Karena Negara Bukanlah Seorang Pengusaha

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

11 Juni 2024, 09.55

Sumber: en.tempo.co

Tempo.co, Jakarta - Pemerintah berencana mempercepat privatisasi badan usaha milik negara. Menghentikan penggelontoran dana APBN untuk perusahaan-perusahaan negara. Upaya pemerintah melakukan konsolidasi badan usaha milik negara (BUMN) merupakan langkah yang rasional di saat banyak perusahaan negara yang menjadi beban keuangan pemerintah. Sudah saatnya pemerintah berhenti menggelontorkan dana negara untuk BUMN.

Kementerian BUMN kembali menggulirkan rencana untuk mengurangi jumlah perusahaan negara. Saat ini, ada 41 perusahaan BUMN, namun hanya 25 perusahaan yang menghasilkan keuntungan. Sisanya telah menjadi 'parasit' yang bertahan hidup berkat dana dari BUMN lain atau mengandalkan suntikan modal dari negara-sebesar Rp57 triliun yang diusulkan untuk tahun 2024 dan 2025. Targetnya, hanya akan ada sekitar 30 perusahaan BUMN pada akhir tahun depan.

Transformasi yang telah berlangsung sejak tahun 2020 tidak hanya bertujuan untuk membentuk perusahaan induk. Ada juga rencana privatisasi BUMN. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, mengatakan bahwa hotel adalah salah satu sektor ekonomi yang tidak perlu dikelola langsung oleh negara. Kita tidak perlu alergi terhadap privatisasi, apalagi mengaitkannya dengan nasionalisme. Privatisasi sering kali membawa banyak manfaat, mulai dari efisiensi operasional dan insentif untuk inovasi hingga peningkatan kualitas produk. Pemerintah dapat mengalokasikan dana hasil penjualan BUMN untuk meningkatkan pelayanan publik.

Privatisasi perusahaan negara merupakan langkah korporasi yang telah terjadi di banyak negara. Di Jepang dan Inggris, misalnya, Japan Airlines dan British Airways telah lama menjadi perusahaan swasta. Nama negara masih dipertahankan oleh perusahaan-perusahaan tersebut meskipun keduanya tidak lagi menjadi maskapai penerbangan.

Sebaliknya, mempertahankan perusahaan di bawah kendali pemerintah harus diakhiri. Kerugian yang paling jelas adalah kontrol pemerintah atas apa yang mereka lakukan. BUMN sering kali diwajibkan untuk menangani proyek-proyek pemerintah meskipun proyek-proyek tersebut tidak layak secara komersial. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini merugi. Pada akhirnya, negara yang harus menanggung kerugian ini. Contohnya adalah perusahaan konstruksi dan infrastruktur Hutama Karya, yang mengalami kerugian tahunan hingga Rp2 triliun sebagai akibat dari bunga pinjaman dan amortisasi jalan tol Trans Sumatera.

Masalah-masalah ini tidak akan muncul jika perusahaan ini dikelola oleh swasta. Oleh karena itu, privatisasi BUMN merupakan langkah yang tepat. Substansi dari privatisasi BUMN ada dalam bunyi Pasal 1 angka 12 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tentang peningkatan kinerja dan nilai perusahaan, peningkatan manfaat bagi negara dan masyarakat, serta perluasan kepemilikan saham publik. Oleh karena itu, sebelum melakukan penjualan saham, harus ada kajian yang komprehensif untuk memastikan manfaat tersebut dapat tercapai. Pelaksanaannya harus adil dan transparan. Privatisasi tidak boleh hanya sekedar memindahkan kepemilikan kepada kroni-kroni pemerintah.

Selain itu, pemerintah perlu memikirkan kembali kebijakan pengelompokan BUMN. Ada usulan agar Garuda Indonesia bergabung dengan InJourney, sebuah perusahaan induk BUMN di sektor pariwisata. Kelompok perusahaan ini terlalu besar. Di dalamnya terdapat operator bandara Angkasa Pura, Pengembangan Pariwisata Indonesia, dan peritel Sarinah. Alih-alih mengarah pada persaingan yang sehat, pengelompokan BUMN ini lebih menyerupai monopoli. Kelompok besar ini didirikan pada tahun 2021 dengan suntikan modal negara lebih dari Rp10 triliun, termasuk dana untuk menanggung biaya penyelenggaraan MotoGP 2022 di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, sekitar Rp200 miliar.

Sudah saatnya negara tidak lagi dibebani dengan urusan-urusan korporasi. Pemerintah harus membatasi perannya sebagai regulator, bukan operator bisnis. Ibarat sebuah turnamen olahraga, memiliki pemain yang merangkap sebagai wasit akan menghasilkan pertandingan yang tidak berkualitas.

Disadur dari: en.tempo.co