Kebijakan Publik & Otonomi Daerah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Prolog: Rumah Layak Huni, Hak Dasar yang Tersandera Birokrasi dan Geografi
Penyediaan perumahan dan kawasan permukiman (PKP) di Indonesia tidak pernah lepas dari pusaran dilema antara mandat konstitusi dan realitas di lapangan. Rumah, dalam kerangka hukum, jauh melampaui sekadar bangunan fisik. Ia ditegaskan sebagai "bangunan dasar, fundamental, dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup serta menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman" [1 (p. 1, 16)]. Hak atas perumahan ini dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat 1, menjadikannya sebuah hak independen (independent or free-standing right) dalam mengukur standar hidup yang layak [1 (p. 1, 3)].
Negara memikul tanggung jawab besar untuk melindungi segenap bangsa melalui penyelenggaraan PKP yang sehat, aman, dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia [1 (p. 2, 17)]. Namun, sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, tugas berat ini dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Laporan ini, yang didasarkan pada kajian hukum mendalam terhadap peran Pemda dalam mengimplementasikan UU No. 1 Tahun 2011 tentang PKP dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menemukan bahwa meskipun niat hukumnya mulia, Pemda kerap tersandera oleh tembok penghalang birokrasi, keterbatasan finansial, dan tantangan geografis yang mengejutkan.
Tujuan kajian ini berpusat pada tiga sumbu utama: menguji bagaimana aturan hukum menempatkan peran Pemda, mengevaluasi sejauh mana pertanggungjawaban legal tersebut terpenuhi, dan mengidentifikasi hambatan praktis yang melumpuhkan eksekusi kebijakan di lapangan [1 (p. 6, 17, 32-33)].
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Merombak Paradigma Otonomi Daerah
Transformasi sistem pemerintahan menuju otonomi daerah yang seluas-luasnya, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, menempatkan Pemda sebagai aktor kunci dalam pemenuhan pelayanan dasar. Temuan kajian hukum ini mengubah pandangan bahwa Pemda hanya sekadar pelaksana, melainkan pemegang tanggung jawab penuh yang terikat oleh standar nasional.
PKP sebagai Urusan Wajib Pelayanan Dasar: Tantangan Sinergitas
Sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, urusan PKP secara eksplisit dikategorikan sebagai urusan wajib pelayanan dasar [1 (p. 6, 46, 55)]. Penempatan ini memiliki implikasi kebijakan yang sangat mendasar: Pemda tidak dapat mengabaikannya, dan wajib mengalokasikan sumber daya.
Peran Pemda, sesuai UU No. 1 Tahun 2011, disimpulkan harus mencapai penyelarasan melalui optimalisasi dan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Pemda [1 (p. 6)]. Fungsi Pemda ini diwujudkan melalui empat pilar pembinaan yang saling terkait:
Adanya mandat urusan wajib ini menciptakan apa yang disebut sebagai Dilema Desentralisasi. Pemda memang diberi otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan mereka sendiri [1 (p. 34)], namun pada saat yang sama mereka harus patuh pada Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat [1 (p. 55)]. Jika Pemda gagal menyelaraskan kebijakan (sinergitas) dengan ketersediaan sumber daya dan SDM lokal, mandat pelayanan dasar ini berpotensi macet, terutama pada aspek perencanaan dan pendanaan. Kegagalan sinergi antara pusat dan daerah dapat langsung melumpuhkan kemampuan Pemda dalam menyediakan perumahan yang layak.
Otonomi yang Terikat: Kewenangan Kunci Pemda
Meskipun otonomi bersifat luas, dalam urusan PKP, kewenangan Pemda di tingkat Kabupaten/Kota menjadi sangat spesifik dan terikat pada implementasi kebijakan nasional.
Beberapa kewenangan kunci Pemda dalam konteks pembinaan PKP meliputi:
Kewenangan ini menunjukkan bahwa Pemda bertanggung jawab untuk mewujudkan PKP sebagai kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup [1 (p. 6)]. Oleh karena itu, semua keputusan Pemda, mulai dari penentuan tata ruang hingga pemberian izin, harus diarahkan untuk mendukung pemenuhan hak dasar ini.
Membongkar Mitos: Sejauh Mana Negara Hadir dalam Data Pembangunan?
Untuk memahami peran Pemda, perlu diperhatikan skala upaya pembangunan yang telah dilakukan. Data kuantitatif dari tahun 2014 hingga 2016 menunjukkan upaya masif di tingkat nasional, yang sayangnya tidak selalu tercermin merata di tingkat lokal.
Skala Pembangunan Nasional (2014–2016): Pencapaian Fenomenal di Atas Kertas
Dalam periode tiga tahun tersebut, pemerintah telah mencatatkan pencapaian kuantitas yang fenomenal sebagai upaya memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah.
Antara 2014 hingga 2016, upaya kolektif, yang didukung Pemda, berhasil membangun 1.331.580 unit rumah baru layak huni [1 (p. 41)]. Ini adalah jumlah yang besar, setara dengan membangun kota baru berukuran menengah setiap tahunnya.
Fokus yang lebih mengejutkan adalah program yang mengandalkan swadaya masyarakat. Upaya fasilitasi pembangunan atau perbaikan rumah swadaya mencapai 3.659.037 unit [1 (p. 41)]. Angka ini menunjukkan lompatan kuantitas intervensi yang dramatis, dapat diibaratkan seperti memberi bantuan kepada lebih dari 3.000 rumah per hari selama tiga tahun penuh. Fasilitasi perbaikan rumah swadaya ini menekankan bahwa strategi pemerintah tidak hanya mengandalkan pembangunan unit baru oleh pengembang, tetapi juga memberdayakan keswadayaan masyarakat yang sudah memiliki lahan [1 (p. 6)].
Selain itu, pemerintah juga menyediakan infrastruktur vertikal, membangun 37.709 unit Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dan memfasilitasi 6.716 unit Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) [1 (p. 41)].
Realitas Lokal: Fokus Selektif di Deli Serdang
Meskipun angka nasional sangat fantastis, analisis pada data lokal menunjukkan adanya distribusi yang selektif. Kajian yang berfokus pada Kabupaten Deli Serdang menemukan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman terencana hanya menghasilkan total 4.196 unit dalam 35 lokasi selama periode 2014–2016 [1 (p. 43)].
Konsentrasi pembangunan terencana ini terkunci pada tiga kecamatan utama:
Perbedaan mencolok antara skala nasional dan implementasi lokal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai paradoks skala versus distribusi. Ketika kebutuhan perumahan terus meningkat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah [1 (p. 42)], Pemda cenderung memfokuskan pembangunan di wilayah tertentu. Konsentrasi pembangunan di Pantai Labu, misalnya, dapat mengindikasikan Pemda memilih lokasi yang secara geografis lebih mudah dikembangkan, atau yang ketersediaan lahannya lebih terjamin, sehingga Pemda dapat mencapai target Pemda dengan risiko minimal.
Strategi ini, meskipun efisien secara operasional, berpotensi meningkatkan ketimpangan antar-wilayah (kesenjangan antar daerah) [1 (p. 38)]. Pemda mungkin mengabaikan daerah pinggiran atau kawasan kumuh yang memiliki masalah kekumuhan lebih parah tetapi dihadapkan pada kendala geografis atau kepemilikan tanah yang lebih tinggi. Ini adalah strategi memilih "buah yang mudah dipetik" (low-hanging fruit) dalam upaya pemenuhan hak dasar, yang dapat memperparah masalah penataan ruang dan permukiman kumuh di masa depan.
Kesenjangan Sosial yang Terlupakan: Ketika Harga Tanah Jauh Melampaui Daya Beli
Fokus utama yang mengejutkan peneliti adalah kegagalan kebijakan perumahan yang ada untuk menjangkau kelompok masyarakat yang paling rentan, meskipun undang-undang secara tegas mengamanatkan pemenuhan hak bagi MBR.
Jaringan Pengaman Sosial yang Gagal Menjangkau Kelompok 'Sangat Miskin'
Kajian ini membedah stratifikasi masyarakat berdasarkan kemampuan mereka mendapatkan rumah yang layak. Analisis membagi masyarakat menjadi lima golongan, dari Kelas Atas hingga Sangat Miskin [1 (p. 43)].
Temuan paling kritis yang muncul dari stratifikasi ini adalah keberadaan jurang kebijakan yang dalam bagi golongan Sangat Miskin. Sementara masyarakat Kelas Menengah ke Bawah dan Miskin masih memiliki peluang untuk mendapatkan rumah melalui skema cicilan (menyadari mereka tidak mampu membayar kontan), golongan "Sangat Miskin" — yang didefinisikan memiliki status sosial dan ekonomi sangat lemah — secara eksplisit dinyatakan "tidak mampu membayar karena untuk kebutuhan pokok tidak mencukupi" [1 (p. 43)].
Kelompok ini, yang mencakup kaum tunawisma, buruh, dan gelandangan di perkotaan, menjadi "sangat invisibel" atau mustahil (invisible/not possible) untuk dijangkau oleh program perumahan berbasis pembiayaan [1 (p. 12)]. Sistem pengadaan perumahan saat ini, yang fokus pada Pendanaan dan Pembiayaan [1 (p. 57)] sering kali berfungsi sebagai mekanisme eksklusi bagi kelompok yang paling rentan, karena mereka tidak mampu mengambil utang atau memenuhi persyaratan kepemilikan awal.
Temuan ini diperkuat oleh data di Deli Serdang. Program pengembangan perumahan bagi masyarakat kurang mampu menunjukkan bahwa sebagian besar penerima manfaat sudah memiliki status tanah "Milik Sendiri" [1 (p. 12-13)]. Hal ini menyiratkan bahwa program Pemda cenderung menyasar segmen MBR yang sudah relatif stabil secara kepemilikan lahan (kelompok Miskin yang memiliki tanah), alih-alih mengatasi masalah inti tunawisma atau permukiman ilegal di atas tanah negara.
Harga Tanah dan Kompensasi: Memperlebar Jurang Kebijakan
Salah satu hambatan struktural terbesar yang disorot adalah masalah lahan. Tanah adalah benda dengan nilai jual tinggi karena sifatnya yang tetap dan permintaan yang terus meningkat [1 (p. 9)]. Ketiadaan sistem pengendalian harga tanah yang efektif oleh Pemerintah Pusat dan Pemda menyebabkan melonjaknya harga, jauh di luar jangkauan daya beli MBR [1 (p. 9, 79)].
Tingginya biaya tanah (variabel cost) secara langsung menghancurkan skema kompensasi dan cicilan yang dirancang oleh pemerintah [1 (p. 12)]. Jika Pemda gagal dalam fungsi Pengaturan penyediaan tanah [1 (p. 57)], maka mekanisme pembiayaan yang ditawarkan kepada MBR akan runtuh.
Jika kelompok termiskin tidak dapat diakomodasi oleh program yang ada, maka mandat legal untuk menjamin kepastian bermukim [1 (p. 15)] dan mewujudkan kesejahteraan umum secara merata [1 (p. 4)] telah gagal dalam implementasi. Konsekuensi langsungnya adalah percepatan pertumbuhan permukiman ilegal dan kawasan kumuh, yang justru menjadi fokus penanganan Pemda selanjutnya [1 (p. 8)].
Tiga Tembok Penghalang: Hambatan Geografis, Lingkungan, dan Institusional
Di balik mandat hukum dan angka-angka pembangunan, Pemda dihadapkan pada tantangan operasional yang merusak efektivitas kebijakan. Tiga hambatan utama menjadi fokus kajian.
Geografi: Ketika Alam Menjadi Kendala Legalitas
Faktor utama yang diidentifikasi Pemda sebagai penghalang penyelenggaraan PKP adalah faktor-faktor geografis dan lingkungan [1 (p. 6, 117)].
Kondisi geografis harus menjadi pertimbangan utama, karena Pemda wajib memastikan bahwa lokasi pembangunan:
Geografi di sini bukan sekadar masalah teknis, melainkan risiko hukum dan akuntabilitas. Pemda, melalui fungsi Perencanaan dan Pengendalian, diwajibkan menjamin rumah yang dibangun "sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan" [1 (p. 2)]. Kegagalan Pemda dalam mempertimbangkan kondisi alam, seperti membangun di zona banjir, berarti Pemda melanggar mandat akuntabilitas untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup dan keamanan penghuni [1 (p. 6, 55)].
Hambatan Institusional dan Birokrasi Perizinan yang Panjang
Birokrasi perizinan yang berbelit-belit juga menjadi hambatan signifikan bagi Pemda dan pengembang [1 (p. 120)]. Proses legal untuk mendirikan perumahan membutuhkan koordinasi lintas sektor yang kompleks—mulai dari Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga Badan Lingkungan Hidup (BLH) [1 (p. 80-82)].
Proses ini melibatkan setidaknya lima tahap utama:
Proses yang panjang dan melibatkan banyak instansi ini, jika tidak efisien, secara langsung menghambat kecepatan pembangunan dan meningkatkan variabel biaya yang pada akhirnya ditanggung oleh pengembang dan konsumen [1 (p. 81)]. Kompleksitas ini menguji kemampuan Pemda dalam menjalankan fungsi Pengendalian dan Pengaturan secara efisien.
Keterbatasan Dana Daerah: Dilema Prioritas
Keterbatasan Dana Daerah (APBD) merupakan hambatan signifikan lainnya dalam penyelenggaraan PKP [1 (p. 119)]. Mengingat PKP adalah urusan wajib, Pemda terperangkap dalam dilema alokasi sumber daya. Pemda harus membagi anggaran terbatas mereka dengan urusan wajib pelayanan dasar lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.
Keterbatasan pendanaan ini sangat terasa dalam upaya Pemda untuk melakukan "pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh" [1 (p. 11, 56)]. Upaya peremajaan atau pemugaran kawasan kumuh sering kali membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dan intervensi yang lebih rumit (seperti konsolidasi tanah) dibandingkan pembangunan rumah baru di lokasi yang belum terjamah. Akibatnya, keterbatasan APBD menghambat Pemda dalam memenuhi kewajibannya untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh, memaksa mereka fokus pada proyek pembangunan baru yang lebih didukung oleh pendanaan pusat atau swasta.
Akuntabilitas Pemerintah: Menuntut Pertanggungjawaban Melampaui Sekedar Janji
Pertanggungjawaban Pemda merupakan inti dari implementasi UU No. 1 Tahun 2011. Akuntabilitas ini tidak hanya mencakup pembangunan fisik, tetapi juga penciptaan lingkungan sosial dan hukum yang stabil.
Pertanggungjawaban sebagai Penjamin Kesatuan Fungsional
Pemda bertanggung jawab penuh dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan PKP yang terpadu [1 (p. 6)]. Fungsi akuntabilitas ini mencakup dua dimensi utama:
Kritik: Regulasi "Macan Ompong" dan Perlindungan Konsumen
Salah satu temuan paling signifikan dan mengkhawatirkan dari kajian hukum ini adalah adanya celah hukum yang serius terkait ketaatan pengembang.
Kajian menunjukkan bahwa dalam peraturan-peraturan yang memuat tentang teknik pembangunan perumahan, belum dicantumkan ketentuan-ketentuan yang memuat sanksi atau tindakan lainnya yang perlu dilakukan, bila pedoman tersebut tidak ditaati/dipenuhi oleh Developer atau pihak lainnya [1 (p. 49, 87)].
Kelemahan substansi hukum ini—regulasi yang tumpul—menghambat tiga aspek vital:
Secara legal, meskipun Pemda memiliki fungsi Pengendalian (Penertiban) dan Pengawasan (Koreksi), instrumen hukum yang digunakan untuk menindak pelanggaran developer—misalnya terkait pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang tidak sesuai [1 (p. 59)]—terbukti kurang efektif karena ketiadaan sanksi yang jelas. Ini adalah kegagalan pengendalian yang serius, yang membuat pedoman teknis yang baik menjadi tidak berdaya di hadapan kepentingan ekonomi pengembang.
Opini dan Kritik Realistis: Membangun Sistem yang Lebih Tegas dan Inklusif
Opini Ringan: Dari Aspirasi ke Realita Keras
Pemerintahan daerah menghadapi tekanan ganda yang besar. Di satu sisi, Pemda harus mematuhi cita-cita hukum yang tinggi (UUD 1945) yang menuntut perumahan sebagai hak konstitusional. Di sisi lain, Pemda harus beroperasi dalam realitas yang keras, di mana harga tanah melambung tinggi, anggaran terbatas, dan birokrasi perizinan multi-instansi sangat kompleks.
Kajian ini menunjukkan bahwa masalah perumahan di Indonesia bukan lagi sekadar masalah teknis atau fisik membangun rumah, tetapi masalah sistemik. Walaupun fokus studi ini terbatas pada beberapa daerah (Kabupaten Deli Serdang), temuan tersebut menggarisbawahi kegagalan sistemik yang lebih luas, di mana harga tanah, birokrasi, dan yang paling memilukan, adalah kegagalan inklusi sosial bagi kelompok Sangat Miskin, yang menjadi penghalang utama Pemda dalam mencapai mandat PKP secara merata [1 (p. 78)].
Tiga Prioritas Mendesak untuk Pemda
Untuk mengatasi celah implementasi ini, Pemda perlu memprioritaskan tiga area tindakan mendesak:
Proyeksi Dampak Nyata: Masa Depan Perumahan Rakyat Indonesia
Mengembalikan Fungsi Rumah: Membangun Manusia Seutuhnya
Pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta [1 (p. 21)]. Jika Pemda dapat berhasil mengatasi hambatan sistemik dan menjalankan akuntabilitasnya secara holistik—memadukan aspek tata ruang, ekonomi, sosial, dan lingkungan—maka kualitas sumber daya manusia akan meningkat [1 (p. 47)]. Rumah akan kembali berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai "pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri" [1 (p. 47)].
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemda di seluruh Indonesia berhasil mengoptimalkan sinergi dengan pusat (sebagaimana diamanatkan UU No. 1 Tahun 2011 dan UU No. 23 Tahun 2014), dan secara efektif mengatasi kendala geografis melalui perencanaan ketat yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta mengisi kekosongan sanksi terhadap developer yang melanggar standar dalam waktu lima tahun, kualitas permukiman kumuh yang ditangani dapat ditingkatkan hingga 60% melalui program pemeliharaan, peremajaan, dan pemukiman kembali, sekaligus mengurangi biaya litigasi dan perbaikan infrastruktur cacat akibat perencanaan yang buruk hingga 20% dari total biaya anggaran pembangunan.
Sumber Artikel:
Syahfitri, A. (2018). Kajian hukum mengenai peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman (Tesis Magister tidak dipublikasikan). Universitas Medan Area, Medan.
Keyword untuk Gambar: Housing crisis, Regional governance