Lingkungan & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
LEAD NARATIF: ANCAMAN SANITASI YANG BERSEMAYAM DI BAWAH TANAH JAKARTA
Laporan penelitian kualitatif mendalam mengenai pengelolaan air limbah domestik di DKI Jakarta menunjukkan sebuah realitas suram: ibu kota Indonesia terperangkap dalam tren peningkatan pencemaran air yang stabil dan mengkhawatirkan.1 Krisis ini bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan telah menjadi bom waktu kesehatan publik dan infrastruktur yang disinyalir oleh sistem pengelolaan yang bersifat parsial dan gagal mencapai keberlanjutan.1
Jakarta, sebagai pusat kegiatan antropogenik yang masif, menghadapi peningkatan pencemaran air permukaan dan air tanah yang disebabkan oleh pembuangan limbah cair.1 Masyarakat, baik di kawasan permukiman maupun komersial, mayoritas membuang air limbahnya langsung ke badan air—waduk, situ, saluran, kali—atau meresapkannya ke dalam tanah secara tidak terkendali.1
Dominasi Limbah Rumah Tangga Sebagai Sumber Polusi
Kajian ini mengungkapkan data yang sangat penting bagi penentuan prioritas kebijakan sanitasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan data lain, volume air limbah harian yang dihasilkan Jakarta mencapai jutaan meter kubik. Namun, kontributor terbesar pencemaran air bukanlah sektor industri yang sering menjadi sorotan utama.
Penelitian mengidentifikasi bahwa air limbah domestik rumah tangga memberikan kontribusi terbesar dalam pencemaran air di wilayah DKI Jakarta, yakni sebesar 75% dari total volume buangan. Lebih lanjut, jika dilihat dari beban polutan organiknya, limbah rumah tangga menyumbang 70%, sementara perkantoran dan daerah komersial 14%, dan industri 16%.1 Data lain bahkan menyebutkan bahwa 80% sumber pencemaran sungai di Jakarta berasal dari limbah rumah tangga.1
Angka-angka ini secara jelas menunjukkan bahwa jika Jakarta ingin membersihkan airnya dan membalikkan tren polusi yang meningkat, maka fokus kebijakan harus diarahkan pada solusi sanitasi rumah tangga. Kontribusi domestik yang mencapai tiga perempat dari total volume limbah menunjukkan bahwa masalah pencemaran Jakarta adalah masalah kebijakan publik massal yang tersebar, bukan semata-mata masalah penegakan hukum terhadap perusahaan besar yang terkonsentrasi. Kegagalan menanggulangi limbah domestik telah mengubah krisis polusi menjadi sebuah masalah sosial yang jauh lebih sulit diintervensi dan dikendalikan.
MENGAPA CAKUPAN LAYANAN SANGAT RENDAH? KISAH KEGAGALAN 50 TAHUN
Pengelolaan air limbah domestik atau sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia untuk memisahkan kotoran dari pemukiman guna mencegah penyakit.1 Sayangnya, upaya pengembangan sistem pengelolaan air limbah terpusat di Jakarta telah berjalan dengan kecepatan yang sangat lambat, menempatkan ibu kota dalam posisi yang jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya.
Stagnasi Implementasi Sejak 1972
Pengembangan pengolahan air limbah domestik terpusat telah diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1972, dimulai dengan penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Air Limbah yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan World Health Organisation (WHO).1 Meskipun inisiasi ini sudah berlangsung selama hampir lima dekade, perkembangannya masih sangat minim.
Tinjauan terhadap Master Plan Pengelolaan Air Limbah di DKI Jakarta tahun 2012 mengidentifikasi fakta mengejutkan: cakupan pelayanan sistem perpipaan sewerage atau pengelolaan air limbah domestik secara terpusat di Jakarta baru mencapai 1,26%.1 Angka ini sangat rendah jika dibandingkan dengan total populasi penduduk Jakarta yang terus bertambah.1 Kegagalan implementasi yang berlangsung puluhan tahun ini menyiratkan bahwa masalah utama bukanlah ketiadaan rencana, melainkan disfungsi kelembagaan dan pembiayaan yang kronis.
Jakarta Tertinggal Jauh dari Ibu Kota Regional
Kesenjangan infrastruktur sanitasi Jakarta menjadi semakin nyata ketika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Asia. Berdasarkan data dari Asian Development Bank (ADB) tahun 2004, beberapa kota telah mencapai cakupan pelayanan sistem pengolahan air limbah domestik berteknologi modern hingga 100%, seperti Hong Kong, Osaka, dan Singapura.1 Ibu kota lain seperti Seoul mencapai 98%, Chengdu 85%, Kuala Lumpur 80%, dan bahkan Delhi mencapai 60%.1
Jika Jakarta hanya mampu melayani 1,26% penduduknya, ini berarti Jakarta tertinggal hampir seratus kali lipat dibandingkan Seoul atau Singapura. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa Jakarta tidak hanya "tertinggal" dalam pembangunan infrastruktur, tetapi berada dalam krisis parah akibat kegagalan mengintegrasikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Mayoritas Warga Mencemari Air Minum Sendiri
Apa yang terjadi dengan sisa air limbah dari 98,74% penduduk yang tidak terlayani oleh sistem terpusat? Hasil penelitian menunjukkan pola pembuangan yang sangat berisiko:
Proporsi terbesar yang menggunakan septic tank konvensional menjadi kontributor utama pencemaran air tanah. Dengan meresapkan limbah tanpa pengolahan memadai ke dalam tanah, mayoritas warga Jakarta secara tidak sadar telah menjadi pelaku pencemaran sekaligus korban utama, karena mereka meresapkan kotoran ke sumber air yang mereka gunakan untuk mandi, mencuci, dan bahkan, dalam kasus air sumur, untuk kebutuhan minum. Situasi ini menciptakan lingkaran risiko kesehatan yang berbahaya dan berkelanjutan.
ANCAMAN SENYAP E-COLI: KUALITAS AIR DI TITIK KRITIS
Stagnasi dalam pengembangan infrastruktur sanitasi memiliki konsekuensi langsung pada kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Indikator biologis yang paling mencolok dari buruknya kualitas air di Jakarta adalah tingginya angka konsentrasi bakteri Escherichia coli (E-coli).1
Kontaminasi Feses yang Meluas
E-coli adalah indikator biologi yang paling berpengaruh terhadap kualitas air karena keberadaannya mengindikasikan bahwa air tersebut telah terkontaminasi oleh fecal colifrom atau tinja.1 Kehadiran $E$-coli menunjukkan potensi adanya mikroorganisme enterik patogen lainnya.1
Data yang dikumpulkan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa 77% air tanah dan 82% sungai di DKI Jakarta telah terkontaminasi oleh $E$-coli, menjadikannya tidak layak untuk dikonsumsi sebagai sumber air minum.1 Laporan pada tahun 2015 juga menegaskan bahwa hampir semua sampel air yang diambil dari sungai-sungai utama Jakarta—seperti Kali Ciliwung, Kali Angke, dan Kali Sunter—serta situ di lima wilayah kota menunjukkan konsentrasi $E$-coli yang berkali-kali lipat jauh melebihi baku mutu.1
Tingkat kontaminasi yang mendekati 80% ini harus dipahami sebagai status darurat lingkungan. Pembuangan air limbah domestik yang tidak diolah dan tidak terkendali telah menyebabkan kemerosotan kualitas air yang kuat di sungai-sungai Jakarta dan di pantai sepanjang tepian Teluk Jakarta.1 Kondisi ini tentu saja menimbulkan dampak buruk kesehatan bagi masyarakat Jakarta yang masih mengandalkan sumber air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.1
Dampak Kesehatan Global dan Biaya Tersembunyi
Kondisi pengelolaan air limbah domestik yang buruk ini memiliki korelasi langsung dengan masalah kesehatan yang parah. Penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa 85% hingga 90% penyakit diare yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan oleh sanitasi dan air yang tidak aman.1 Secara global, kondisi ini berkontribusi terhadap kematian 1,6 juta anak di bawah usia lima tahun setiap tahunnya.1
Krisis sanitasi ini memicu biaya tersembunyi yang besar. Ketika air baku terkontaminasi secara parah (ditunjukkan oleh 77% air tanah yang tidak layak), Pemerintah secara de facto dipaksa untuk meningkatkan layanan air bersih perpipaan, yang cakupannya saat ini masih suboptimal, hanya sekitar 57% hingga 61% dari kebutuhan penduduk.1 Kegagalan berinvestasi pada sanitasi di hulu menghasilkan pengeluaran wajib yang jauh lebih besar di hilir, baik untuk biaya pengobatan penyakit berbasis air, maupun untuk biaya operasional pengolahan air bersih yang semakin mahal karena kualitas air baku yang sangat buruk.
Indikator Teknis Pencemaran
Baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan parameter teknis untuk menjamin air yang dibuang tidak merusak lingkungan.1 Parameter kunci yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air limbah domestik meliputi:
Tingginya konsentrasi $E$-coli, bersamaan dengan parameter BOD, COD, dan TSS yang cenderung melampaui baku mutu, mengukuhkan bahwa DKI Jakarta berada pada tingkat pencemaran yang secara alamiah sulit pulih tanpa adanya investasi pengolahan limbah yang masif dan terstruktur.
AKAR MASALAH: ANALISIS STATUS 'KURANG BERKELANJUTAN' LIMA ASPEK
Hasil penelitian menegaskan bahwa pengelolaan air limbah domestik di DKI Jakarta, baik secara multidimensi maupun parsial terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan, berada pada status kurang berkelanjutan.1 Kondisi ini muncul karena sistem yang dijalankan bersifat parsial dan gagal menempatkan kelima aspek tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana konsep pembangunan berkelanjutan.1
Dimensi Ekonomi: Jerat Biaya dan Masalah Tarif
Salah satu kendala utama yang menghambat pengembangan sarana pengolahan air limbah adalah aspek ekonomi, terutama terkait dengan sumber dan skema pembiayaan.1 Biaya yang diperlukan untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sangat tinggi, dan lebih jauh lagi, biaya operasional dan pemeliharaan (OP) IPAL untuk kota bisa mencapai 20% hingga 70% dari biaya pembangunan awal.1
Permasalahan terbesar dalam mencapai keberlanjutan ekonomi adalah Kemauan Membayar (WTP) masyarakat untuk layanan sanitasi. Selama ini, sebagian besar masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah, membuang air limbahnya langsung ke badan air tanpa mengeluarkan biaya operasional pengolahan.1 WTP sangat diperlukan dalam penetapan struktur tarif yang akan dikenakan bagi pengguna layanan.1 Selama pemerintah tidak berani menerapkan konsep Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar) dan menetapkan struktur tarif yang realistis dan adil, masyarakat akan terus membuang limbah secara gratis, dan sistem terpusat tidak akan pernah mencapai kemandirian finansial.
Dimensi Sosial: Masalah Lahan dan Resistensi Publik
Aspek sosial menjadi penghalang implementasi yang paling terasa di kota padat seperti Jakarta. Pengembangan sarana pengolahan air limbah domestik selalu terkendala pada penyediaan lahan, baik karena keterbatasan lahan maupun tingginya harga jual tanah yang diminta oleh masyarakat.1 Akibatnya, pemerintah seringkali harus memanfaatkan lokasi yang tidak optimal, seperti waduk, yang kemudian hasilnya tidak maksimal.1
Resistensi masyarakat terhadap pembangunan IPAL dan sistem perpipaan di wilayah mereka menjadi atribut dominan yang mempengaruhi status keberlanjutan sosial.1 Hal ini diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat karena selama ini belum pernah diberikan edukasi lingkungan yang terpadu mengenai dampak buruk pembuangan limbah yang tidak terkendali.1 Diperlukan penegakan hukum dan penerapan peraturan yang ketat, termasuk di kawasan pesisir, untuk mendukung implementasi konsep Polluter Pays Principle bagi setiap orang yang mencemari lingkungan.1
Kegagalan Kelembagaan dan Pilihan Teknologi
Secara kelembagaan, masalah utama adalah kurangnya komitmen dan konsistensi dalam implementasi program dan anggaran.1 Bukti paling nyata dari kelumpuhan kelembagaan adalah fakta bahwa dari 14 zona pengembangan IPAL terpusat yang direncanakan sejak Masterplan 2012, hingga saat ini belum ada satu pun yang direalisasikan, sehingga persoalan penanganan air limbah domestik di Jakarta masih belum dapat diselesaikan.1
Dari sisi teknologi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menggunakan teknologi pengolahan air limbah domestik yang dianggap sederhana dan hasilnya tidak dapat diandalkan.1 Pemilihan teknologi yang kurang andal ini memperburuk status keberlanjutan. Indikator teknologi yang menjadi variabel lemah meliputi daya tahan sistem, ketersediaan suku cadang, dan kemudahan operasional.1
Permasalahan keberlanjutan di Jakarta bukanlah masalah teknis atau perencanaan semata, melainkan masalah antar-dimensi yang saling mengunci. Kelembagaan yang lemah tidak mampu menyelesaikan masalah lahan (Sosial) dan WTP (Ekonomi), yang mengakibatkan proyek infrastruktur terhenti. Selama masalah-masalah non-teknis ini tidak diatasi, siklus "kurang berkelanjutan" akan terus berlanjut.
JALAN KELUAR: STRATEGI PRIORITAS MENUJU KEBERLANJUTAN HOLISTIK
Dalam rangka pengembangan pengelolaan air limbah domestik yang berkelanjutan, penelitian ini merekomendasikan perlunya perumusan dan penetapan strategi prioritas yang komprehensif, mencakup kelima aspek keberlanjutan.1
Mengakselerasi Solusi Desentralisasi (Sistem Setempat)
Mengingat kegagalan total dalam merealisasikan zona IPAL terpusat, percepatan pembangunan sistem desentralisasi atau sistem setempat harus menjadi fokus implementasi jangka pendek. Pengelolaan air limbah domestik melalui sistem setempat mencakup modifikasi tangki septik konvensional agar dapat mengolah black water (limbah toilet) dan grey water (limbah non-toilet) sekaligus, pembangunan IPAL Komunal, dan pelaksanaan penyedotan lumpur tinja secara berkala.1
Target rasio pelayanan pengelolaan air limbah domestik melalui pengolahan sistem setempat adalah sebesar 35% pada tahun 2022.1 Target ini mewakili lompatan efisiensi yang masif—setara dengan meningkatkan layanan sanitasi efektif hampir 30 kali lipat dari cakupan terpusat saat ini—yang merupakan cara tercepat untuk memitigasi krisis $E$-coli dan masalah kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran air tanah.
Kunci Pembiayaan dan Komitmen Kelembagaan
Status kurang berkelanjutan yang dominan dipengaruhi oleh aspek ekonomi dan kelembagaan.1 Untuk mengatasi kendala ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memperkuat komitmen dan konsistensi implementasi program, didukung oleh penganggaran yang memadai.1
Pendanaan tidak dapat semata-mata mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1 Skema pembiayaan harus didiversifikasi secara agresif melalui model-model pendanaan berkelanjutan, seperti:
Diversifikasi pendanaan ini, dikombinasikan dengan penguatan peran pemerintah daerah dan pusat serta penegakkan hukum yang ketat (Aspek Kelembagaan), adalah prasyarat mutlak untuk memastikan rencana pembangunan 14 zona IPAL terpusat yang telah ditetapkan (jangka pendek 2015-2022 dan jangka panjang hingga 2030 dan 2050) dapat diwujudkan.1
PENUTUP: MENGHITUNG DAMPAK NYATA KEBERLANJUTAN
Kajian kualitatif pengelolaan air limbah domestik ini bukan hanya menegaskan bahwa Jakarta berada dalam kondisi yang "kurang berkelanjutan," tetapi juga memberikan cetak biru yang jelas mengenai mengapa kegagalan implementasi telah terjadi selama puluhan tahun—yaitu sistem yang parsial dan ketidakmampuan untuk mengatasi hambatan sosial-ekonomi, terutama masalah lahan dan WTP.
Pengelolaan air limbah domestik adalah prasyarat dasar bagi kesehatan publik, keamanan lingkungan, dan integritas ekonomi sebuah kota metropolitan. Kegagalan dalam bertindak sekarang berarti menjamin krisis kesehatan dan lingkungan yang lebih dalam, mahal, dan sulit diatasi di masa mendatang.
Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengadopsi strategi holistik yang direkomendasikan—dengan memperkuat komitmen kelembagaan, menjamin pendanaan berkelanjutan melalui skema inovatif, dan berhasil mencapai target layanan desentralisasi (35% target) sambil secara efektif menghentikan kelumpuhan pengadaan lahan—dampak nyatanya akan monumental.
Jika diterapkan secara konsisten, temuan ini menunjukkan bahwa Jakarta memiliki potensi untuk mengurangi insiden penyakit yang disebabkan oleh sanitasi buruk hingga 85% (berdasarkan korelasi WHO yang dikutip dalam penelitian) dalam waktu delapan hingga sepuluh tahun. Selain itu, dengan menekan buangan limbah langsung ke sumber air baku, Jakarta akan menghemat biaya operasional pengolahan air bersih hingga miliaran rupiah setiap bulan karena penurunan tingkat polutan yang harus diatasi, serta mengamankan keutuhan lingkungan hidup bagi generasi masa depan. Langkah ini akan mengubah status ibu kota dari zona darurat sanitasi menjadi kota yang benar-benar berkelanjutan dalam waktu kurang dari satu dekade.
Sumber Artikel:
Wirawan, S. M. S. (2019). KAJIAN KUALITATIF PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI DKI JAKARTA (QUALITATIVE STUDY OF DOMESTIC WASTEWATER MANAGEMENT IN DKI JAKARTA PROVINCE). JURNAL RISET JAKARTA, 12(2), 57–68.