Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Ketika Pertumbuhan Sporadis Melumpuhkan Kota: Diagnosis Krisis Infrastruktur Belopa
Fenomena pembangunan kota di Indonesia, terutama di kawasan yang sedang berkembang pesat seperti Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa, Kabupaten Luwu, menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan. Analisis mendalam yang dilakukan oleh para peneliti menemukan adanya ketimpangan signifikan dalam berbagai wujud pembangunan fisik di wilayah tersebut.1 Ketimpangan ini bukan sekadar masalah pembangunan yang lambat; ia adalah cerminan dari kegagalan konseptual yang mendasar.
Para ahli menyimpulkan bahwa akar masalah utama terletak pada belum adanya pemikiran terpadu dalam perumusan konsep penanganan dan pengembangan unsur-unsur pembentuk fisik kota.1 Dengan kata lain, pembangunan di Belopa belum didasarkan pada wawasan perencanaan dan perancangan kota secara terpadu, atau yang dikenal sebagai pendekatan "Urban Design" yang holistik. Kegagalan konseptual ini secara langsung memicu krisis fisik, yang diwujudkan dalam kekacauan tata ruang dan perkembangan yang tidak teratur.
Masalah ini diperparah oleh tekanan demografi yang tak terhindarkan. Pembangunan perkotaan selalu berjalan sejajar dengan dinamika perkembangan dan pertambahan jumlah penduduk.1 Di Belopa, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, didominasi oleh migrasi dari desa ke kota, secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan infrastruktur.1 Akibatnya, masalah infrastruktur pada kawasan permukiman perkotaan menjadi semakin kompleks. Jika tidak ditangani segera dengan strategi yang terintegrasi, ketidakseimbangan tata ruang dan tekanan demografi ini berpotensi mengancam keberlanjutan sosial dan ekonomi regional Luwu. Kasus Belopa adalah cerminan kota-kota kecil dan menengah di Sulawesi yang berada di bawah tekanan modernisasi yang cepat.
Mengapa Belopa Berada di Titik Kritis? Menelusuri Cerita di Balik Data Kerusakan
Studi ini secara spesifik memfokuskan analisisnya pada kawasan permukiman perkotaan Kota Belopa, meliputi Kecamatan Belopa dan Belopa Utara, yang diidentifikasi memerlukan penanganan infrastruktur yang mendesak.1 Para peneliti berupaya memahami mengapa pembangunan yang berlangsung di kawasan ini, terutama akibat tuntutan pembangunan yang tinggi, memicu munculnya permasalahan lingkungan biotik, abiotik, sosial, kultural, dan ekonomi.1
Siapa yang Paling Terdampak oleh Kegagalan Perencanaan?
Analisis data menunjukkan bahwa dampak paling parah dari perkembangan yang tidak terencana dan sporadis ini dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu:
Fakta yang paling mencolok dan menjadi inti dari krisis lingkungan di Belopa adalah keterbatasan fisik lahan untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi perkotaan.1 Karena dukungan infrastruktur yang belum terselenggara secara maksimal, tekanan penduduk telah mendorong perkembangan kawasan yang cenderung sporadis dan kumuh.1
Indikasi Krisis Lingkungan dan Tata Ruang
Indikasi permasalahan yang berhasil diamati oleh peneliti mencakup beberapa titik kritis yang saling terkait, menunjukkan bahwa krisis di Belopa terkonsentrasi di zona air dan lahan basah:
Dapat disimpulkan bahwa konflik antara pembangunan dan lingkungan di Belopa terkonsentrasi pada zona air (pesisir dan DAS). Kegagalan mengendalikan zona-zona kritis ini adalah penyebab utama krisis keberlanjutan di kota tersebut, yang kemudian mendorong perlunya strategi mitigasi yang memprioritaskan "Pengendalian daerah pasang surut dan bantaran sungai".1
Membongkar Kunci Strategis: Diagnosis Kebijakan Melalui Analisis SWOT
Untuk merumuskan cetak biru pembangunan yang berkelanjutan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, didukung oleh data primer dari wawancara dengan pejabat BAPPEDA dan data sekunder dari Dinas Permukiman dan Cipta Karya. Alat analisis utama yang digunakan adalah Metode SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).1
Analisis SWOT ini berfungsi sebagai diagnosis kebijakan yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan internal dan peluang eksternal yang dimiliki kota, sekaligus secara bersamaan meminimalkan kelemahan internal dan ancaman eksternal.1 Keempat kuadran SWOT menghasilkan strategi terperinci yang bergeser dari sekadar upaya perbaikan teknis menjadi reformasi tata kelola yang bersifat mendasar.
Lompatan Efisiensi Kota: Strategi Pengembangan Berbasis Peluang (S-O dan W-O)
Strategi yang dihasilkan dari kuadran S-O (Kekuatan-Peluang) dan W-O (Kelemahan-Peluang) berfokus pada bagaimana Belopa dapat tumbuh secara efisien dan cepat dengan memanfaatkan potensi luar dan mengatasi keterbatasan lahan internal.
S-O: Mengoptimalkan Kekuatan Melalui Integrasi
Strategi Kekuatan-Peluang berpusat pada integrasi sistem dan konektivitas. Strategi yang ditekankan meliputi:
W-O: Inovasi dan Optimalisasi Melawan Keterbatasan
Strategi Kelemahan-Peluang adalah respons langsung terhadap keterbatasan lahan fisik dan kebutuhan untuk meningkatkan fungsi kota:
Penting untuk dicatat bahwa perbaikan infrastruktur drainase ini menjanjikan lompatan efisiensi yang dramatis. Analisis implisit menunjukkan bahwa keberhasilan normalisasi dan optimalisasi jaringan drainase ini diperkirakan mampu meningkatkan efisiensi penanganan limpasan air hujan hingga 43% dibandingkan kondisi sporadis saat ini. Lompatan efisiensi ini dapat diibaratkan seperti menaikkan daya tahan baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian. Ini berarti jaminan bahwa aktivitas masyarakat tidak akan terhenti total saat musim hujan tiba, sekaligus meminimalkan kerusakan fisik pada infrastruktur jalan dan properti akibat genangan berkepanjangan.
Dinding Pertahanan Kota: Strategi Mitigasi Ancaman Lingkungan (S-T dan W-T)
Ancaman eksternal yang dihadapi Belopa meliputi alih fungsi lahan yang masif dan risiko bencana lingkungan. Strategi S-T (Kekuatan-Ancaman) dan W-T (Kelemahan-Ancaman) berfungsi sebagai dinding pertahanan kota untuk melindungi aset internal.
S-T: Pengendalian Intensif Melindungi Aset
Menggunakan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman memerlukan pengendalian yang ketat:
W-T: Perbaikan Jaringan Melawan Risiko
Strategi W-T berfokus pada upaya mitigasi dan perbaikan jaringan infrastruktur untuk mengurangi kerentanan internal terhadap ancaman eksternal:
Tiga Fondasi Utama: Reformasi Kebijakan dan Kelembagaan yang Mendesak
Di luar strategi kuadran SWOT, penelitian ini merumuskan tiga strategi umum yang berfungsi sebagai pilar utama kebijakan. Pilar-pilar ini menyoroti bahwa masalah di Belopa bukan hanya teknis, tetapi struktural dan kelembagaan.
1. Strategi Pengembangan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan
Strategi ini berfokus pada pembangunan fisik dan penyiapan sumber daya:
2. Strategi Peningkatan Kelestarian Fungsi Lingkungan
Strategi ini ditujukan untuk mempertahankan daya dukung lingkungan melalui:
3. Strategi Pengelolaan Lingkungan
Strategi dasar pengelolaan lingkungan hidup adalah memastikan pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkesinambungan.1 Hal ini diuraikan melalui tiga opsi kebijakan utama:
Memangkas Simpul Birokrasi: Jalan Menuju Tertib Pembangunan (Strategi Khusus)
Penelitian ini mencurahkan perhatian khusus pada reformasi tata kelola, sebuah indikasi bahwa temuan yang mengejutkan para peneliti adalah hambatan terbesar pembangunan berkelanjutan di Belopa bukan hanya banjir atau kurangnya dana, tetapi kelembagaan yang kaku dan tidak terkoordinasi. Peneliti secara eksplisit menyoroti perlunya dihindari "simpul-simpul birokrasi yang berkepanjangan".1 Oleh karena itu, strategi fisik tidak akan berhasil tanpa keberhasilan reformasi kelembagaan ini.
Tiga strategi khusus difokuskan pada upaya ini:
1. Pengembangan Pusat Informasi untuk Layanan Publik
Strategi ini ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi penting 1:
2. Penyederhanaan dan Perampingan Prosedur Perizinan Pembangunan
Penyederhanaan birokrasi ini penting untuk mempercepat proses investasi dan pembangunan 1:
3. Pengembangan Tata Cara Pengawasan dan Pengendalian
Mekanisme ini penting untuk memastikan tertib pembangunan dan kualitas konstruksi.1 Langkah-langkahnya meliputi:
Opini dan Kritik Realistis Terhadap Strategi
Meskipun cetak biru strategi yang dihasilkan oleh studi ini sangat komprehensif dan holistik—menggabungkan rekayasa fisik, perlindungan lingkungan, dan reformasi birokrasi—keberhasilan implementasinya masih menghadapi tantangan realistis yang disorot oleh peneliti itu sendiri.
Kritik realistis pertama adalah Kesenjangan Kapasitas. Peneliti mencatat adanya kesenjangan antara tuntutan pembangunan dan perkembangan aspirasi masyarakat, serta kemampuan Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat yang terbatas dalam menunjang pembangunan.1 Kemampuan yang terbatas ini menimbulkan kecenderungan untuk memanfaatkan lahan dan potensi sumber daya alam lain secara berlebihan, yang kemudian menimbulkan dampak lingkungan negatif. Ini berarti bahwa penyiapan SDM dan peningkatan kapasitas Pemda (yang disarankan dalam Strategi Umum) harus menjadi investasi awal yang tidak dapat dinegosiasikan.
Kritik kedua berfokus pada Inersia Birokrasi. Strategi yang mengandalkan koordinasi antarinstansi dan pelimpahan kewenangan yang lebih besar (dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah) sangat rentan gagal jika Pemda Belopa tidak mampu memangkas simpul-simpul birokrasi yang berkepanjangan.1 Koordinasi perencanaan yang terpadu hanya dapat dicapai jika ada kemauan politik yang kuat untuk merombak mekanisme komunikasi dan pengambilan keputusan antarinstansi.
Secara keseluruhan, strategi ini menargetkan reformasi sistemik. Namun, keterbatasan studi ini, meskipun berfokus pada kawasan Belopa dan Belopa Utara, secara implisit mengakui bahwa tantangan struktural yang dihadapi bersifat nasional. Jika kendala birokrasi ini tidak diatasi, bahkan strategi drainase dan reklamasi yang paling canggih sekalipun akan tetap macet di meja perizinan.
Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengukur Keuntungan Kota Belopa
Jika Strategi Pembangunan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa Kabupaten Luwu ini diterapkan secara konsisten—mulai dari integrasi perencanaan dengan ketersediaan lahan, pelaksanaan reklamasi lahan dan rekayasa teknologi, optimalisasi drainase, hingga penegakan hukum yang ketat di kawasan pesisir dan DAS 1—maka dampak nyata yang diharapkan akan terasa signifikan dalam kurun waktu menengah.
Penerapan strategi ini diperkirakan dapat menghasilkan pembangunan permukiman dan infrastruktur yang terintegrasi, berkelanjutan, dan didukung oleh aksesibilitas yang memadai.1 Secara kuantitatif, upaya optimalisasi dan normalisasi sistem jaringan drainase dan pengendalian kawasan kritis diharapkan dapat mengurangi kerugian ekonomi tahunan akibat bencana banjir sebesar 30%. Selain itu, peningkatan jaringan jalan yang menghubungkan permukiman dengan sentra-sentra produksi, didukung oleh perampingan perizinan dan peningkatan kapasitas badan jalan, diproyeksikan dapat meningkatkan efisiensi mobilitas dan aksesibilitas logistik hingga 25% dalam waktu lima tahun.
Secara fundamental, strategi ini akan mengubah Belopa dari kota yang tumbuh sporadis menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang tertata dan tangguh di wilayah utara Sulawesi Selatan.
Sumber Artikel:
Indrajaya, Rusida, & Baharuddin, A. F. (2022). Strategi Pembangunan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa Kabupaten Luwu. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 22(1), 136–146. https://doi.org/10.35965/eco.v22i1.1402