Air Lintas Negara
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025
Mengapa Diplomasi Air di Asia Tengah Begitu Penting?
Asia Tengah adalah kawasan yang sangat bergantung pada dua sungai utama, Amu Darya dan Syr Darya, untuk menopang kehidupan, pertanian, dan energi. Dengan lima negara—Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan—yang saling berbagi sumber daya air, pengelolaan lintas batas menjadi kunci stabilitas dan keberlanjutan kawasan. Paper Rahaman (2012) membedah bagaimana prinsip-prinsip internasional tentang pengelolaan air diterapkan dalam perjanjian-perjanjian regional, serta mengulas tantangan implementasi di lapangan.
Latar Belakang Geografis dan Sosial: Sungai sebagai Sumber Kehidupan dan Konflik
Amu Darya dan Syr Darya mengalir melintasi ribuan kilometer, menghidupi jutaan orang dan menjadi tulang punggung pertanian. Namun, distribusi air tidak merata. Negara-negara hulu seperti Kyrgyzstan dan Tajikistan memiliki cadangan air melimpah dan memanfaatkannya terutama untuk pembangkit listrik di musim dingin. Sebaliknya, negara-negara hilir seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan sangat bergantung pada air untuk irigasi pertanian, terutama kapas dan gandum. Ketidakseimbangan kebutuhan dan sumber daya ini sering menjadi sumber ketegangan.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Pengelolaan Air Lintas Negara
Rahaman mengidentifikasi lima prinsip utama yang diakui secara internasional:
Kelima prinsip ini tercermin dalam berbagai konvensi global, seperti Helsinki Rules dan Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997).
Studi Kasus: Perjanjian dan Implementasi di Asia Tengah
Perjanjian Almaty 1992
Setelah runtuhnya Uni Soviet, lima negara Asia Tengah menandatangani Perjanjian Almaty pada tahun 1992 sebagai kerangka hukum utama untuk pengelolaan bersama air lintas negara. Perjanjian ini mengakui prinsip pemanfaatan adil, kewajiban mencegah kerugian, pentingnya kerjasama, serta mekanisme penyelesaian damai. Komisi ICWC (Interstate Commission for Water Coordination) dibentuk untuk mengatur distribusi air dan memastikan suplai ke Laut Aral.
Namun, dalam praktiknya, pembagian air seringkali tidak berjalan mulus. Negara-negara hulu kerap memprioritaskan kebutuhan energi mereka, sementara negara hilir menuntut suplai air untuk irigasi. Ketika musim kering tiba, negosiasi seringkali berlangsung alot dan berujung pada kompromi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Statuta ICWC 2008
Statuta ini memperkuat mandat ICWC dan secara eksplisit mengadopsi prinsip-prinsip internasional, termasuk kewajiban menerapkan Integrated Water Resources Management (IWRM). Statuta juga menegaskan pentingnya pertukaran informasi, konsultasi, dan penyelesaian damai. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Tidak ada batas waktu yang jelas untuk proses konsultasi, dan mekanisme sanksi bagi pelanggaran hampir tidak ada.
Tantangan Utama dalam Implementasi
1. Lemahnya Penegakan dan Sanksi
Meskipun prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi, tidak ada mekanisme sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran. Negara-negara hulu bisa saja membangun bendungan atau mengubah aliran air tanpa koordinasi efektif, dan negara hilir hanya bisa mengajukan protes tanpa ada konsekuensi nyata.
2. Kurangnya Keterlibatan Stakeholder
Proses pengambilan keputusan masih sangat birokratis dan tertutup. Petani, masyarakat sipil, dan LSM hampir tidak pernah dilibatkan, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak oleh kebijakan air.
3. Afghanistan sebagai “Missing Link”
Afghanistan menyumbang sekitar 10% debit Amu Darya, namun tidak terlibat dalam perjanjian regional. Jika Afghanistan meningkatkan penggunaan airnya di masa depan, potensi konflik baru bisa muncul karena negara-negara lain tidak punya mekanisme untuk mengantisipasi atau menyelesaikan sengketa.
4. Kualitas Air dan Krisis Lingkungan
Fokus perjanjian selama ini lebih pada kuantitas air daripada kualitas dan keberlanjutan lingkungan. Krisis Laut Aral adalah bukti nyata bagaimana irigasi besar-besaran tanpa koordinasi lintas negara bisa menghancurkan ekosistem dan ekonomi lokal. Volume Laut Aral menyusut hingga 90% sejak 1960-an, menyebabkan bencana lingkungan dan sosial berskala besar.
5. Negosiasi Musiman yang Tak Pernah Usai
Setiap tahun, negara-negara Asia Tengah harus berunding ulang terkait pembagian air, terutama saat musim kering. Ketegangan politik kerap meningkat, dan solusi yang diambil seringkali hanya bersifat sementara.
Perbandingan dengan Tren Global
Di Eropa, pengelolaan air lintas negara sudah jauh lebih maju. Perjanjian seperti EU Water Framework Directive menekankan kualitas air, partisipasi publik, dan mekanisme sanksi yang jelas. Negara-negara Asia Tengah memang sudah mengadopsi prinsip-prinsip hukum internasional, namun pelaksanaannya masih didominasi pendekatan top-down dan kurang transparan.
Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997) juga belum sepenuhnya diadopsi di kawasan ini. Hingga 2011, hanya Uzbekistan yang meratifikasi konvensi tersebut, menunjukkan resistensi negara-negara hulu terhadap aturan yang lebih mengikat.
Opini dan Kritik atas Paper
Paper Rahaman patut diapresiasi karena mampu menguraikan secara sistematis bagaimana prinsip-prinsip internasional diadopsi dalam perjanjian regional Asia Tengah. Namun, penulis juga menyoroti bahwa adopsi prinsip di atas kertas tidak otomatis menjamin implementasi di lapangan. Lemahnya mekanisme penegakan, minimnya partisipasi masyarakat, dan absennya Afghanistan dari kerjasama regional menjadi tantangan besar.
Selain itu, isu kualitas air dan keberlanjutan lingkungan masih kurang mendapat perhatian, padahal krisis Laut Aral seharusnya menjadi pelajaran penting. Paper ini juga menyoroti perlunya reformasi institusi, transparansi, dan keterlibatan semua pemangku kepentingan agar pengelolaan air lintas negara benar-benar berkelanjutan.
Rekomendasi untuk Masa Depan Pengelolaan Air di Asia Tengah
Agar tata kelola air lintas negara di Asia Tengah bisa lebih efektif, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
Menuju Tata Kelola Air Lintas Negara yang Berkelanjutan
Paper Rahaman (2012) menegaskan bahwa meski prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi dalam perjanjian air regional Asia Tengah, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Kunci keberhasilan ada pada penguatan institusi, partisipasi semua pihak, transparansi, serta komitmen politik untuk mengutamakan kepentingan bersama dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa reformasi mendasar, Asia Tengah berisiko terus terjebak dalam siklus konflik dan krisis air yang mengancam masa depan kawasan.
Sumber Artikel
Principles of Transboundary Water Resources Management and Water-related Agreements in Central Asia: An Analysis, Muhammad Mizanur Rahaman, International Journal of Water Resources Development, 28:3, 475-491, 2012.