Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Risiko Cedera Serius di Tempat Kerja: Analisis Industri Konstruksi Denmark & Solusi Pencegahan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025


 Pendahuluan 

Cedera kerja, terutama yang serius, merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sering diabaikan. Di Denmark, cedera menempati peringkat ketiga penyebab utama hilangnya tahun produktif setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Studi ini mengeksplorasi risiko cedera serius di antara pekerja pria Denmark, khususnya di industri konstruksi, serta mengevaluasi efektivitas intervensi keselamatan berbasis komunikasi manajemen. 

 Temuan Utama 

 1. Ketimpangan Risiko Cedera Antar Industri (Studi A) 

- Industri Berisiko Tinggi: Konstruksi, pemadam kebakaran, dan rumah potong hewan menunjukkan risiko cedera tertinggi. 

- Fraksi Berlebih (Excess Fraction): 22–39% cedera terkait dengan kondisi kerja yang berbahaya, menunjukkan potensi pencegahan yang signifikan. 

- Contoh Kasus: Pekerja konstruksi memiliki risiko cedera kepala dan punggung 20–39% lebih tinggi dibandingkan industri lain. 

 2. Ukuran Perusahaan & Risiko Cedera (Studi B) 

- Gradien Risiko: Pekerja di perusahaan besar (20+ karyawan) menghadapi risiko cedera lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil (0–4 karyawan). 

- Peran Pekerjaan: Tukang pipa, tukang kayu, dan pekerja tidak terampil memiliki risiko cedera 12–19% lebih tinggi. 

- Implikasi Kebijakan: Temuan ini bertentangan dengan asumsi umum bahwa perusahaan kecil lebih berisiko, sehingga memerlukan penyesuaian strategi pencegahan. 

 3. Kegagalan Intervensi Keselamatan (Studi C) 

- Desain Intervensi: Pelatihan koordinator keselamatan untuk meningkatkan komunikasi antara manajemen dan pekerja. 

- Hasil Null: Tidak ada peningkatan signifikan dalam komunikasi keselamatan atau kondisi fisik tempat kerja. 

- Penyebab Kegagalan: Masalah implementasi (kurangnya partisipasi koordinator) dan desain teori yang terlalu disederhanakan. 

 Analisis & Rekomendasi 

 Keterbatasan Data Nasional 

Denmark tidak memiliki sistem surveilans cedera nasional yang komprehensif, mengandalkan data yang terfragmentasi dari berbagai sumber. Hal ini menghambat upaya pencegahan berbasis bukti. 

 Solusi Potensial 

1. Database Cedera Nasional: Meningkatkan pelacakan cedera kerja untuk identifikasi risiko yang lebih akurat. 

2. Pendekatan Sosio-Epidemiologi: Mempertimbangkan faktor sosial seperti kelas pekerjaan dan ketimpangan pendapatan dalam analisis cedera. 

3. Intervensi Multilevel: Menggabungkan pendekatan teknis (mis., alat keselamatan) dengan perubahan perilaku (pelatihan manajemen). 

 Studi Kasus: Perbandingan dengan Swedia 

Denmark memiliki tingkat cedera kerja serius dua kali lipat lebih tinggi daripada Swedia, meskipun kondisi ekonomi dan budaya serupa. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kebijakan keselamatan yang kurang ketat dan underreporting di Denmark. 

 Kritik & Opini 

- Kekuatan: Studi ini menggunakan dataset nasional yang besar dan metodologi kuat (termasuk uji acak terkontrol). 

- Kelemahan: Intervensi keselamatan gagal karena masalah implementasi, bukan teori. Perlu evaluasi kualitatif untuk memahami hambatan sosial di tempat kerja. 

- Relevansi Global: Temuan ini berlaku untuk negara dengan industri konstruksi padat karya, seperti Indonesia, di mana cedera kerja sering kurang dilaporkan. 

 Kesimpulan 

Cedera kerja serius di Denmark, terutama di industri konstruksi, mencerminkan ketimpangan sosial dan kegagalan kebijakan. Solusinya memerlukan pendekatan holistik, mulai dari surveilans yang lebih baik hingga intervensi berbasis bukti yang melibatkan seluruh hierarki pekerja. 

Sumber : Pedersen, B. H., et al. (2017). Injury risk and prevention among male workers in Denmark: A public health approach. University of Copenhagen. 

Selengkapnya
Risiko Cedera Serius di Tempat Kerja: Analisis Industri Konstruksi Denmark & Solusi Pencegahan

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Mengungkap Perbedaan Budaya Keselamatan Kerja: Studi Kasus Swedia vs Denmark dalam Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025


Pendahuluan: Kenapa Budaya Keselamatan Kerja Penting?

Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi di dunia. Menurut Hämäläinen et al. (2003), diperkirakan terdapat 360.000 kecelakaan kerja fatal secara global setiap tahun, dan 4,8% pekerja konstruksi di Eropa pernah mengalami cedera kerja pada 2007. Tingginya angka kecelakaan ini menuntut adanya pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan hasil keselamatan kerja, terutama budaya keselamatan (safety culture) (Grill et al., 2015).

Studi Kasus: Swedia vs Denmark – Dua Negara, Satu Budaya, Hasil Berbeda

Swedia dan Denmark, dua negara Skandinavia dengan kemiripan budaya, sistem sosial, dan gaya manajemen organisasi, justru menunjukkan perbedaan signifikan dalam angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Fatalitas kecelakaan kerja di Denmark 33% lebih tinggi dibandingkan Swedia, bahkan pada proyek besar seperti Jembatan dan Terowongan Öresund, kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak (Tómasson et al., 2015).

Penelitian oleh Grill, Grytnes, dan Törner (2015) menggunakan wawancara mendalam dengan sembilan profesional konstruksi berpengalaman dari kedua negara. Hasilnya, ditemukan tujuh tema utama yang membedakan budaya keselamatan di Swedia dan Denmark, yang secara langsung memengaruhi tingkat kecelakaan kerja.

Tujuh Tema Kunci Budaya Keselamatan

  1. Manajemen Partisipatif vs Direktif
    Swedia menonjol dengan gaya manajemen partisipatif, di mana pekerja dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait keselamatan. Sebaliknya, Denmark cenderung lebih direktif, dengan keputusan banyak diambil oleh manajer. Model partisipatif terbukti membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab pekerja, yang berkontribusi pada kepatuhan terhadap prosedur keselamatan.
  2. Budaya Tantangan vs Kepatuhan
    Di Swedia, pekerja didorong untuk menantang otoritas jika ada prosedur yang dianggap tidak aman, sedangkan di Denmark, kepatuhan terhadap instruksi lebih diutamakan. Sikap kritis ini di Swedia justru memperkuat sistem keselamatan karena mendorong perbaikan berkelanjutan.
  3. Kepatuhan vs Pelanggaran Aturan
    Swedia memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi terhadap aturan keselamatan, sementara di Denmark, pelanggaran aturan lebih sering terjadi dan kadang dianggap sebagai bagian dari budaya kerja sehari-hari.
  4. Kerja Sama vs Konflik
    Budaya kerja sama di Swedia sangat kuat, baik antara pekerja maupun dengan manajer. Di Denmark, hubungan kerja cenderung lebih individualis dan kadang diwarnai konflik, yang bisa menghambat komunikasi keselamatan.
  5. Kehati-hatian vs Keberanian Berlebihan
    Pekerja Swedia dikenal lebih hati-hati dan cenderung menghindari risiko, sedangkan di Denmark, keberanian atau bahkan “kecakapan” menghadapi bahaya sering dianggap sebagai nilai tambah.
  6. Perencanaan Jangka Panjang
    Swedia menonjol dalam aspek perencanaan keselamatan jangka panjang, sedangkan di Denmark, perencanaan sering kali bersifat jangka pendek dan reaktif.
  7. Keamanan Kerja dan Loyalitas
    Sistem kontrak kerja jangka panjang di Swedia menciptakan loyalitas dan rasa tanggung jawab pekerja terhadap keselamatan. Di Denmark, sistem kontrak lebih fleksibel, yang dapat memengaruhi komitmen pekerja terhadap budaya keselamatan.

Angka dan Fakta Kunci dari Studi

  • Perbedaan fatalitas kecelakaan: Fatalitas di Denmark 33% lebih tinggi daripada Swedia.
  • Proyek Öresund: Kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak dibandingkan Swedia.
  • Partisipasi pekerja: Model partisipatif di Swedia terbukti meningkatkan kepatuhan dan pelaporan risiko.

Analisis: Faktor Penentu Budaya Keselamatan yang Efektif

Dari tujuh tema di atas, leadership (kepemimpinan) dan engagement (keterlibatan pekerja) menjadi faktor utama yang membedakan tingkat keselamatan di kedua negara. Kepemimpinan yang partisipatif, terbuka terhadap masukan, dan mendorong komunikasi dua arah terbukti efektif menurunkan kecelakaan. Selain itu, pekerja yang merasa dilibatkan akan lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap keselamatan diri dan rekan kerja.

Hal ini sejalan dengan penelitian lain di sektor energi dan manufaktur yang menekankan pentingnya dimensi leadership, engagement, responsibility, information, dan communication dalam membangun budaya keselamatan yang matang (Hermawan, 2024).

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian Grill et al. (2015) menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden terbatas (9 orang), sehingga generalisasi hasil perlu dilakukan dengan hati-hati. Namun, temuan mereka sangat relevan karena memperkuat hasil meta-analisis Christian et al. (2010) yang menegaskan peran faktor situasional (iklim keselamatan, kepemimpinan) dan faktor individu (sikap, norma) dalam menurunkan kecelakaan kerja.

Studi di industri lain, seperti PLTU batubara di Indonesia, juga menunjukkan bahwa organizational learning (pembelajaran organisasi) penting untuk memahami dan mengantisipasi risiko kecelakaan, selain faktor kepemimpinan dan keterlibatan pekerja (Hermawan, 2024).

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi dan Sektor Lain

  • Bangun Manajemen Partisipatif: Libatkan pekerja dalam pengambilan keputusan keselamatan, bukan hanya sebagai pelaksana aturan.
  • Dorong Budaya Kritis: Ciptakan lingkungan di mana pekerja bebas menyampaikan potensi bahaya tanpa takut sanksi.
  • Perkuat Komunikasi dan Informasi: Pastikan semua pihak memahami prosedur keselamatan dan risiko yang ada.
  • Fokus pada Perencanaan Jangka Panjang: Jangan hanya reaktif terhadap kecelakaan, tapi lakukan perencanaan dan evaluasi berkelanjutan.
  • Ciptakan Keamanan Kerja: Sistem kontrak jangka panjang dan loyalitas pekerja berkontribusi pada budaya keselamatan yang kuat.

Kesimpulan: Budaya Keselamatan Bukan Sekadar Aturan, Tapi Sistem Sosial

Perbedaan angka kecelakaan kerja antara Swedia dan Denmark membuktikan bahwa budaya keselamatan bukan hanya soal aturan dan prosedur, tetapi juga soal nilai, norma, dan interaksi sosial di tempat kerja. Kepemimpinan yang partisipatif, keterlibatan pekerja, komunikasi efektif, dan perencanaan matang adalah fondasi utama membangun budaya keselamatan yang benar-benar menurunkan risiko kecelakaan.

Industri konstruksi dan sektor lain dapat belajar dari model Swedia untuk mengembangkan budaya keselamatan yang lebih kuat, adaptif, dan berkelanjutan-bukan hanya demi kepatuhan, tapi demi keselamatan dan produktivitas bersama.

Sumber : Grill, M., Grytnes, R., & Törner, M. (2015). Approaching safety in the Swedish and Danish construction industry: professionals’ perceptions of safety culture differences.

Selengkapnya
Mengungkap Perbedaan Budaya Keselamatan Kerja: Studi Kasus Swedia vs Denmark dalam Industri Konstruksi

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Kerangka Strategis K3 di Industri Konstruksi Iran: Menangani Kecelakaan Kerja dari Akar Masalah

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025


Pentingnya Membangun Sistem Keselamatan Kerja dari Dalam

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan hanya tentang helm dan rompi—lebih dari itu, K3 adalah investasi dalam kualitas hidup pekerja dan efisiensi proyek. Di sektor konstruksi, terutama di negara berkembang seperti Iran, implementasi sistem K3 sering kali tidak menyentuh akar masalah: perilaku manusia, komitmen manajemen, dan budaya organisasi.

Melalui disertasi yang ditulis oleh Mehdi Pourmazaherian (2020) di Universiti Teknologi Malaysia, sebuah kerangka kerja K3 disusun secara sistematis untuk menjawab tantangan keselamatan di industri konstruksi Iran. Studi ini menyasar 600 pekerja konstruksi dari sektor publik dan swasta, menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA).

Mengapa Iran Butuh Framework Keselamatan Baru?

Iran menghadapi tingkat kecelakaan konstruksi yang sangat tinggi, dengan laporan dari Iranian Legal Medicine Organization menyatakan bahwa 45% kecelakaan kerja terjadi di sektor konstruksi, dan 50% di antaranya bersifat fatal. Ironisnya, hanya 12% dari total pekerja Iran yang bekerja di sektor ini, menunjukkan bahwa tingkat keparahan kecelakaan sangat ekstrem.

Faktor-faktor penyebabnya antara lain:

  • Kurangnya pelatihan keselamatan
  • Manajemen yang tidak berkomitmen terhadap K3
  • Alat pelindung diri tidak tersedia
  • Desain lokasi kerja yang buruk
  • Perilaku berisiko dari pekerja muda atau tidak berpengalaman

Tujuan dan Cakupan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mengukur tingkat keselamatan kerja aktual di lapangan
  2. Mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang memengaruhi keselamatan
  3. Menilai pengaruh orientasi keselamatan sebagai mediator
  4. Mengembangkan framework terintegrasi untuk industri konstruksi Iran

Framework yang dikembangkan melibatkan tiga pilar utama:

  • Faktor pekerja (kompetensi, psikologi, pengalaman)
  • Faktor organisasi (investasi, pelatihan, inspeksi, komitmen manajemen)
  • Faktor lingkungan (alat, sinyal, kondisi proyek)

Temuan Utama: Siapa yang Sebenarnya Paling Berpengaruh terhadap Keselamatan?

1. Faktor Pekerja dan Organisasi Mempunyai Dampak Signifikan

Hasil SEM menunjukkan bahwa:

  • Faktor pekerja dan organisasi memiliki pengaruh langsung dan signifikan terhadap keselamatan kerja
  • Faktor lingkungan tidak memiliki pengaruh signifikan
  • Orientasi keselamatan (safety orientation) menjadi mediator penting antara faktor pekerja dan hasil keselamatan

Ini berarti bahwa pendekatan teknis semata (alat dan sinyal keselamatan) tidak cukup efektif jika perilaku pekerja dan kepemimpinan manajemen tidak ditingkatkan.

2. Kurangnya Pelaporan Kecelakaan Mengaburkan Gambaran Nyata

Penelitian ini mengungkap bahwa banyak kecelakaan tidak dilaporkan karena ketakutan akan sanksi atau budaya tutup mulut. Hal ini mengganggu sistem pencatatan dan membuat manajemen tidak bisa merespons secara tepat.

3. Pekerja Muda dan Tak Terlatih Paling Rentan

Pekerja usia 15–24 tahun memiliki tingkat kecelakaan tertinggi, mayoritas adalah buruh tanpa pelatihan. Kurangnya pengalaman, pengawasan, dan pengetahuan keselamatan membuat kelompok ini sangat rentan.

4. Manajemen Tidak Memberikan Komitmen yang Nyata

Hanya sedikit manajer proyek yang:

  • Aktif dalam inspeksi keselamatan
  • Menyediakan pelatihan rutin
  • Mengintegrasikan K3 ke dalam strategi proyek

Ini menunjukkan "komitmen semu" terhadap keselamatan: kebijakan ada, tapi tidak diterapkan.

Framework Keselamatan Kerja yang Diusulkan

Framework yang dikembangkan meliputi:

  • Pengaruh faktor pekerja terhadap orientasi keselamatan → lalu ke performa keselamatan
  • Pengaruh faktor organisasi melalui orientasi keselamatan → ke performa
  • Faktor lingkungan hanya berpengaruh kecil

Contoh konkrit (data penelitian):

  • Kompetensi kerja memengaruhi performa keselamatan secara signifikan (β = 0.45)
  • Manajemen yang aktif dalam inspeksi keselamatan memiliki kontribusi besar terhadap penurunan kecelakaan (β = 0.39)
  • Faktor lingkungan seperti alat dan kondisi kerja menunjukkan korelasi yang lemah (β < 0.10)

Analisis Tambahan dan Perbandingan

Penelitian ini sangat relevan untuk dibandingkan dengan model K3 di negara seperti Singapura atau Jepang, yang menempatkan:

  • Manajemen sebagai aktor utama keselamatan
  • Pelaporan kecelakaan sebagai kewajiban mutlak
  • Pelatihan sebagai bagian dari sistem kompetensi pekerja

Sementara di Iran dan banyak negara berkembang lainnya, pelatihan keselamatan belum jadi prioritas, bahkan proyek besar sekali pun sering abai soal inspeksi rutin dan audit keselamatan.

Rekomendasi Praktis

  1. Pelatihan Keselamatan Wajib dan Berkala
    • Fokus pada psikologi keselamatan, pengenalan risiko, dan prosedur darurat.
  2. Audit dan Inspeksi K3 Harus Ditingkatkan
    • Jadwal inspeksi harus bersifat sistematis dan dilaksanakan oleh tim independen.
  3. Komitmen Manajemen Bukan Sekadar Slogan
    • Manajer wajib hadir dalam investigasi kecelakaan dan menjadi role model keselamatan.
  4. Sistem Pelaporan Kecelakaan yang Transparan
    • Budaya menyalahkan harus dihapus. Pelaporan menjadi indikator performa proyek, bukan beban pekerja.
  5. Perancangan Lokasi Kerja yang Aman
    • Desain area kerja dan alur material harus mempertimbangkan faktor ergonomi dan risiko pergerakan alat.

Kesimpulan: Keselamatan Bukan Alat Promosi, Tapi Tanggung Jawab Nyata

Penelitian ini menyimpulkan bahwa keselamatan di proyek konstruksi Iran sangat tergantung pada manusia dan organisasi, bukan semata alat atau prosedur. Untuk benar-benar menciptakan tempat kerja yang aman, diperlukan perubahan budaya kerja dari atas ke bawah, dimulai dari komitmen manajemen hingga pelatihan pekerja paling dasar.

Framework yang ditawarkan tidak hanya relevan bagi Iran, tapi juga bisa menjadi acuan bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia, yang masih berjuang menurunkan angka kecelakaan konstruksi.

Keselamatan bukan biaya—ini adalah investasi jangka panjang dalam produktivitas, reputasi, dan keberlanjutan industri konstruksi.

Sumber : Pourmazaherian, M. (2020). A Framework of Occupational Safety and Health in Construction Industries for Safety Performance in Iran (Doctoral dissertation, Universiti Teknologi Malaysia).

Selengkapnya
Kerangka Strategis K3 di Industri Konstruksi Iran: Menangani Kecelakaan Kerja dari Akar Masalah

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah? Studi Lapangan di 30 Proyek Gedung Indonesia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025


Masalah Klasik Konstruksi: Kecelakaan Kerja yang Tak Kunjung Reda

Meski telah memiliki regulasi K3 konstruksi sejak lama, sektor konstruksi di Indonesia masih mencatat tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Studi oleh Akhmad Suraji (2022) memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan keselamatan di proyek konstruksi gedung bertingkat tinggi belum optimal, meskipun kebijakan tersebut telah dirumuskan dalam bentuk norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK).

Penelitian ini memetakan 30 proyek gedung bertingkat di Jabodetabek, dengan observasi langsung dan kuesioner kepada 70 orang profesional K3, serta audit terhadap 65 isu kebijakan keselamatan. Temuan-temuan dari lapangan ini mengungkap kesenjangan besar antara kebijakan dan pelaksanaannya.

Gambaran Umum Kecelakaan di Sektor Konstruksi

Menurut data Jamsostek 2008–2010, tercatat 6.266 kasus kecelakaan kerja di jasa konstruksi, dengan 446 kematian. Ironisnya, sektor ini menyumbang 32% dari seluruh kecelakaan kerja nasional, meski tidak menyerap mayoritas tenaga kerja. Kecelakaan menimbulkan bukan hanya kerugian nyawa, tapi juga keterlambatan proyek, inflasi biaya, serta penurunan produktivitas dan reputasi.

Data ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan saat ini belum mampu menekan risiko secara sistematis, dan dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan K3 dan implementasinya di lapangan.

Tujuan Penelitian dan Metode yang Digunakan

Tujuan utama studi ini adalah menilai sejauh mana perusahaan konstruksi telah menerapkan kebijakan keselamatan yang berlaku, serta menganalisis performa sistem manajemen keselamatan di lapangan.

Metode penelitian mencakup:

  • Survei di 30 proyek konstruksi gedung bertingkat tinggi
  • Audit terhadap 65 isu keselamatan, dikelompokkan dalam lima faktor utama: manusia, peralatan, organisasi, manajemen, dan lingkungan
  • Wawancara terstruktur terhadap 70 responden, mayoritas adalah safety officer (49%) dan safety supervisor (37%)
  • Analisis perbandingan antar jenis badan usaha, yaitu BUMN, swasta nasional, dan asing

Hasil Temuan Kunci

1. Penerapan Kebijakan Keselamatan Masih Rendah

  • Dari total 65 isu keselamatan, rata-rata hanya 58,2% yang diterapkan di lapangan.
  • Perusahaan asing menunjukkan penerapan hingga 99%, jauh melampaui BUMN (60%) dan swasta nasional (48%).
  • Artinya, perusahaan lokal masih tertinggal dalam manajemen keselamatan, baik dari sisi struktur, program, maupun sumber daya.

2. Faktor Manajemen Jadi Sumber Ketimpangan

  • Faktor manajemen mencakup program pelatihan, pengawasan, metode kerja, dan sistem pengendalian risiko.
  • Di antara lima kategori, hanya manajemen yang menunjukkan tingkat penerapan tertinggi (73%).
  • Faktor lain seperti manusia (51%), peralatan (52%), organisasi (58%), dan lingkungan (48%) masih rendah dan tidak konsisten.

3. Banyak Pekerja Tidak Mengetahui atau Tidak Menerapkan Kebijakan

  • Sebanyak 47 responden menyatakan tidak tahu atau tidak memahami kebijakan keselamatan tertentu.
  • 48 responden bahkan menyatakan tidak diwajibkan menerapkannya oleh perusahaan.
  • Hal ini menunjukkan kurangnya edukasi internal, kepemimpinan keselamatan, dan komunikasi yang efektif.

4. Teguran Paling Banyak Diterima Tim Lapangan

  • General supervisor, supervisor, dan safety engineer mendapat proporsi teguran tertinggi terkait pelanggaran kebijakan K3.
  • Pembuatan JSA (Job Safety Analysis) masih dominan hanya untuk tenaga kerja, belum mencakup keselamatan struktur dan peralatan.

Evaluasi Berdasarkan British Safety Council (BSC)

Penelitian ini juga menggunakan standar dari British Safety Council (2014) sebagai acuan untuk mengukur deviasi atau ketidaksesuaian sistem manajemen keselamatan.

Tiga elemen dengan nilai deviasi terbesar:

  • Manajemen risiko (selisih nilai 24)
  • Pelaksanaan pekerjaan (24)
  • Peralatan kerja (22)

Pada sistem tanggap darurat, deviasi paling tinggi terdapat pada:

  • Sistem alarm (15)
  • Penilaian risiko (13)
  • Peralatan pemadam kebakaran (10)

Artinya, meskipun manajemen proyek merasa telah menerapkan sistem keselamatan, kontrol darurat dan penanganan risiko spesifik belum berjalan optimal.

Kritik dan Analisis Tambahan

Kekuatan Studi:

  • Studi empiris berbasis data primer
  • Audit menyeluruh terhadap 65 isu kebijakan
  • Komparatif antar jenis perusahaan

Catatan Kritis:

  • Tidak membahas efektivitas pelatihan yang telah berjalan
  • Tidak memuat estimasi kerugian ekonomi dari kecelakaan
  • Masih minim rekomendasi teknis untuk reformasi kebijakan NSPK

Strategi Perbaikan yang Direkomendasikan

Berdasarkan temuan, berikut strategi perbaikan yang disarankan:

1. Penyusunan NSPK yang Lebih Lengkap

  • Sebagian besar produk kebijakan belum memiliki standar lengkap (N, S, P, K).
  • Pemerintah harus mengeluarkan template wajib untuk digunakan dalam setiap proyek.

2. Integrasi Sistem Keselamatan dalam Manajemen Proyek

  • Keselamatan harus menjadi bagian dari sistem cost, quality, dan time management, bukan elemen tambahan.

3. Sertifikasi dan Pelatihan Reguler

  • Semua kontraktor harus memiliki training roadmap tahunan, bukan hanya pelatihan awal proyek.

4. Keterlibatan Aktif Pekerja

  • Pekerja harus dilibatkan dalam penyusunan SOP, audit internal, dan analisis kecelakaan.
  • Tingkatkan komunikasi dua arah antara manajemen dan lapangan.

5. Evaluasi Berkala oleh Otoritas Independen

  • Gunakan pendekatan third-party audit minimal dua kali setahun.

Kesimpulan: K3 Konstruksi Indonesia Perlu Revolusi, Bukan Sekadar Revisi

Studi ini menegaskan bahwa meskipun regulasi K3 sudah ada, penerapannya masih jauh dari harapan. Bahkan proyek-proyek yang diawasi langsung oleh pemerintah pun belum mampu menunjukkan standar keselamatan yang optimal. Kontraktor asing memberi pelajaran penting: sistem K3 yang tertib dan menyeluruh adalah kunci keberhasilan proyek.

Jika Indonesia ingin menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan produktivitas sektor konstruksi, reformasi kebijakan K3 harus dimulai dari NSPK, pelatihan, sampai pengawasan lapangan.

Sumber : Suraji, A. (2022). Studi Penerapan Kebijakan Keselamatan Pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Jurnal Rekayasa Sipil, 18(3), 230–243. 

Selengkapnya
Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah? Studi Lapangan di 30 Proyek Gedung Indonesia

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Risiko Getaran Tangan-Lengan di Konstruksi Swedia: Persepsi Tukang Kayu dan Tantangan Manajemen K3

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025


Mengapa Masalah Getaran Tangan-Lengan Jadi Urgensi dalam Industri Konstruksi

Dalam dunia konstruksi modern, teknologi dan alat bantu kerja memang mempercepat proses. Namun, justru di situlah muncul tantangan baru: paparan getaran dari alat genggam seperti bor dan gerinda yang dapat menyebabkan gangguan neurologis, pembuluh darah, dan musculoskeletal. Kondisi ini dikenal sebagai Hand–Arm Vibration Syndrome (HAVS).

Penelitian oleh Fisk, Nordander, dan Ek (2023) di Swedia menyoroti isu ini secara spesifik melalui studi persepsi tukang kayu terhadap manajemen K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dalam menangani paparan getaran di lokasi konstruksi. Fokus utamanya adalah sejauh mana sistem K3 benar-benar diterapkan secara praktis dan apakah pekerja merasa mendapatkan informasi dan perlindungan yang layak.

Tujuan dan Rancangan Studi

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menilai persepsi tukang kayu mengenai manajemen K3 yang bersifat proaktif terkait getaran tangan-lengan.
  2. Menganalisis pengaruh usia, ukuran perusahaan, tingkat paparan harian, dan gejala cedera terhadap persepsi pekerja.
  3. Mengetahui apakah kelompok tertentu merasa dapat memengaruhi kondisi kerja mereka.

Sebanyak 194 tukang kayu dari 18 lokasi proyek dan 4 perusahaan konstruksi (2 besar, 2 menengah) ikut serta. Mereka mengisi kuesioner tentang:

  • Gejala neurologis dan vaskular akibat getaran (misal: mati rasa, jari memutih saat dingin).
  • Durasi dan jenis alat bergetar yang digunakan.
  • Persepsi terhadap komitmen manajemen terhadap K3, pelibatan pekerja, informasi yang diterima, dan risiko kecelakaan.

Hasil Kunci: Antara Optimisme dan Kenyataan di Lapangan

1. Komitmen Manajemen Diakui, Tapi Tidak Konsisten di Lapangan

  • 79% responden menyatakan manajemen mendorong kerja aman.
  • 81% merasa mandor menganggap keselamatan sebagai bagian kerja harian.

Namun, 36% mengatakan aturan dan prosedur K3 tidak berjalan di praktik. Bahkan, 40% merasa tidak pernah atau jarang menerima informasi yang cukup tentang paparan getaran dan risikonya.

2. Paparan Getaran Sangat Tinggi dan Tidak Terpantau

  • 48% tukang kayu memiliki paparan harian di atas batas aman A(8) ≥ 5 m/s².
  • 59% mengalami gejala seperti mati rasa atau jari putih.
  • Meski begitu, hanya sebagian yang mendapat pemeriksaan kesehatan rutin sesuai mandat EU Directive 2002/44/EC.

3. Persepsi Lebih Negatif pada Pekerja Muda dan Perusahaan Kecil-Menengah

  • Tukang kayu usia <40 tahun cenderung lebih negatif terhadap manajemen K3.
  • Pekerja di perusahaan besar lebih positif daripada di perusahaan menengah.
  • Kelompok dengan gejala dan paparan tinggi menunjukkan persepsi paling buruk, terutama terkait peluang mereka mengubah kondisi kerja.

4. Persepsi Umum Akan Risiko Tetap Tinggi

  • 74% tukang kayu merasa pekerjaan mereka memiliki risiko tinggi terhadap kecelakaan atau cedera.
  • Namun ironisnya, sebagian besar masih bekerja tanpa pemahaman penuh atas bahaya getaran dan perlindungan yang diperlukan.

Analisis Kritis: Apa yang Salah dan Apa yang Bisa Diperbaiki

Kelemahan Praktik K3 Saat Ini:

  • Kurangnya pelatihan spesifik tentang getaran dan cara kerjanya.
  • Tidak adanya sistem pemantauan eksposur yang akurat dan rutin.
  • Fokus K3 masih dominan pada pencegahan kecelakaan kasat mata (jatuh, tersandung), bukan risiko jangka panjang seperti HAVS.

Persepsi Positif Bisa Menyesatkan
Banyak tukang kayu yang merasa manajemen mendukung keselamatan. Namun, perasaan ini tidak selalu diikuti tindakan nyata, seperti pelatihan, alat kerja ergonomis, atau rotasi kerja. Ini menunjukkan adanya "kesenjangan persepsi dan kenyataan" di lapangan.

Perusahaan Kecil-Medium Butuh Dukungan Ekstra
Perusahaan berskala menengah tidak memiliki sumber daya seperti perusahaan besar untuk membangun sistem K3 terstruktur. Pekerja di sana merasa paling tidak didengar, paling sedikit mendapat informasi, dan paling besar risiko kesehatannya.

Rekomendasi Strategis untuk Industri Konstruksi

1. Wajibkan Pelatihan K3 Spesifik Terkait Getaran
Informasi mengenai efek neurologis dan vaskular harus menjadi materi wajib pelatihan awal dan lanjutan.

2. Terapkan Pemeriksaan Kesehatan Rutin
Sesuai EU Directive 2002/44/EC, perusahaan harus:

  • Melakukan penilaian risiko paparan getaran
  • Menyediakan pemeriksaan kesehatan reguler
  • Menyimpan dokumentasi paparan tiap pekerja

3. Gunakan Alat Ukur Getaran dan Manajemen Paparan Digital
Evaluasi paparan tidak boleh hanya berbasis estimasi pekerja. Sensor getaran dan sistem manajemen eksposur bisa memberi data objektif.

4. Libatkan Pekerja dalam Perbaikan Lingkungan Kerja
Dorong pekerja untuk menyampaikan saran, mencatat gejala awal, dan terlibat dalam diskusi K3 secara aktif. Libatkan mereka dalam seleksi alat baru.

5. Fokus pada Kelompok Risiko Tinggi
Pekerja muda, dengan paparan tinggi, dan yang sudah menunjukkan gejala harus jadi prioritas intervensi.

Kesimpulan: Kesehatan Tangan, Masa Depan Konstruksi

Paparan getaran dari alat genggam bukan hanya soal kenyamanan kerja—ini adalah risiko serius yang dapat mengubah hidup seseorang secara permanen. Penelitian ini memperlihatkan bahwa meski komitmen manajemen terhadap keselamatan dinilai tinggi, penerapannya masih lemah, terutama di perusahaan kecil dan bagi pekerja muda.

HAVS adalah penyakit yang bisa dicegah. Namun, untuk itu dibutuhkan:

  • Informasi yang cukup
  • Pelatihan yang berkualitas
  • Sistem pemantauan paparan yang akurat
  • Komitmen nyata dari manajemen

Jika tidak ada perubahan, kita bukan hanya kehilangan pekerja karena cedera, tapi juga menciptakan generasi pekerja yang tidak percaya pada sistem perlindungan mereka sendiri.

Sumber : Fisk, K., Nordander, C., & Ek, Å. (2023). Hand–arm vibration: Swedish carpenters’ perceptions of health and safety management. Occupational Medicine, 73, 85–90. 

Selengkapnya
Risiko Getaran Tangan-Lengan di Konstruksi Swedia: Persepsi Tukang Kayu dan Tantangan Manajemen K3

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Membedah Strategi Berbagi Pengetahuan dalam Konstruksi Fasilitas Kesehatan Skandinavia: Studi PTS, Sykehusbygg, dan Danske Regioner

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025


Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan fasilitas kesehatan, tiga negara Skandinavia—Swedia, Norwegia, dan Denmark—mengembangkan pendekatan berbeda terhadap Knowledge Management System (KMS). Masing-masing memiliki struktur, visi, dan strategi unik dalam mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengetahuan di bidang konstruksi rumah sakit. Paper ini meninjau dan menganalisis tiga sistem utama: PTS (Swedia), Sykehusbygg HF (Norwegia), dan Danske Regioner (Denmark).

1. PTS di Swedia: Pendekatan Modular dan Kolaboratif

PTS (Program för Teknisk Standard) adalah sistem modular berbasis portal digital yang dirancang untuk mengelola pengetahuan teknis dalam proyek konstruksi rumah sakit di Swedia. Sistem ini menyediakan berbagai modul seperti:

  • PTS Process untuk perencanaan dan pemantauan proyek,
  • PTS Facility Program untuk pengaturan ruang dan program fasilitas,
  • PTS Rooms Function Program untuk merinci fungsi, perabot, dan peralatan,
  • PTS Purchase Planning hingga PTS Sustainability untuk aspek lingkungan.

Keunggulan utama PTS adalah kemampuannya mengintegrasikan berbagai aspek proyek dalam satu platform digital, meski penggunaan masih bervariasi antar wilayah dan belum maksimal selama fase konstruksi dan operasional. Salah satu insight menarik adalah bagaimana PTS menggabungkan kerja sama dengan CVA-Chalmers, institusi akademik, dalam menyusun concept programmes berbasis riset, sehingga keputusan desain didorong oleh data dan praktik terbaik, bukan sekadar intuisi atau pengalaman personal.

Namun, kendala utama adalah kurangnya pengembangan modul akibat terbatasnya sumber daya serta minimnya keterlibatan profesional proyek selama fase desain, yang bisa mengurangi efektivitas dan kualitas informasi dalam sistem.

2. Sykehusbygg HF di Norwegia: Sentralisasi Nasional dan Basis Pengetahuan

Dibentuk pada tahun 2014, Sykehusbygg HF bertanggung jawab atas semua proyek fasilitas kesehatan di Norwegia dengan nilai di atas 500 juta NOK. Berbasis di Trondheim, Sykehusbygg berfungsi sebagai otoritas nasional dalam perencanaan dan manajemen proyek rumah sakit.

Sistem ini menggabungkan evaluasi pra dan pasca proyek, development projects seperti integrasi BIM, dan kolaborasi lintas institusi termasuk NTNU (Norwegian University of Science and Technology), Loughborough University, hingga organisasi riset TNO dari Belanda.

Dengan 85 pegawai tetap hingga 2017 dan peran sebagai pemegang kendali atas proyek besar, Sykehusbygg telah menjadi pusat keahlian nasional. Proyek-proyeknya juga memanfaatkan model “Framskrivningsmodell” untuk merancang rumah sakit masa depan berdasarkan data demografis dan perkembangan teknologi.

Namun, sistem IT mereka masih dalam tahap pengembangan dan sebagian besar informasi disimpan secara lokal. Kurangnya integrasi sistematis antara pengguna dan penyedia layanan di awal proyek masih menjadi titik lemah dalam manajemen pengetahuan mereka.

3. Danske Regioner: Kolaborasi Horizontal Antar Wilayah di Denmark

Berbeda dari dua sistem sebelumnya, Danske Regioner tidak berbasis digital namun mengedepankan pendekatan sosial dalam berbagi pengetahuan. Organisasi ini mewakili lima wilayah di Denmark dan bertugas memfasilitasi transfer pengalaman antar proyek rumah sakit.

Setiap dua bulan, perwakilan konstruksi dari tiap wilayah bertemu untuk mendiskusikan masalah terkini seperti asuransi konstruksi, proses perpindahan fasilitas, dan manajemen logistik. Mereka membentuk kelompok kerja tematik, seperti komunikasi atau manajemen keuangan, serta mengadakan konferensi tahunan yang melibatkan 300 pegawai dari seluruh wilayah.

Meski tidak menggunakan sistem IT atau database terpusat, metode ini efektif dalam membangun kesadaran, partisipasi, dan berbagi praktik terbaik secara langsung. Setiap tahun, mereka juga merilis laporan nasional berisi rangkuman pembelajaran dan diseminasi informasi melalui situs web resmi.

4. Perbandingan dan Pelajaran yang Dapat Diambil

Ketiga sistem memiliki karakteristik unik:

  • PTS unggul dalam integrasi digital dan fleksibilitas, namun menghadapi keterbatasan dana dan partisipasi profesional yang kurang.
  • Sykehusbygg lebih terpusat dan rigid namun memiliki kapasitas manajemen proyek dan kolaborasi internasional yang kuat.
  • Danske Regioner berfokus pada penguatan jaringan sosial dan berbagi pengetahuan informal melalui pertemuan dan laporan rutin.

Dari perspektif Knowledge Management, berikut pelajaran penting:

  • Konektivitas digital seperti pada PTS harus didukung oleh sumber daya yang memadai dan umpan balik dari pengguna.
  • Evaluasi sistematik dan kolaborasi riset seperti di Sykehusbygg meningkatkan legitimasi dan keberlanjutan keputusan desain.
  • Pendekatan sosial seperti Danske Regioner menciptakan kesadaran kolektif dan membangun kepercayaan lintas organisasi.

5. Relevansi Global dan Potensi Adaptasi

Sistem-sistem ini dapat menjadi inspirasi untuk negara berkembang yang tengah melakukan transformasi sistem kesehatan dan infrastruktur. Integrasi pendekatan berbasis data, partisipasi pengguna, dan kolaborasi lintas disiplin perlu dikombinasikan demi menghasilkan sistem kesehatan yang tangguh dan responsif.

Dalam era pasca-pandemi dan meningkatnya tuntutan efisiensi layanan publik, pengelolaan pengetahuan di sektor konstruksi kesehatan menjadi kunci untuk memastikan bahwa investasi jangka panjang tidak hanya menghasilkan bangunan, tetapi juga sistem layanan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat menjawab seluruh tantangan pembangunan fasilitas kesehatan. Namun, dengan menggabungkan kekuatan dari digitalisasi seperti PTS, sentralisasi dan kolaborasi riset seperti Sykehusbygg, serta jaringan sosial seperti Danske Regioner, negara-negara dapat mengembangkan sistem konstruksi rumah sakit yang berbasis pengetahuan, responsif, dan berkelanjutan.

Sumber : CHALMERS Architecture and Civil Engineering, Master’s Thesis ACEX30-19-NN, “Comparative Study of Knowledge Management Systems in Scandinavian Hospital Construction Projects”.

Selengkapnya
Membedah Strategi Berbagi Pengetahuan dalam Konstruksi Fasilitas Kesehatan Skandinavia: Studi PTS, Sykehusbygg, dan Danske Regioner
« First Previous page 4 of 11 Next Last »