Architecture & Sustainable Design

Sebuah Paradoks yang Mengkhawatirkan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 September 2025


Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, dunia membutuhkan para inovator yang tidak hanya kreatif, tetapi juga sadar lingkungan. Profesi desainer dan inovator—mereka yang merancang produk, sistem, dan layanan yang kita gunakan setiap hari—menempati posisi kunci dalam upaya ini. Paradoksnya, sebuah penelitian terbaru di Inggris justru menunjukkan gambaran yang sangat mengkhawatirkan: institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi garda depan perubahan, justru gagal dalam menyiapkan para desainer masa depan.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Sustainability ini mengevaluasi kondisi pendidikan keberlanjutan di tingkat pascasarjana, khususnya dalam disiplin desain di Inggris. Temuan utamanya begitu mengejutkan dan membangkitkan pertanyaan serius: sekitar 80% dari kursus yang diteliti dinilai "lemah" atau "sangat lemah" dalam hal integrasi pendidikan keberlanjutan.1 Ini bukan sekadar statistik belaka; ini adalah cerminan dari kegagalan sistematis yang memiliki konsekuensi langsung bagi masa depan planet kita. Laporan ini bukan hanya tentang angka-angka, melainkan tentang cerita di balik data: cerita tentang para pendidik yang berjuang, kebijakan pemerintah yang lambat, dan calon desainer yang tidak siap menghadapi tantangan terbesar di abad ini.

 

Mengapa Pendidikan Desain Adalah Garis Depan Penyelamatan Bumi?

Penting untuk memahami mengapa profesi desainer memiliki peran yang begitu krusial dalam pembangunan berkelanjutan. Para akademisi telah lama menyoroti peran desainer sebagai pemangku kepentingan utama dalam proses Pengembangan Produk Baru (New Product Development, atau NPD). Keputusan yang diambil pada tahap desain awal sebuah produk atau layanan dapat memiliki dampak yang luar biasa pada jejak lingkungan dan sosialnya. Sebagai contoh, pemilihan material, cara produk diproduksi, hingga bagaimana produk tersebut akan didaur ulang atau dibuang pada akhir siklus hidupnya, semuanya ditentukan di meja kerja desainer.

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, penelitian ini mengutip temuan akademisi yang menyatakan bahwa desainer dapat memiliki dampak hingga 80% terhadap keberlanjutan sebuah produk baru.1 Angka yang mencengangkan ini menunjukkan bahwa keputusan desain adalah pangkal dari segalanya. Dampak 80% ini bisa diibaratkan seperti memprogram sebuah robot yang akan membangun rumah masa depan. Jika Anda salah memasukkan kode di awal—misalnya, dengan memilih bahan yang boros energi atau meminimalkan daya tahan—seluruh struktur yang dibangun akan cacat dan tidak ramah lingkungan, terlepas dari seberapa efisien proses pembangunannya.

Peran penting ini juga sejalan dengan tujuan global yang lebih besar. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya SDG 12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, secara eksplisit menargetkan inovasi produk dan pengembangan industri sebagai area kritis untuk transisi menuju masa depan yang lebih hijau.1 Ini menempatkan desainer di garis depan upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan, menggarisbawahi urgensi bagi pendidikan mereka untuk secara serius merangkul keberlanjutan.

 

Peringatan Kritis dari Kampus: Rapor Merah untuk Pendidikan Keberlanjutan

Penelitian ini mengadopsi metodologi kualitatif, di mana para peneliti meniru “perjalanan” seorang calon mahasiswa yang mencari kursus pascasarjana desain dengan fokus pada keberlanjutan. Mereka menggunakan platform online seperti The Universities and College Admissions Service (UCAS) dan Find a Masters. Dari sekitar 350 kursus pascasarjana desain yang tersedia di Inggris, hanya 14 yang teridentifikasi berpotensi memiliki unsur keberlanjutan berdasarkan kata kunci, dan setelah melalui proses penyaringan yang ketat, hanya 9 kursus yang terbukti memiliki bukti nyata adanya pendidikan keberlanjutan di dalam kurikulum mereka.1 Ini berarti, hanya sekitar 3% dari total program yang ada di Inggris yang menunjukkan komitmen pada topik ini.

Untuk mengevaluasi kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh 9 kursus ini, studi tersebut menggunakan model "Levels of Response to Sustainability Education" oleh Sterling (2004), yang mengklasifikasikan respons pendidikan terhadap keberlanjutan ke dalam empat tingkatan:

  • Level 1 (Sangat Lemah): Disebut sebagai "zero learning," di mana tidak ada perubahan pada struktur kursus saat ini dan tidak ada pendidikan keberlanjutan yang terintegrasi.
  • Level 2 (Lemah): Strategi "add-on," di mana keberlanjutan diajarkan sebagai topik terpisah atau tambahan yang tidak terhubung dengan subjek utama desain, sehingga membatasi dampak dan relevansinya bagi mahasiswa.
  • Level 3 (Kuat): Disebut sebagai strategi "built-in," di mana pendidikan keberlanjutan terintegrasi langsung dengan disiplin ilmu utama, memungkinkan mahasiswa menerapkan apa yang mereka pelajari pada masalah dunia nyata.
  • Level 4 (Sangat Kuat): Strategi "transformasi," yang menuntut reformasi total kurikulum dan institusi, di mana seluruh program atau bahkan universitas berpusat pada keberlanjutan.

Setelah evaluasi mendalam, hasilnya sangat mencemaskan. Dari 9 kursus yang berhasil lolos saringan, lima di antaranya dinilai "Lemah," dan tiga lainnya dinilai "Sangat Lemah".1 Yang lebih parah lagi, hanya

dua kursus yang berhasil mencapai level "Kuat," dan tidak ada satu pun yang mencapai level tertinggi "Sangat Kuat".1 Kesimpulan ini menunjukkan bahwa meskipun ada segelintir program yang menyertakan keberlanjutan, mayoritas melakukannya dengan cara yang dangkal dan tidak efektif. Masalahnya bukan sekadar "kurangnya pendidikan," melainkan "kualitas pendidikan yang buruk" bahkan di antara program yang seharusnya menjadi yang terdepan.

 

Kisah di Balik Angka: Mengapa Situasi Begitu Mendesak?

Temuan ini membangkitkan pertanyaan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Para peneliti mungkin terkejut bukan hanya pada rendahnya jumlah kursus yang peduli, tetapi pada kualitas yang sangat minim dari kursus-kursus tersebut. Ini adalah indikasi bahwa terlepas dari retorika publik yang gencar tentang pentingnya keberlanjutan, institusi pendidikan tinggi belum berhasil menerjemahkan komitmen itu menjadi kurikulum yang efektif.

Kesenjangan ini berdampak pada berbagai pihak:

  • Mahasiswa: Mereka memasuki pasar kerja dengan kesenjangan pengetahuan yang kritis. Tuntutan industri untuk desainer yang kompeten dalam keberlanjutan semakin meningkat, tetapi para lulusan tidak memiliki bekal yang memadai untuk memenuhi permintaan tersebut.1
  • Industri: Perusahaan kehilangan potensi inovasi dan terobosan produk yang dapat mengurangi dampak lingkungan karena kurangnya talenta desainer yang terlatih dalam keberlanjutan. Ini menghambat kemampuan mereka untuk merespons pasar yang semakin menuntut produk ramah lingkungan.
  • Masyarakat Luas: Kemajuan menuju target iklim dan keberlanjutan global menjadi terhambat karena profesi kunci yang bertanggung jawab untuk inovasi tidak memiliki bekal yang tepat untuk memimpin perubahan.1

Situasi ini semakin rumit oleh beberapa faktor eksternal yang disoroti dalam penelitian. Pertama, peran pemerintah. Meskipun kebijakan seperti EA2025 dan insentif pajak berupaya mendorong industri untuk lebih berkelanjutan, legislasi yang ada seringkali terlalu umum, kuno, dan lambat untuk mengikuti kecepatan perkembangan teknologi.1 Pemerintah Inggris sendiri mengakui bahwa "perubahan legislasi bisa lambat, sementara kecepatan perkembangan teknologi atau bukti baru tentang kerusakan lingkungan mungkin memerlukan tindakan cepat".1

Sebuah kesenjangan kebijakan yang lebih serius juga teridentifikasi: pemerintah berfokus pada pendidikan keberlanjutan di tingkat K-12 (usia 5-15 tahun), tetapi tidak memberikan mandat serupa di pendidikan tinggi.1 Ini menciptakan kegagalan sistematis dalam "estafet" pendidikan keberlanjutan. Sementara generasi muda dididik untuk peduli, institusi yang seharusnya melatih mereka untuk bertindak justru tertinggal. Selain itu, ada tantangan internal lain, seperti keengganan sebagian pendidik untuk mengubah konten mata kuliah mereka atau keterbatasan pengetahuan mereka sendiri tentang keberlanjutan. Mahasiswa juga kesulitan belajar dalam konteks hipotetis, yang menunjukkan kebutuhan mendesak untuk pembelajaran berbasis kasus nyata, proyek studio, dan kolaborasi dengan industri.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Pendidikan yang "Kuat" dan Berdampak

Sebagai respons terhadap tantangan ini, penelitian ini mengusulkan sebuah Model Kerangka Kerja Pendidikan Berkelanjutan yang dirancang untuk membantu kursus desain pascasarjana bertransisi dari level "lemah" atau "sangat lemah" menjadi level "kuat".1 Model ini memvisualisasikan perjalanan akademis sebagai sebuah roda yang terus berputar, menekankan siklus pembelajaran berkelanjutan dan perbaikan konstan.

  • Fase 1: Pondasi Akademis (Term 1). Mengingat banyak mahasiswa belum mendapatkan pendidikan keberlanjutan di tingkat sarjana, fase ini berfokus pada pembangunan fondasi yang kuat. Kerangka kerja menyarankan adanya modul pengantar yang mengajarkan konsep-konsep dasar keberlanjutan, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.1
  • Fase 2: Aplikasi dan Kolaborasi (Term 2). Setelah fondasi terbentuk, fase kedua ini menekankan pada aplikasi praktis. Kerangka kerja menyarankan modul wajib "Desain untuk Keberlanjutan," yang berfokus pada solusi berkelanjutan dalam konteks desain. Model ini mendorong penggunaan pembelajaran berbasis studio dan kolaborasi dengan mitra industri untuk mengerjakan live briefs. Metode ini membantu mengatasi masalah "pembelajaran hipotetis" dan menyiapkan mahasiswa untuk tantangan dunia nyata.
  • Fase 3: Proyek Transformasi dan Refleksi (Term 3). Fase ini adalah puncak dari kurikulum. Mahasiswa mengerjakan proyek penelitian individu utama yang memiliki komponen keberlanjutan wajib. Mereka didorong untuk bekerja dengan mitra industri untuk mensimulasikan tantangan nyata dan menerapkan alat-alat seperti Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment atau LCA) untuk mengevaluasi produk mereka.1 Fase ini memberdayakan mahasiswa untuk menjadi agen perubahan dan selaras dengan teori "Desain untuk Transisi," yang mendorong pembelajaran dan tindakan berkelanjutan.1

Selain itu, model ini juga menempatkan tanggung jawab penting pada pimpinan program. Pada akhir tahun ajaran, mereka harus meninjau masukan dari mahasiswa tentang pendidikan keberlanjutan yang mereka terima dan menyesuaikan kurikulum untuk tahun berikutnya. Pimpinan program juga disarankan untuk secara aktif meninjau kebijakan dan regulasi pemerintah terkait keberlanjutan dalam industri, memastikan bahwa pengajaran tetap relevan dengan tuntutan dunia kerja.1

 

Kritik dan Realitas: Peran Lembaga Akreditasi dan Pemerintah

Penting untuk melihat model yang diusulkan ini dalam konteks tantangan yang ada. Salah satu temuan yang paling kontradiktif adalah peran badan akreditasi. Organisasi seperti The Institution of Engineering Designers (IED) dan the Institution of Engineering and Technology (IET) telah menyatakan komitmen mereka untuk memasukkan prinsip-prinsip keberlanjutan sebagai syarat akreditasi.1 Namun, dalam penelitian ini, dua kursus yang diakreditasi oleh lembaga-lembaga ini justru hanya mendapat peringkat "lemah".1

Kontradiksi ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kursus yang diakreditasi oleh badan-badan yang proaktif dalam keberlanjutan masih tertinggal? Ini menunjukkan bahwa kriteria akreditasi yang ada mungkin hanya memenuhi persyaratan minimum, bukan mendorong keunggulan atau inovasi. Akreditasi bisa menjadi sekadar "latihan memenuhi daftar" (check-box exercise) alih-alih menjadi dorongan nyata untuk perubahan substantif.

Hal ini kembali menggarisbawahi perlunya dorongan dari pemerintah. Meskipun pemerintah Inggris mengakui perlunya perubahan cepat, legislasi yang ada seringkali tidak fleksibel dan lambat untuk diimplementasikan.1 Studi ini secara implisit menyoroti ketegangan antara otonomi universitas dan kebutuhan mendesak untuk bertindak demi kebaikan bersama. Meskipun otonomi memungkinkan inovasi, dalam kasus pendidikan keberlanjutan, ia justru menjadi hambatan karena tidak ada mandat yang jelas bagi universitas untuk mengintegrasikan keberlanjutan secara mendalam ke dalam kurikulum mereka.

 

Dampak Nyata dan Kesimpulan: Mendesak Transisi Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau

Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan gambaran yang jelas dan mengkhawatirkan: desainer adalah kunci untuk masa depan yang berkelanjutan, namun pendidikan yang mereka terima berada dalam krisis. Kegagalan ini disebabkan oleh kombinasi masalah kurikulum, keengganan institusi, dan kurangnya dorongan yang memadai dari pemerintah dan badan akreditasi. Namun, penelitian ini juga menawarkan solusi yang nyata dan terukur.

Jika Model Kerangka Kerja Pendidikan Berkelanjutan yang diusulkan ini diterapkan secara luas dan didukung oleh kebijakan yang lebih tegas, pendidikan desain pascasarjana di Inggris akan mengalami transformasi yang signifikan. Dalam waktu lima tahun, kita bisa melihat gelombang desainer baru yang menghasilkan terobosan produk dan sistem yang mampu secara masif mengurangi biaya lingkungan dan sosial, serta mendorong tercapainya target-target iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Laporan ini bukan sekadar studi kasus tentang Inggris, melainkan sebuah cermin untuk seluruh dunia, menunjukkan apa yang salah dan menawarkan peta jalan yang jelas untuk memperbaikinya. Ini adalah panggilan aksi bagi para pembuat kebijakan, pimpinan universitas, dan pendidik untuk segera bertindak dan mengambil tanggung jawab mereka dalam mempersiapkan generasi desainer yang benar-benar mampu menyelamatkan Bumi.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.3389/frsus.2023.114868

Selengkapnya
Sebuah Paradoks yang Mengkhawatirkan
page 1 of 1