Jalan di Indonesia

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Berlubang – dan Ponsel Pintar Anda Adalah Kuncinya!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Setiap pengemudi mengenali suara dan rasanya: guncangan keras yang tiba-tiba, dentuman dari suspensi, dan keluhan spontan yang menyertainya saat ban menghantam lubang yang tak terlihat. Pertanyaan yang muncul kemudian hampir selalu sama, "Mengapa jalan ini tidak pernah diperbaiki?" Selama bertahun-tahun, jawaban atas pertanyaan ini seringkali diasumsikan berkisar pada birokrasi yang lamban atau anggaran yang tidak mencukupi. Namun, sebuah penelitian mendalam mengungkap akar masalah yang lebih fundamental: kesenjangan informasi.

Pihak berwenang yang bertanggung jawab atas pemeliharaan jalan seringkali bekerja dengan data yang sudah usang. Metode tradisional untuk mengukur kondisi jalan—menggunakan truk khusus yang dilengkapi pemindai laser dan peralatan canggih—sangatlah mahal dan memakan waktu.1 Akibatnya, survei seringkali hanya dilakukan setahun sekali, bahkan di beberapa ruas jalan hanya setiap tiga atau empat tahun sekali dan hanya mencakup satu arah lajur. Data yang dikumpulkan di musim panas bisa jadi sama sekali tidak relevan setelah jalanan dihantam musim hujan atau siklus cuaca ekstrem lainnya. Para perencana pada dasarnya membuat keputusan perbaikan bernilai miliaran rupiah berdasarkan potret kondisi jalan yang sudah kedaluwarsa.

Namun, bagaimana jika masalah triliunan rupiah ini dapat dipecahkan dengan alat yang sudah ada di saku jutaan orang? Sebuah tim peneliti dari Swedia mengajukan pertanyaan ini dan menemukan jawabannya. Melalui sebuah sistem bernama Roadroid, mereka berhasil mengubah ponsel pintar biasa menjadi alat pemantau kondisi jalan yang efisien, terukur, dan hemat biaya. Ini bukan sekadar inovasi teknologi; ini adalah sebuah revolusi yang berpotensi mendemokratisasi data infrastruktur dan mengubah cara kita merawat aset paling vital bagi perekonomian: jalan raya.1

 

Dari Truk Kayu ke Saku Anda: Kisah Tak Terduga di Balik Revolusi Pemetaan Jalan

Kisah di balik inovasi ini tidak dimulai di laboratorium canggih, melainkan dari sebuah pengamatan sederhana. Pada sebuah konferensi di Washington tahun 2001, para peneliti pendiri Roadroid melihat presentasi tentang proyek di Kanada yang memantau kecepatan truk pengangkut kayu. Logikanya sederhana: jika truk melaju lambat, kemungkinan besar kondisi jalannya buruk. Sebuah ide pun tercetus: daripada hanya mengukur kecepatan, bagaimana jika kita bisa mengukur getaran yang dialami truk secara langsung?.1

Bekerja sama dengan Royal Institute of Technology, prototipe pertama lahir antara tahun 2002 dan 2003. Upaya ini terbilang heroik namun canggung. Mereka memasang akselerometer beresolusi tinggi di poros belakang kendaraan, lalu menghubungkannya dengan serangkaian kabel ke sebuah komputer pribadi portabel di dalam mobil. Hasil awalnya menjanjikan. Analisis menunjukkan bahwa sistem ini mampu mengklasifikasikan kondisi jalan dengan benar hingga 70% dibandingkan dengan rata-rata inspeksi visual oleh para ahli, dan yang terpenting, hasilnya objektif dan dapat diulang.1

Namun, pada tahun 2006, proyek ini menemui jalan buntu. Sistemnya terlalu rumit untuk digunakan oleh pengguna akhir. Kabel-kabel yang menjuntai di bawah sasis mobil sangat rentan terhadap kerusakan di lingkungan yang keras dan basah. Ketergantungan pada komponen-komponen terpisah seperti PC mobil dengan sistem operasi Windows 98, GPS eksternal, dan modem GSM membuat solusi ini tidak praktis dan sulit diskalakan. Pengembangan pun terhenti.1

Empat tahun kemudian, pada 2010, lanskap teknologi telah berubah secara drastis. Kemunculan ponsel pintar menjadi momen pencerahan. Semua periferal yang sebelumnya merepotkan—akselerometer, GPS, kemampuan komunikasi data—kini telah terintegrasi dalam satu perangkat ringkas yang pas di saku. Ide yang sempat tertidur itu bangkit kembali. Tim peneliti menyadari bahwa rintangan terbesar mereka bukanlah pada konsep, melainkan pada ketersediaan teknologi. Ponsel pintar adalah jawaban yang mereka tunggu, platform yang memungkinkan ide visioner mereka menjadi kenyataan yang praktis dan dapat diakses oleh semua orang.1

 

Bagaimana Ponsel Anda 'Merasakan' Jalan Rusak? Mengupas Teknologi di Balik Layar

Inti dari teknologi Roadroid adalah sensor yang sudah ada di setiap ponsel pintar: akselerometer. Bayangkan sensor ini sebagai sebuah neraca digital super sensitif di dalam ponsel Anda yang dapat merasakan setiap guncangan, getaran, dan gerakan. Saat mobil melaju, akselerometer ini merekam profil getaran vertikal yang dihasilkan oleh permukaan jalan. Data mentah inilah yang kemudian diolah oleh aplikasi untuk menghasilkan gambaran kondisi jalan.1

Untuk melayani berbagai kebutuhan, dari pengumpulan data massal hingga survei teknis, sistem Roadroid menawarkan dua metode perhitungan utama:

  • eIRI (estimated International Roughness Index): Ini dapat dianggap sebagai "Mode Survei Cepat". Algoritma ini dirancang untuk fleksibel, mampu mengolah data dari kendaraan yang melaju pada kecepatan bervariasi antara 20 hingga 100 km/jam. Mode ini ideal untuk pengumpulan data skala besar secara crowdsourcing, di mana banyak pengguna dapat menyumbangkan data dari perjalanan sehari-hari mereka tanpa perlu kondisi khusus. Hasilnya adalah perkiraan Indeks Kekasaran Internasional (IRI), sebuah standar global untuk kondisi jalan.1
  • cIRI (calculated International Roughness Index): Ini adalah "Mode Akurasi Tinggi". Untuk mendapatkan hasil yang presisi, mode ini memerlukan kondisi yang lebih terkontrol. Pengemudi harus menjaga kecepatan stabil di kisaran 60 hingga 80 km/jam. Mode ini menggunakan simulasi matematis yang disebut Quarter-Car Simulation (QCS) untuk menghitung nilai IRI yang sangat mendekati hasil dari peralatan profesional. Sebelum digunakan, aplikasi juga perlu dikalibrasi sesuai dengan karakteristik kendaraan untuk memastikan akurasi tertinggi.1

Data yang terkumpul dari ribuan perjalanan ini tidak akan berarti tanpa cara yang mudah untuk memahaminya. Di sinilah platform visualisasi berbasis web berperan. Data getaran yang telah dienkripsi dan dikompresi diunggah dari ponsel ke server. Di sana, data tersebut secara otomatis dipetakan ke geometri jalan yang ada, seperti dari OpenStreetMap. Hasilnya adalah sebuah peta interaktif yang hidup. Jalanan tidak lagi hanya garis abu-abu, melainkan urat-urat berwarna yang berdenyut dengan data kondisi real-time. Warna hijau menandakan jalan yang mulus, kuning untuk kondisi cukup baik, merah untuk tidak nyaman, dan hitam untuk rusak parah yang memerlukan perhatian segera.1

Untuk menyederhanakan analisis, para peneliti juga mengembangkan Roadroid Index (RI). Metrik cerdas ini meringkas data kompleks menjadi sebuah laporan yang mudah dibaca. RI menampilkan persentase dari setiap kelas kondisi jalan (hijau, kuning, merah, hitam) dalam satu ruas jalan, sebuah kota, atau bahkan seluruh wilayah. Ini memungkinkan pihak berwenang untuk membandingkan kondisi antar wilayah secara objektif dan melacak perubahan dari waktu ke waktu, misalnya, membandingkan kondisi jalan pada kuartal keempat dengan rata-rata sepanjang tahun untuk mengevaluasi dampak musim hujan.1

 

Bukan Sekadar Klaim: Seberapa Akurat Pengukuran 'Kelas Rakyat' Ini?

Pertanyaan paling krusial bagi setiap teknologi baru adalah validitasnya. Bisakah sebuah ponsel pintar benar-benar bersaing dengan peralatan seharga miliaran rupiah? Jawabannya ternyata sangat meyakinkan. Sebuah studi independen yang dilakukan oleh University of Auckland pada tahun 2013 menemukan bahwa data dari aplikasi Roadroid memiliki korelasi sebesar 81% dengan sistem pengukuran laser profesional yang diterima industri.1

Untuk memberikan gambaran, angka 81% ini setara dengan meminta dua ahli jalan yang berbeda untuk menilai serangkaian ruas jalan; delapan dari sepuluh kali, kesimpulan mereka akan sangat cocok satu sama lain. Bedanya, satu "ahli" menggunakan truk berteknologi laser yang mahal, sementara yang lain hanya menggunakan ponsel pintar biasa. Ini menunjukkan bahwa untuk sebagian besar aplikasi pemantauan, akurasi yang ditawarkan sudah lebih dari cukup.

Namun, penting untuk memahami batasan dan nuansa dari teknologi ini. Studi korelasi internal yang dilakukan oleh tim Roadroid sendiri menemukan koefisien determinasi () sebesar 0,5 saat membandingkan data eIRI mereka dengan data laser. Secara sederhana, ini menunjukkan adanya hubungan yang "cukup kuat" antara kedua set data, namun bukan pengganti satu-ke-satu yang sempurna. Artinya, meskipun sangat berguna untuk pemantauan berkelanjutan dan identifikasi titik masalah, teknologi ini belum dimaksudkan untuk menggantikan sepenuhnya pengukuran laser presisi tinggi (Kelas 1) yang diperlukan untuk perencanaan perkerasan jalan strategis.1 Sebaliknya, ia hadir untuk melengkapi metode tersebut, mengisi kekosongan informasi antara survei presisi yang jarang dilakukan dan inspeksi visual yang subjektif.

Para peneliti juga secara terbuka mengakui beberapa keterbatasan. Misalnya, mobil berukuran sangat kecil (minicars) cenderung lebih sensitif terhadap getaran, yang dapat memengaruhi hasil jika tidak dikalibrasi dengan benar. Selain itu, korelasi cenderung sedikit menurun pada permukaan jalan yang sangat kasar, seperti jalan dengan lapisan aspal kasar (chip seal) atau jalan berbatu.1 Namun, di sisi lain, penelitian dari University of Pretoria mengonfirmasi bahwa ketika variabel kunci seperti kecepatan, tekanan ban, dan muatan kendaraan distandarisasi, sistem Roadroid mampu menghasilkan data yang sangat konsisten dan dapat diandalkan.1

 

Mengubah Wajah Perawatan Jalan: Dampak Nyata dari Swedia hingga Jalur Sepeda

Bukti terbesar dari potensi sebuah teknologi terletak pada penerapannya di dunia nyata. Di Swedia, Asosiasi Otomotif (Motormännen) meluncurkan proyek ambisius untuk menggunakan Roadroid dalam memetakan 92.000 kilometer jalan nasional. Proyek skala masif yang didanai oleh Administrasi Transportasi Swedia ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menunjukkan secara tepat lokasi-lokasi jalan yang rusak di seluruh negeri, membuktikan skalabilitas dan kepercayaan yang diberikan oleh lembaga-lembaga besar terhadap teknologi ini.1

Fleksibilitas platform ini memungkinkannya diterapkan dalam berbagai skenario yang sebelumnya sulit atau tidak mungkin untuk diukur. Beberapa contoh dampaknya antara lain:

  • Peringatan Dini Kerusakan Musiman: Di negara-negara dengan musim dingin, siklus beku-cair adalah periode paling merusak bagi jalan. Dengan pemantauan berkelanjutan, Roadroid dapat memberikan peringatan dini tentang kapan dan di mana kerusakan mulai terjadi, memungkinkan intervensi cepat sebelum masalah menjadi lebih parah.1
  • Pengawasan Kinerja Kontraktor: Data objektif dari Roadroid dapat digunakan sebagai dasar untuk kontrak berbasis kinerja. Misalnya, untuk memverifikasi apakah pekerjaan pembersihan salju atau perbaikan lubang telah memenuhi standar kualitas yang disepakati, mengubah evaluasi subjektif menjadi metrik yang terukur.1
  • Solusi untuk Negara Berkembang: Di banyak negara berkembang, penggunaan peralatan survei yang mahal seringkali tidak praktis. Roadroid telah menunjukkan hasil yang menjanjikan bahkan di jalan kerikil di Afghanistan, menyediakan alat yang terjangkau dan mudah digunakan untuk inventarisasi dan perencanaan pemeliharaan di area yang paling membutuhkan.1
  • Inovasi untuk Mobilitas Perkotaan: Salah satu aplikasi paling inovatif adalah pemetaan kualitas jalur sepeda. Area ini sebelumnya hampir tidak memiliki standar pengukuran objektif. Dengan memasang ponsel pada trailer sepeda khusus, kota-kota kini dapat mengumpulkan data yang andal tentang kenyamanan dan keamanan jalur sepeda mereka, mendorong perencanaan perkotaan yang lebih baik dan lebih adil bagi semua pengguna jalan.1

Untuk melengkapi data getaran, aplikasi ini juga memungkinkan pengguna mengambil foto dengan penanda geografis. Sebuah gambar lubang atau retakan di jalan, yang diposisikan secara akurat di peta, memberikan konteks visual yang sangat berharga bagi tim pemeliharaan, mempercepat proses verifikasi dan perbaikan.1

 

Jalan yang Lebih Baik, Dimulai dari Data di Genggaman Anda

Roadroid dan teknologi serupa menandai pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur. Kita beralih dari model reaktif—di mana perbaikan dilakukan setelah kerusakan menjadi parah dan dilaporkan oleh warga—ke model proaktif dan prediktif. Dengan aliran data yang berkelanjutan, pihak berwenang dapat melihat tren kerusakan, mengidentifikasi area yang memburuk dengan cepat, dan mengalokasikan sumber daya untuk pemeliharaan preventif sebelum masalah kecil menjadi bencana yang mahal.

Jika diterapkan dalam skala nasional, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan kendaraan serta jalan secara signifikan, sekaligus meningkatkan kenyamanan dan keselamatan lalu lintas dalam waktu kurang dari lima tahun. Ini bukan lagi sekadar tentang menambal lubang, tetapi tentang menciptakan sistem infrastruktur yang cerdas dan responsif.

Visi masa depan bahkan lebih jauh lagi. Para peneliti membayangkan sebuah ekosistem di mana data kondisi jalan ini disiarkan secara real-time melalui standar Sistem Transportasi Cerdas (ITS). Informasi ini dapat langsung masuk ke sistem navigasi di mobil Anda, secara dinamis menyarankan rute alternatif untuk menghindari jalan yang rusak parah atau memberikan peringatan dini saat mendekati bahaya. Apa yang terdengar seperti fiksi ilmiah kini berada dalam jangkauan teknologi.1

Jadi, lain kali Anda merasakan guncangan di jalan, ingatlah bahwa getaran itu bukan lagi sekadar keluhan tanpa suara. Di tangan yang tepat, itu adalah data—data yang bisa membangun jalan yang lebih baik untuk kita semua.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.17265/1934-7359/2015.04.012

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Berlubang – dan Ponsel Pintar Anda Adalah Kuncinya!

Jalan di Indonesia

Kerugian Rp 56 Triliun per Tahun: Panggilan Mendesak untuk Revolusi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025


Setiap hari, jutaan masyarakat Indonesia merasakan frustrasi akibat kemacetan lalu lintas. Namun, di balik ketidaknyamanan personal, terdapat sebuah krisis ekonomi yang sunyi namun masif. Menurut data Bank Dunia pada tahun 2019, kemacetan di Indonesia menyebabkan kerugian finansial yang mengejutkan, mencapai USD 4 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun per tahun.1 Angka ini bukanlah sekadar statistik; ia merepresentasikan potensi yang hilang—dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur lainnya.

Sumber masalah ini, ironisnya, sering kali ditemukan di gerbang-gerbang jalan tol, infrastruktur yang sejatinya dibangun untuk melancarkan lalu lintas. Antrean panjang di Gerbang Tol Otomatis (GTO) menjadi pemandangan lazim, menciptakan titik-titik penyumbatan yang merambat ke seluruh jaringan jalan.1 Fenomena ini diperparah oleh dinamika pertumbuhan yang tidak seimbang. Dalam satu dekade, antara tahun 2008 dan 2018, jumlah kendaraan di Indonesia meledak lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 61,7 juta unit menjadi hampir 146,9 juta unit.1 Pertumbuhan eksponensial ini jauh melampaui kapasitas pembangunan jalan baru, menciptakan sebuah perlombaan yang mustahil dimenangkan dengan cara-cara konvensional.

Upaya-upaya sebelumnya, seperti kebijakan "three-in-one" atau sistem ganjil-genap, terbukti tidak lagi memadai. Fakta bahwa kemacetan kini telah merembes masuk ke jalan bebas hambatan adalah sinyal paling jelas bahwa Indonesia membutuhkan sebuah lompatan paradigma, bukan sekadar solusi tambal sulam.1 Masalah ini telah berevolusi dari sekadar isu transportasi menjadi hambatan pembangunan fundamental yang menahan laju efisiensi ekonomi nasional.

 

Visi Masa Depan: Mengenal Solusi Total Multi-Lane Free Flow (MLFF)

Menjawab tantangan tersebut, penelitian ini mengajukan sebuah konsep bernama "Solusi Total," dengan Multi-Lane Free Flow (MLFF) sebagai jantungnya. MLFF adalah sistem pembayaran tol nirsentuh (touchless) yang memungkinkan kendaraan melintas di gerbang tol tanpa perlu berhenti atau bahkan mengurangi kecepatan.1 Bayangkan sebuah perjalanan di mana tidak ada lagi palang pintu, tidak ada lagi antrean, dan tidak ada lagi transaksi fisik.

Teknologi di balik visi ini adalah Electronic Toll Collection (ETC) yang berbasis Radio Frequency Identification (RFID). Sebuah stiker atau tag RFID kecil ditempelkan di kaca depan mobil. Saat kendaraan melintas di bawah sebuah gerbang sensorik (gantry) yang dipasang di atas jalan tol, sistem akan secara otomatis mengenali dan mengidentifikasi kendaraan serta penggunanya, lalu memotong saldo tol dari akun yang telah terdaftar.1

Manfaat paling langsung dan terlihat dari sistem ini adalah eliminasi total fungsi gerbang tol konvensional. Dengan meniadakan hambatan fisik ini, arus lalu lintas dapat mengalir bebas tanpa sumbatan, sesuai dengan nama sistemnya: free flow. Namun, visi "Solusi Total" ini jauh lebih dalam dari sekadar efisiensi pembayaran. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan seluruh departemen terkait melalui jaringan Internet of Things (IoT).1 Ini berarti MLFF bukan hanya sistem penagihan, melainkan sebuah ekosistem cerdas yang mampu mengumpulkan data lalu lintas secara real-time, memantau kondisi jalan, dan menjadi fondasi bagi manajemen mobilitas yang lebih dinamis dan responsif di masa depan.

 

Belajar dari yang Terbaik: Cetak Biru Kesuksesan Global

Visi penerapan MLFF di Indonesia bukanlah sebuah utopia teoretis. Teknologi ini telah terbukti berhasil dan matang di berbagai negara. Penelitian ini menyoroti dua studi kasus utama yang dapat menjadi cetak biru bagi Indonesia.

Pelajaran Awal dari Amerika Serikat (E-Z Pass)

Amerika Serikat, dengan sistem seperti E-Z Pass, menjadi salah satu pionir dalam penerapan tol elektronik berbasis RFID. Konsep dasarnya sama: sebuah transponder di kendaraan berkomunikasi dengan antena di atas jalan untuk melakukan pembayaran otomatis.1 Sistem ini juga memperkenalkan mekanisme penegakan hukum yang krusial. Jika kendaraan melintas tanpa transponder yang valid atau saldo yang cukup, kamera akan merekam pelat nomornya, dan surat tilang akan dikirimkan ke alamat pemilik kendaraan.1 Ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya sistem penegakan yang kuat untuk memastikan kepatuhan pengguna.

Taiwan, Standar Emas Dunia (eTag System)

Namun, model yang paling relevan dan inspiratif bagi Indonesia adalah Taiwan. Negara ini menjadi yang pertama di dunia yang berhasil mengubah 100% jaringan jalan tolnya menjadi sistem MLFF elektronik sepenuhnya.1 Keberhasilan Taiwan bukanlah isapan jempol, melainkan didukung oleh data yang luar biasa:

  • Tingkat Adopsi Massif: Lebih dari 6 juta kendaraan, atau 94% dari total kendaraan terdaftar di Taiwan, telah dilengkapi dengan eTag RFID.1
  • Akurasi Hampir Sempurna: Sistem ini beroperasi dengan tingkat akurasi mencapai 99,9998%, membuktikan keandalannya dalam menangani jutaan transaksi setiap hari.1
  • Manfaat Ekonomi dan Lingkungan Nyata: Implementasi MLFF di Taiwan diperkirakan menghemat sekitar NT$2 miliar (lebih dari Rp 1 triliun) setiap tahunnya dari penghematan bahan bakar dan eliminasi tiket kertas.1

Kunci kesuksesan Taiwan tidak hanya terletak pada kecanggihan teknologinya, tetapi juga pada pendekatan yang berpusat pada pengguna. Pemerintah memastikan kemudahan akses yang luar biasa. Pengguna dapat mengisi ulang saldo eTag mereka di lebih dari 11.000 lokasi, termasuk di gerai-gerai minimarket yang tersebar di seluruh negeri, atau melalui aplikasi fintech, transfer bank, hingga tagihan telepon.1 Pelajaran bagi Indonesia sangat jelas: adopsi publik yang tinggi diraih melalui kemudahan dan kenyamanan, bukan paksaan.

Lebih dari itu, Taiwan menunjukkan bahwa MLFF adalah alat tata kelola lalu lintas yang canggih. Sistem ini memungkinkan penerapan tarif dinamis berbasis jarak (pay-as-you-go), memberikan jatah perjalanan gratis harian (20 km per hari), dan menyesuaikan tarif pada jam-jam sibuk untuk mengurai kepadatan.1 Ini mengubah fungsi tol dari sekadar pungutan menjadi instrumen cerdas untuk memengaruhi perilaku pengemudi dan mengelola beban jaringan jalan secara proaktif.

 

Mata di Langit: Revolusi Perawatan Infrastruktur dengan Teknologi Drone

"Solusi Total" tidak berhenti pada sistem pembayaran. Pilar kedua dari revolusi ini adalah pemanfaatan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone untuk pemeliharaan dan inspeksi infrastruktur jalan dan jembatan. Selama ini, inspeksi dilakukan secara manual—sebuah proses yang lambat, padat karya, sering kali mengganggu lalu lintas, dan berisiko bagi keselamatan pekerja.

Teknologi drone menawarkan sebuah paradigma baru yang lebih cerdas, lebih cepat, dan jauh lebih efisien. Dengan menggunakan contoh dari Taiwan, penelitian ini menggambarkan lompatan efisiensi yang dramatis:

  • Kecepatan Luar Biasa: Survei jalan sepanjang 5 km yang mungkin memakan waktu berhari-hari bagi tim darat, dapat diselesaikan oleh drone hanya dalam waktu sekitar satu jam total penerbangan.1
  • Akurasi Presisi Tinggi: Drone yang dilengkapi kamera fotogrametri mampu mencapai akurasi hingga 2 cm, memungkinkan deteksi dini dan pengukuran volume kerusakan, lubang, atau retakan dengan sangat detail.1
  • Efisiensi Biaya yang Fantastis: Perbandingan biayanya sangat mencolok. Sebuah modul inspeksi drone berharga sekitar NT1,5 juta (sekitar Rp 750 juta)—sepuluh kali lebih mahal—bahkan sebelum menghitung biaya penutupan jalan dan pengendalian lalu lintas.1

Pemanfaatan drone ini lebih dari sekadar mengambil foto dari udara. Ini adalah sebuah alur kerja data yang terintegrasi, mulai dari pengumpulan data, pemrosesan melalui server untuk menciptakan model 3D, hingga menghasilkan rencana perbaikan yang dapat ditindaklanjuti.1 Hal ini memungkinkan otoritas untuk beralih dari model pemeliharaan reaktif (memperbaiki kerusakan yang sudah parah) ke pemeliharaan prediktif (mengidentifikasi dan mengatasi masalah kecil sebelum menjadi besar). Data objektif dari drone juga berfungsi sebagai alat tata kelola yang kuat, memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor.1

 

Membawa Pulang Revolusi: Proyeksi Dampak untuk Indonesia

Jika cetak biru kesuksesan global ini diterapkan di Indonesia, dampaknya akan bersifat transformasional. Penelitian ini memproyeksikan sebuah skenario "kemenangan rangkap tiga" (triple-win) yang nyata bagi bangsa:

  • Kemenangan Ekonomi: Dengan menghilangkan antrean di gerbang tol, sistem ini dapat mengurangi "biaya eksternal"—seperti bahan bakar yang terbuang, keausan kendaraan, dan waktu produktif yang hilang—sebesar 60,1%.1 Ini akan secara langsung meningkatkan produktivitas, menurunkan biaya logistik, dan membuat industri nasional lebih kompetitif.
  • Kemenangan Lingkungan: Arus lalu lintas yang lancar secara signifikan mengurangi emisi gas buang. Proyeksinya adalah penurunan emisi CO2 sebesar 32,4%.1 Ini setara dengan menghilangkan ribuan mobil dari jalan secara permanen, berkontribusi pada udara yang lebih bersih di kota-kota besar.
  • Kemenangan Sosial: Waktu tempuh yang lebih cepat dan lebih dapat diprediksi akan mengurangi tingkat stres bagi jutaan komuter setiap hari, meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Penerapan "Solusi Total" ini bukan hanya tentang memperbaiki jalan tol. Keberhasilannya akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang luas bagi perekonomian, membuka potensi pertumbuhan baru, dan menarik investasi. Ini adalah proyek pembangunan bangsa yang menyamar dalam bentuk modernisasi infrastruktur.

 

Tinjauan Kritis dan Jalan di Depan

Meskipun visi yang ditawarkan sangat menjanjikan, mengadopsi sistem sebesar ini di negara seperti Indonesia bukannya tanpa tantangan. Analisis yang kredibel harus mengakui beberapa rintangan besar yang perlu diatasi.

Tantangan terbesar bukanlah pada teknologi itu sendiri, yang sudah terbukti andal, melainkan pada skala sosio-logistiknya. Taiwan berhasil mengimplementasikan sistem ini pada sekitar 6 juta kendaraan.1 Indonesia, pada tahun 2018 saja, sudah memiliki 146,9 juta kendaraan terdaftar.1 Mengelola program distribusi dan instalasi tag RFID, membangun ekosistem pembayaran yang inklusif, serta melakukan kampanye edukasi publik untuk populasi sebesar ini adalah tugas yang monumental.

Selain itu, ada aspek manusia yang tidak boleh diabaikan. Eliminasi fungsi GTO berarti akan ada pergeseran pekerjaan bagi ribuan petugas tol.1 Pemerintah perlu menyiapkan program transisi dan alih keahlian yang adil untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam transformasi ini.

Isu kesenjangan digital juga menjadi perhatian. Sistem ini sangat bergantung pada akses ke pembayaran digital atau jaringan lokasi isi ulang yang luas. Bagaimana memastikan sistem ini dapat diakses secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) atau tinggal di daerah terpencil?

Terakhir, sebuah sistem yang mampu "mengenali dan mengidentifikasi kendaraan dan pengguna" 1 secara inheren menciptakan basis data pergerakan warga yang sangat besar. Isu privasi dan keamanan data akan menjadi perhatian publik yang utama. Diperlukan kerangka regulasi yang kuat dan transparan untuk mengatur kepemilikan, penggunaan, dan perlindungan data ini dari penyalahgunaan sebelum sistem diluncurkan secara penuh.

 

Kesimpulan: Jalan Tol Indonesia di Ambang Era Baru

Indonesia saat ini berdiri di persimpangan jalan. Satu jalan adalah melanjutkan status quo, dengan kemacetan yang semakin parah dan kerugian ekonomi Rp 56 triliun yang terus membengkak setiap tahun. Jalan yang lain adalah merangkul sebuah evolusi teknologi yang berani, sebuah "Solusi Total" yang telah terbukti mampu mengubah lanskap transportasi dan ekonomi.

Penerapan MLFF dan teknologi inspeksi drone bukan lagi sekadar pilihan untuk kenyamanan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk "meningkatkan efisiensi dalam pelayanan publik, logistik, dan industri yang bermuara pada efisiensi ekonomi".1 Jika diimplementasikan secara penuh dan bijaksana, dengan mengatasi tantangan-tantangan yang ada, solusi ini tidak hanya akan mengurai kemacetan. Ia akan menjadi fondasi bagi ekosistem transportasi cerdas Indonesia, membuka jalan menuju masa depan mobilitas yang lebih aman, lebih bersih, dan jauh lebih produktif untuk generasi yang akan datang.

 

Sumber Artikel:

Pattiasina, J. R. (2021). TOTAL SOLUTION FOR SMART TRAFFIC AND TOLL ROADS MANAGEMENT IN INDONESIA. DEVOTION: Journal of Community Service, 3(2), 149-163.

Selengkapnya
Kerugian Rp 56 Triliun per Tahun: Panggilan Mendesak untuk Revolusi
« First Previous page 2 of 2