Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi adalah salah satu sektor paling berisiko bagi pekerja, dengan tingkat cedera dan kematian yang tinggi. Laporan dari CPWR (The Center for Construction Research and Training) mengungkap tantangan utama dalam keselamatan konstruksi, termasuk paparan silica, jatuh dari ketinggian, dan penggunaan alat berbahaya. Artikel ini menganalisis temuan kunci dari penelitian CPWR, menyoroti solusi berbasis bukti untuk mengurangi risiko di lapangan.
Tantangan Utama dalam Kesehatan dan Keselamatan Konstruksi
1. Paparan Silica dan Debu Berbahaya
- Studi Kasus: Penelitian oleh Rappaport dkk. (2003) menemukan bahwa pekerja konstruksi di AS terpapar silica 4 kali lebih tinggi dari batas aman. Paparan ini terkait dengan penyakit paru kronis seperti silikosis.
- Solusi: Rekomendasi CPWR mencakup penggunaan alat kontrol teknik (seperti sistem vakum) dan pelatihan kesadaran risiko.
2. Cedera Jatuh dari Ketinggian
- Data: Dong dkk. (2009) melaporkan bahwa 40% kematian pekerja konstruksi Hispanik disebabkan oleh jatuh.
- Penyebab: Kurangnya perlengkapan pengaman dan pelatihan yang memadai.
- Solusi: Implementasi program "Fall Prevention Plan" dan inspeksi rutin peralatan.
3. Penggunaan Alat Berbahaya (Nail Gun)
- Temuan: Lipscomb dkk. (2011) menemukan bahwa 67% penjual nail gun tidak memahami risiko alat tersebut.
- Dampak: Cedera serius seperti tusukan organ vital.
- Solusi: Pelatihan wajib dan standar desain alat yang lebih aman.
Strategi Intervensi Berbasis Penelitian
1. Pelatihan Berbasis Komunitas
- Contoh Sukses: Program pelatihan "Peer-Led Safety Training" untuk pekerja Latino meningkatkan pemahaman keselamatan sebesar 50% (Williams dkk., 2010).
- Kunci Keberhasilan: Materi pelatihan dalam bahasa ibu pekerja dan pendekatan partisipatif.
2. Rekayasa Alat dan Proses
- Inovasi: Penggunaan ladder assessment tool (Dennerlein dkk., 2009) mengurangi cedera akibat tangga sebesar 30%.
- Teknologi: Sensor akselerometer untuk memantau postur kerja berisiko (Amasay dkk., 2009).
3. Kebijakan dan Regulasi
- Peran OSHA: Studi Weil (2001) menunjukkan bahwa inspeksi OSHA mengurangi cedera hingga 22%.
- Rekomendasi: Penerapan sanksi ketat untuk pelanggaran standar keselamatan.
Studi Kasus: Dampak Program Keselamatan
- Proyek CityCenter Las Vegas: Implementasi multi-method safety assessment mengurangi insiden cedera hingga 45% (Gittleman dkk., 2010).
- Pekerja Migran di Florida: Program kesehatan berbasis serikat pekerja meningkatkan akses perawatan medis (Nissen dkk., 2008).
Kritik dan Tantangan Implementasi
- Keterbatasan Data: Banyak studi CPWR mengandalkan laporan mandiri pekerja, yang rentan bias.
- Adaptasi Teknologi: Industri konstruksi lambat mengadopsi tools berbasis IoT karena biaya tinggi.
- Perbedaan Regional: Standar keselamatan bervariasi antarnegara bagian, menyulitkan harmonisasi kebijakan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian CPWR menegaskan bahwa pendekatan holistik—gabungan pelatihan, teknologi, dan regulasi—adalah kunci mengurangi risiko di konstruksi. Untuk masa depan, industri perlu:
1. Meningkatkan kolaborasi antara peneliti, perusahaan, dan pemerintah.
2. Mengadopsi teknologi real-time monitoring untuk deteksi dini risiko.
3. Memprioritaskan pekerja rentan seperti migran dan tenaga aging.
Sumber : Sinyai, C. (2012). Peer-Reviewed Journals Addressing Construction Health and Safety: A Tool for Researchers. CPWR – The Center for Construction Research and Training.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Denmark dikenal sebagai negara maju dengan sistem kesejahteraan yang kuat. Namun, dalam laporan ilmiah “Migrants’ Work Environment in the Danish Construction Sector” (Overgård et al., 2023), tergambar realitas yang jauh dari ideal bagi buruh migran di sektor konstruksi. Dengan pertumbuhan pesat tenaga kerja migran—naik dua kali lipat dalam satu dekade terakhir—muncul ketimpangan signifikan dalam akses terhadap keselamatan kerja, hak, dan kondisi lingkungan kerja. Laporan setebal lebih dari 300 halaman ini menyajikan gabungan data kuantitatif dan kualitatif dari 84 pekerja migran dan 37 informan profesional, serta analisis dari berbagai data administratif nasional.
Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian
Dalam periode 2013–2023, pekerja migran meningkat drastis dari 8.782 menjadi 25.014 di sektor konstruksi Denmark. Sebagian besar berasal dari Polandia (11.585 orang), Rumania (4.024), dan Lituania (2.741). Mereka mengisi posisi yang sering dianggap “3D” (dirty, dangerous, demanding) dan bekerja di lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan pekerja lokal. Meskipun secara hukum memiliki hak yang sama, dalam praktiknya banyak pekerja migran:
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods, melibatkan:
Pendekatan ini memungkinkan triangulasi data dan penelusuran hubungan antara etnisitas, jenis pekerjaan, status kontrak, dan frekuensi kecelakaan.
Hasil Penelitian Utama
1. Pekerja Migran Mendapat Beban dan Risiko Lebih Tinggi
Banyak migran ditempatkan pada pekerjaan kasar, berat, dan berbahaya seperti pembongkaran, pengangkutan, atau pembersihan puing. Mereka sering tidak diberikan pelatihan awal, alat pelindung yang layak, atau briefing keselamatan.
“Pekerja migran sering tidak tahu standar keselamatan Denmark karena informasi tidak diberikan dalam bahasa mereka.”
2. Kecelakaan Tinggi, Pelaporan Rendah
Berdasarkan analisis register:
3. Ketidaksetaraan Struktural dalam Budaya K3
Budaya keselamatan yang berlaku hanya tercermin di permukaan. Dalam praktiknya, para buruh migran tidak dilibatkan dalam proses K3. Mereka juga tidak memiliki representasi dalam struktur AMO (organisasi keselamatan di tempat kerja).
4. Ketimpangan Gaji dan Waktu Kerja
Pekerja migran rata-rata:
Studi Kasus: Perbedaan Nasib Pekerja Lokal dan Migran
Seorang pekerja migran asal Polandia yang bekerja selama 3 tahun di Denmark melaporkan bahwa dia jatuh dari tangga di lokasi proyek, namun tidak melapor karena khawatir kehilangan pekerjaan. Hasilnya:
Sebaliknya, rekan kerja warga lokal yang mengalami insiden serupa dapat cuti penuh dan kompensasi dari perusahaan.
Analisis Kritis: Mengapa Sistem Ini Gagal untuk Migran?
1. Budaya Keselamatan Bersifat Normatif, Tidak Inklusif
Meskipun secara teoritis konsep safety culture dipraktikkan, dalam kenyataannya tidak ada upaya sistematis melibatkan pekerja migran dalam pembuatan kebijakan keselamatan.
2. Subkontrak Multilapis Menyulitkan Akses Keadilan
Banyak pekerja bekerja melalui agen tenaga kerja asing. Ini membuat:
3. Hambatan Bahasa dan Sosial
Perbandingan Internasional dan Isu “Social Dumping”
Fenomena ini tidak unik di Denmark. Namun, laporan ini menguatkan dugaan terjadinya social dumping, yakni kondisi di mana buruh migran:
Rekomendasi dan Langkah Perbaikan
Penelitian ini mengajukan sejumlah solusi konkret:
Kesimpulan: Menuju Pekerjaan yang Layak (Decent Work)
Konsep decent work dari ILO menjadi relevan. Laporan ini menegaskan bahwa pekerjaan hanya bisa dianggap layak jika aman, adil, dan manusiawi. Pekerja migran membutuhkan:
Ini bukan hanya isu etika, tapi juga keberlanjutan industri secara keseluruhan. Tanpa perbaikan menyeluruh, Denmark dan negara lain dengan ketergantungan tinggi pada tenaga migran akan menghadapi tantangan serius dalam hal ketimpangan sosial dan keberlangsungan tenaga kerja.
Sumber : Overgård, C. H., Jespersen, M., Høgedahl, L., Lund Thomsen, T., Sørensen, L. B., & Møller, N. B. (2023). Migrants’ work environment in the Danish construction sector. Centre for Labour Market Research (CARMA), Aalborg University.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Occupational Safety and Health in France: Practitioners and Policy karya Franck Guarnieri dkk. (2010) merupakan studi kuantitatif berskala nasional yang membedah transformasi profesi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Prancis. Dengan melibatkan 803 responden praktisi K3, laporan ini menawarkan gambaran komprehensif mengenai tipologi praktisi, dinamika kebijakan pencegahan, hingga tantangan dan kebutuhan baru dalam dunia K3 modern.
Konteks dan Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir, profesi K3 di Prancis mengalami perubahan signifikan. Perubahan regulasi, tuntutan masyarakat, serta kompleksitas organisasi kerja menuntut peran K3 tidak lagi sekadar administratif, melainkan strategis dan kolaboratif. Praktisi K3 kini harus mampu mengelola risiko, memastikan kepatuhan standar, serta menjadi jembatan komunikasi antara berbagai pemangku kepentingan-baik internal maupun eksternal perusahaan.
Studi ini menyoroti bahwa persepsi tanggung jawab hukum perusahaan terhadap risiko kerja meningkat tajam, mendorong kebutuhan akan sistem manajemen K3 yang stabil dan adaptif.
Tujuan dan Metodologi
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama:
Metode yang digunakan meliputi survei telepon terhadap 803 praktisi K3 dari daftar 12.000 nama, dipadukan dengan data perusahaan (omzet, jumlah pegawai, rasio ekspor) dari database ASTREE. Analisis dilakukan dengan teknik statistik multivariat dan regresi logistik untuk mengungkap pengaruh variabel-variabel kunci secara mendalam.
Tipologi Praktisi K3 di Prancis
Studi ini berhasil mengelompokkan praktisi K3 ke dalam tiga profil utama:
Studi kasus dari perusahaan industri besar menunjukkan bahwa OSH manager biasanya memiliki akses lebih baik ke sumber daya dan pelatihan, sementara fieldworker di perusahaan kecil sering menghadapi keterbatasan anggaran dan otoritas.
Tipologi Perusahaan dan Hubungannya dengan Praktisi K3
Penelitian ini juga membedakan perusahaan berdasarkan ukuran dan sektor:
Angka-angka dari studi menunjukkan, misalnya, bahwa hanya sebagian kecil SME jasa yang telah mengadopsi sistem manajemen K3 formal, sementara hampir semua perusahaan industri besar telah menerapkan standar internasional.
Kebijakan Pencegahan: Evolusi Lambat dan Implementasi Tidak Merata
Kebijakan pencegahan di Prancis berkembang lambat dan implementasinya sangat heterogen. Studi menemukan bahwa:
Sebagai contoh, pada sektor konstruksi, keterlibatan subkontraktor yang belum tersertifikasi sering menjadi titik lemah sistem K3, menyebabkan celah dalam pengawasan dan pelaporan insiden.
Tantangan dan Perkembangan Terkini
Praktisi K3 kini menghadapi tantangan baru, seperti:
Studi ini menyoroti bahwa kurangnya pelatihan lanjutan dan akses ke sumber daya digital adalah masalah utama, terutama di perusahaan kecil. Namun, perusahaan besar mulai memanfaatkan data analytics dan perangkat lunak manajemen risiko untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat.
Studi Kasus: Implementasi K3 di Perusahaan Industri Besar vs. SME
Salah satu temuan menarik adalah perbedaan nyata antara perusahaan besar dan SME. Di perusahaan industri besar, OSH manager memiliki akses ke pelatihan reguler, anggaran khusus, dan dukungan IT untuk pelaporan insiden. Sebaliknya, di SME, OSH fieldworker sering merangkap tugas lain, dengan waktu terbatas untuk fokus pada K3, dan mengandalkan pelatihan informal.
Data survei menunjukkan bahwa 70% OSH manager di perusahaan besar merasa cukup didukung oleh manajemen, sedangkan hanya 35% fieldworker di SME yang merasakan hal serupa. Hal ini berdampak pada efektivitas kebijakan pencegahan dan tingkat kecelakaan kerja.
Perbandingan dengan Tren Internasional
Jika dibandingkan dengan tren global, transformasi profesi K3 di Prancis sejalan dengan negara-negara maju lain seperti Jerman dan Inggris, di mana sertifikasi, digitalisasi, dan integrasi K3 ke dalam strategi bisnis menjadi kunci. Namun, tingkat heterogenitas dan tantangan di sektor SME masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Kritik dan Opini
Kekuatan utama studi ini terletak pada pendekatan kuantitatif yang solid dan analisis tipologi yang tajam. Namun, terdapat beberapa keterbatasan:
Meski demikian, laporan ini sangat relevan sebagai referensi bagi pembuat kebijakan, praktisi, maupun akademisi yang ingin memahami dinamika profesi K3 di era modern.
Implikasi untuk Industri dan Platform Pembelajaran
Bagi industri, temuan ini menegaskan pentingnya:
Untuk platform pembelajaran, peluang besar terbuka dalam menyediakan modul pelatihan online, database regulasi, serta simulasi interaktif yang dapat diakses oleh praktisi di berbagai sektor dan ukuran perusahaan.
Kesimpulan
Transformasi profesi K3 di Prancis menunjukkan bahwa peran praktisi semakin strategis dan multidimensional. Keberhasilan kebijakan pencegahan sangat ditentukan oleh kombinasi dukungan manajemen, sumber daya, pelatihan, serta adaptasi teknologi. Tantangan terbesar terletak pada SME dan subkontraktor kecil yang masih tertinggal dalam adopsi sistem manajemen K3 modern.
Studi ini menjadi rujukan penting untuk memahami kebutuhan, tantangan, dan peluang pengembangan profesi K3 di masa depan-baik di Prancis maupun secara global.
Sumber : Guarnieri, F., Besnard, D., Miotti, H., Martin, C., & Rallo, J.-M. (2010). Occupational safety and health in France: Practitioners and policy - AFNOR Report.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Mei 2025
Finlandia dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terbaik di dunia. Laporan National Occupational Safety and Health Profile of Finland (2006) oleh Kementerian Urusan Sosial dan Kesehatan Finlandia mengungkap bagaimana pendekatan holistik, kolaborasi tripartit, dan regulasi modern menciptakan lingkungan kerja yang aman dan produktif. Artikel ini membahas strategi, tantangan, dan keberhasilan Finlandia, dilengkapi data statistik dan studi kasus relevan.
1. Kerangka Legislatif K3 Finlandia
Finlandia memiliki fondasi hukum K3 yang komprehensif, mencakup:
- Undang-Undang K3 (738/2002): Menetapkan kewajiban employer untuk identifikasi risiko, eliminasi bahaya, dan kolaborasi dengan pekerja.
- Undang-Undang Layanan Kesehatan Kerja (1383/2001): Memastikan layanan kesehatan preventif dan kuratif bagi 90% pekerja (termasuk 85% tenaga kerja total).
- Asuransi Kecelakaan Kerja (608/1948): Memberikan kompensasi 100% untuk biaya pengobatan dan kehilangan pendapatan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
Studi Kasus: Pada 2002, hanya 65 kematian kerja yang tercatat—angka terendah dalam sejarah Finlandia, berkat penegakan hukum yang ketat (Statistik Finlandia, 2002).
2. Kolaborasi Tripartit: Kunci Keberhasilan
Finlandia mengadopsi model tripartit (pemerintah, pengusaha, serikat pekerja) untuk merumuskan kebijakan K3. Contoh nyata:
- Komite Penasihat K3 Nasional: Anggotanya berasal dari kementerian, asosiasi pengusaha (seperti Confederation of Finnish Industries/EK), dan serikat pekerja (seperti Central Organization of Finnish Trade Unions/SAK).
- Perjanjian Kolektif: 80% pekerja tercakup dalam pelatihan K3 berbasis kesepakatan bersama.
Angka Penting:
- 475 inspektur K3 mengawasi 220.000 tempat kerja (2004).
- 54.757 perwakilan K3 di tingkat perusahaan (termasuk 12.439 kepala keselamatan dan 9.581 perwakilan pekerja).
3. Infrastruktur Pendukung
A. Layanan Kesehatan Kerja (OHS)
- Cakupan: 90% pekerja di sektor formal.
- Pembiayaan: 50–60% biaya OHS ditanggung pemerintah melalui Social Insurance Institution.
- Contoh Inovasi: Layanan OHS untuk usaha mikro (93% dari total perusahaan) disediakan oleh pusat kesehatan masyarakat.
B. Riset dan Data
- Finnish Institute of Occupational Health (FIOH): Lembaga riset multidisiplin dengan 700 jenis layanan, termasuk pengujian alat pelindung diri dan analisis risiko kimia.
- Registrasi Penyakit Akibat Kerja: Pada 2002, gangguan pendengaran dan cedera regangan berulang mendominasi kasus (Gambar 6.2 dalam laporan).
4. Tantangan dan Respons
A. Penuaan Tenaga Kerja
- Data Kritis: 27% pekerja berusia 50+ pada 2003 (Statistik Finlandia, 2004).
- Strategi: Program VETO (2003–2007) fokus pada peningkatan kapasitas kerja lansia melalui penyesuaian tugas dan pelatihan.
B. Kesenjangan Layanan
- Masalah: 300.000 wiraswasta belum tercakup OHS.
- Solusi: Insentif pajak dan kemitraan dengan penyedia layanan swasta.
5. Pelajaran untuk Global
Finlandia membuktikan bahwa:
1. Regulasi yang jelas + kolaborasi stakeholder = penurunan kecelakaan kerja (fatalitas turun 75% sejak 1975).
2. Investasi dalam riset (seperti FIOH) menghasilkan solusi berbasis bukti.
3. Keterlibatan pekerja dalam keputusan K3 meningkatkan kepatuhan.
Kritik: Sistem ini mungkin sulit diterapkan di negara dengan sektor informal besar karena biaya tinggi.
Sumber : National Occupational Safety and Health Profile of Finland. Helsinki: Ministry of Social Affairs and Health, 2006. Publications 2006:8. ISSN 1236-2050.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Pendahuluan: Latar Belakang dan Urgensi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi dalam hal kecelakaan kerja, terutama pada perusahaan kecil dengan jumlah pekerja terbatas. Berdasarkan laporan dari Eurostat dan U.S. Census Bureau, perusahaan kecil mendominasi lanskap industri konstruksi di Eropa dan Amerika, namun memiliki tingkat cedera kerja lebih tinggi dibanding perusahaan besar.
Penelitian ini—dilakukan oleh Ozmec, Karlsen, Kines, Andersen, dan Nielsen—bertujuan untuk mengeksplorasi praktik keselamatan kerja dalam perusahaan konstruksi kecil, dengan menyoroti peran pekerja, pemilik-pengelola (owner–manager), dan interaksi dengan pelanggan. Fokus utamanya bukan hanya pada regulasi, tetapi pada bagaimana keselamatan dinegosiasikan secara sosial di lingkungan kerja sehari-hari.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif multi-kasus yang melibatkan 10 perusahaan kecil di bidang pertukangan, perpipaan, dan pekerjaan batu (masonry). Data dikumpulkan melalui observasi partisipatif, wawancara semi-struktural, dan percakapan informal, kemudian dianalisis dengan metode fenomenologis berbasis thematic content analysis.
Temuan Utama: Keselamatan Sebagai Praktik Negosiasi
1. Keselamatan sebagai Tanggung Jawab Pribadi
Alih-alih mematuhi aturan secara literal, pekerja justru menerjemahkan keselamatan berdasarkan pengalaman pribadi, insting, dan penilaian situasional. Sebagai contoh, seorang tukang ledeng senior berkata bahwa meskipun aturannya membatasi angkat beban maksimal 15 kg, ia meminta rekan membawa pemanas seberat 30 kg ke lantai 7, karena tidak realistis menugaskan delapan orang untuk satu alat.
2. Interaksi antara Pekerja dan Pemilik
Hubungan antara pekerja dan owner–manager diwarnai oleh ketegangan antara kepercayaan dan kontrol. Dalam satu studi kasus, seorang tukang batu menolak memasang keramik yang tidak sesuai spesifikasi dan terus mencoba menghubungi owner–manager, yang tidak merespons. Absennya sang manajer justru dipersepsikan sebagai tanda kepercayaan, bukan kelalaian.
Selain itu, keselamatan tidak pernah menjadi topik bersama yang didiskusikan. Pekerja merasa tidak memiliki wewenang untuk mengingatkan rekan kerja dari perusahaan lain terkait penggunaan alat pelindung, karena norma sosial menganggapnya sebagai hal “tidak sopan”.
3. Keselamatan dan Interaksi dengan Pelanggan
Pelanggan menjadi aktor penting dalam praktik keselamatan. Banyak pekerjaan dilakukan di rumah pribadi, yang tidak dapat dikendalikan oleh pemilik perusahaan. Oleh karena itu, pekerja harus menyeimbangkan keselamatan, kepuasan pelanggan, dan efisiensi kerja. Dalam banyak kasus, demi mempertahankan hubungan baik, pekerja melakukan tugas meski dalam kondisi berisiko.
Analisis Kritis dan Implikasi Praktis
Penelitian ini memberikan perspektif baru bahwa keselamatan bukan sekadar produk dari sistem formal atau prosedur manajerial, melainkan hasil dari negosiasi sosial yang kompleks. Berikut adalah beberapa implikasi penting:
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini memperkaya literatur sebelumnya seperti dari Eakin (1992) yang menyatakan bahwa perusahaan kecil sering “menyerahkan urusan keselamatan” kepada pekerja tanpa dukungan sistemik. Juga sejalan dengan pendekatan community of practice dari Lave & Wenger (1991), di mana keselamatan dipelajari secara sosial melalui pengalaman dan bukan hanya instruksi.
Namun, penelitian ini melampaui studi sebelumnya dengan menunjukkan bagaimana identitas pekerja, posisi dalam hierarki, dan hubungan sosial dengan pelanggan membentuk praktik keselamatan yang khas dan tidak seragam.
Kesimpulan: Rekomendasi untuk Intervensi Keselamatan
Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi peningkatan keselamatan di perusahaan konstruksi kecil harus:
Keselamatan bukan sekadar aturan yang dipatuhi, tetapi produk dari budaya kerja, relasi kekuasaan, dan interaksi sosial yang hidup.
Sumber : Ozmec, M. N., Karlsen, I. L., Kines, P., Andersen, L. P. S., & Nielsen, K. J. (2014). Negotiating safety practice in small construction companies. Safety Science.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Pendahuluan
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam industri konstruksi merupakan elemen vital, terutama dalam proyek-proyek berskala besar dan kompleks. Artikel ilmiah karya Marko Salomäki yang berjudul "On the connections between occupational safety, health management, and safety culture development in construction: Insights from a large-scale infrastructure alliance project" memaparkan bagaimana manajemen K3 dan budaya keselamatan dibentuk dan dikembangkan dalam proyek aliansi konstruksi Raide-Jokeri di Finlandia. Proyek ini menjadi studi kasus konkret untuk memahami bagaimana K3 dapat diintegrasikan dalam kerangka kerja kolaboratif antara berbagai pemangku kepentingan.
Apa Itu Proyek Aliansi dan Mengapa Penting?
Konteks dan Kompleksitas
Proyek Raide-Jokeri adalah pembangunan jalur rel ringan sepanjang 25 km yang menghubungkan Itäkeskus (Helsinki) dan Keilaniemi (Espoo), dengan nilai anggaran mencapai €550 juta. Dibangun dalam lingkungan urban yang padat, proyek ini melibatkan lebih dari 200 perusahaan subkontraktor dan banyak pemangku kepentingan seperti pemerintah kota, kementerian, kepolisian, pemadam kebakaran, bahkan universitas dan sekolah sekitar.
Model Aliansi: Solusi untuk Kompleksitas?
Berbeda dengan model kontrak tradisional, proyek ini menggunakan pendekatan Project Alliancing, di mana semua pihak utama (kontraktor, pemilik, konsultan) berbagi risiko dan keuntungan. Model ini memerlukan budaya kerja yang sangat kolaboratif dan sistem manajemen K3 yang fleksibel namun efektif.
Fokus Penelitian: K3 dan Budaya Keselamatan
Penelitian ini mengeksplorasi 4 aspek utama:
Metodologi: Mixed Methods Research
Salomäki menggunakan pendekatan mixed methods, yaitu kombinasi antara data kuantitatif (survei budaya keselamatan, KPI) dan kualitatif (wawancara mendalam, pemetaan stakeholder). Ini penting karena budaya keselamatan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga tidak cukup hanya diukur dengan angka.
Survei Budaya Keselamatan
Dua survei dilakukan terhadap personel lapangan—pertama pada awal proyek dan kedua menjelang akhir. Hasilnya menunjukkan perkembangan signifikan dari kesadaran dan perilaku terkait keselamatan kerja.
Indikator Kinerja Utama (KPI)
KPI seperti Accident Frequency Rate (AFR) dan Lost Time Incident (LTI) digunakan untuk mengevaluasi performa K3 secara objektif. Data menunjukkan tren perbaikan, seiring dengan diterapkannya berbagai program seperti:
Strategi dan Implementasi di Lapangan
Manajemen K3: Siapa Bertanggung Jawab?
Alat Bantu Manajemen K3 yang Dipakai
Beberapa praktik yang terbukti efektif meliputi:
Tantangan Utama: Pandemi COVID-19 dan Stakeholder Kompleks
Pandemi COVID-19 memberikan tekanan besar terhadap fleksibilitas manajemen proyek. Banyak stakeholder, dari kementerian hingga otoritas lokal, memberikan instruksi dan regulasi yang seringkali bertentangan. Hal ini menciptakan "lapisan kompleksitas" yang memengaruhi keputusan cepat dalam hal keselamatan.
Contohnya:
Hasil dan Implikasi
Peningkatan Keselamatan Terukur
Setelah menerapkan berbagai strategi, performa K3 di proyek meningkat signifikan:
Budaya Keselamatan yang Berkembang
Survei menunjukkan pergeseran sikap pekerja dari pasif menjadi aktif dalam pelaporan dan keterlibatan K3. Ini mencerminkan munculnya safety culture yang kuat, meskipun dalam konteks organisasi yang sementara dan dinamis.
Analisis Kritis & Insight Tambahan
Perbandingan dengan Proyek Tradisional
Berbeda dari model tradisional, pendekatan aliansi memberi ruang lebih luas bagi kolaborasi lintas organisasi. Ini berdampak langsung pada kecepatan respon terhadap isu K3.
Apa yang Bisa Dicontoh?
Kesimpulan: Apa yang Bisa Dipelajari?
Studi ini membuktikan bahwa dalam proyek aliansi besar dan kompleks, manajemen K3 dan budaya keselamatan bisa dibentuk dan dikembangkan secara signifikan. Dibutuhkan:
Implikasi luas dari riset ini melampaui Finlandia dan dapat diaplikasikan ke proyek konstruksi besar di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang tengah giat membangun infrastruktur.
Sumber : Salomäki, Marko. On the connections between occupational safety, health management, and safety culture development in construction: Insights from a large-scale infrastructure alliance project. Acta Univ. Oul. C 930, 2024.