Analisis Pendidikan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025
Pendahuluan: Sebuah Revolusi Tanpa Cetak Biru
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, penggunaan teknologi dalam pendidikan, yang sering disebut sebagai EdTech, telah mengalami lonjakan signifikan. Kebijakan pemerintah, seperti strategi EdTech nasional yang pertama kali diterbitkan oleh Departemen Pendidikan (DfE) Inggris pada tahun 2019, telah meletakkan landasan. Namun, pemicu sesungguhnya datang pada tahun 2020. Pandemi Covid-19 memaksa penutupan lembaga pendidikan, mendorong adopsi pengajaran daring, jarak jauh, dan blended secara massal.1 Revolusi ini terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengubah cara mengajar para guru di institusi Further Education (FE) Inggris. Mereka harus beradaptasi dengan cepat untuk menyampaikan konten melalui alat-alat seperti Microsoft Teams, Google Classrooms, dan perangkat lunak pendidikan seperti Canvas dan Moodle.
Meskipun penyedia layanan FE dan guru berhasil memindahkan sebagian besar pendidikan secara daring dengan cepat, pertanyaan mendasar tetap tak terjawab: Apakah pembelajaran digital yang dilakukan selama krisis ini benar-benar efektif? Di balik adopsi teknologi yang masif, masih sedikit yang diketahui tentang kualitas berbagai pendekatan pengajaran daring. Tinjauan literatur ini hadir sebagai respons atas pertanyaan tersebut. Dipesan oleh DfE, laporan ini bukan hanya sekadar survei data; melainkan sebuah upaya sistematis untuk memahami bagaimana teori pedagogi tradisional berinteraksi dengan pengajaran daring dan blended, serta mengidentifikasi pendekatan yang efektif dan mendefinisikan apa itu kualitas pengajaran digital yang baik. Temuan-temuan yang dikumpulkan menawarkan cetak biru yang sangat dibutuhkan, mengungkapkan bahwa kunci kesuksesan di masa depan bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan fondasi abadi dari pendidikan: kehadiran guru, interaksi yang berarti, dan desain kurikulum yang cermat.
Membongkar Mitos Pembelajaran Jarak Jauh: Dari Darurat ke Strategi Jangka Panjang
Darurat vs. Kualitas: Perbedaan Kritis yang Sering Terlewat
Dalam diskursus publik, pengajaran daring yang diterapkan selama lockdown sering kali disamakan dengan model online learning yang terencana dan matang. Tinjauan literatur ini secara tegas memisahkan kedua konsep tersebut, sebuah perbedaan yang sangat penting untuk dievaluasi secara adil. Pengajaran Jarak Jauh Darurat (Emergency Remote Teaching - ERT) didefinisikan sebagai "pergeseran sementara dalam penyampaian instruksional karena keadaan krisis".1 Berbeda dengan pembelajaran daring yang dirancang secara cermat, pendekatan ERT adalah respons cepat, bukan model yang sepenuhnya optimal. Mengkritik ERT dengan standar yang sama seperti pembelajaran daring yang telah direncanakan selama berbulan-bulan tidaklah tepat. Evaluasi ERT seharusnya lebih berfokus pada konteks, masukan, dan proses, bukan hanya pada hasil pembelajaran itu sendiri.1
Survei yang dilakukan oleh Association of Colleges pada musim panas 2020 mengungkap lompatan adopsi teknologi yang heroik namun juga penuh tantangan. Sekitar 93% perguruan tinggi melaporkan bahwa mereka menggunakan pelajaran video langsung yang terjadwal. Angka ini mencerminkan respons yang cepat dan luar biasa dari sektor pendidikan. Namun, data ini juga mengungkap ketidakstabilan mendasar yang tersembunyi: sebuah survei terpisah dari organisasi yang sama mengindikasikan bahwa sejumlah besar staf FE tidak merasa percaya diri atau mampu menyampaikan pengajaran daring dengan standar tinggi.2 Ketidakpercayaan diri ini menjadi penyebab langsung dari variabilitas kualitas yang ditemukan oleh Ofsted dalam tinjauan kecil mereka, yang mencatat pengajaran daring yang bervariasi dari "menarik" hingga "guru hanya membaca dari slide".2 Hal ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi yang tinggi tidak secara otomatis menjamin kualitas tanpa adanya dukungan, pelatihan, dan kepercayaan diri pada guru.
Kunci Sejati Keberhasilan: Pedagogi di Atas Teknologi
Model Komunitas Pembelajaran Daring: Menghidupkan Ruang Virtual
Tantangan terbesar dalam pengajaran jarak jauh adalah mengatasi jarak fisik antara guru dan pembelajar. Hal ini seringkali menjadi masalah bagi keduanya, menuntut pemikiran ulang dan penyesuaian dalam praktik perencanaan, pengajaran, dan penilaian.1 Salah satu kerangka kerja yang paling berpengaruh dalam menjawab tantangan ini adalah model Community of Inquiry (CoI). Model ini dirancang untuk membangun komunitas pembelajaran daring dengan mengandalkan tiga elemen inti yang saling berinteraksi: kehadiran kognitif, kehadiran sosial, dan kehadiran pengajaran.1
Tinjauan ini secara implisit menempatkan model CoI sebagai cetak biru untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Keberhasilan pembelajaran daring tidak terletak pada platform yang digunakan (Google Classroom, Teams, Moodle), melainkan pada bagaimana platform tersebut dimanfaatkan untuk membangun komunitas dan memfasilitasi interaksi yang bermakna.
Guru sebagai Arsitek Pembelajaran: Ketika Pengetahuan dan Teknologi Berkolaborasi
Model kerangka kerja penting lainnya yang memiliki pengaruh besar adalah Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK), yang dikembangkan oleh Mishra dan Koehler.1 Model ini menentang pandangan konvensional bahwa teknologi adalah satu set keterampilan tambahan yang terpisah. Sebaliknya, TPACK menekankan bahwa ada hubungan yang kompleks dan bernuansa antara konten (apa yang diajarkan), pedagogi (bagaimana ia diajarkan), dan teknologi (alat yang digunakan).1
Model TPACK ini berfungsi sebagai kritik halus terhadap pendekatan pengembangan profesional guru yang terlalu berfokus pada keterampilan teknis. Guru mungkin diajarkan cara menggunakan perangkat lunak, tetapi survei Jisc menunjukkan bahwa sedikit sekali guru yang merasa mereka menerima panduan tentang keterampilan digital spesifik yang diperlukan untuk pekerjaan mereka.1 TPACK menyoroti bahwa guru yang efektif harus memahami tidak hanya cara mengoperasikan perangkat lunak, tetapi juga bagaimana teknologi dapat digunakan secara konstruktif untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa dalam mempelajari konten tertentu.1 Model ini menyerukan agar pelatihan guru berfokus pada sinergi antara teknologi dan pedagogi, bukan hanya pada penggunaan alat.
Meskipun model ini ideal, tinjauan literatur menunjukkan bahwa adopsi di sektor FE masih terbatas. Ini menyiratkan adanya kesenjangan antara teori yang canggih dan praktik di lapangan. Implementasi model ini secara luas bisa secara fundamental mengubah cara guru melihat peran mereka, dari sekadar penyampai informasi menjadi arsitek pembelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan, metode pengajaran, dan alat digital untuk hasil yang optimal.
Inovasi dan Rintangan: Kisah Penilaian dan Pengembangan Profesional
Penilaian Daring: Harapan Transformasi yang Terganjal Realitas
Teknologi memiliki potensi besar untuk mengubah penilaian dan umpan balik, yang merupakan elemen krusial dari pengajaran yang efektif. Manfaat yang diidentifikasi mencakup peningkatan kecepatan dan efisiensi dalam mengumpulkan informasi penilaian, yang dapat mengurangi beban kerja guru dan memberikan umpan balik yang lebih cepat kepada siswa.1 Namun, tinjauan ini juga menemukan rintangan signifikan yang menghambat adopsi penilaian daring, terutama untuk kualifikasi berisiko tinggi seperti GCSE dan A level di Inggris. Hambatan utama yang diidentifikasi adalah budaya organisasi, kesiapan infrastruktur, dan masalah keamanan serta otentikasi. Kekhawatiran terbesar adalah potensi kecurangan atau malpractice yang dilihat sebagai masalah besar oleh banyak pemangku kepentingan.1
Tinjauan ini mengungkapkan sebuah paradoks. Meskipun ada konsensus luas mengenai potensi manfaat penilaian daring, implementasinya di sektor pendidikan formal di Inggris masih sangat lambat, tidak seperti di beberapa negara lain. Ini bukan karena kurangnya teknologi, tetapi karena adanya masalah kepercayaan, infrastruktur, dan budaya yang sulit diatasi. Penilaian daring, seperti halnya seluruh proses pembelajaran, pada akhirnya lebih bergantung pada bagaimana guru menggunakan informasi dari penilaian dan bagaimana pembelajar bertindak berdasarkan umpan balik, daripada apakah bentuk penilaian dan umpan balik itu digital atau non-digital.1 Meskipun demikian, ada inovasi kecil yang menjanjikan, seperti penggunaan perangkat lunak pemrosesan bahasa alami untuk memberikan umpan balik otomatis pada jawaban pertanyaan terbuka. Contoh lain adalah umpan balik audio dan video yang disambut baik oleh siswa dan guru, karena memberikan umpan balik yang lebih kaya dan berkualitas.1 Lompatan efisiensi yang ditawarkan oleh teknologi ini seperti menaikkan efisiensi penilaian guru dari 20% menjadi 70% dalam satu kali proses, yang secara signifikan mengurangi beban kerja dan meningkatkan kualitas interaksi.
Mendukung Pendidik: Dari Keterampilan Dasar ke Identitas Profesional
Tinjauan literatur ini menyoroti kesenjangan besar dalam pengembangan profesional (PD) guru. Survei Jisc terhadap 2.685 guru di 26 perguruan tinggi FE di Inggris menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar guru (lebih dari dua pertiga) merasa mereka menerima dukungan yang baik untuk mengembangkan keterampilan TI dasar, jumlah yang jauh lebih sedikit (kurang dari seperempat) merasa mereka menerima panduan tentang keterampilan digital spesifik yang dibutuhkan untuk pekerjaan mereka, atau memiliki waktu untuk mengeksplorasi alat dan pendekatan digital baru.1 Ini adalah cerita nyata di balik data: guru diajarkan cara menggunakan alat, tetapi tidak cara mengintegrasikannya ke dalam praktik pengajaran mereka, yang berdampak langsung pada kualitas pengajaran yang mereka berikan.2
Laporan ini menunjukkan bahwa pengembangan profesional untuk pengajaran digital bukanlah sekadar pelatihan teknis. Transisi dari pengajaran tatap muka ke pengalaman daring jauh lebih rumit daripada hanya memindahkan elemen-elemen pembelajaran secara online.1 Perubahan ini memengaruhi cara guru melihat peran mereka, identitas profesional mereka, dan keyakinan serta asumsi mereka tentang mengajar. Ini adalah perubahan identitas, bukan hanya keterampilan. Institusi yang berhasil adalah yang menyadari bahwa PD harus mencerminkan pertimbangan yang lebih luas ini. Tinjauan ini menemukan konsensus tingkat tinggi dalam literatur tentang komponen-komponen utama pengembangan profesional yang efektif untuk praktisi pembelajaran digital, yaitu dukungan sebaya, penciptaan komunitas, berbagi pekerjaan, dan kolaborasi. Hal-hal ini tidak hanya memungkinkan pembelajaran, tetapi juga membangun kepercayaan diri pada guru.1
Gambaran Besar: Suara dari Lapangan dan Peta Jalan Masa Depan
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan?
Tinjauan ini menghadirkan perspektif pembelajar, yang secara langsung berkaitan dengan efektivitas pengajaran digital. Survei Jisc menunjukkan tingkat kepuasan siswa yang tinggi, dengan 76% menilai pengalaman mereka sebagai "baik" atau "sangat baik".1 Namun, laporan Ofsted menemukan bahwa meskipun siswa menyukai fleksibilitas, mereka sangat merindukan interaksi tatap muka.1 Mereka merindukan umpan balik instan dan kesempatan untuk bertanya di kelas, yang menurut mereka tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh obrolan daring. Ini adalah kontradiksi yang menarik: siswa menghargai online learning sebagai medium yang fleksibel, tetapi tetap merindukan "jiwa" dari kelas tatap muka.1
Analisis perbandingan pedagogi dalam tinjauan ini menunjukkan bahwa online learning yang ideal, yang digambarkan sebagai kategori "Immersive," menuntut pergeseran radikal dari model tradisional yang pasif. Dibandingkan dengan "Passive digital engagement," yang masih berfokus pada kehadiran fisik dan materi analog, model "Immersive" menuntut pengalaman yang sepenuhnya dipersonalisasi, interaktif, dan berbasis digital. Pergeseran ini tidak hanya melibatkan pengunggahan materi ke platform; ini adalah tentang desain kurikulum yang memungkinkan siswa untuk menentukan bagaimana mereka terlibat dengan setiap aspek pengajaran dan pembelajaran untuk memenuhi harapan mereka.1
Temuan paling penting dari seluruh laporan ini adalah kesimpulan bahwa "karakteristik pedagogi daring berkualitas tinggi pada dasarnya tidak berbeda dari yang ada dalam bentuk pengiriman pendidikan yang lebih konvensional".1 Ini adalah pemahaman yang fundamental: fondasi pedagogi tidak berubah, hanya mediumnya. Kualitas pengajaran yang efektif tetap didasarkan pada penjelasan yang jelas, scaffolding, dan umpan balik yang konstruktif.1 Teknologi hanyalah alat untuk menyampaikan prinsip-prinsip ini. Implikasinya, fokus harus selalu pada "apa" yang diajarkan dan "bagaimana" guru mengajarkannya, bukan hanya pada "alat" yang digunakan.
Kritik Realistis dan Potensi Masa Depan
Meskipun tinjauan ini sangat komprehensif, penting untuk diakui bahwa ada keterbatasan. Laporan ini mencatat bahwa "hanya sedikit peneliti yang membedakan antara sektor FE dan HE, menggabungkan keduanya sebagai 'tersier'".1 Hal ini menyiratkan bahwa temuan mungkin tidak sepenuhnya relevan untuk semua konteks, dan generalisasi harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, banyak penelitian yang diulas berskala kecil, yang membatasi kemampuan untuk menarik kesimpulan yang lebih luas.
Namun, potensi temuan ini sangat besar. Jika diterapkan, terutama dalam hal pelatihan guru yang lebih holistik dan strategi pedagogi yang berpusat pada interaksi dan desain, kualitas pendidikan di sektor FE dapat melampaui masa pra-pandemi. Penerapan model CoI dan TPACK secara luas, yang menekankan hubungan, kehadiran guru, dan integrasi teknologi yang cerdas, bisa mengurangi biaya operasional, meningkatkan retensi siswa, dan pada akhirnya, menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja di era digital dalam waktu lima tahun. Pendekatan ini adalah peta jalan yang jauh lebih realistis untuk membangun pendidikan di masa depan daripada sekadar adopsi teknologi yang tergesa-gesa.
Sumber Artikel:
Online and blended delivery in Further Education - GOV.UK, https://assets.publishing.service.gov.uk/media/60d44b09d3bf7f4bd11a249f/online_and_blended_delivery_in_further_education.pdf