Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Pendahuluan
Cedera kerja, terutama yang serius, merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sering diabaikan. Di Denmark, cedera menempati peringkat ketiga penyebab utama hilangnya tahun produktif setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Studi ini mengeksplorasi risiko cedera serius di antara pekerja pria Denmark, khususnya di industri konstruksi, serta mengevaluasi efektivitas intervensi keselamatan berbasis komunikasi manajemen.
Temuan Utama
1. Ketimpangan Risiko Cedera Antar Industri (Studi A)
- Industri Berisiko Tinggi: Konstruksi, pemadam kebakaran, dan rumah potong hewan menunjukkan risiko cedera tertinggi.
- Fraksi Berlebih (Excess Fraction): 22–39% cedera terkait dengan kondisi kerja yang berbahaya, menunjukkan potensi pencegahan yang signifikan.
- Contoh Kasus: Pekerja konstruksi memiliki risiko cedera kepala dan punggung 20–39% lebih tinggi dibandingkan industri lain.
2. Ukuran Perusahaan & Risiko Cedera (Studi B)
- Gradien Risiko: Pekerja di perusahaan besar (20+ karyawan) menghadapi risiko cedera lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil (0–4 karyawan).
- Peran Pekerjaan: Tukang pipa, tukang kayu, dan pekerja tidak terampil memiliki risiko cedera 12–19% lebih tinggi.
- Implikasi Kebijakan: Temuan ini bertentangan dengan asumsi umum bahwa perusahaan kecil lebih berisiko, sehingga memerlukan penyesuaian strategi pencegahan.
3. Kegagalan Intervensi Keselamatan (Studi C)
- Desain Intervensi: Pelatihan koordinator keselamatan untuk meningkatkan komunikasi antara manajemen dan pekerja.
- Hasil Null: Tidak ada peningkatan signifikan dalam komunikasi keselamatan atau kondisi fisik tempat kerja.
- Penyebab Kegagalan: Masalah implementasi (kurangnya partisipasi koordinator) dan desain teori yang terlalu disederhanakan.
Analisis & Rekomendasi
Keterbatasan Data Nasional
Denmark tidak memiliki sistem surveilans cedera nasional yang komprehensif, mengandalkan data yang terfragmentasi dari berbagai sumber. Hal ini menghambat upaya pencegahan berbasis bukti.
Solusi Potensial
1. Database Cedera Nasional: Meningkatkan pelacakan cedera kerja untuk identifikasi risiko yang lebih akurat.
2. Pendekatan Sosio-Epidemiologi: Mempertimbangkan faktor sosial seperti kelas pekerjaan dan ketimpangan pendapatan dalam analisis cedera.
3. Intervensi Multilevel: Menggabungkan pendekatan teknis (mis., alat keselamatan) dengan perubahan perilaku (pelatihan manajemen).
Studi Kasus: Perbandingan dengan Swedia
Denmark memiliki tingkat cedera kerja serius dua kali lipat lebih tinggi daripada Swedia, meskipun kondisi ekonomi dan budaya serupa. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kebijakan keselamatan yang kurang ketat dan underreporting di Denmark.
Kritik & Opini
- Kekuatan: Studi ini menggunakan dataset nasional yang besar dan metodologi kuat (termasuk uji acak terkontrol).
- Kelemahan: Intervensi keselamatan gagal karena masalah implementasi, bukan teori. Perlu evaluasi kualitatif untuk memahami hambatan sosial di tempat kerja.
- Relevansi Global: Temuan ini berlaku untuk negara dengan industri konstruksi padat karya, seperti Indonesia, di mana cedera kerja sering kurang dilaporkan.
Kesimpulan
Cedera kerja serius di Denmark, terutama di industri konstruksi, mencerminkan ketimpangan sosial dan kegagalan kebijakan. Solusinya memerlukan pendekatan holistik, mulai dari surveilans yang lebih baik hingga intervensi berbasis bukti yang melibatkan seluruh hierarki pekerja.
Sumber : Pedersen, B. H., et al. (2017). Injury risk and prevention among male workers in Denmark: A public health approach. University of Copenhagen.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa Budaya Keselamatan Kerja Penting?
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi di dunia. Menurut Hämäläinen et al. (2003), diperkirakan terdapat 360.000 kecelakaan kerja fatal secara global setiap tahun, dan 4,8% pekerja konstruksi di Eropa pernah mengalami cedera kerja pada 2007. Tingginya angka kecelakaan ini menuntut adanya pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan hasil keselamatan kerja, terutama budaya keselamatan (safety culture) (Grill et al., 2015).
Studi Kasus: Swedia vs Denmark – Dua Negara, Satu Budaya, Hasil Berbeda
Swedia dan Denmark, dua negara Skandinavia dengan kemiripan budaya, sistem sosial, dan gaya manajemen organisasi, justru menunjukkan perbedaan signifikan dalam angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Fatalitas kecelakaan kerja di Denmark 33% lebih tinggi dibandingkan Swedia, bahkan pada proyek besar seperti Jembatan dan Terowongan Öresund, kecelakaan di pihak Denmark empat kali lebih banyak (Tómasson et al., 2015).
Penelitian oleh Grill, Grytnes, dan Törner (2015) menggunakan wawancara mendalam dengan sembilan profesional konstruksi berpengalaman dari kedua negara. Hasilnya, ditemukan tujuh tema utama yang membedakan budaya keselamatan di Swedia dan Denmark, yang secara langsung memengaruhi tingkat kecelakaan kerja.
Tujuh Tema Kunci Budaya Keselamatan
Angka dan Fakta Kunci dari Studi
Analisis: Faktor Penentu Budaya Keselamatan yang Efektif
Dari tujuh tema di atas, leadership (kepemimpinan) dan engagement (keterlibatan pekerja) menjadi faktor utama yang membedakan tingkat keselamatan di kedua negara. Kepemimpinan yang partisipatif, terbuka terhadap masukan, dan mendorong komunikasi dua arah terbukti efektif menurunkan kecelakaan. Selain itu, pekerja yang merasa dilibatkan akan lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap keselamatan diri dan rekan kerja.
Hal ini sejalan dengan penelitian lain di sektor energi dan manufaktur yang menekankan pentingnya dimensi leadership, engagement, responsibility, information, dan communication dalam membangun budaya keselamatan yang matang (Hermawan, 2024).
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian Grill et al. (2015) menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden terbatas (9 orang), sehingga generalisasi hasil perlu dilakukan dengan hati-hati. Namun, temuan mereka sangat relevan karena memperkuat hasil meta-analisis Christian et al. (2010) yang menegaskan peran faktor situasional (iklim keselamatan, kepemimpinan) dan faktor individu (sikap, norma) dalam menurunkan kecelakaan kerja.
Studi di industri lain, seperti PLTU batubara di Indonesia, juga menunjukkan bahwa organizational learning (pembelajaran organisasi) penting untuk memahami dan mengantisipasi risiko kecelakaan, selain faktor kepemimpinan dan keterlibatan pekerja (Hermawan, 2024).
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi dan Sektor Lain
Kesimpulan: Budaya Keselamatan Bukan Sekadar Aturan, Tapi Sistem Sosial
Perbedaan angka kecelakaan kerja antara Swedia dan Denmark membuktikan bahwa budaya keselamatan bukan hanya soal aturan dan prosedur, tetapi juga soal nilai, norma, dan interaksi sosial di tempat kerja. Kepemimpinan yang partisipatif, keterlibatan pekerja, komunikasi efektif, dan perencanaan matang adalah fondasi utama membangun budaya keselamatan yang benar-benar menurunkan risiko kecelakaan.
Industri konstruksi dan sektor lain dapat belajar dari model Swedia untuk mengembangkan budaya keselamatan yang lebih kuat, adaptif, dan berkelanjutan-bukan hanya demi kepatuhan, tapi demi keselamatan dan produktivitas bersama.
Sumber : Grill, M., Grytnes, R., & Törner, M. (2015). Approaching safety in the Swedish and Danish construction industry: professionals’ perceptions of safety culture differences.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Pentingnya Membangun Sistem Keselamatan Kerja dari Dalam
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan hanya tentang helm dan rompi—lebih dari itu, K3 adalah investasi dalam kualitas hidup pekerja dan efisiensi proyek. Di sektor konstruksi, terutama di negara berkembang seperti Iran, implementasi sistem K3 sering kali tidak menyentuh akar masalah: perilaku manusia, komitmen manajemen, dan budaya organisasi.
Melalui disertasi yang ditulis oleh Mehdi Pourmazaherian (2020) di Universiti Teknologi Malaysia, sebuah kerangka kerja K3 disusun secara sistematis untuk menjawab tantangan keselamatan di industri konstruksi Iran. Studi ini menyasar 600 pekerja konstruksi dari sektor publik dan swasta, menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Mengapa Iran Butuh Framework Keselamatan Baru?
Iran menghadapi tingkat kecelakaan konstruksi yang sangat tinggi, dengan laporan dari Iranian Legal Medicine Organization menyatakan bahwa 45% kecelakaan kerja terjadi di sektor konstruksi, dan 50% di antaranya bersifat fatal. Ironisnya, hanya 12% dari total pekerja Iran yang bekerja di sektor ini, menunjukkan bahwa tingkat keparahan kecelakaan sangat ekstrem.
Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
Tujuan dan Cakupan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Framework yang dikembangkan melibatkan tiga pilar utama:
Temuan Utama: Siapa yang Sebenarnya Paling Berpengaruh terhadap Keselamatan?
1. Faktor Pekerja dan Organisasi Mempunyai Dampak Signifikan
Hasil SEM menunjukkan bahwa:
Ini berarti bahwa pendekatan teknis semata (alat dan sinyal keselamatan) tidak cukup efektif jika perilaku pekerja dan kepemimpinan manajemen tidak ditingkatkan.
2. Kurangnya Pelaporan Kecelakaan Mengaburkan Gambaran Nyata
Penelitian ini mengungkap bahwa banyak kecelakaan tidak dilaporkan karena ketakutan akan sanksi atau budaya tutup mulut. Hal ini mengganggu sistem pencatatan dan membuat manajemen tidak bisa merespons secara tepat.
3. Pekerja Muda dan Tak Terlatih Paling Rentan
Pekerja usia 15–24 tahun memiliki tingkat kecelakaan tertinggi, mayoritas adalah buruh tanpa pelatihan. Kurangnya pengalaman, pengawasan, dan pengetahuan keselamatan membuat kelompok ini sangat rentan.
4. Manajemen Tidak Memberikan Komitmen yang Nyata
Hanya sedikit manajer proyek yang:
Ini menunjukkan "komitmen semu" terhadap keselamatan: kebijakan ada, tapi tidak diterapkan.
Framework Keselamatan Kerja yang Diusulkan
Framework yang dikembangkan meliputi:
Contoh konkrit (data penelitian):
Analisis Tambahan dan Perbandingan
Penelitian ini sangat relevan untuk dibandingkan dengan model K3 di negara seperti Singapura atau Jepang, yang menempatkan:
Sementara di Iran dan banyak negara berkembang lainnya, pelatihan keselamatan belum jadi prioritas, bahkan proyek besar sekali pun sering abai soal inspeksi rutin dan audit keselamatan.
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: Keselamatan Bukan Alat Promosi, Tapi Tanggung Jawab Nyata
Penelitian ini menyimpulkan bahwa keselamatan di proyek konstruksi Iran sangat tergantung pada manusia dan organisasi, bukan semata alat atau prosedur. Untuk benar-benar menciptakan tempat kerja yang aman, diperlukan perubahan budaya kerja dari atas ke bawah, dimulai dari komitmen manajemen hingga pelatihan pekerja paling dasar.
Framework yang ditawarkan tidak hanya relevan bagi Iran, tapi juga bisa menjadi acuan bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia, yang masih berjuang menurunkan angka kecelakaan konstruksi.
Keselamatan bukan biaya—ini adalah investasi jangka panjang dalam produktivitas, reputasi, dan keberlanjutan industri konstruksi.
Sumber : Pourmazaherian, M. (2020). A Framework of Occupational Safety and Health in Construction Industries for Safety Performance in Iran (Doctoral dissertation, Universiti Teknologi Malaysia).
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Masalah Klasik Konstruksi: Kecelakaan Kerja yang Tak Kunjung Reda
Meski telah memiliki regulasi K3 konstruksi sejak lama, sektor konstruksi di Indonesia masih mencatat tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Studi oleh Akhmad Suraji (2022) memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan keselamatan di proyek konstruksi gedung bertingkat tinggi belum optimal, meskipun kebijakan tersebut telah dirumuskan dalam bentuk norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK).
Penelitian ini memetakan 30 proyek gedung bertingkat di Jabodetabek, dengan observasi langsung dan kuesioner kepada 70 orang profesional K3, serta audit terhadap 65 isu kebijakan keselamatan. Temuan-temuan dari lapangan ini mengungkap kesenjangan besar antara kebijakan dan pelaksanaannya.
Gambaran Umum Kecelakaan di Sektor Konstruksi
Menurut data Jamsostek 2008–2010, tercatat 6.266 kasus kecelakaan kerja di jasa konstruksi, dengan 446 kematian. Ironisnya, sektor ini menyumbang 32% dari seluruh kecelakaan kerja nasional, meski tidak menyerap mayoritas tenaga kerja. Kecelakaan menimbulkan bukan hanya kerugian nyawa, tapi juga keterlambatan proyek, inflasi biaya, serta penurunan produktivitas dan reputasi.
Data ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan saat ini belum mampu menekan risiko secara sistematis, dan dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan K3 dan implementasinya di lapangan.
Tujuan Penelitian dan Metode yang Digunakan
Tujuan utama studi ini adalah menilai sejauh mana perusahaan konstruksi telah menerapkan kebijakan keselamatan yang berlaku, serta menganalisis performa sistem manajemen keselamatan di lapangan.
Metode penelitian mencakup:
Hasil Temuan Kunci
1. Penerapan Kebijakan Keselamatan Masih Rendah
2. Faktor Manajemen Jadi Sumber Ketimpangan
3. Banyak Pekerja Tidak Mengetahui atau Tidak Menerapkan Kebijakan
4. Teguran Paling Banyak Diterima Tim Lapangan
Evaluasi Berdasarkan British Safety Council (BSC)
Penelitian ini juga menggunakan standar dari British Safety Council (2014) sebagai acuan untuk mengukur deviasi atau ketidaksesuaian sistem manajemen keselamatan.
Tiga elemen dengan nilai deviasi terbesar:
Pada sistem tanggap darurat, deviasi paling tinggi terdapat pada:
Artinya, meskipun manajemen proyek merasa telah menerapkan sistem keselamatan, kontrol darurat dan penanganan risiko spesifik belum berjalan optimal.
Kritik dan Analisis Tambahan
Kekuatan Studi:
Catatan Kritis:
Strategi Perbaikan yang Direkomendasikan
Berdasarkan temuan, berikut strategi perbaikan yang disarankan:
1. Penyusunan NSPK yang Lebih Lengkap
2. Integrasi Sistem Keselamatan dalam Manajemen Proyek
3. Sertifikasi dan Pelatihan Reguler
4. Keterlibatan Aktif Pekerja
5. Evaluasi Berkala oleh Otoritas Independen
Kesimpulan: K3 Konstruksi Indonesia Perlu Revolusi, Bukan Sekadar Revisi
Studi ini menegaskan bahwa meskipun regulasi K3 sudah ada, penerapannya masih jauh dari harapan. Bahkan proyek-proyek yang diawasi langsung oleh pemerintah pun belum mampu menunjukkan standar keselamatan yang optimal. Kontraktor asing memberi pelajaran penting: sistem K3 yang tertib dan menyeluruh adalah kunci keberhasilan proyek.
Jika Indonesia ingin menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan produktivitas sektor konstruksi, reformasi kebijakan K3 harus dimulai dari NSPK, pelatihan, sampai pengawasan lapangan.
Sumber : Suraji, A. (2022). Studi Penerapan Kebijakan Keselamatan Pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Jurnal Rekayasa Sipil, 18(3), 230–243.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025
Mengapa Masalah Getaran Tangan-Lengan Jadi Urgensi dalam Industri Konstruksi
Dalam dunia konstruksi modern, teknologi dan alat bantu kerja memang mempercepat proses. Namun, justru di situlah muncul tantangan baru: paparan getaran dari alat genggam seperti bor dan gerinda yang dapat menyebabkan gangguan neurologis, pembuluh darah, dan musculoskeletal. Kondisi ini dikenal sebagai Hand–Arm Vibration Syndrome (HAVS).
Penelitian oleh Fisk, Nordander, dan Ek (2023) di Swedia menyoroti isu ini secara spesifik melalui studi persepsi tukang kayu terhadap manajemen K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dalam menangani paparan getaran di lokasi konstruksi. Fokus utamanya adalah sejauh mana sistem K3 benar-benar diterapkan secara praktis dan apakah pekerja merasa mendapatkan informasi dan perlindungan yang layak.
Tujuan dan Rancangan Studi
Penelitian ini bertujuan untuk:
Sebanyak 194 tukang kayu dari 18 lokasi proyek dan 4 perusahaan konstruksi (2 besar, 2 menengah) ikut serta. Mereka mengisi kuesioner tentang:
Hasil Kunci: Antara Optimisme dan Kenyataan di Lapangan
1. Komitmen Manajemen Diakui, Tapi Tidak Konsisten di Lapangan
Namun, 36% mengatakan aturan dan prosedur K3 tidak berjalan di praktik. Bahkan, 40% merasa tidak pernah atau jarang menerima informasi yang cukup tentang paparan getaran dan risikonya.
2. Paparan Getaran Sangat Tinggi dan Tidak Terpantau
3. Persepsi Lebih Negatif pada Pekerja Muda dan Perusahaan Kecil-Menengah
4. Persepsi Umum Akan Risiko Tetap Tinggi
Analisis Kritis: Apa yang Salah dan Apa yang Bisa Diperbaiki
Kelemahan Praktik K3 Saat Ini:
Persepsi Positif Bisa Menyesatkan
Banyak tukang kayu yang merasa manajemen mendukung keselamatan. Namun, perasaan ini tidak selalu diikuti tindakan nyata, seperti pelatihan, alat kerja ergonomis, atau rotasi kerja. Ini menunjukkan adanya "kesenjangan persepsi dan kenyataan" di lapangan.
Perusahaan Kecil-Medium Butuh Dukungan Ekstra
Perusahaan berskala menengah tidak memiliki sumber daya seperti perusahaan besar untuk membangun sistem K3 terstruktur. Pekerja di sana merasa paling tidak didengar, paling sedikit mendapat informasi, dan paling besar risiko kesehatannya.
Rekomendasi Strategis untuk Industri Konstruksi
1. Wajibkan Pelatihan K3 Spesifik Terkait Getaran
Informasi mengenai efek neurologis dan vaskular harus menjadi materi wajib pelatihan awal dan lanjutan.
2. Terapkan Pemeriksaan Kesehatan Rutin
Sesuai EU Directive 2002/44/EC, perusahaan harus:
3. Gunakan Alat Ukur Getaran dan Manajemen Paparan Digital
Evaluasi paparan tidak boleh hanya berbasis estimasi pekerja. Sensor getaran dan sistem manajemen eksposur bisa memberi data objektif.
4. Libatkan Pekerja dalam Perbaikan Lingkungan Kerja
Dorong pekerja untuk menyampaikan saran, mencatat gejala awal, dan terlibat dalam diskusi K3 secara aktif. Libatkan mereka dalam seleksi alat baru.
5. Fokus pada Kelompok Risiko Tinggi
Pekerja muda, dengan paparan tinggi, dan yang sudah menunjukkan gejala harus jadi prioritas intervensi.
Kesimpulan: Kesehatan Tangan, Masa Depan Konstruksi
Paparan getaran dari alat genggam bukan hanya soal kenyamanan kerja—ini adalah risiko serius yang dapat mengubah hidup seseorang secara permanen. Penelitian ini memperlihatkan bahwa meski komitmen manajemen terhadap keselamatan dinilai tinggi, penerapannya masih lemah, terutama di perusahaan kecil dan bagi pekerja muda.
HAVS adalah penyakit yang bisa dicegah. Namun, untuk itu dibutuhkan:
Jika tidak ada perubahan, kita bukan hanya kehilangan pekerja karena cedera, tapi juga menciptakan generasi pekerja yang tidak percaya pada sistem perlindungan mereka sendiri.
Sumber : Fisk, K., Nordander, C., & Ek, Å. (2023). Hand–arm vibration: Swedish carpenters’ perceptions of health and safety management. Occupational Medicine, 73, 85–90.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan fasilitas kesehatan, tiga negara Skandinavia—Swedia, Norwegia, dan Denmark—mengembangkan pendekatan berbeda terhadap Knowledge Management System (KMS). Masing-masing memiliki struktur, visi, dan strategi unik dalam mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengetahuan di bidang konstruksi rumah sakit. Paper ini meninjau dan menganalisis tiga sistem utama: PTS (Swedia), Sykehusbygg HF (Norwegia), dan Danske Regioner (Denmark).
1. PTS di Swedia: Pendekatan Modular dan Kolaboratif
PTS (Program för Teknisk Standard) adalah sistem modular berbasis portal digital yang dirancang untuk mengelola pengetahuan teknis dalam proyek konstruksi rumah sakit di Swedia. Sistem ini menyediakan berbagai modul seperti:
Keunggulan utama PTS adalah kemampuannya mengintegrasikan berbagai aspek proyek dalam satu platform digital, meski penggunaan masih bervariasi antar wilayah dan belum maksimal selama fase konstruksi dan operasional. Salah satu insight menarik adalah bagaimana PTS menggabungkan kerja sama dengan CVA-Chalmers, institusi akademik, dalam menyusun concept programmes berbasis riset, sehingga keputusan desain didorong oleh data dan praktik terbaik, bukan sekadar intuisi atau pengalaman personal.
Namun, kendala utama adalah kurangnya pengembangan modul akibat terbatasnya sumber daya serta minimnya keterlibatan profesional proyek selama fase desain, yang bisa mengurangi efektivitas dan kualitas informasi dalam sistem.
2. Sykehusbygg HF di Norwegia: Sentralisasi Nasional dan Basis Pengetahuan
Dibentuk pada tahun 2014, Sykehusbygg HF bertanggung jawab atas semua proyek fasilitas kesehatan di Norwegia dengan nilai di atas 500 juta NOK. Berbasis di Trondheim, Sykehusbygg berfungsi sebagai otoritas nasional dalam perencanaan dan manajemen proyek rumah sakit.
Sistem ini menggabungkan evaluasi pra dan pasca proyek, development projects seperti integrasi BIM, dan kolaborasi lintas institusi termasuk NTNU (Norwegian University of Science and Technology), Loughborough University, hingga organisasi riset TNO dari Belanda.
Dengan 85 pegawai tetap hingga 2017 dan peran sebagai pemegang kendali atas proyek besar, Sykehusbygg telah menjadi pusat keahlian nasional. Proyek-proyeknya juga memanfaatkan model “Framskrivningsmodell” untuk merancang rumah sakit masa depan berdasarkan data demografis dan perkembangan teknologi.
Namun, sistem IT mereka masih dalam tahap pengembangan dan sebagian besar informasi disimpan secara lokal. Kurangnya integrasi sistematis antara pengguna dan penyedia layanan di awal proyek masih menjadi titik lemah dalam manajemen pengetahuan mereka.
3. Danske Regioner: Kolaborasi Horizontal Antar Wilayah di Denmark
Berbeda dari dua sistem sebelumnya, Danske Regioner tidak berbasis digital namun mengedepankan pendekatan sosial dalam berbagi pengetahuan. Organisasi ini mewakili lima wilayah di Denmark dan bertugas memfasilitasi transfer pengalaman antar proyek rumah sakit.
Setiap dua bulan, perwakilan konstruksi dari tiap wilayah bertemu untuk mendiskusikan masalah terkini seperti asuransi konstruksi, proses perpindahan fasilitas, dan manajemen logistik. Mereka membentuk kelompok kerja tematik, seperti komunikasi atau manajemen keuangan, serta mengadakan konferensi tahunan yang melibatkan 300 pegawai dari seluruh wilayah.
Meski tidak menggunakan sistem IT atau database terpusat, metode ini efektif dalam membangun kesadaran, partisipasi, dan berbagi praktik terbaik secara langsung. Setiap tahun, mereka juga merilis laporan nasional berisi rangkuman pembelajaran dan diseminasi informasi melalui situs web resmi.
4. Perbandingan dan Pelajaran yang Dapat Diambil
Ketiga sistem memiliki karakteristik unik:
Dari perspektif Knowledge Management, berikut pelajaran penting:
5. Relevansi Global dan Potensi Adaptasi
Sistem-sistem ini dapat menjadi inspirasi untuk negara berkembang yang tengah melakukan transformasi sistem kesehatan dan infrastruktur. Integrasi pendekatan berbasis data, partisipasi pengguna, dan kolaborasi lintas disiplin perlu dikombinasikan demi menghasilkan sistem kesehatan yang tangguh dan responsif.
Dalam era pasca-pandemi dan meningkatnya tuntutan efisiensi layanan publik, pengelolaan pengetahuan di sektor konstruksi kesehatan menjadi kunci untuk memastikan bahwa investasi jangka panjang tidak hanya menghasilkan bangunan, tetapi juga sistem layanan yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat menjawab seluruh tantangan pembangunan fasilitas kesehatan. Namun, dengan menggabungkan kekuatan dari digitalisasi seperti PTS, sentralisasi dan kolaborasi riset seperti Sykehusbygg, serta jaringan sosial seperti Danske Regioner, negara-negara dapat mengembangkan sistem konstruksi rumah sakit yang berbasis pengetahuan, responsif, dan berkelanjutan.
Sumber : CHALMERS Architecture and Civil Engineering, Master’s Thesis ACEX30-19-NN, “Comparative Study of Knowledge Management Systems in Scandinavian Hospital Construction Projects”.