Desain Komunikasi Visual
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 30 April 2025
Pendahuluan
Dalam era komunikasi visual yang kian berkembang, iklan tidak hanya hadir sebagai alat promosi produk, tetapi juga sebagai medium penyampai pesan sosial. Di sinilah pentingnya ilmu semiotika—kajian tentang tanda dan makna—untuk mengurai bagaimana iklan bekerja sebagai bahasa yang membentuk kesadaran publik. Artikel Sri Hesti Heriwati berjudul “Semiotika dalam Periklanan” mengeksplorasi bagaimana pendekatan semiotik mampu menjelaskan struktur makna yang tersembunyi di balik desain komunikasi visual dalam iklan layanan masyarakat (ILM).
Sebagai negara dengan beragam masalah sosial, Indonesia sangat membutuhkan media edukatif yang efektif. ILM menjadi salah satu senjata pemerintah dalam mengampanyekan isu publik seperti kesehatan, keselamatan lalu lintas, pelestarian lingkungan, hingga antinarkoba. Namun, apakah pesan-pesan tersebut mampu tersampaikan secara efektif? Heriwati menjawabnya dengan satu kata: semiotika.
Semiotika: Ilmu Membaca Dunia
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti “tanda.” Dalam konteks iklan, semiotika membantu memahami bagaimana tanda visual dan verbal digunakan untuk menyampaikan pesan. Heriwati mengacu pada teori Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Peirce mengklasifikasikan tanda menjadi tiga:
Ikon: tanda yang menyerupai objeknya (contoh: foto).
Indeks: tanda yang memiliki hubungan kausal (contoh: asap adalah tanda adanya api).
Simbol: tanda yang maknanya ditentukan melalui konvensi (contoh: logo Garuda untuk Indonesia).
Heriwati juga menyentuh Barthes, yang mengembangkan konsep denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna literal, sementara konotasi adalah makna yang muncul melalui asosiasi kultural atau emosional.
Bahasa Iklan: Antara Realitas dan Imajinasi
Dalam bagian ini, Heriwati mengkritisi bahwa banyak iklan di media massa, terutama televisi, menggunakan bahasa yang memanipulasi emosi. Misalnya, slogan-slogan seperti “Pria Punya Selera” atau “Nikmatnya Tiada Tara” mengaburkan makna literal dengan permainan kata-kata yang persuasif. Bahasa yang digunakan cenderung singkat, metaforis, dan bermuatan ideologi konsumsi.
Namun, ILM hadir sebagai tandingan. Heriwati menyebut ILM sebagai “counter image” terhadap iklan komersial. Tujuannya bukan untuk menjual produk, tetapi membentuk kesadaran kolektif masyarakat. Di sinilah peran semiotika sangat vital—untuk mengungkap struktur tanda yang berfungsi membentuk pemahaman sosial.
Desain Komunikasi Visual: Dari Pesan ke Makna
Iklan layanan masyarakat tidak hanya berbicara melalui teks. Ia juga “berteriak” lewat gambar, warna, tipografi, dan komposisi visual. Heriwati menggarisbawahi pentingnya keselarasan antara tanda verbal dan visual agar pesan sosial bisa tersampaikan dengan kuat. Visualisasi ini harus:
Estetis: menarik perhatian
Komunikatif: mudah dimengerti
Persuasif: membujuk khalayak agar peduli dan bertindak
Sebagai contoh, kampanye tentang hemat listrik mungkin menggunakan simbol saklar dalam posisi off dengan cahaya remang, dikombinasikan dengan kalimat seperti “Mati 5 Detik, Hidup Lebih Lama.” Kalimat tersebut menggunakan konotasi yang menggugah perasaan sekaligus mendidik.
Studi Kasus: Iklan Layanan Masyarakat di Indonesia
Penelitian Heriwati menyebutkan beragam tema yang kerap diangkat dalam ILM, antara lain:
Imunisasi nasional
Pemberantasan demam berdarah
Tertib lalu lintas
Budaya menabung
Gerakan hemat energi
Dalam menganalisis ILM, Heriwati menyarankan pendekatan semiotik yang beroperasi pada dua level:
Analisis Tanda Individual
Menelaah elemen-elemen visual seperti warna, simbol, font, dan gestur tokoh dalam iklan.
Analisis Kombinasi Tanda (Teks)
Menyusun interpretasi dari keseluruhan tampilan sebagai unit pesan yang utuh.
Hal ini mirip dengan pendekatan intertekstualitas ala Julia Kristeva, di mana satu teks (iklan) selalu terkait dan berdialog dengan konteks sosial budaya yang lebih luas.
Kritik terhadap Iklan Komersial: Kekuatan yang Sering Menyesatkan
Artikel ini tak segan mengkritik praktik iklan komersial yang manipulatif. Banyak iklan memanfaatkan simbol-simbol glamor, mitos selebritas, dan konstruksi budaya populer untuk memengaruhi selera konsumen. Teori Williamson yang dikutip Heriwati menyatakan bahwa iklan seringkali meminjam image atau “aura” dari tokoh tertentu untuk membentuk makna baru yang sesuai dengan tujuan komersial.
Berbeda dengan ILM yang membawa pesan moral atau sosial, iklan komersial kerap dianggap menanamkan kebutuhan palsu dan membentuk budaya konsumtif yang tidak berkelanjutan.
Relevansi dan Implikasi
Heriwati menekankan bahwa pendekatan semiotika penting tidak hanya untuk desainer iklan, tetapi juga bagi publik agar menjadi konsumen yang kritis. Di tengah banjir informasi visual, kemampuan menafsirkan tanda dan membedakan makna literal dan simbolik menjadi penting agar kita tidak “dikendalikan” oleh pesan media.
Selain itu, bagi pembuat kebijakan, pemahaman semiotik dapat digunakan untuk merancang strategi komunikasi publik yang lebih efektif, menyentuh emosi tanpa kehilangan makna substansial.
Kesimpulan
Melalui kajian ini, Heriwati membuktikan bahwa iklan bukan sekadar pesan instan. Ia adalah konstruksi tanda yang memiliki struktur dan makna, serta dapat dibaca, dipahami, dan direspon. Semiotika memberikan alat untuk membongkar isi pesan, menyusun ulang makna, dan membentuk pemahaman sosial yang lebih sadar.
Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis kesehatan, atau degradasi moral, iklan layanan masyarakat yang dirancang dengan pemahaman semiotik yang baik akan menjadi media edukasi yang ampuh dan elegan.
Sumber :
Sri Hesti Heriwati. Semiotika dalam Periklanan. Jurnal Semiotika, Fakultas Seni Rupa dan Desain Interior, ISI Surakarta.