai oleh tekanan tinggi, kualitas keputusan adalah segalanya, tetapi rentan terhadap sejumlah faktor manusia dan sistemik.

Tinjauan ini mengidentifikasi bahwa pengambilan keputusan dalam manajemen kedaruratan adalah proses multi-tahap yang idealnya melibatkan penilaian risiko, pengembangan strategi kerja sama, pertimbangan kendala kebijakan dan prosedur, identifikasi opsi dan kontingensi, dan pada akhirnya, tindakan dengan tinjauan berkelanjutan (Review, Assess risks, Identify options, Take action). Namun, tantangan kognitif utama muncul dari lingkungan stres tinggi dan informasi yang ambigu.

Salah satu temuan kunci adalah bahwa operator, alih-alih merespons secara instan terhadap alarm (seperti Personal Distress Alarms), cenderung mempertimbangkan tingkat alarm palsu dan alasan potensial lainnya sebelum bertindak. Sebagai contoh, seringnya bunyi alarm bahaya pribadi yang sensitif gerakan selama kebakaran besar dapat menyebabkan rasa puas diri (complacency). Hal ini menggarisbawahi perlunya pengenalan alat bantu kognitif (cognitive aids) yang efektif yang beroperasi dalam aliran peristiwa yang berkelanjutan, di mana operator terus membangun pemahaman situasional mereka dan merespons rangsangan eksternal.

Soroti data kuantitatif secara deskriptif: Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan alat bantu kognitif yang dirancang buruk dan potensi kelambanan respons yang berbahaya, yang diindikasikan oleh koefisien kerentanan yang tinggi dari respons operator yang tertunda — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru pada desain interaksi manusia-sistem.

Lebih lanjut, stres yang melekat dalam insiden besar dapat menyebabkan ketidakaktifan (inaction) atau keputusan yang tidak tepat, seringkali didorong oleh upaya untuk menghindari kesan bimbang (indecisive). Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesadaran situasional individu tetapi juga efektivitas kolaborasi dan koordinasi tim. Selain itu, risiko bencana (DRR) dihadapkan pada hambatan kelembagaan, termasuk kurangnya pemahaman bersama yang berpuncak pada asimetri informasi dan diskoneksi operasional. Respon yang efektif sangat bergantung pada faktor-faktor seperti kepercayaan, kecukupan informasi, efikasi, kejelasan pesan, dan kredibilitas sumber. Dalam konteks operasional lain, seperti pasca-gempa bumi, keputusan untuk menetapkan operasi kordon—yang didasarkan pada keselamatan jiwa—dapat terhambat oleh alasan yang bernuansa seperti ketidakpastian hukum dan nuansa budaya. Secara kolektif, temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan pengambilan keputusan harus bersifat holistik, menangani kognisi individu, dinamika tim, dan kendala sistemik-budaya.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari penelitian ini adalah sintesis kerangka kerja multidimensi yang memposisikan pengambilan keputusan darurat bukan sebagai tindakan tunggal, tetapi sebagai sistem yang terdiri dari tiga komponen kritis: praktik saat ini, dukungan kognitif, dan sistem pelatihan.

  1. Pendekatan Kognitif Holistik: Penelitian ini menggeser fokus dari sekadar proses keputusan struktural ke pengakuan eksplisit terhadap peran faktor manusia seperti kesadaran situasional, manajemen stres, dan kebutuhan akan pelatihan resiliensi pribadi.
  2. Katalog Bantuan Kognitif: Ulasan ini memberikan katalog bantuan kognitif, membedakannya berdasarkan apakah mereka mendukung proses keputusan (procedural/behavioral aids) atau kognisi (mental/situational aids). Hal ini meletakkan dasar tipologi untuk riset alat bantu di masa depan.
  3. Fokus pada Desain Pembelajaran dan Evaluasi: Kontribusi paling signifikan adalah penekanan pada evaluasi pelatihan sebagai komponen sistem yang kritis. Penelitian ini secara eksplisit mengadvokasi pelatihan berbasis skenario dan simulasi yang terstruktur, dengan serangkaian langkah yang jelas termasuk penetapan tujuan pembelajaran, pelatihan tim secara keseluruhan, penggunaan alat observasi yang terstruktur, dan umpan balik melalui debriefing. Ini menggarisbawahi bahwa peningkatan keterampilan bukan hanya tentang platform simulasi, tetapi tentang desain pembelajaran itu sendiri untuk meningkatkan keahlian dan mempertahankan standar kinerja.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan kerangka kerja yang kuat, penelitian ini membuka beberapa celah dan pertanyaan yang mendesak untuk eksplorasi lebih lanjut oleh komunitas riset, terutama dalam potensi jangka panjang:

  1. Asimetri Data Intervensi Kuantitatif: Meskipun penelitian ini mengidentifikasi bahwa pelatihan berbasis simulasi meningkatkan standar kinerja, ia tidak menyajikan data kuantitatif perbandingan dari studi intervensi. Pertanyaan terbukanya adalah: Berapa rasio efektivitas biaya dan koefisien retensi kinerja dari investasi dalam alat bantu kognitif berbasis teknologi canggih dibandingkan dengan pelatihan resiliensi pribadi? Data ini sangat penting bagi penerima hibah untuk membenarkan pengeluaran.
  2. Model Integrasi Sistemik Kompleks: Tantangan kelembagaan dalam DRR diakui, terutama dalam hal bidang yang terfragmentasi dan logistik yang berbeda. Namun, model pengambilan keputusan yang disajikan masih cenderung berfokus pada tim respons inti. Pertanyaan krusial adalah bagaimana mengintegrasikan kerangka keputusan ini ke dalam lingkungan sistemik yang kompleks di mana elemen-elemennya bersaing, seperti interaksi yang rumit antara perencanaan, layanan pemadam kebakaran, dan lingkungan masyarakat.
  3. Taktik Penanganan Elemen Bersaing: Lingkungan seperti antarmuka liar-perkotaan (Wildland-Urban Interface/WUI) adalah sistem yang kompleks dengan elemen yang bersaing, di mana solusi di satu area (misalnya, rute keluar yang ditentukan) dapat menyebabkan hasil suboptimal di area lain (misalnya, evakuasi yang tidak aman). Penelitian ini belum memberikan kerangka kerja normatif yang dapat mengukur atau memitigasi persaingan elemen sistem ini dalam proses pengambilan keputusan, yang diperlukan untuk mengadopsi pendekatan rekayasa kebakaran formal.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Riset Empiris tentang Koefisien Resistensi Alarm Palsu (K-ARP)

  • Basis Temuan: Pengamatan menunjukkan bahwa operator memprioritaskan tingkat alarm palsu dan potensi alasan lain sebelum merespons alarm vital, yang mengarah pada rasa puas diri (complacency). Rasa puas diri ini adalah ancaman yang jelas terhadap kecepatan dan akurasi respons.
  • Metode/Variabel Baru: Penelitian lanjutan harus menggunakan metode eksperimental berbasis simulasi untuk mengukur Koefisien Resistensi Respons (K-ARP) pada petugas kedaruratan di bawah berbagai rasio alarm palsu (variabel independen baru). Variabel terikatnya adalah waktu respons kritis dan akurasi keputusan awal.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hasil ini akan secara langsung memberikan standar yang divalidasi secara ilmiah untuk desain sistem alarm yang lebih cerdas dan dapat membantu mendefinisikan batas di mana intervensi kognitif tambahan harus dipicu, mempercepat respons dalam skenario kritis.

2. Ulasan Sistemik Terstruktur: Penerapan Rekayasa Kebakaran Formal (RKF) dalam Perencanaan Kota (Urban Planning)

  • Basis Temuan: Temuan menunjukkan bahwa desain perkotaan dan rekayasa kebakaran di WUI masih memerlukan perbaikan signifikan, dan kehancuran terus berlanjut karena kompleksitas sistem. Solusi jangka panjangnya terletak pada adopsi pendekatan rekayasa kebakaran formal (RKF) yang sudah diadopsi di lingkungan bangunan.
  • Metode/Variabel Baru: Penelitian ini harus berupa ulasan sistemik terstruktur yang memetakan bagaimana prinsip RKF (metode baru, mencakup aspek-aspek seperti tingkat kepadatan lalu lintas dan laju aliran api/perilaku kebakaran) di negara-negara maju (konteks baru) dapat diintegrasikan ke dalam standar bangunan nasional dan perencanaan tata ruang untuk WUI.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan menjembatani kesenjangan antara teori rekayasa api dan praktik tata ruang, meminimalkan risiko hasil suboptimal yang disebabkan oleh elemen sistem yang bersaing, dan mendorong resiliensi jangka panjang pada aset fisik.

3. Pengembangan dan Validasi Modul Pelatihan Resiliensi Tim (PRT-T)

  • Basis Temuan: Stres dapat menyebabkan inaktivitas atau keputusan yang tidak tepat, dan meskipun pelatihan resiliensi pribadi disarankan , efektivitas kolaborasi tim juga terpengaruh secara substansial.
  • Metode/Variabel Baru: Kembangkan Modul Pelatihan Resiliensi Tim (PRT-T) (metode baru) yang berfokus pada kohesi tim dan pembuatan keputusan yang terdistribusi di bawah tekanan tinggi (variabel baru). Lakukan validasi silang (cross-validation) dengan membandingkan kinerja tim pasca-PRT-T dengan kelompok kontrol dalam simulasi bencana dengan tingkat stres yang diinduksi secara kualitatif.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah fokus dari resiliensi individu ke resiliensi tim sangat penting untuk meningkatkan koordinasi dan mengurangi dampak stres secara kolektif pada output keputusan operasional, yang menjadi kunci dalam manajemen insiden besar.

4. Pemodelan Dinamis Asimetri Informasi dalam Respon DRR Multisektoral

  • Basis Temuan: Respon DRR terhambat oleh bidang yang terfragmentasi, logika yang bersaing, dan asimetri informasi. Sebaliknya, respons yang efektif ditandai dengan kepercayaan, kejelasan pesan, dan kredibilitas sumber.
  • Metode/Variabel Baru: Terapkan pemodelan dinamis berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) (metode baru) untuk menyimulasikan aliran informasi (variabel baru: trust level, message clarity, efficacy) antara tiga jenis institusi (konteks baru: Public Sector Organizations, Non-Governmental Organizations, and Community Groups) selama insiden.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: ABM akan memetakan titik kegagalan komunikasi dan fragmentasi kelembagaan yang paling mungkin terjadi, sehingga memungkinkan rekomendasi kebijakan yang ditargetkan untuk menumbuhkan kepercayaan dan kejelasan pesan di seluruh bidang DRR.

5. Riset Etnografi tentang Nuansa Budaya dalam Keputusan Kordon Pasca-Bencana

  • Basis Temuan: Keputusan teknis seperti operasi kordon (keselamatan jiwa) dapat dihindari karena faktor-faktor non-teknis, termasuk ketidakpastian hukum dan nuansa budaya.
  • Metode/Variabel Baru: Lakukan riset etnografi dan studi kasus komparatif (metode baru) di lokasi pasca-bencana di berbagai yurisdiksi (konteks baru: misalnya, kawasan padat penduduk dengan kepemilikan ruang publik yang ketat) untuk mendokumentasikan bagaimana norma budaya terhadap kepemilikan dan penggunaan ruang publik (variabel baru) memengaruhi penerimaan dan penegakan operasi kordon.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menghasilkan kerangka kerja keputusan yang sensitif secara budaya dan hukum, bergerak melampaui kriteria "keselamatan jiwa" yang sederhana untuk memastikan penerimaan komunitas dan kepatuhan yang efektif terhadap keputusan taktis yang sulit.

Secara keseluruhan, penelitian ini tidak hanya mengkritik keadaan pengambilan keputusan dalam manajemen kedaruratan saat ini, tetapi juga menyediakan peta jalan yang ketat dan terperinci untuk riset terapan di masa depan. Fokus harus bergeser dari sekadar mendokumentasikan kegagalan menjadi merancang intervensi yang terukur dan terintegrasi, baik pada tingkat kognitif individu, tim, maupun sistem kelembagaan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Natural Hazards Research Australia (NHRA), Central Queensland University (CQU), dan National Emergency Management Agency (NEMA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama dalam menguji model simulasi baru untuk pelatihan. Kolaborasi dengan badan-badan seperti Australian Institute for Disaster Resilience (AIDR) juga sangat penting untuk menerjemahkan temuan akademis ini menjadi praktik operasional di lapangan.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Dari Intuisi ke Intervensi Terstruktur: Mengubah Keputusan Kritis dalam Manajemen Kedaruratan
page 1 of 1