K3 Global
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan tenaga kerja di sektor konstruksi. Namun, studi Yusuph Bakari Mhando (2021) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan alat pelindung diri (APD) di kalangan pekerja konstruksi di Tanzania masih sangat rendah. Lebih dari 60% responden mengaku tidak menggunakan APD secara konsisten, meski mengetahui risiko kecelakaan di lokasi kerja.
Penelitian ini menyoroti persoalan klasik dalam manajemen K3: pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan praktik. Banyak pekerja memahami pentingnya helm, sarung tangan, atau sepatu safety, tetapi tetap mengabaikannya karena alasan ketidaknyamanan, kurangnya pengawasan, atau minimnya peraturan perusahaan.
Temuan ini memiliki nilai penting secara global. Negara berkembang sering menghadapi masalah serupa: APD tersedia, tetapi tidak digunakan dengan benar. Artinya, kebijakan keselamatan tidak hanya membutuhkan regulasi dan penyediaan alat, melainkan juga transformasi perilaku pekerja dan budaya organisasi.
Sebagaimana disampaikan pada artikel “Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia”, upaya membangun budaya keselamatan yang kuat membutuhkan kolaborasi lintas level — mulai dari kebijakan pemerintah hingga pelatihan di lapangan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Penelitian di Arusha Urban, Tanzania, menemukan beberapa faktor utama penyebab rendahnya penggunaan APD:
Keterbatasan Ketersediaan dan Kualitas APD
Banyak perusahaan konstruksi kecil tidak menyediakan APD sesuai standar, atau hanya menyediakan sebagian peralatan tanpa pelatihan penggunaannya.
Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Disiplin
Supervisor sering tidak menegur pelanggaran pemakaian APD, sehingga pekerja merasa aman tanpa perlindungan.
Faktor Kenyamanan dan Iklim Panas
Dalam kondisi tropis seperti Tanzania, banyak pekerja menganggap APD tidak nyaman — misalnya helm atau masker yang menyebabkan panas berlebih.
Minimnya Edukasi dan Kesadaran Risiko
Meskipun banyak yang tahu bahaya konstruksi, hanya sebagian kecil yang memahami dampak jangka panjang dari paparan material berbahaya seperti semen atau debu silika.
Kurangnya Teladan dari Manajemen
Jika pengawas atau manajer proyek tidak konsisten memakai APD, pekerja cenderung meniru perilaku tersebut.
Dampaknya sangat serius: meningkatnya risiko cedera kepala, luka tangan, gangguan pernapasan, dan bahkan kematian akibat kecelakaan di tempat kerja.
Namun, penelitian ini juga menemukan peluang besar untuk perbaikan, terutama jika kebijakan diarahkan pada:
Penegakan hukum yang lebih kuat,
Edukasi berbasis perilaku, dan
Pelatihan keselamatan berkelanjutan.
Program pelatihan seperti “Kepatuhan Perusahaan dalam Penerapan Standar K3 melalui SMK3” di Diklatkerja menjadi contoh konkret bagaimana pelatihan daring dapat membantu memperkuat budaya keselamatan, bahkan di lingkungan kerja berisiko tinggi.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Wajibkan Audit K3 Berkala di Sektor Konstruksi
Pemerintah perlu mengatur audit K3 setidaknya dua kali setahun untuk setiap proyek konstruksi aktif. Audit ini menilai ketersediaan dan kepatuhan penggunaan APD, dengan laporan terbuka kepada publik.
Standarisasi APD Sesuai Iklim Tropis dan Kondisi Lokal
Desain APD harus disesuaikan dengan kondisi panas dan kelembapan tinggi agar pekerja merasa nyaman. Penelitian menunjukkan bahwa APD yang ergonomis meningkatkan tingkat kepatuhan hingga 45%.
Peningkatan Edukasi dan Kesadaran di Lapangan
Pelatihan tidak cukup dilakukan satu kali. Diperlukan sistem edukasi berkelanjutan dengan pendekatan visual dan simulatif.
Sanksi dan Insentif yang Proporsional
Kombinasi hukuman (misalnya denda bagi pelanggar) dan insentif (bonus bagi tim dengan zero accident) dapat mendorong kepatuhan lebih efektif dibanding sekadar peringatan tertulis.
Kepemimpinan dan Keteladanan Manajerial
Pimpinan proyek wajib menjadi role model dalam penerapan APD. Keteladanan manajemen adalah faktor paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku pekerja di lapangan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kegagalan utama dalam implementasi kebijakan K3 biasanya terjadi ketika fokus hanya pada regulasi, bukan pada perilaku manusia. Tanpa memperhatikan aspek budaya kerja dan kenyamanan pekerja, APD cenderung diabaikan meskipun tersedia.
Kebijakan juga berisiko gagal bila tidak disertai monitoring independen dan evaluasi berkelanjutan. Banyak proyek besar di negara berkembang hanya melaksanakan inspeksi awal, tetapi tidak melakukan pengawasan lanjutan selama fase konstruksi.
Selain itu, minimnya kolaborasi antara pemerintah, kontraktor, dan lembaga pelatihan menyebabkan kebijakan keselamatan berhenti di atas kertas. Dibutuhkan model koordinasi lintas lembaga agar regulasi dapat diterjemahkan menjadi aksi nyata di lapangan.
Penutup
Penelitian Yusuph Bakari Mhando menjadi cermin bahwa kebijakan K3 tidak cukup hanya bersifat administratif. Penyediaan APD harus dibarengi dengan pendekatan psikologis dan sosial untuk mengubah kebiasaan kerja.
Rendahnya pemakaian APD bukanlah masalah peralatan semata, tetapi masalah budaya dan kepemimpinan. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan Tanzania, memiliki peluang besar untuk belajar satu sama lain dalam membangun ekosistem keselamatan kerja yang berorientasi manusia, bukan sekadar peraturan.
Dengan kombinasi regulasi, edukasi, dan inovasi, sektor konstruksi dapat menjadi contoh nyata bagaimana pembangunan ekonomi dapat berjalan seiring dengan perlindungan nyawa manusia.
Sumber
Mhando, Yusuph Bakari. (2021). Factors of Inefficient Use of Personal Protective Equipment (PPE): A Survey of Construction Workers at Arusha Urban in Tanzania. Journal of Civil Engineering and Management Innovations (JCEMI), Vol. 3(1).